Sabtu, 08 April 2017

Dimensi Psikologis Utama dalam Perbedaan Antar Budaya (Review)


Review Artikel :
Major psychological dimensions of cross-cultural differences: Nastiness, Social Awareness/Morality, Religiosity and broad Conservatism/Liberalism.
Lazar Stankov, Learning and Individual Differences 49 (2016) 138–150.

Reviewer : Isman Rahmani Yusron

          Perbedaan kultur diantara berbagai wilayah, region dan negara yang berbeda merupakan sebuah keniscayaan. Masing-masing masyarakat di area terdekatnya, berkecenderungan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi cara pikir, pola hidup, tatanan masyarakat, politik dan berbagai elemen kultur lainnya. Konsensus masyarakat yang diakui secara luas menghasilkan sebuah budaya tertentu dengan sekumpulan karakteristik sistem nilai yang mendasar pada kehidupan. Dalam sudut pandang psikologi, budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karakteristik individual maupun masyarakat. Meski terbilang abstrak, elemen-elemen kultur yang menjadi basis nilai dan perilaku individu dapat menjadi variabel yang membedakan sekaligus menggambarkan suatu budaya dengan budaya lainnya.

          Atas dasar hal itu, timbul suatu pertanyaan mengenai dimensi psikologis apa yang menjadi variabel utama dalam membedakan suatu kultur masyarakat tertentu dengan kultur masyarakat lainnya? Serangkaian studi yang dilakukan Lazar Stankov (2016) yang diterbitkan dalam jurnal Learning and Individual Differences, mencoba menemukan dimensi psikologis pokok yang membedakan perbedaan kultural. Penelitian ini dilakukan kepada 8883 partisipan di 33 negara di dunia dengan mengujikan seperangkat pengukuran yang mencakup kepribadian, sikap sosial, norma sosial, dan berbagai dimensi psikologis untuk menghadirkan faktor dimensi utama yang membedakan antar budaya.

          Penelitian yang dilakukan Stankov pada kurun 2009-2012 ini menggunakan 4 dimensi konstruk non kognitif meliputi tes Big Six personality yang dimodifikasi, skala sikap sosial (Social Attitude and Values), Social Axioms, dan Social Norms (four GLOBE dimension). Partisipan merupakan mahasiswa dari 33 negara yang datanya diambil secara daring dengan seperangkat konstruk tadi yang dinamakan Survey of World Views. Rerata usia dari partisipan dalam penelitian ini adala 22.32 tahun dengan standar deviasi 5,62 dan 57% diantaranya merupakan perempuan. Ke-33 negara yang menjadi sampel penelitian ini diklasifikasikan kedalam 9 wilayah region yakni Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, Timur Tengah/Afrika Utara, Eropa Barat, wilayah Anglo, dan Asia Timur.


          Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dimensi laten yang bermakna untuk membedakan dimensi psikologis antar kultur. Menyusun alat ukur dan menemukan dimensi perbedaan kultural dalam kaitannya dengan effect size; dan untuk melihat posisi negara-negara yang berbeda berdasarkan pengukuran ini. Dimensi-dimensi yang diujikan antara lain Honesty, Originality, Resilience, Agreeableness, Conscientiousness dan Extraversion, yang bergabung dalam konstruk The Big Six model (Ashton et al., 2004 dalam Stankov, 2016). Selanjutnya dimensi Morality, Nastiness dan Religiousity yang tergabung dalam konstruk Social Attitudes and Values. Kemudian dimensi Social Complexity, Religiousity, Reward for Application, Social Cynism dan Fate Control yang tergabung dalam konstruk Social Axioms. Terakhir, dimensi Humane  Orientation, Uncertainty Avoidance, Power Distance dan Gender (non) Egalitarianism yang merupakan dimensi dari Social Norm (four GLOBE dimension). Delapan belas dimensi ini ditambah satu dimensi berdasar literatur antropologis yakni Regulatory Norms yang menggenapi konstruk dari Social Norm.

          19 dimensi yang menjadi instrumen Survey of The World ini, dijadikan bahan dasar dalam membangun konstruk psikologis utama yang membedakan antar budaya. Untuk mendapatkan konstruk ini, penelitian melakukan analisis data menggunakan teknik faktor analisis untuk mencari faktor utama dalam perbedaan kultural. Korelasi antar variabel dari data yang diambil, berkumpul pada faktor-faktor yang sebangun dan menjadi sebuah konsep dan faktor baru. Melalui teknik analisis faktor exploratori, ke 19 dimensi terekstraksi dan berkumpul membangun faktor yang saling berkorelasi. Melalui teknik ini ditemukan 3 solusi faktor. Kemudian hasil ini lalu diuji menggunakan teknik analisis faktor konfirmatori, dengan solusi tiga faktor. Berdasarkan hasil dari analisis exploratori dan konfirmatori, maka ditemukan 3 faktor dengan konstruk konseptual yang baru.

          Dari hasil analisis faktor, variabel social complexity, morality, reward for application, dan power distance berkumpul menjadi satu faktor yang memiliki korelasi tinggi antar variabel. Variabel ini menjadi variabel utama yang membangun konstruk konseptual Social Awareness/Morality. Melalui analisis eksploratori dan konfirmatori, variabel originality, extraversion, dan conscentiousness menjadi variabel tambahan yang termasuk pada faktor Social Awareness/Morality ini. Variabel yang tergabung dalam faktor ini berhubungan dengan ciri kehidupan komunal dan interaksi kuat sesama manusia. Orang dengan skor tinggi pada faktor ini memiliki kesadaran sosial yang lebih dan mendukung perilaku moral yang mempermulus kehidupan sosial serta menghindari friksi antara anggota kelompoknya (Stankov, 2016, p. 142).

          Selanjutnya, hasil analisis menemukan variabel Nastiness, Social cynism, Fate control, Gender (non) egalitarianism, dan Regulatory norms, berkorelasi antar variabel dan berkumpul menjadi inti dari faktor kedua. Variabel honesty, korelasinya menonjol melalui eksploratori dan confirmatori bersama faktor ini. Stankov menamakan gabungan variabel ini sebagai Nastiness/Social dominance, karena konten variabel yang bergabung pada faktor ini menggambarkan konsep mengenai Nastiness/Social dominance. Faktor ini, menjadi faktor yang berlawanan dengan konsep pada faktor pertama yakni Social Awareness/Morality. Faktor ini menggambarkan suatu konsep seseorang yang pro terhadap kekerasan, perilaku sosial yang amoral, interes pribadi yang berlebih, kecenderungan pro terhadap agresi, dendam dan materialisme.

          Faktor ketiga yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan variabel religiousity yang berasal dari dimensi Social attitudes, dan religiousity yang berasal dari dimensi Social axioms, memiliki korelasi yang tinggi dan berkumpul pada faktor ketiga. Selanjutnya melalui analisa exploratori dan konfirmatori, variabel Conscientiousness, morality, dan reward for application serta satu variabel dari Four Globe yakni humane orientation, secara meyakinkan berkumpul membentuk konstruk faktor ketiga. Faktor ini dinamai dengan faktor Religiousity, yang pada data ini juga secara umum saling berhubungan prosesnya dengan Faktor pertama. Berdasarkan hasil dari Analisis Faktor, muncullah konstruk faktor utama yang teruji untuk dijadikan faktor utama dalam membedakan perbedaan kultural secara psikologis. Berdasarkan hasil data, masing-masing memiliki kekhasan masing-masing dengan korelasi yang rendah, kecuali faktor religiousity yang berkorelasi dengan kedua faktor lainnya.

          Dari ketiga faktor yang didapat, korelasi intraklas menunjukkan nilai dari masing-masing faktor sebagai berikut; Social Awareness/Morality, memiliki nilai korelasi intraklas yang rendah yakni 0.093 yangberarti bahwa faktor ini tidak menjadi poin utama dalam perbedaan kultural. Dengan kata lain, setiap budaya memiliki faktor ini dalam kebudayaannya. Selanjutnya, ditempat kedua, Nastiness/Social dominance diantara negara menjadi faktor yang cukup besar dalam membedakan antar kultur dengan poin korelasi intraklas 0.217. Terakhir Religiousity,  menjadi faktor yang paling utama untuk menandakan perbedaan antar budaya dengan nilai korelasi intraklas 0.423.

          Setelah melalui analisis data menggunakan tiga faktor ini, didapatkan hasil bahwa dari faktor pertama yakni Social Awareness/Morality, kebanyakan negara memperlihatkan hasil yang sama dan setara. Maroko hanya satu-satunya negara yang memperlihatkan hasil yang sangat rendah, dan peneliti tidak bisa menjelaskan perilaku orang-orang Maroko yang tidak biasa ini. Sebagai konsekuensinya, region timur tengah, memiliki nilai paling rendah pada faktor ini. Perbedaan antara skor tertinggi yakni Amerika latin (0.361) dengan yang paling rendah yakni Timur tengah (-0.404) adalah 0.765 standar deviasi. Sedangkan jika digantikan dengan nilai terendah  kedua yakni Asia timur (-0.015), perbedaannya menurun 0.466. Ini berarti jika tak ada anomali data dari Maroko, maka sebenarnya perbedaan skor pada faktor ini sangat kecil. Level skornya hampir sama, dengan kata lain dari faktor Social Awareness/Morality, masing-masing negara memiliki kesamaan kultur.

          Faktor kedua yakni Nastiness/Social dominance, membuat wilayah negara terbagi dua. Skor yang tinggi dari faktor kedua ini diperlihatkan oleh negara-negara Asia tenggara, Sub-Sahara afrika, Asia selatan, dan Asia timur. Hal ini berarti, bahwa negara-negara ini memiliki kesamaan kultural dari segi Nastiness/Social dominance yang tinggi. Sedangkan negara-negara kaukasia yakni Amerika latin, Eropa barat, Eropa timur dan negara Anglo memiliki nilai rendah pada faktor kedua ini. Peneliti memberi catatan, negara-negara Muslim dari timur tengah dan afrika utara berada diposisi tengah-tengah (Stankov, 2016, p. 144). Perbedaan antara skor faktor kedua yang tertinggi yakni Asia tenggara (0.829) dan terendah yakni Eropa barat (-0.923) yakni 1.752 standar deviasi. Hasil ini memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara situasi kultur di negara belahan asia dengan kaukasia dalam hal Nastiness/Social dominance.

          Pada faktor ketiga, yakni Religiousity, region Asia tenggara, Sub-Sahara Afrika dan Asia selatan mendapatkan skor Religiousity yang paling tinggi. Skor tertinggi pada faktor ketiga ini diperoleh region Asia tenggara dengan rerata 0.957, dan Malaysia menjadi negara dengan Religiousity tertinggi dengan rerata 1.451 (0.844). Negara-negara eropa timur, anglo, asia timur, dan beberapa negara eropa barat mendapatkan skor yang rendah dari faktor ini. Amerika latin dan timur tengah berada di pertengahan dan wilayah rerata. Perbandingan nilai region tertinggi dengan terendah yakni eropa barat (-1.156) adalah 2.113 standar deviasi, dengan menempatkan negara Jerman sebagai negara dengan skor Religiousity terendah.

Gambaran menarik muncul jika melihat bentuk dari perbandingan data antara Religiousity dengan Nastiness/Social dominance. Pada negara-negara Confusian (Asia timur), menunjukkan skor yang lebih tinggi dalam Nastiness/Social dominance dibandingkan faktor Religiousity yang rendah. Disisi lain, region asia lainnya yakni Asia tenggara dan sebagian dari Sub-Sahara Afrika, mendapatkan skor yang tinggi dalam Religiousity namun lebih rendah faktor Nastiness/Social dominance darinya. Meskipun secara keseluruhan dari kebanyakan negara memiliki korelasi yang tinggi dan bernilai sejajar dari kedua faktor ini di masing-masing region. Hanya dua region yang tadi yang menunjukkan ketidak sejajaran dimana di wilayah confusianism, menunjukkan rendahnya skor Religiousity dengan skor Nastiness lebih tinggi sedikit dari area rata-rata sedangkan Asia tenggara sedikit lebih tinggi dari rerata dalam faktor Nastiness namun sangat tinggi skor faktor Religiousity.

Selanjutnya hasil data menunjukan sebuah bentuk baru, terutama saat dilakukan analisa struktur melalui eksploratori dan konfirmatori analisis antar negara. Berdasarkan hasil analisa data, faktor loading muncul dari variabel variabel Religiousity, Gender (non) Egalitarianism dan Humane orientation. Bersandar pada penelitian sebelumnya, ketiga dimensi yang bergabung ini dapat didefinisikan sebagai faktor Conservatism/Liberalism. Penelitian Stankov (2009) sebelumnya juga menunjukkan bahwa Conservatism berkorelasi negatif dengan keterbukaan pada pengalaman, yang juga erat berhubungan skala Originality studi ini. Dan dimensi-dimensi tersebut dapat menjadi faktor Conservatism/Liberalism yang mengukur perbedaan antar negara.

Hasilnya, melalui faktor Conservatism/Liberalism ini yang mendapat skor tinggi dalam faktor yakni Nepal (109.91), Tanzania (109.47), India (108.92), Kenya (108.11) dan Malaysia (107.98). Negara-negara dengan skor tinggi dalam faktor ini didefinisikan sebagai negara-negara konservatif dan tidak liberal. Kontras, dengan negara-negara yang mendapatkan skor rendah dari faktor ini yakni Belanda (87.46) dan Jerman (88.66), dimana dapat didefinisikan sebagai negara-negara yang menganut Liberalism. Meski tidak berkaitan secara langsung dengan faktor-faktor psikologis, namun faktor ini menggambarkan eratnya hubungan bahwa negara-negara miskin dan berkembang bertendensi memiliki kultur yang konservatif atau menganut konservatism. Sebaliknya, negara-negara yang sudah berkembang dan maju, berkaitan erat dengan variabel-variabel yang menunjukkan Liberalism. Jika dikaitkan dengan faktor Religiousity, juga memunculkan korelasi yang positif dimana skor Religiousity yang tinggi berhubungan dengan tingginya skor konservatisme. Sebaliknya, Belanda dan Jerman dengan Religiousity yang rendah, juga memiliki skor konservatisme yang rendah.

Penelitian ini berhasil untuk menemukan empat faktor psikologis yang digunakan dalam perbedaan antar budaya. Keempatnya, dapat menjelaskan warna budaya dari segi psikologis di masing-masing negara dan juga kawasan yang lebih luas. Implikasi teoritisnya, penelitian ini menyajikan sebuah gambaran kombinasi warna budaya yang unik sebagai bahan untuk membedakan suatu kultur dengan kultur tertentu secara psikologis. Hasil data yang ditunjukkan cukup memuaskan dalam menjelaskan kondisi psikologis antar budaya. Penelitian ini dapat dijadikan bahan landasan teoritis bagi penelitian-penelitian selanjutnya dalam wilayah yang mikro terutama kaitannya dengan Indonesia. Misalnya apakah empat faktor ini dapat menjelaskan perbedaan budaya secara psikologis antar wilayah dalam suatu negara yang sangat multikultur seperti indonesia?

Akan tetapi, penelitian ini bukan tanpa kritik. Seperti dijelaskan oleh penelitian ini, sampel subjek yang diambil merupakan penelitian kepada para mahasiswa di masing-masing negara. Memang selama ini, penelitian cross culture psychology kebanyakan meneliti perbedaan budaya dengan sample mahasiswa. Namun, hal ini menjadi pertanyaan, apakah sample mahasiswa dapat digunakan sebagai representasi dari sebuah kultur masyarakat luas? Mungkin perlu juga ada sebuah penelitian apakah kultur mahasiswa memiliki kesetaraan dengan kultur non mahasiswa di suatu wilayah. Tak dapat dinafikkan, bahwa pengaruh proses pendidikan dan berbagai arus informasi, dapat mempengaruhi sudut pandang kultural dari individu dan bahkan menciptakan kultur sendiri. Sehingga, hal ini dapat menjadi asumsi bahwa antara kultur mahasiswa dengan masyarakat non mahasiswa memiliki representasi kultural yang berbeda. Sehingga hal ini menjadikan hasil data dalam penelitian ini belum tentu mencerminkan situasi psikologis dalam kultur suatu negara, namun hanya mencerminkan situasi psikologis dalam kultur masyarakat tertentu (masyarakat terdidik) dari suatu negara.

Kritik lain dari penelitian ini juga adalah banyaknya variabel yang diukur. Memang untuk mendapatkan hasil pengukuran yang komprehensif maka harus menggunakan alat ukur yang multidimensional. Akan tetapi, hal ini juga dapat berpengaruh pada hasil. Selain itu efek dari pemahaman kultural dari konstruk yang dipakai. Tidak menutup kemungkinan, alat ukur yang digunakan menghasilkan bias kultural karena tidak dijelaskan ada pembahasan mengenai penyesuaian item pada masing-masing budaya. Adaptasi item dan konsep pada kultur akan sangat penting karena terkait dengan pemahaman yang tidak terlepas dari pengaruh budaya. Sehingga hal ini memungkinkan akan menghasilkan pemahaman yang berbeda dengan apa yang sebenarnya diukur. Seperti misalnya skor Faktor pertama di Maroko, memperlihatkan hasil yang tidak biasa. Bisa jadi hal ini akibat dari pengaruh budaya dalam memahami variabel-variabel yang diukur dalam faktor yang pertama.


Secara umum, penelitian ini membuka cakrawala pemahaman psikologi antar budaya. Penelitian ini menyediakan bahan yang menarik untuk penelitian-penelitian cross culture psychology dimasa selanjutnya. Berbagai kekurangan dan kritik dalam penelitian dapat dijadikan bahan yang mengundang keingintahuan untuk menghasilkan penelitian-penelitian selanjutnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar