Senin, 09 Oktober 2017

Ironi Sarkastik, Katalisator Kreatifitas dan Kompleksitas Kognitif

Oleh : Isman Rahmani Yusron


1.      Kata dan Pemrosesan Informasi

Pada percakapan sehari-hari, gaya berbahasa seseorang dalam berkomunikasi begitu unik dan khas. Terutama terkait dengan budaya di Indonesia yang beragam, berbagai bentuk pengungkapan berbahasa yang sangat bervariasi. Saat berkomunikasi, tergantung pada konteks tertentu seseorang dapat menggunakan bahasa sopan, bahasa pergaulan, bahasa slang, bahkan hingga menggunakan bahasa sarkasme. Secara umum, masing-masing individu saat mengungkapkan maksud pembicaraannya, ada yang diungkapkan secara langsung dan jelas agar yang diajak bicara mudah menangkap maknanya, ada juga yang melalui ungkapan-ungkapan tidak langsung atau melalui berbagai perumpamaan agar yang diajak bicara dapat menafsirkan sendiri maknanya dan memahaminya.

Pada akhirnya, berkomunikasi tidaklah terbatas pada proses mentransfer bunyi suara dari kata-kata, lebih jauh dari itu terdapat transformasi makna pada suatu bentuk pengertian tertentu. Bahkan secara ekstrem, ada ungkapan words don’t mean, people mean, yang menunjukkan bahwa kata-kata hanyalah simbolisasi maksud akan tetapi melalui simbol itulah individu membangun makna dan pengertian. Proses ini, bukan lagi persoalan linguistik semata, lebih jauh merupakan kajian menarik dalam ilmu psikologi. Stimulus kata-kata yang diucapkan lawan bicara, diproses secara mental dan otak mencernanya dengan menyatukan berbagai informasi hingga terbangun makna pemahaman tertentu sebagai bahan untuk merespons stimulus tersebut. Misalnya, saat lawan bicara mengatakan “mobil”, otak merespon dengan mencari asosiasi kata tersebut dalam memori tentang sebuah benda dengan bentuk tertentu dan memiliki ciri tertentu. Sehingga, melalui proses itu tergambar maksud pembicaraan lawan bicara dan terbangun pemahaman secara keseluruhan tentang isi pembicaraan.

Kata atau kalimat yang memiliki makna yang jelas dan lugas, akan secara langsung direspon otak sesuai dengan makna ucapannya. Otak tidak menerjemahkan kembali maksud diluar dari makna ucapan karena secara jelas merujuk pada informasi tertentu. Bagian otak yang memproses kata-kata, mengolah lebih mudah makna yang terkandung dalam kata yang diungkapkan dan secara langsung terbangun pengertian dari keseluruhan kalimat. Secara konseptual, proses bagaimana otak mencerna kata-kata dan konsepnya disebut sebagai mental lexicon, proses mental mengenai penyimpanan informasi mengenai kata-kata yang mencakup informasi semantik (makna kata), informasi sintaktik (bagaimana kata dikombinasikan menjadi bentuk kalimat), dan bentuk detail dari kata (pengucapan dan pola suaranya) (Gazzaniga, Ivry, & Mangun, 2015).

Sekilas, atau secara mudah disimpulkan bahwa ketika kalimat yang diucapkan lawan bicara menyebutkan kata-kata langsung –tanpa makna luas dibaliknya, proses mental yang terjadi di dalam otak berlangsung tidak terlalu kompleks. Otak hanya mencatut kembali informasi-informasi sebelumnya mengenai kata-kata tersebut dan menyusunnya jadi suatu pengertian tertentu. Akan tetapi beda halnya jika, kalimat yang diucapkan lawan bicara tidak sesuai dengan makna sebenarnya atau bahkan kebalikan dari makna yang sebenarnya. Tentunya pada pemrosesan kata-kata jenis tersebut, ada proses membangun makna yang melibatkan pemahaman konseptual terkait konteks tertentu. Misalnya ketika seseorang memakai baju warna hitam, lalu lawan bicara berkomentar dengan kalimat “wah, sepertinya kamu sedang berkabung ya?”. Padahal dalam konteks saat itu, ia tak mengalami pengalaman menyedihkan atau berkabung, akan tetapi yang diajak bicara akan dapat memahami bahwa komentar lawan bicara bukan mengenai konteks pengalaman, melainkan komentar tentang warna baju yang digunakan. Bagaimana kata-kata yang tidak bermakna sebenarnya dapat diproses menjadi pemahaman tertentu dan langsung mengaitkannya dengan warna baju yang sama sekali tidak berhubungan secara arti kata? Tentunya otak lebih kompleks mencernanya dibandingkan dengan mendengar kata-kata “kok memakai baju warna hitam?”.

Bentuk ungkapan komunikasi secara tidak langsung ini, membutuhkan pemrosesan yang kompleks dan penuh kesadaran. Komunikan setelah menangkap pesan, harus menafsirkan lebih dari sebatas makna aslinya bahkan melibatkan proses kognitif yang kompleks. Pada saat seseorang bertanya, “Siapa namamu?”, respon individu bahkan tidak memerlukan kesadaran yang penuh, dapat menjawabnya. Namun berbeda ketika hal itu diungkapkan dengan “Kamu sudah terkenal?” dalam konteks baru bertemu orang yang baru, maka yang diajak bicara akan melibatkan kesadaran penuh untuk memaknai pertanyaan tersebut dan sampai pada pemahaman bahwa dirinya belum mengenalkan diri atau menyebutkan nama. Seperti contoh sebelumnya, ketika mendengar “sepertinya kamu sedang berkabung?”, otak akan memproses secara sadar dan melibatkan kompleksitas kognitif pada pencarian informasi yang terkait dengan makna “berkabung”. Makna kata tersebut dekat dengan kesedihan, dan dalam konteks budaya tertentu (bahkan universal?), kesedihan atau berkabung identik dengan simbol “hitam”,  dan lalu otak secara sadar menginspeksi informasi dalam memori terkait dengan simbol tersebut. Kemudian, antara makna “berkabung”, dikaitkan dengan ingatan tentang pakaian yang digunakan yaitu pakaian serba warna hitam yang juga terkait dengan informasi pakaian yang biasanya digunakan saat berkabung.

Sabtu, 26 Agustus 2017

Menumbuhkan Kasmaran pada Proses Pendidikan

Oleh : Isman Rahmani Yusron

Sudah sejak lama, dan hingga kini bercokol suatu keyakinan, bahwa mengajarkan anak kedisiplinan di sekolah, adalah dengan menjalankan mekanisme reward and punishment. Keyakinan kuno yang berakar pada tradisi behaviorisme ini, sangat diyakini sebagai metode yang efektif dalam membentuk karakter anak yang disiplin, patuh, penurut, dan taat pada aturan bersekolah. Anak didik, diperlakukan sebagai robot mekanis yang bisa disetel sesuai keinginan si pemegang aturan. Atau, diposisikan sebagai anjing peliharaan, yang bisa dilatih sesuai keinginan si pemilik, jika patuh beri dia hadiah, jika tak patuh: hukum dan paksa, jangan diberi pilihan untuk tidak patuh.

Pendidikan model seperti ini memang paling mudah, namun berakar pada keyakinan yang salah. Pendidikan, kata kuncinya adalah ‘mengembangkan’, dan bukan ‘membentuk’. Memang, tradisi behaviorisme meyakini bahwa manusia dapat dipandang sebagai tabula rasa, yang bisa dibentuk oleh lingkungan. Saya tak akan mementahkan seluruhnya sudut pandang ini apalagi berdebat, namun untuk konteks “Pendidikan”, kita mesti sangat skeptis dengan keyakinan seperti ini.

Setidaknya, sebelum memutuskan dengan gaya tersebut, kita perlu bertanya: apa iya, manusia semudah itu bisa dibentuk? Apa semua manusia bisa dibentuk? Bagaimana kita tau, bahwa landasan kita membentuk seorang manusia itu didasari pada alasan yang tepat? Bagaimana jika kita membentuk mereka menjadi “salah”? Kebenaran mana yang kita pegang? Apa kebenaran kita cocok dengan kebenaran anak yang kita bentuk?. Jika kita yakin ini paling tepat tanpa bertanya, kita telah melakukan simplifikasi yang sangat naif!

Sebagai contoh, praktik pendidikan di indonesia membentuk suatu iklim pembelajaran dimana siswa harus duduk tegap rapih, berjejer jejer, dengan guru di depan sebagai sumber utama belajar, dan siswa dibelakangnya sebagai obyek mengajar guru. Kadang mereka tak diperkenankan menyela guru, tak diperbolehkan mempertanyakan kebenaran yang disampaikan guru, bahkan tak diperbolehkan bersuara jika belum diijinkan guru. Guru sebagai otoritas mutlak saat di kelas.

Apa ini praktik yang tepat dalam konteks “pendidikan”? Tidakkah, itu hanya membentuk siswa sebagai makhluk pasif, tak berdaya, hanya disuapi, dan dipaksa menelan bulat semua ajaran guru tanpa mereka bisa membedakan apakah yang guru cekoki itu vitamin atau racun? Ini sangat mengerikan bagi anak yang sejatinya harus berkembang, meski sangat banal terjadi di Indonesia.

Begitupun dengan mekanisme hukuman. Siswa terlambat di hukum, tak mengerjakan tugas dihukum, dianggap tidak sopan dihukum, tak berseragam rapih dihukum, sepatu berbeda dihukum. Come on, ini lembaga pendidikan atau lembaga pemasyarakatan? Coba kita renungkan ulang, pernah tidak kita memikirkan apa yang terjadi dibalik perilaku yang menyebabkan siswa mendapat hukuman? Siswa terlambat misalnya, kita pernah merenungkan secara serius “apa yang menyebabkan siswa terlambat?”, bisa jadi karena rumah yang jauh, bisa jadi karena semalam membantu orang tua berdagang hingga bangun kesiangan, bisa jadi karena kesalahan teknis bajunya kena kotoran hingga mesti dicuci dahulu demi menyelematkan hargadirinya, bisa jadi karena kemacetan, bahkan bisa jadi karena memang sekolah sudah sebegitu memuakkan baginya!

Selasa, 22 Agustus 2017

Project Based Learning dan Tantangan Abad 21

Oleh : Isman Rahmani Yusron
         
   Proses pembelajaran di sekolah, selalu identik dengan kegiatan yang serba formal dan statis. Guru memberikan pelajaran, dan siswa menerima apa yang diajarkan guru secara langsung dan searah. Bahkan, terkadang proses pembelajaran berlangsung tanpa interaksi, tanpa kesempatan untuk pertanyaan. Posisi guru berada sebagai pemberi pengetahuan, dan siswa sebagai wadah kosong dan pasif menerima pengetahuan. Proses pembelajaran seperti ini, menempatkan siswa sebagai objek pengajaran dari guru daripada sebagai learner. Seolah, yang lebih penting adalah siswa menguasai materi ajar daripada proses belajar itu sendiri. Bahkan, saking banalnya proses rigid ini, menciptakan suatu kesalahfahaman dari arti kata “belajar”. Makna keaktifan subjek dalam belajar, direduksi oleh proses pengajaran semacam ini.
    
        Banalitas pembelajaran yang rigid ini, secara otomatis membuat kualitas pendidikan Indonesia semakin terpuruk. Berdasarkan laporan PISA yang diselenggarakan OECD pada tahun 2015, indonesia berada di urutan ke 69 dari 76 negara atau 8 terbawah dalam hal mutu pendidikan (BBC, 2015). Tak dapat dinafikan, kondisi ini pula berkontribusi pada lambannya kemajuan ekonomi Indonesia. Pendidikan yang memiliki posisi strategis pada kemajuan bangsa, belum juga memberikan hasil yang maksimal. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, per Maret 2016 Index Gini Ratio indonesia berada di angka 0,397, yang berarti kesenjangan ekonomi masyarakat masih cenderung tinggi. Bahkan menurut survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, melaporkan bahwa 1% masyarakat indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional (katadata.co.id, 2017). Besarnya ketimpangan, memperlihatkan bahwa pendidikan nasional belum berhasil meningkatkan kemampuan masyarakat dalam perekonomian.

Dua hal yakni buruknya pendidikan nasional dan buruknya perekonomian masyarakat, tidak bisa secara naif dikatakan tidak ada kaitannya. Bagaimanapun, pendidikan adalah salah satu hal strategis dalam membangun perekonomian masyarakat. Jika melihat realitas yang ada seperti diuraikan sebelumnya, maka implikasi yang dapat disimpulkan adalah bahwa proses pendidikan harus menciptakan kualitas dan proses pendidikan harus berkontribusi pada kehidupan masyarakat. Dua hal ini menjadi titik langkah awal dalam perbaikan proses pendidikan nasional secara luas. Pendidikan perlu membentuk kultur “menghasilkan” dan “berkontribusi” pada kehidupan. Pendidikan jangan hanya sebuah proses eksklusif dan monoton yang semakin menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan. Prodak pendidikan harus sedini mungkin dinikmati manfaatnya oleh masyarakat, setidaknya membentuk keterampilan peserta didik untuk mampu menjalani kehidupan mandiri.

Untuk menjawab tantangan dari realitas tersebut, penulis menawarkan sebuah metode pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning). Project Based Learning atau PBL, merupakan model aktifitas kelas yang berbeda dengan aktivitas yang biasa dilakukan yang bersifat singkat terisolasi serta berpusat pada guru, menjadi aktivitas jangka panjang, terbuka, multidisiplin dan berpusat pada siswa (student centered). PBL berbentuk pembelajaran siswa yang diorganisasikan dalam kerangka sebuah proyek tertentu yang bermanfaat dan bermakna bagi pembelajar maupun masyarkat. Jones, Rasmussen & Moffitt (Thomas, 2000) mendefinisikan PBL sebagai suatu tugas kompleks, berbasiskan pertanyaan atau problem menantang, yang melibatkan siswa dalam merancang, menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, atau aktivitas investigatif; memberikan siswa kesempatan untuk berkerja secara relatif mandiri dalam suatu jangka waktu tertentu; dan berpuncak pada suatu prodak atau presentasi yang realistis.

Ketidakjujuran Akademik: Dinamika Perspektif Neurosains

Oleh : Isman Rahmani Yusron

Tidak jujur, terutama dalam dunia akademik, merupakan suatu sikap negatif individu yang secara umum tidak dapat diterima. Melakukan plagiarisme, menyontek dan berbagai bentuk kecurangan lainnya, adalah suatu tindakan yang dipersepsikan sebagai suatu pelanggaran dari pakem yang seharusnya dilakukan. Perilaku curang atau tidak jujur, merupakan suatu keputusan yang didalamnya mengandung intensi untuk tidak melakukan yang seharusnya. Dengan kata lain, seseorang yang melakukan kecurangan bukan tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya merupakan suatu kesalahan, akan tetapi sengaja mengambil keputusan untuk tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Anderman & Murdock (2011) menyimpulkan dari berbagai analisis penelitian, ketika seseorang melakukan berbagai perilaku kecurangan, mereka memang membuat keputusan untuk terlibat dalam perilaku curang tersebut. Artinya, kecurangan, secara umum merupakan salah satu bentuk dari self deception, atau sikap menipu diri sendiri. Aspek moral dan emosional berperan dalam kaitan perilaku tersebut.

            Menurut Anderman & Murdock (2011), dalam perspektif belajar, curang merupakan suatu strategi yang dilakukan sebagai jalan pintas kognitif (cognitive shortcut). Menurutnya, siswa yang memilih untuk curang bukan karena mereka tidak tahu bagaimana strategi yang efektif atau simpelnya karena mereka tidak mau untuk menginvestasikan waktu untuk menggunakan berbagai strategi belajar. Artinya, bahwa kecurangan terjadi, ketika individu memilih jalan pintas dan tidak mau berupaya lebih untuk melakukan tindakan yang seharusnya. Jelas disini berarti bahwa melakukan kecurangan mengandung sebuah kompleksitas proses kognitif, tidak semata-mata perilaku spontan namun mengandung sebuah intensi dan proses pengambilan keputusan. Bahkan sebagai implikasi, terdapat dimensi perilaku yang disengaja dan diupayakan pada tindakan kecurangan. Atas dasar hal tersebut, dimensi kognitif berperan penting dalam perilaku kecurangan.

            Berdasarkan uraian singkat tersebut, memicu satu pertanyaan penting terkait perilaku kecurangan, terutama bagian otak mana yang memproses intensi kecurangan. Kompleksitas sudut pandang dalam melihat perilaku kecurangan pada tingkat personal, ada yang memandang terkait dengan afeksi, emosi, kognisi, konstruk sosial dan berbagai dimensi lainnya mengundang keingintahuan tentang fakta ilmiah mengenai bagian mana yang memproses suatu intensi dan tindakan kecurangan. Sebuah penelitian dari Abe et al., (2014) melakukan studi mengenai neural basis dari kecurangan dimana, dalam penelitian tersebut melalui alat functional magnetic resonance imaging (fMRI) mencoba melihat mekanisme neurokognitif seseorang ketika berintensi curang atau tidak jujur.

           Dalam penelitian yang dilakukan Abe et al. (2014), menganalisa subjek yang berjumlah 25 partisipan diantaranya 14 perempuan dan 11 laki-laki, dengan melihat dinamika aktivitas otak ketika partisipan diberi perlakuan yang memungkinkan menentukan keputusan untuk tidak jujur. Partisipan dengan umur rata-rata 22 tahun, diberikan 90 cerita yang memungkinkan untuk melakukan memilih tidak jujur yang negatif (Harmful story) dan 90 cerita  yang memungkinkan memilih tidak jujur positif (helpful story). Sebagai contoh dari Harmful story misalnya “kamu sedang berbelanja di mall, kamu membutuhkan untuk ke kamar mandi. Kemudian kamu tidak sengaja merusak pintu kamar mandi mall tersebut. Ketika sedang di kamar mandi, petugas kebersihan datang dan bertanya padamu apakah kamu tau kenapa pintu kamar mandi sampai rusak?. Apakah kamu akan jujur memberitahukan petugas bahwa kamu yang merusaknya atau kamu akan berbohong?”. Contoh Helpful story, sebagai berikut “Kamu lulus dari universitas dan kemudian diterima kerja, hal tersebut membuat bahagia orangtuamu yang telah didiagnosa kanker di rumahsakit. Karena krisis ekonomi, tak lama kamu dipecat oleh perusahaan. Hari berikutnya, saat kamu menjenguk ibumu, ibumu bertanya mengenai bagaimana pekerjaan kamu di perusahaan. Apakah kamu akan jujur bahwa kamu telah dipecat, atau akan memilih berbohong?”. Juga ditambah control story yang tidak berhubungan dengan pemilihan keputusan berbohong atau tidak.

Ilmu (Tidak) Bebas Kepentingan? Refleksi Kritis Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kemanusiaan.

Oleh: Isman Rahmani Yusron


“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” - Tan Malaka

A.    Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan arus utama, selalu pongah dengan klaim bahwa suatu kebenaran hanya dapat diterima jika telah diverifikasi secara empiris dengan bukti nyata menurut pengalaman. Objektivitas dalam kegiatan ilmiah, seolah menjadi legitimasi yang berlebihan untuk dijadikan sebagai kebenaran yang universal dan dapat digeneralisasi pada aspek yang lebih luas. Seolah-olah, subjektifitas dan rasionalitas subjektif tidak dapat diikutkan dan bermakna peyoratif dalam dunia ilmu pengetahuan. Paradigma ini, memicu sebuah klaim yang berlebihan mengenai ilmiah atau tidaknya suatu teori didasarkan semata-mata pada bukti empirik apa adanya. Bahkan, tradisi pembuktian menurut pengalaman empiris dan objektif ini menjadi pedoman ekslusif yang mendikhotomi realitas menjadi “yang ilmiah” dan “tidak ilmiah”. Sesuatu yang ilmiah dikesankan pada suatu bentuk rigid yang selaras dengan bukti yang ditemukan secara empirik. Hal-hal yang berkaitan dengan nilai dan kepentingan masyarakat, seolah dibebaskan bahkan dijauhkan. Akhirnya, jargon fakta ilmiah bebas nilai, seolah menjadi lazim dan tidak dapat digugat.
Pemisahan ilmu pengetahuan dengan kepentingan, menghasilkan masyarakat keilmuan yang lari dari tanggung jawab. Ilmu pengetahuan dijadikan sebuah domain yang tidak boleh tercampuri urusan politis kemanusiaan. Sekaligus, secara otomatis, ilmu pengetahuan tidak dibentuk untuk secara direktif menyelesaikan masalah nilai kemasyarakatan. Ilmu pengetahuan hanyalah untuk ilmu pengetahuan, demi perkembangan ilmu pengetahuan. Pola saintisme semacam ini, melahirkan sebuah kultur pemisahan ilmu pengetahuan dengan realitas hidup kemasyarakatan. Akibatnya, dunia keilmuan semakin berada di awang-awang, melesat meninggalkan realitas kehidupan yang –jika tak bisa dibilang lamban, memerlukan proses kompleks untuk mencapai titik kemajuan tertentu.
Meski demikian, ketimpangan jarak antara ilmu dan realitas masyarakat, pada akhirnya menggusur pihak yang lebih lamban untuk mengejar ketertinggalannya. Sehingga, dalam hal ini realitas kemasyarakatan yang wajarnya bergerak berproses, dipaksa untuk berubah pesat, serba cepat, mengejar keseimbangan dengan perubahan cepat ilmu pengetahuan. Kondisi ini menghasilkan sebuah tatanan masyarakat yang tak pernah selesai mencerna zaman. Kultur kehidupan berubah dari yang asalnya pendalaman makna alam semesta, menjadi masyarakat kompetitif yang penuh persaingan mewujudkan ambisi idealnya. Situasi yang serba berkompetisi dan bersaing ini, lama kelamaan mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Kehidupan semakin tidak manusiawi, bergerak seperti mesin dalam sebuah pabrik yang berlomba-lomba untuk terus berproduksi, serba transaksional dan saling tindas menindas.

Teori Kebenaran Pragmatis

Oleh : Isman Rahmani Yusron         
Teori kebenaran pragmatis merupakan derivasi dari aliran filsafat pragmatisme yang lahir pada penghujung abad ke 19 di Amerika. Pragmatisme pertama kali dicetuskan tiga filsuf kenamaan Amerika yakni Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Walaupun ditahun 1955, C.S Peirce menamakan versi pendekatannya sebagai Pragmaticism, karena tidak puas dengan pendekatan William James yang Individualistik (Biesta & Burbules, 2003), sehingga Peirce merasa perlu untuk membedakannya agar tidak identik dengan pendekatan James. Namun, ketiga tokoh ini disebut sebagai tokoh utama dalam membidani aliran pragmatisme.

            Pragmatisme, berakar dari aliran empirisme yang sebelumnya dipopulerkan oleh Immanuel Kant. Meski sering disebut sebagai filsafat Amerika, namun sedikit banyak pragmatisme dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat eropa. Hal ini karena baik Pierce, Dewey, maupun James banyak dipengaruhi oleh fikiran-fikiran Kant dan tokoh-tokohnya selain Pierce (Dewey, James, Mead) mendapatkan pendidikan di universitas eropa sebagaimana lazimnya pada saat itu (Biesta & Burbules, 2003). Pragmatisme dijelaskan sebagai sikap fikiran (attitude of mind), sebagai metode investigasi (method of investigation) dan sebagai teori kebenaran (theory of truth). Sebagai sikap,  (Geyer, 1914)

            Pragamatisme, secara terminologis berasal dari bahasa Yunani yakni pragma. Pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan atau tindakan (Bakhtiar, 2004). Sebagai salah satu aliran filsafat, -meski Pierce hanya menyebut sebagai teknik memecahkan masalah (Muhadjir, 2015), pragmatisme berupaya memfilosofikan sebuah makna dan teori sehingga dengan penemuan makna itu dievaluasi kegunaannya atau kemanfaatannya bagi kehidupan.
Metoda pragmatik menurut Pierce, bukan dimaksudkan untuk menetapkan makna dari semua ide, melainkan untuk konsep intelektual yang mempunyai struktur argumentatif atas fakta obyektif. Pragmatisme tidak hendak membuktikan tentang problem riil metafisik, melainkan hendak menunjukkan bahwa problem metafisik itu tak bermakna apapun (Muhadjir, 2015)

Sabtu, 08 April 2017

Apakah Menjadi Konservatif Lebih Bahagia daripada Liberal? (Review)



Review Artikel:
Are conservatives happier than liberals? Not always and not everywhere.

Olga Stavrova, Maike Luhmann. Journal of Research in Personality 63 (2016) 29–35

 Reviewer: Isman Rahmani Yusron

          Penelitian ini mencoba memeriksa kembali beberapa kesimpulan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, mengenai tingkat kebahagiaan terkait ideologi yang dianut masyarakat. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan fakta yang menyebutkan bahwa penganut konservatisme dilaporkan mendapat level kesejahteraan subjektif lebih tinggi daripada penganut liberalisme (Bixter, 2015; Jetten, Haslam & Barlow, 2013; Napier&Jost, 2008; Schlenker, Chambers & Le, 2012). Temuan ini kontras dengan gambaran peneliti psikologi sebelumnya yang menggambarkan konservatif sebagai ketakutan, kerapuhan, dan mudah terancam oleh ketidakpastian (Adorno,Frenkel-Brunswik, Levinson, & Sanford, 1950). Studi lain yang dilakukan oleh Onraet, Van Hiel, & Dhont (2013) melalui meta-analisis dari 9 studi menyebutkan terdapat hubungan positif yang signifikan meskipun kecil antara politik konservatf di satu sisi dan kebahagiaan atau kepuasan hidup di sisi lainnya. Temuan-temuan ini menggambarkan kebahagiaan suatu masyarakat, terkait dengan konservatisme sosiopolitik.
      
    Namun temuan-temuan tersebut memiliki keterbatasan yang sama: studinya didasarkan pada data yang diambil di Amerika pada periode 1990an hingga 2000 pada saat ideologi konservatif lebih besar daripada liberal. Stavrova & Luhmann (2016) mencoba menguji kembali mengenai “happiness gap” antara konservatif dan liberal yang ada pada periode berbeda di Amerika beberapa tahun terakhir (Studi 1) juga pada 92 negara lainnya di dunia (Studi 2). Pada studi ini Stavrova & Luhmann mencoba melakukan pengujian baru mengenai ideological gap of happiness yang berakar pada literatur person-culture fit dan shared reality. Studi ini mencoba meningkatkan pemahaman mengenai mekanisme yang melatarbelakangi asosiasi positif antara ideologi konservatif dan kebahagiaan. Penelitian ini melakukan pemeriksaan sistematis dari variasi antar budaya dalam waktu tertentu dalam kaitannya antara ideologi politik dan kebahagiaan.

Peneliti dalam penelitian ini berasumsi bahwa penyesuaian individu terhadap lingkungannya juga berperan terhadap munculnya kebahagiaan. Menurut perspektif person-cultur fit, individu menunjukkan kepuasan yang tinggi dan penyesuaian psikologis saat atribut personalnya sesuai dengan lingkungannya (Fulmer et al., 2010; Stavrova, Schlösser, & Fetchenhauer, 2013). Hal ini menjadi poin pijakan dalam mengkritisi beberapa penelitian sebelumnya terkait ideologi politik konservatif yang berkorelasi positif dengan kebahagiaan. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan sebelumnya, banyak bukti yang menyebutkan bahwa pemilihan ideologi dilandasi oleh keinginan untuk berafiliasi dengan kelompok sosial tertentu disekitarnya (Greene, 1999; Stangor, Sechrist, & Jost, 2001). Dalam hal ini, mendukung dan menjadi bagian dari ideologi politik tertentu dapat memuaskan kebutuhan relasional, dan berhubungan dengan tingginya kebahagiaan.

Penelitian dari Kruglanski & Orehek (2012) menyebutkan bahwa individu cenderung menerima informasi baru sebagai kebenaran sejauh informasi tersebut dibagikan oleh grup sosialnya. Sehingga, keyakinan ideologis membuat individu dalam kelompok memiliki lensa yang sama dalam memandang dunia yang menjamin kepastian dan kebenaran yang dilakukan selama sesuai dengan lingkungannya. Baik keyakinan ideologi konservatif maupun liberal memberikan kontribusi pada “sense of shared reality”, yang memunculkan hipotesis bahwa hidup dengan orang yang seideologi akan meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan hidup.

Dimensi Psikologis Utama dalam Perbedaan Antar Budaya (Review)


Review Artikel :
Major psychological dimensions of cross-cultural differences: Nastiness, Social Awareness/Morality, Religiosity and broad Conservatism/Liberalism.
Lazar Stankov, Learning and Individual Differences 49 (2016) 138–150.

Reviewer : Isman Rahmani Yusron

          Perbedaan kultur diantara berbagai wilayah, region dan negara yang berbeda merupakan sebuah keniscayaan. Masing-masing masyarakat di area terdekatnya, berkecenderungan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi cara pikir, pola hidup, tatanan masyarakat, politik dan berbagai elemen kultur lainnya. Konsensus masyarakat yang diakui secara luas menghasilkan sebuah budaya tertentu dengan sekumpulan karakteristik sistem nilai yang mendasar pada kehidupan. Dalam sudut pandang psikologi, budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karakteristik individual maupun masyarakat. Meski terbilang abstrak, elemen-elemen kultur yang menjadi basis nilai dan perilaku individu dapat menjadi variabel yang membedakan sekaligus menggambarkan suatu budaya dengan budaya lainnya.

          Atas dasar hal itu, timbul suatu pertanyaan mengenai dimensi psikologis apa yang menjadi variabel utama dalam membedakan suatu kultur masyarakat tertentu dengan kultur masyarakat lainnya? Serangkaian studi yang dilakukan Lazar Stankov (2016) yang diterbitkan dalam jurnal Learning and Individual Differences, mencoba menemukan dimensi psikologis pokok yang membedakan perbedaan kultural. Penelitian ini dilakukan kepada 8883 partisipan di 33 negara di dunia dengan mengujikan seperangkat pengukuran yang mencakup kepribadian, sikap sosial, norma sosial, dan berbagai dimensi psikologis untuk menghadirkan faktor dimensi utama yang membedakan antar budaya.

          Penelitian yang dilakukan Stankov pada kurun 2009-2012 ini menggunakan 4 dimensi konstruk non kognitif meliputi tes Big Six personality yang dimodifikasi, skala sikap sosial (Social Attitude and Values), Social Axioms, dan Social Norms (four GLOBE dimension). Partisipan merupakan mahasiswa dari 33 negara yang datanya diambil secara daring dengan seperangkat konstruk tadi yang dinamakan Survey of World Views. Rerata usia dari partisipan dalam penelitian ini adala 22.32 tahun dengan standar deviasi 5,62 dan 57% diantaranya merupakan perempuan. Ke-33 negara yang menjadi sampel penelitian ini diklasifikasikan kedalam 9 wilayah region yakni Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, Timur Tengah/Afrika Utara, Eropa Barat, wilayah Anglo, dan Asia Timur.

Efek Stres Kronis pada Struktur dan Fungsi Prefrontal Cortex Remaja (Review)


Review Artikel Neuropsikologi:

Effect of chronic stress during adolescence in prefrontal cortex structure and function.

Otávio Augusto de Araújo Costa Folha, Carlomagno Pacheco Bahia, Gisele Priscila Soares de Aguiar, Anderson Manoel Herculano, Nicole Leite Galvão Coelho, Maria Bernardete Cordeiro de Sousa, Victor Kenji Medeiros Shiramizu, Ana Cecília de Menezes Galvão, Walther Augusto de Carvalho, Antonio Pereira. 
Behavioural Brain Research 326 (2017) 44–51

Reviewer : Isman Rahmani Yusron (407565)

A. Pendahuluan

          Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dari stress kronis pada usia remaja pada struktur dan fungsi prefrontal korteks. Prefrontal korteks merupakan area otak yang berada pada lobus frontalis, yang berhubungan dengan fungsi eksekutif seperti mengorganisasikan, mengontrol, serta mengatur perilaku, dan membuat keputusan yang besar terutama perilaku yang berhubungan dengan sosial, memutuskan untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu (Zillmer, Spiers, & Culbertson, 2008). Prefrontal korteks ini berperan penting untuk regulasi diri serta hal yang berhubungan dengan fleksibilitas kognitif. Berbagai gangguan kognitif seperti ADHD, autisme, gangguan bipolar, depresi, skizofrenia berhubungan dengan ketidakberfungsian dari prefrontal korteks.

          Dalam pendahuluan artikel ini, Folha dan timnya (2017, p. 45) menyitir penelitian dari Hanson, et.al, 2012; Mizoguchi, et.al, 2000; Rolls 2004, yang menyebutkan bahwa cedera di area prefrontal korteks, terutama di area Medial Prefrontal cortex (MPC) dan Orbitofrontal Cortex (OFC), erat berhubungan dengan gangguan working memory, serta buruknya penilaian dan maladaptasi pengambilan keputusan yang menjadikan individu tidak memiliki kemampuan untuk mengantisipasi konsekuensi dari tindakannya. Dalam konteks penelitian ini, rusaknya area prefrontal korteks dihubungan dengan hasil dari stress kronis pada individu. Dengan kata lain, yang menjadi latar belakang dari penelitian ini ialah dimana stress kronis yang rentan dialami individu akan sangat berisiko pada perkembangan dan cederanya prefrontal korteks yang akan menyebabkan berbagai macam gangguan kognitif.

          Kondisi stress kronis atau pengalaman yang menyebabkan stress pada individu, akan secara langsung meningkatkan kadar kortisol yang dapat merusak perkembangan dari prefrontal korteks (Lupien et.al, 2009 dalam Folha et al., 2017). Pengalaman stress akan memicu kelenjar pituitary pada hipotalamus anterior untuk melepaskan glucocortisoid yang membuat kelenjar adrenal memproduksi kortisol yang banyak. Sehingga, banyaknya kadar kortisol ini berpengaruh pada beberapa organ yang berhubungan dengan respon stress terutama dalam penelitian ini pada rusaknya prefrontal korteks.

Kerentanan pengalaman stress kronis, pada penelitian ini, terutama adalah pada tingkat perkembangan remaja. Menyandarkan pada penelitian Niwa, et.al (2013) & Sinclair, et.al (2014), pada usia remaja, individu berada pada periode yang disebut Critical Periods of Cortical Development dimana seseorang rentan terpengaruhi oleh pengalaman stress kronis. Kemudian dalam abstrak penelitian ini, periode individu berada pada interval perkembangan dimana sirkuit neuronal mudah terpengaruhi oleh liingkungan disebut sebagai Critical Periods of Plasticity (CPPs). Peneilitian ini berfokus pada usia remaja karena pada usia ini banyak terpapar situasi stress dan banyaknya kondisi neuropsikiatrik yang terdiagnosa pada usia remaja (Christie et.al, 1988; Costello et.al, 2008; Mels et.al,2010; Kieling et.al; 2011 dalam Folha et al., 2017). Sehingga, peneliti dalam penelitian ini berasumsi bahwa tingkat resiko yang tinggi akibat stress kronis adalah pada saat periode kritis dari plastisitas (CPPs), yang dimana periode ini terjadi pada usia perkembangan remaja.

B. Metode dan Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan Folha serta timnya ini mempelajari bagaimana efek dari stress kronis pada struktur dan fungsi Prefrontal Corteks pada tikus pada saat perode kritis plastisitas (CPPs). Secara spesifik, penelitian ini melihat efek dari stress kronis pada distribusi spatial-temporal dari perineuronal net (PNN+) neuron dalam prefrontal korteks dan pada tes fungsi eksekutif pada tingkat perkembangan remaja. Penelitian ini menggunakan 48 tikus Wistar (Rattus novergicus) jantan berusia 28 hari sejak dilahirkan. Tikus-tikus secara random dibagi pada kelompok eksperimen (n=24) dan kelompok kontrol (n=24). Masing-masing kelompok dibagi pada tiga subgrup yang pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan lingkungan stress selama 7 hari (n=8), 15 hari (n=8) dan 35 hari (n=8) pada masing-masing subgrup.

Kelompok tikus eksperimen diberikan lingkungan stress kronis dengan diberikan kondisi dikurung dalam tabung plastik selama 2 jam tanpa makanan atau air; dimandikan dalam tank silinder (tinggi 60cm x diameter 30cm) selama 30 menit dalam air panas 32 derajar C; dipasangkan dengan tikus stress lainnya dalam serbuk gergaji basah selama 18 jam; ditempatkan pada kondisi cahaya gelap dan terang bergantian; ditempatkan pada ruangan sesak yakni 8 tikus pada kandang berukuran 4x3x2cm selama 24 jam; dijepit ekor selama 10 menit; diberikan udara panas (mendekati 38 derajat C) dengan hairdryer selama 10 menit. Berbagai kondisi stress ini diberikan kepada tikus secara random bergantian selama 7 hari pada subgrup pertama, 15 hari pada subgrup kedua, dan 35 hari pada subgrup ketiga. Paradigma eksperimen ini disandarkan pada penelitian Duccotet dan timnya (2003).  

Rabu, 08 Maret 2017

Teori Gf-Gc Catell & Horn : Asal Mula CHC Theory of Cognitive Abilities

Oleh : Isman Rahmani Yusron

Raymond Catell
Raymond Catell dan John Horn, merupakan dua tokoh penting dalam perkembangan teori CHC (Catell’s-Horn-Caroll). Keduanya, mengembangkan teori tentang tes intelegensi kontemporer yang didukung oleh bukti empiris berdasarkan prinsip-prinsip psikometrika. Flanagan & Harrison (2012), menyebut bahwa teori CHC ini merupakan pendekatan yang paling komprehensif dan didukung secara empiris oleh teori psikometrik dalam menjelaskan struktur kemampuan kognitif. Diawali oleh Catell pada awal tahun 1940an, yang membuka jalan kemungkinan untuk memperluas pendekatan teori intelegensi yang tidak hanya diklasifikasikan hanya general dan special factor sebagaimana teori dari Spearman, secara simpel Catell membelah g-factor menjadi dua bagian yang akan dijelaskan kemudian. Catell yang merupakan mahasiswa Doktoralnya Spearman, membangun pengembangan pendekatan intelegensi berbeda dari mentornya sendiri. Begitupun perkembangan teori yang dibangun Catell sendiri, dikembangkan lagi menjadi lebih luas hingga menjadi model 8 faktor oleh John Horn yang merupakan murid dari Raymond Catell. Pengembangan tersebut kemudian dikenal sebagai Catell-Horn Gf-Gc Theory.

Perkembangan Catell-Horn Gf-Gc Theory
Beberapa tahun kemunculan dan perluasan teori g yang dipionir oleh Spearman, banyak psikolog dan ilmuwan psikologi membantah teori ini. Thurstone salah satunya, beserta psikolog lain yang menentang teori g dan s Spearman, lebih mendukung dan menekankan perombakan teori g pada pendekatan multiple ability (Kaufman, 2009). Ditengah perdebatan mendukung dan menentang teori g Spearman, Catell yang merupakan mahasiswa doktoral Spearman, secara simple membagi faktor g menjadi dua kemampuan yakni Fluid Intelligence (Gf) dan Crystallized Intelligence (Gc). Teori yang diajukan Catell mengenai Gf-Gc yang merupakan dikotomi konseptual mengenai kemampuan kognitif individu, berbasis pada teori faktor analitik yang digunakan oleh Thurstone pada tahun 1930an (Flanagan & Dixon, 2013). Fluid Intelligence mengacu pada kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah baru dengan menggunakan kemampuan reasoning, sedangkan Crystallized Intelligence mengacu pada kemampuan yang berasal dari pengetahuan yang sangat bergantung pada pendidikan dan akulturasi serta resisten dari dampak pertambahan usia. Mengenai Fluid Intelligence, Catell percaya bahwa elemen ini merupakan bentuk dari fungsi faktor biologis dan neurobiologis yang sangat rentan terpengaruh oleh pertambahan usia (Kaufman, 2009). Gf dipercayai Catell, merupakan hasil dari belajar insidental individu dengan lingkungannya, yang mencakup kemampuan penalaran induktif dan deduktif yang dipengaruhi oleh faktor biologis dan neurobiologis (Flanagan & Dixon, 2013).

Minggu, 26 Februari 2017

Bodo Alewoh

“Hirup mah kudu bodo alewoh, ulah bodo katotoloyoh”
Ungkapan diatas merupakan salah satu paribasa (peribahasa) Sunda, yang mengandung filosofi yang dalam dan selalu relevan tak dibatas zaman. Makna tersuratnya adalah bahwa hidup ini harus bodoh tapi mau bertanya, jangan bodoh tapi tidak mau bertanya. Namun dibalik itu, makna tersiratnya mencerminkan berbagai dimensi baik kepribadian, perilaku, sosial bahkan tentang bagaimana menjalani hidup dan menghadapi kehidupan. Makna paribasa Sunda ini menyiratkan bahwa dalam hidup ini kita mesti senantiasa memahami keterbatasan kita sendiri, namun tidak pasrah atau bahkan nyaman dengan keterbatasan.
Dalam dimensi kepribadian, paribasa ini meminta kita agar selalu menjadi pribadi yang mawas diri dan termotivasi mengembangkan diri. Menjadi pribadi yang bodo alewoh adalah pribadi yang senantiasa memahami keterbatasan diri, tidak congkak dan merasa paling benar. Paribasa ini mengajarkan kita agar senantiasa rendah hati dan menempatkan diri sebagai gelas kosong yang siap untuk menerima segala masukan, kritikan hingga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Menjadi bodoh dijadikan sebagai jalan untuk mendapat lebih banyak pengetahuan, yang dengannya kita mendapatkan kebijaksanaan.
Menjadi pribadi yang bodo katotoloyoh adalah, menempatkan diri sebagai pribadi yang resisten dan apatis pada pengetahuan. Merasa paling tau dan paling benar, sehingga malas menambah pengetahuan, resisten pada kritik akan kesalahan adalah cermin dari bodo katotoloyoh. Dengan menempatkan diri sebagai pribadi yang bodo katotoloyoh, seseorang tidak akan bisa berkembang karena selalu merasa cukup pada keyakinan subjektif dan tak mau menerima masukan. Malas mencari tahu, merasa paling benar sendiri, resisten pada kritik dan masukan adalah jalan menuju jurang kejumudan.
Pada dimensi sosial, menjadi bodo alewoh adalah luwes dan toleran pada perbedaan. Sudah menjadi tabiat manusia, dimana seseorang senantiasa ingin mentransfer nilai-nilai dan sudut pandang pribadinya pada orang lain di lingkungan sosial. Menjadi bodo alewoh, adalah dengan keterbukaan hati senantiasa menggali keunikan manusia yang berbeda-beda isi kepalanya. Memaknai manusia yang unik di lingkungan sosial bagi pribadi yang bodo alewoh adalah preferensi diri untuk senantiasa belajar bijaksana dalam bersikap. Menerima perbedaan sudut pandang dan menggali serta memahami latar belakang segala nilai yang dimiliki manusia lain, adalah cermin bodo alewoh pada lingkungan sosial.
Sebaliknya, menjadi bodo katotoloyoh dalam lingkungan sosial adalah menjadi seorang yang hanya ingin didengar namun tak mau mendengar. Bodo katotoloyoh, menjadikan seseorang susah menerima perbedaan dalam kehidupan sosial karena selalu bersikap rigid dan sulit beradaptasi. Bodo katotoloyoh juga bermakna keras kepala, dan sudah menjadi aturan yang universal kiranya, bahwa lingkungan sosial akan sangat resisten bagi pribadi yang tak mau menyesuaikan diri.
Kehidupan sosial sejatinya memang sangat dinamis, transformasi nilai antar personal menjadi keniscayaan, sehingga jenis manusia yang bodo katotoloyoh akan sulit berasimilasi pada kehidupan sosial. Kehidupan sosial tak mensyaratkan harus menerima segala bentuk transfer nilai, namun menempatkan diri sebagai pribadi yang sulit menoleransi keunikan individu, menjadi jalan menuju isolasi sosial. Bodo katotoloyoh dalam konteks sosial, berbentuk pribadi maupun kelompok merupakan jenis kekakuan yang resisten pada sumber-sumber wawasan sosial yang sejatinya beragam.
Dalam konteks kehidupan, menjadi bodo alewoh adalah menjadi bagian dari warna kehidupan yang selaras dan harmoni dengan warna kehidupan lainnya. Bodo alewoh sudah sepatutnya menjadi jatidiri kultur masyarakat. Karena masyarakat yang bodo alewoh adalah masyarakat yang mau berkembang karena senantiasa beradaptasi pada kehidupan dinamis yang niscaya. Perkembangan kehidupan global dengan kedinamisan yang ekstrim, meniadakan manusia “pintar” yang mudah merasa cukup. Karena itu, bodo alewoh adalah cerminan kultur yang adaptif dan senantiasa responsif pada perubahan kehidupan.
Terus bertanya dan mempertanyakan (bodo alewoh), sejak jaman kuno, adalah jalan menuju aktualisasi manusia dalam meraih kemajuan peradaban. Maka, menciptakan kultur bodo alewoh adalah kunci dalam meraih kemajuan peradaban manusia. Namun, jika mengembangkan kultur yang bodo katotoloyoh, membudayakan resisten pada pengetahuan, sudut pandang baru, kemajuan zaman, bahkan hingga intoleran pada perbedaan individu maupun masyarakat, maka siap-siaplah menjadi bongkahan batu raksasa di hulu sungai jernih nan deras yang takkan pernah bergerak menuju lautan kehidupan. Kita akan selalu tertinggal, stagnan tak bergerak, karena tak memiliki budaya curiousity, dan sulit beradaptasi dengan keberagaman ditengah kehidupan yang semakin global. [IRY]
*) Tulisan ini saya dedikasikan untuk almarhum paman saya, yang juga budayawan Sunda Drs.Cece Hidayat, M.Pd, yang selalu mengajari saya tentang filosofi kesundaan sejak saya kecil. Semoga Mang Ace mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya

Selasa, 14 Februari 2017

Merasa Puas Menyebar Kebohongan

Mencermati perilaku masyarakat belakangan ini, terutama di sosial media dan internet secara umum, sangat menarik meski terkadang menggelikan atau bahkan membuat semakin sering mengelus dada. Terutama saat mendekati momen perebutan kekuasaan dan konstelasi politik, semakin banyak fenomena-fenomena gangguan perilaku yang negatif berskala besar. Pembuatan dan penyebaran informasi serta gambar-gambar hoax misalnya. Perilaku ini kian hari kian sering saja kita saksikan, terlepas dari motif kepentingan dibelakangnya, namun perilaku ini memberikan indikasi kekurang sehatan mental yang semakin massif.
Tidak perlu dibahas persoalan siapa mendukung siapa, atau menjadi tim sukses siapa, bahkan fanatis pada salah satu calon, dalam batas tertentu itu wajar saja. Setiap orang memiliki pilihan, memiliki jagoan yang ingin dimenangkan, sangat wajar sekali apalagi terkait dengan kepentingan politis. Tak ada yang salah, saat orang berhasrat memenangkan salah satu calon, dan berharap calon lainnya tidak menang. Namun, jika motif-motif politik tadi sudah sampai pada memberikan intensi seseorang untuk terilhami melakukan perilaku yang negatif bahkan antisosial secara sadar, ini yang jadi masalah.
Salahsatu perilaku negatif yang fenomenal saat ini adalah, semakin banyak orang yang memiliki intensi menyebarkan informasi palsu atau menyebarkan kebohongan (populernya menyebarkan hoax). Jika kita menyempatkan diri memahami gejala ini, kita akan dapatkan beberapa hal: pertama, informasi dan gambar-gambar hoax itu jelas ada yang membuat; Kedua, hampir tidak mungkin pembuat hoax itu tidak menyadari bahwa informasinya palsu atau bohong; Ketiga, membuat dan menyebarkannya memerlukan effort yang tidak mudah, Sehingga memang diniatkan dengan penuh kesadaran; Keempat, tidak bisa dinafikkan tentu si pembuat hoax tau akibat dari penyebaran informasi palsu yang dibuatnya; Terakhir, pembuat informasi hoax ini tentu sudah membuat pilihan yang bertentangan dengan nalarnya sendiri.
Dari hal-hal tersebut, tidak berlebihan kiranya saya bilang bahwa pembuat informasi hoax tidak sehat mentalnya. Kenapa? Karena dia berupaya secara penuh kesadaran menepikan suara hatinya sendiri untuk tetap membuat informasi yang jelas diketahui oleh dirinya sendiri bahwa itu bohong. Padahal, si pembuat berita hoax memiliki kuasa atas dirinya sendiri untuk memilih tidak berbohong. Artinya, ada semacam impuls negatif yang jauh lebih kuat mendorong daripada kuasa sadarnya sendiri. Dia tahu, faham, bahkan hatinya yakin yang dibuat oleh dirinya adalah kebohongan, tapi intensi untuk membuat kebohongan tetap dilakukan meski bertentangan dengan kesadarannya sendiri.
Dalam hal ini saya memiliki hipotesa, bahwa si pembuat berita hoax mendapatkan kepuasan dan kesenangan jika informasi bohongnya berhasil menjadi viral melalui berbagai talang media. Pasalnya, saya menemukan si pembuat informasi hoax tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Entahlah, apakah rasa bersalahnya sudah hilang tenggelam oleh kepuasan mendapati informasinya dibagikan oleh ribuan orang dengan respon like yang sangat banyak atau malah sejak awal tak merasa bersalah sama sekali. Namun yang jelas, logika awampun pasti dapat menyadari bahwa mendapatkan kepuasan dari berbohong bukan indikasi dari mental yang sehat.
Semakin massif dan viralnya informasi hoax, juga berimplikasi pada ketidaksehatan konsumen informasi tersebut. Konsumen informasi hoax, seolah mendapatkan fasilitasi pembenaran dari berbagai prasangka yang tidak nyata. Namun prasangka dan lamunan itu difasilitasi jadi keyakinan akibat munculnya informasi palsu yang sesuai prasangkanya. Satu fakta lagi muncul, pembuat berita hoax tau jelas selera masyarakat! Sekali lagi, high order thinking nya memang berfungsi, tapi tidak difungsikan dalam menghasilkan fakta yang mencerahkan melainkan menyesatkan.
Masyarakat yang kebingungan untuk mencari kepastian dari prasangka-prasangkanya, akhirnya mendapatkan kepuasan dari kemunculan informasi-informasi hoax tersebut. Gejala dari prasangka memang memiliki hasrat yang tinggi untuk mendapati fakta agar secara mantap meyakini sangkaannya. Karena berada dalam ketidak pastian tidak cukup nyaman bagi dirinya walau prasangka tersebut hasil dari buah pikirannya sendiri. Faktor inilah yang pada akhirnya informasi hoax begitu digemari. Meskipun, saya pribadi meyakini bahwa pengonsumsi informasi hoax itu tak sepenuhnya yakin bahwa fakta yang didapatkannya benar, atau bahkan tau betul bahwa itu bohong. Lagi-lagi pengetahuan tentang kebohongan itu tak merintangi diri untuk tetap ikut menyebarkan kebohongan.
Akhirnya, viralnya informasi hoax menjadi lingkaran yang menjerat masyarakat pada ketidaksehatan mental. Semakin banyak orang yang terpuaskan dari informasi yang bohong dan menyesatkan. Daya kritis menjadi lemah, karena memang informasi yang bohong itulah yang ingin seolah-oleh benar terjadi. Akhirnya, yang terjadi bukan siapa membohongi siapa, tapi bersama-sama menikmati bahwa kebohongan itu menyenangkan. Ini jelas tidak wajar, namun sangat banal terjadi di masyarakat akhir-akhir ini. Tak berlebihan, saya katakan kita mesti berhati-hati pada setiap informasi, karena hoax mengarah pada efek negatif bagi kesehatan mental.
Mendapati kenyataan tak sesuai dengan harapan memang berat diterima. Namun, hal itu jangan menjadikan kita mengakali dengan berbagai cara agar harapan harus selalu sesuai kenyataan, hingga mesti memproduksi dan mengonsumsi fakta palsu. Belajar menerima kenyataan tak sesuai harapan, adalah langkah awal terlepas dari belenggu candu hoax. Menyadari bahwa semua orang bisa membuat informasi apa saja, ngomong apa saja, menulis apa saja tanpa mengindahkan bahwa itu bohong atau tidak, sangat perlu. Sehingga, melalui kesadaran itulah kita terhindar dari candu hoax. Terakhir, kekritisan dan kedisiplinan berfikir jadi sangat penting di era informasi yang serba terbuka ini.
Tulisan ini saya tekankan tidak dalam rangka ikut berpolemik pada hiruk pikuk politik, selamat berperilaku sehat!

Rabu, 01 Februari 2017

Manusia Bijaksana

Sering kita mendengar, kata “bijaksana” atau “kebijaksanaan”, tapi sedikit orang memahami artinya. Kebijaksanaan, yang dalam istilah yunani disebut “sophos”/”sophia”, merupakan suatu sifat yang perlu dimiliki manusia. Terutama di zaman yang serba terkoneksi secara sosial dengan dunia yang luas, menjadi bijaksana adalah sebuah kebutuhan. Karena, tanpa itu, dengan mudah seseorang akan melupakan bahwa setiap manusia memiliki sisi yang perlu ditoleransi.
Setidaknya, kebijaksanaan memiliki empat unsur utama, yakni; logis, etis, estetis, dan teologis. Logis, berarti bahwa kita telaten dan disiplin betul dalam menggunakan akal pikiran kita. Berfikir secara logis, adalah latihan untuk mencerna segala peristiwa dan informasi secara radikal (radikal berasal kata dari radix, yang artinya akar). Apa yang kita dapatkan perlu dikunyah dengan telaten oleh pikiran kita sendiri sampai pada akar yang paling dalam, sebelum kita melontarkan sebuah kesimpulan. Sehingga, proses mental kita terlatih untuk jernih mencerna sebuah masalah, dan dapat dijadikan dasar untuk berkomentar (tidak asal berujar).
Selain logis, kita juga perlu memiliki etis. Etis berarti bahwa kita mempertimbangkan betul unsur kebaikan atau etika sesama manusia yang dapat diterima. Etis juga terkait afeksi, mempertimbangkan perasaan dalam setiap perilaku yang kita lakukan, dan mempertimbangkan apakah selaras dengan kesepakatan umum. Kadang, kita berbicara logis, tapi tak jarang melukai perasaan orang lain atau tidak sesuai dengan norma yang berlaku umum, ini contoh dimana kita memiliki logis tapi tidak etis. Etis diperlukan, agar produk logika kita diterima dengan baik oleh orang lain, sehingga pendapat yang kita lontarkan berefek positif bukan malah menimbulkan ancaman bagi orang lain.
Kemudian selanjutnya kita juga perlu memiliki estetis. Estetis seperti kita tau, terkait dengan keindahan dan hal-hal yang bersifat elok. Estetis diperlukan agar produk logika kita tidak hanya sebatas masuk diakal, namun juga menimbulkan kesan yang mendalam pada penerimanya. Sebagaimana kita pahami, kebenaran kadang terdengar pahit dan menyakitkan, namun jika kemasannya elok dan disampaikan secara etis, prodak logika kita akan efektif menghasilkan perubahan.
Terakhir, yang juga perlu menjadi pertimbangan adalah aspek teologis atau ilahiah. Menjadi bijaksana, adalah menydari bahwa diri adalah makhluk yang diciptakan sang khalik yang Maha Benar. Sehingga, apa yang kita pikirkan, katakan dan lakukan, tidak terlepas dari kesadaran bahwa semuanya harus dikembalikan kepada sang pencipta. Melalui kesadaran ilahiah ini, kita akan terhindar dari sifat merasa paling benar dan nirkesalahan. Kesadaran teologis ini juga membawa kita memahami dan mentoleransi kesalahan sesama manusia, karena memang hanya tuhan lah maha pemilik kebenaran.
Keempat unsur ini, perlu kita upayakan dalam setiap langkah kita agar kita memiliki sifat bijaksana. Semoga kita semua menjadi “manusia bijaksana”, walau yang maha bijaksana adalah Allah swt., semoga dengan kita berikhtiar mencarinya, kita diberi sepercik kebijaksanan oleh-Nya. Wallahu a'lam bishawab.

Selasa, 31 Januari 2017

Distorsi Kognitif

Distorsi kognitif merupakan salah satu gejala gangguan psikologis, yang dapat dialami siapa saja, termasuk anda sekalian. Bahkan, jika kondisi ini tetap anda pelihara, akan juga menimbulkan gangguan psikologis lainnya yang lebih parah, terutama diawali oleh emotional distres.
Lalu apa itu distorsi kognitif? definisi mudahnya dari distorsi kognitif ini adalah ketika anda terlalu berfikir berlebihan terhadap sesuatu, kemudian anda mengembangkannya pada keyakinan-keyakinan yang tidak rasional.
Sebagai contoh, jika setiap anda mengindra sesuatu, misalnya logo BI, lalu kemudian secara otomatis pikiran anda mengembangkan keyakinan bahwa ini adalah alat penyebaran ideologi PKI (karena anda cari2 sendiri kemiripannya dengan logo palu arit), lalu kemudian anda meyakini bahwa ada upaya sistematis dan terstruktur yang kemudian anda merasa terancam, yap! positif anda terjangkit distorsi kognitif.
Lalu kemudian, jika kondisi ini menjadi pikiran otomatis (automatic thought) anda setiap anda mendapat hal baru, yang secara tanpa anda sadari anda mencari-cari "kecocokan" atau "ketidaksesuaian" agar anda meyakini bahwa ada sesuatu mengancam diri atau golongan anda, anda mungkin perlu berhati-hati, bisa jadi fungsi kognitif anda mulai mengalami gangguan yang lebih parah.
Beberapa macam gejala yang menandai distorsi kognitif ini ialah; pertama, penalaran anda selalu dikotomis, memandang segala hal hitam dan putih, kalo nggak sama seperti apa yang saya pikirkan, ya salah! atau anda berarti kafir! anda berarti PKI!, begitulah misalnya.
Kedua, anda selalu menggeneralisasi sesuatu secara berlebihan, anda tergesa-gesa mengkategorikan sesuatu/seseorang yang anda tidak sukai dengan sesuatu yang lain tanpa memiliki bukti yang memadai. Bahkan hanya dengan melihat sebuah peristiwa tunggal, kemudian anda membuat kesimpulan yang sangat luas. Misalnya, karena candaan Om Telolet Om, sama nadanya dengan om shanti, shanti, om, kemudian candan itu anda simpulkan sebagai penyesatan aqidah, dsb.
Ketiga, selalu memiliki filter mental, yakni dimana ketika anda cenderung selalu mengambil sisi negatif dari setiap yang anda ketahui. Misalnya, pemerintah membuat program pengentasan kemiskinan, lalu kemudian secara otomatis pikiran anda tertuju pada hal yang negatif, "Ah! ini pasti pencitraan", "Ah ini pasti pengalihan isu", "Ah! ini pasti misi komunis!", ya begitulah..anda lebih tau contoh yang lain.
Keempat, loncatan kesimpulan, dimana ketika anda selalu membuat prasangka-prasangka negatif seolah-olah anda mengetahui pasti apa yang akan terjadi. Misalnya, karena dulunya Ahok berpasangan dengan Jokowi, dan sekarang Jokowi jadi presiden dan punya kekuasaan, pasti Ahok ga mungkin dipenjara, pasti dibela hakim, dibebaskan. Dan kemudian jika terbukti di pengadilan tidak bersalah, lalu anda meyakini "Tuh kan! Rezim ini rezim anti islam!!". ya begitulah kira-kira...
Kalau anda kebetulan sudah kadung terjangkit, mungkin juga tulisan yang anda baca ini bermakna negatif, dan menggeneralisasi saya sebagai yang nulis dengan kategori-kategori mental yang telah anda buat. Ya tidak apa-apa, anda hanya perlu segera ke Psikolog untuk memeriksakan kesehatan mental anda. hehe..
NB: ingin memahami lebih lanjut tentang distorsi kognitif? silahkan baca buku The Feeling Good Handbook di Chapter 3, karangan David D Burns, dia yang pertama memperkenalkan teori ini.