Jumat, 19 Februari 2016

LGBT dalam Perspektif Psikologi

Oleh: Isman Rahmani Yusron

Definisi
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual/Transgender atau sering disingkat LGBT, merupakan sebuah identitas orientasi seksual yang merujuk pada perilaku homosekualitas. Homoseksual merupakan ketertarikan individu secara seksual terhadap sesama jenisnya1 (laki-laki kepada laki-laki, perempuan kepada perempuan), yang diiringi oleh hasrat untuk membangun hubungan kepada seseorang yang berkelamin sama. Homoseksualitas, sebagai kata benda merupakan atraksi seksual atau aktivitas seksual kepada sesama jenisnya, biasanya orientasi homoseksualitas ini merujuk pada pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenisnya.
Kata homoseksual adalah hasil pernikahan bahasa Yunani dan Latin dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait dengan kata Latin homo, 'manusia', seperti dalam Homo sapiens), sehingga dapat juga berarti tindakan seksual dan kasih sayang antara individu berjenis kelamin sama, termasuk lesbianisme. Gay umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat digunakan secara luas untuk merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian, hanya merujuk pada homoseksualitas perempuan. Kata "lesbian" berasal dari nama pulau Yunani Lesbos, di mana penyair Sappho banyak sekali menulis tentang hubungan emosionalnya dengan wanita muda. Sedangkan Biseksual, merupakan istilah bagi individu yang memiliki ketertarikan seksual kepada laki-laki dan perempuan. Orientasi biseksual bisa terjadi karena tuntutan internal dan eksternal, ataupun secara alamiah memiliki ketertarikan kepada keduanya. Transeksual/Transgender, merupakan payung istilah dimana seseorang secara identitas gendernya, ekspresi gendernya atau perilakunya yang tidak terasosiasi dengan jenis kelamin yang dimilikinya sejak lahir2.
Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun 1869 dalam sebuah pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria Kertbeny yang diterbitkan secara anonim, berisi perdebatan melawan hukum anti-sodomi Prusia. Pada tahun 1879, Gustav Jager menggunakan istilah Kertbeny dalam bukunya, Discovery of The Soul (1880). Pada tahun 1886, Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya Psychopathia Sexualis, mungkin meminjamnya dari buku Jager. Buku Krafft-Ebing begitu populer di kalangan baik orang awam dan kedokteran hingga istilah "heteroseksual" dan "homoseksual" menjadi istilah yang paling luas diterima untuk orientasi seksual.
Sebagai orientasi seksual, LGBT tergolong pada perilaku seksual abnormal. Istilah normal dan abnormal ini disandarkan pada dapat atau tidak diterimanya suatu perilaku atau orientasi oleh populasi masyarakat. Normal dan abnormal ini akan sangat terkait pada norma-norma yang berlaku dimasyarakat, dimana seseorang atau sesuatu dianggap abnormal adalah ketika perilaku tersebut berbeda dari norma yang dianut masyarakat atau ketidaklaziman yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Sehingga, istilah normal dan abnormal ini sangat erat kaitannya dengan perilaku mayoritas masyarakat atau juga sesuai atau tidak dengan norma yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. LGBT, dapat dikategorikan sebagai perilaku seksual yang abnormal, karena berbeda dengan norma masyarakat kebanyakan. Namun, dalam perkembangannya, LGBT lebih disebut sebagai minoritas seksual ketimbang abnormalitas. Banyak resistensi masyarakat kekinian yang menggolongkan LGBT ini sebagai perilaku “sakit”, “mental illness”, “disorder”, atau “gangguan jiwa”. Meski begitu, para ahli sepakat bahwa LGBT ini merupakan penyimpangan dari normal, meskipun sering diperhalus dan tidak diidentikkan dengan perilaku yang negatif.
Pada tahun 1973, American Psychiatric Association mengeluarkan perilaku homoseksual ini dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, dimana homosekual ini tidak lagi dikategorikan sebagai penyakit psikologis, gangguan mental dan sebagainya3. Artinya, dengan hal ini homoseksual tidak lagi dikategorikan sebagai penyakit atau gangguan, melainkan kondisi normal seseorang yang berbeda dengan populasi kebanyakan. Implikasinya, tak ada lagi keharusan upaya “penyembuhan” atau “pelurusan” bagi seseorang yang memiliki orientasi homoseks, akan tetapi lebih pada pembimbingan untuk menerima kondisinya sebagai homoseks.
Masalah penerimaan mengenai status homoseksual ini, PPDGJ menggolongkan dua kategori seseorang saat merasakan ketertarikan terhadap sesama jenis4. Kategori pertama adalah egosintonik, dimana seseorang secara penuh menerima, menikmati, bahkan merasa senang dan bangga akan identitasnya sebagai homoseks. Kategori egosintonik ini, merasa bahwa hasrat homoseksual merupakan pemberian dari tuhan, dan tidak ada lagi konflik batin dalam dirinya mengenai kondisinya yang berbeda atau kebingungan identitas seksualnya. Individu homoseks yang terkategori egosintonik ini bahkan yang sering mengkampanyekan agar identitas homoseks diterima oleh masyarakat. Kategori kedua adalah egodistonik, dimana seseorang yang merasakan hasrat dan ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, namun selama itu dia mengalami konflik batin, tidak menerima, bahkan merasakan tekanan saat menyadari dirinya menyukai sesama jenis. Kategori inilah yang biasanya menjadi sasaran penanganan bagi psikolog maupun psikiater, yang dimana penanganannya pun mengarah pada upaya untuk membantu klien homoseks ini untuk menerima kondisi dirinya sebagai homoseks sehingga tidak mengalami kecemasan, stress dan tekanan psikologis lainnya.
Dalam sudut pandang psikologis, hampir tak ada upaya formal untuk mengintervensi pengidap LGBT ini untuk kembali sembuh atau kembali menjadi heteroseks. Karena, sudut pandang bagi LGBT ini bukanlah sebagai sesuatu yang perlu disembuhkan, melainkan untuk mereduksi kecemasan dan tekanannya agar tidak berlanjut pada maladaptasi atau perilaku membahayakan. Dengan kata lain, LGBT ini disebut sebagai sebuah kewajaran selama tidak melakukan perilaku-perilaku membahayakan diri atau lingkungan sosial. LGBT tidak dianggap sebagai kebahayaan, meskipun melalui perilaku ini banyak mengundang kerentanan seperti HIV/AIDS, pembunuhan (kasus Rian Jagal) hingga pemerkosaan sodomi pada anak dibawah umur. Terlepas keliru atau tidaknya penerimaan kondisi homoseksualitas seseorang sehingga dikategorikan normal, faktanya munculnya HIV/AIDS bahkan sodomi terhadap anak dibawah banyak disumbang oleh perilaku homoseksual, meskipun secara statistik kedua kasus tersebut juga banyak dialami dan dilakukan oleh seseorang yang heteroseks.
Penerimaan LGBT, bukan tanpa masalah, di Amerika sendiri dalam kurun 1969-1979 akibat pengakuan akan homoseksualitas menyumbang statistik kenaikan 245% terhadap pelacuran remaja laki-laki kepada sesama jenis5. 300-600 ribu remaja Amerika terlibat pelacuran sesama jenis, dan jelas ini menimbulkan permasalahan yang serius. Di Amerika dan Kanada secara umum, menurut penelitian (Ellis, Robb & Burke, 2005)6, 96% anak laki mengalami ketertarikan kepada perempuan dan 98% anak perempuan tertarik secara seksual kepada laki-laki, hal ini berarti populasi homoseks ini hanya 4% dikalangan laki-laki dan 2% dikalangan perempuan. Implikasinya, abnormalitas homoseksual ini masih cenderung kuat dan sebaliknya penerimaan homoseksual sebagai normal akan berefek pada meluasnya jumlah populasi homoseks. Selama masyarakat masih memegang resistensi terhadap homoseksual, populasi homoseksual tidak akan berkembang, sebaliknya permisifnya masyarakat akan homoseksualitas akan mengancam populasi heteroseksual yang salah satunya berdampak pada kerentanan resiko terjadinya HIV/AIDS dan pencabulan atau penyodomian terhadap anak dibawah umur.
Berbicara normal atau abnormal secara psikologis, seseorang akan dianggap secara psikologis normal jika dirinya dapat mengikuti norma sosial yang berlaku dan juga dapat mengendalikan dirinya akan dorongan-dorongan perilaku yang tidak sesuai dengan masyarakat. Menurut Calhoun&Acocella (1990) juga Atkinson dkk., kriteria untuk mendefinisikan abnormal adalah pelanggaran norma sosial7. Perilaku LGBT, di dalam masyarakat mayoritas heteroseksual,  akan dianggap sebagai abnormal. Apakah perlu atau tidak untuk diluruskan, hal tersebut merupakan persoalan lain. Akan tetapi, mayoritas manusia yang heteroseks menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia dikodratkan heteroseks dan homoseks adalah penyimpangan perilaku. Sehingga, jika ada dorongan untuk menerima LGBT sebagai perilaku yang normal, hal itu tidak dapat diterima. Kondisi faktual bahwa mayoritas manusia berorientasi heteroseks, menandakan bahwa yang beridentitas homoseks dapat kembali menjadi heteroseks, dan anggapan bahwa menjadi homoseks adalah gejala alamiah tidak mendapat posisi yang kuat.
Gejala alamiah yang paling kentara adalah melihat pada fungsi-fungsi organ secara biologis, dimana struktur organ kelamin laki-laki dan perempuan memiliki bentuk yang berbeda, oleh karena perbedaan itulah organ kelamin laki-laki dan perempuan dibentuk secara alamiah oleh tuhan untuk dipergunakan sesuai dengan fungsi dan tempatnya. Fungsi organ kelamin adalah sebagai alat reproduksi, dimana proses reproduksi itu akan terjadi hanya ketika jenis kelaminnya berbeda. Sehingga, jika organ kelamin dipergunakan pada jenis kelamin yang sama, fungsi dari organ kelamin tidak bisa dipergunakan sesuai dengan hakikat fungsinya sebagai alat reproduksi. Melalui fugsi organ kelamin ini pula lah, bahwa LGBT dikatakan sebagai alamiah dan normal terbantahkan begitu saja. Meskipun, homoseksual tidak melulu identik dengan hubungan seksual, akan tetapi secara alamiah manusia memiliki hasrat untuk melangsungkan eksistensi dan pelestarian penerusnya melalui kegiatan bereproduksi. Pada akhirnya, meski dibantah bahwa homoseks tidak melulu hubungan seksual, akan tetapi pada ujungnya hasrat seksual akan dilampiaskan melalui kegiatan hubungan seksual. Hubungan seksual sesama jenis inilah yang menimbulkan kerentanan dan kebahayaan baik individual maupun sosial, dan hal ini tidak bisa dianggap lazim atau normal.