Jumat, 07 Mei 2010

Analisis Kompleksitas Permasalahan Bangsa : Antara Aksi Mahasiswa, BHMN dan Pendidikan.

Sekarang hangat dibicarakan mengenai sistem kebijakan pemerintah mengenai pendidikan. Dari mulai pengimplementasian BHMN sampai pembentukan payung hukum akan hal itu yaitu BHP yang baru – baru ini di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Masyarakat sepakat khususnya mahasiswa serta aktivis pendidikan mengeluhkan akan semakin mahalnya pendidikan di indonesia.
Mahalnya pendidikan untuk saat ini memang dirasakan secara langsung oleh masyarakat khususnya di kalangan menengah kebawah yang memang secara finansial kurang cukup mampu untuk menjangkau biaya pendidikan di Indonesia. Jika di telisik lebih lanjut hal ini merupakan hal yang semakin kompleks dan memang suhunya panas dibicarakan karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat di bidang pendidikan formal.
Implementasi BHMN yang berdampak pada semakin mahalnya biaya pendidikan, karena dalam sistem ini perguruan tinggi negeri mempunyai otonomi di bidang pengelolaan keuangan, menjadi suatu hal yang sangat rumit untuk diperdebatkan, disisi lain masyarakat mengeluhkan biaya pendidikan tinggi negeri yang dirasa semakin tidak accesible untuk masyarakat indonesia yang notabene berkemampuan finansial rendah, di lain pihak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang memerlukan dana lebih diliuar APBN untuk mendukung infrastruktur Universitas karena kebijakan di bidang keuangannya bersifat otonom yang mau tidak mau mencari pemasukan biaya operasional kepada masyarakat. Tercatat ada 7 perguruan tinggi negeri yang menerapkan sistem ini yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Univeritas Airlangga (Unair)
Dalam hal ini secara umum yang dituntut oleh sebagian masyarakat ialah pendidikan yang gratis atau setidaknya terjangkau oleh masyarakat. Yang paling vokal menyuarakan hal ini terutama mahasiswa yang memang merasakan dampak langsung dari sistem BHMN yang diterapkan di sebagian universitas. Sering kita lihat mahasiswa melakukan demonstrasi atau aksi massa dalam skala kecil maupun besar untuk menentang penerapan sistem BHMN di kampus mereka. Mereka ramai menyuarakan bahwa BHMN ini secara eksplisit menindas rakyat miskin yang semakin dipersempit kesempatannya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Forum – forum diskusipun digelar untuk membahas hal tersebut dan merekapun sepakat bahwa memang hal ini merupakan bentuk penindasan dan bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menjamin rakyatnya mengenyam pendidikan sebagaimana yang di amanatkan dalam UUD 1945.
Melihat fenomena tersebut secara umum memang itu merupakan tindakan yang menggambarkan ketidak setujuan mahasiswa dan merupakan sikap dari mahasiswa dalam melihat sistem tersebut. Namun jika dianalisis lebih lanjut, mahasiswa terlalu berfkir parsial dalam menyikapi hal tersebut, dan tindakan yang dilakukan dalam menyikapi hal tersebut terlihat didasari oleh tindakan emosional dan kurang mengedepankan intelektual dalam menganalisis fenomena yang terjadi. Memang tidak bisa di justifikasi bahwa semua mahasiswa seperti itu, namun secara general tindakan emosional terlihat lebih dominan daripada dengan tindakan kongkrit yang berlandaskan kemampuan intelektual yang seharusnya lebih dikedepankan oleh mahasiswa.
Mahasiswa selalu mengutuk keras akan kebijakan pemerintah mengenai Otonomi pendidikan dan semakin tak terjangkaunya pendidikan dari mulai pendidikan dasar hingga tingkat universitas. Mereka berdemo dan menuduh pemerintah sudah tidak lagi pro rakyat. Namun apakah terbersit dalam benak mereka bahwa hal itu tak berpengaruh terlalu besar terhadap kebijakan yang telah disahkan?
Mahasiswa sering terpancing emosinya dan tergerak untuk melakukan aksi unjuk rasa namun hal itu sesudah disahkan. Itu kan hal yang percuma dilakukan, meskipun merupakan bentuk sikap penolakan, tapi apa pengaruhnya jika sudah di sahkan? Kita lihat, posisi mahasiswa ada pada posisi yang tidak berdaya. Tapi setidaknya mahasiswapun harus berfikir untuk mengambil sedikit legitimasi dan menunjukan eksistensinya dalam hal kebijakan itu. Contoh kongkritnya seperti ini, apakah pernah terfikir oleh mahasiswa khususnya saya tujukan kepada BEM Universitas yang merupakan lembaga tertinggi mahasiswa di universitas untuk melakukan audiensi atau datang ke Komisi VII DPR untuk melihat jalannya sidang maupun memberikan masukan dalam kebijakan yang diputuskan? Berani tidak melakukan hal tersebut? Meskipun memang tak terlalu berpengaruh, tapi setidaknya mengetahui secara langsung tahap pembentukan kebijakan tersebut dan mengerti ke mana arah kebijakan tersebut.
Saya fikir jika hal tersebut berani dilakukan, setidaknya legitimasi dan eksistensi mahasiswa itu ada. Daripada berunjuk rasa yang belum tentu si tuan kaya pemegang kekuasaan mendengar, lebih baik melakukan tindakan kongkrit dan bersifat preventif sebelum kebijakan itu diputuskan. Bukankah itu lebih bijak dilakukan oleh intelektual muda seperti mahasiswa?
Jika melakukan demonstrasi terus – terusan  dengan tindakan yang berlebihan seperti yang sering kita saksikan, saya fikir ini akan menjadi bumerang bagi mahasiswa khususnya citra mahasiswa di kalangan masyarakat. Masyarakat yang sebenarnya mahasiswa bela malah menjadi sangat apatis bahkan membenci karena tindakan – tindakan yang mereka fikir sudah biasa dan tak berpengaruh apa – apa malah mengganggu ketertiban di masyarakat.
Hal ini jangan dibiarkan berlarut larut, mahasiswa yang mempunyai jargon” Agent Of Change”  jangan sampai berubah menjadi “Agent Of Chaos”. Sungguh memilukan kondisi mahasiswa saat ini, Idealisme semakin terkikis, daya Kritis dan daya Nalar semakin dangkal, Apatis terhadap kondisi sosial, Pragmatis,berfikir parsial, terlalu Study Oriented, kurang Kreatif, kurang membaca, apalagi menulis, dan banyak lagi yang menjadikan mahasiswa ini kehilangan eksistensinya dalam memegang amanat perubahan yang progresif. Memang tidak semua seperti itu, tapi jika melihat realita, hal tersebutlah yang dominan disaksikan.
Saya fikir melakukan aksi massa harus menjadi jalan terakhir bagi mahasiswa dalam menentang tirani, bukan menjadi tindakan arogan yang seolah tersulut emosi. Karena jika aksi massa ini menjadi hal yang utama dan seenaknya dilakukan, maka apa jalan terakhir jika suara mahasiswa sudah tidak didengar? Jika Aksi massa dilakukan terlalu sering dan menjadikan masyarakat sudah hilang simpatinya kepada mahasiswa karena tindakan yang arogan, lalu apa yang akan mahasiswa andalkan atau kekuatan apa lagi yang menjadi andalan dalam memperjuangkan rakyat? Jika rakyatnya saja sudah merasa terganggu dan hilang perhatiannya? Ini sungguh memilukan, dan semakin kentaralah bahwa mahasiswa sudah tidak mengedepankan nilai – nilai intelektual akan tetapi mengandalkan emosi. Perlu digaris bawahi bahwa mahasiswa bukan hanya “Agent of Change akan tetapi “The Power of Society” yang menjadi garda depan dalam memperjuangkan rakyat dengan nilai – nilai intelektual yang (seharusnya) dimiliki oleh mahasiswa.
***
Kembali pada isu yang hangat dibicarakan yaitu komersialisasi pendidikan dengan melihat sistem BHMN yang ada, kita tidak boleh melihat permasalahan ini secara parsial. Secara umum saya pribadi memang tak setuju dengan sistem ini, dan memang saya bukan orang borju atau yang mempunyai kemampuan financial yang tinggi, secara umum saya setuju bahwa semakin hari biaya pendidikan semakin mencekik rakyat Indonesia.
Kini pendidikan menjadi komoditas yang diperjualbelikan, pendidikan adalah barang jasa yang diperdagangkan saat ini, dan bukan menjadi hak bagi segala bangsa sebagaimana diamanatkan undang – undang. Perguruan Tinggi Negeri (khususnya PT BHMN) kini mematok biaya pendidikan yang sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. PT BHMN mempunyai kebijakan untuk mencari dana sebesar besarnya yang dibebankan kepada masyarakat. Secara sekilas jika dilihat ini sungguh sangat jauh dari nilai – nilai pendidikan, ini seperti bisnis, memperjual belikan pendidikan, komersialisasi pendidikan yang terang – terangan.
Kondisi seperti ini sungguh memilukan, hal ini berarti pendidikan hanya milik orang yang berkemampuan financial  tinggi, bangku sekolah atau kuliah hanya milik orang berduit. Sedangkan kondisi masyarakat saat ini jauh dari mampu untuk menjangkaunya.  Sungguh sangat kasian bangsa Indonesia, mereka di jegal haknya untuk mendapatkan pendidikan. Padahal pemerintah sering sekali menggembar gemborkan untuk mencerdaskan bangsa. Bagaimana bangsa akan cerdas jika pendidikan saja menjadi barang mahal di negeri ini? Bagaimana bangsa bisa memperbaiki kesejahteraannya jika hak untuk mengenyam pendidikan saja sudah dipersulit? Itu sungguh cita – cita yang utopis! Bualan penguasa belaka! Sungguh kini kita ada dijaman neo kolonialis, yang dijajah oleh bangsa sendiri! MENYEDIHKAN
Jika memandang dari segi kacamata pribadi yaitu saya yang hanya anak tukang jahit dan tidak mempunyai uang banyak, hal ini merupakan suatu bentuk penindasan, ini suatu penyelewengan amanat undang – undang dasar, ini suatu upaya untuk menutup gerbang akses pendidikan bagi orang miskin seperti saya. Dan saya menginginkan pendidikan itu gratis atau setidaknya terjangkau oleh masyarakat Indonesia meskipun dalam kondisi ekonomi menengah kebawah.
Namun jika dianalisa lebih dalam, ini bukan persoalan gratis atau mahal tidaknya pendidikan, akan tetapi seberapa tinggi kualitas pendidikan yang harus dibayar mahal itu? Apakah sepadan kualitas dengan biaya yang dibayar? Apakah mahalnya biaya ini merupakan konsekuensi logis dari apa yang kita dapatkan? Ini sebenarnya yang saya fikir menjadi hal yang lebih utama diberikan perhatian. Jika diilustrasikan misalnya orang tak akan pernah rugi membayar dengan harga tinggi makanan yang dimakan di restoran dengan tempat nyaman, layanan menyenangkan, dan tentunya makanan yang sangat enak. Tapi kondisi sekarang realitanya dengan apa yang dibayarkan tidak sepadan dengan kualitas yang diberikan. Hal ini tercermin dengan banyaknya pengangguran terdidik yang bahkan lulusan dari universitas yang terkenal bagus. Ini berarti bahwa memang apa yang dibayarkan itu kurang sepadan dengan apa yang didapatkan.
Meski pendidikan mahalpun, jika lulusannya berkualitas dan menjanjikan penyerapan kerja yang signifikan, pasti masyarakat tidak akan terlalu dibebani atau dirugikan karena kualitasnya menjamin masa depan. Jadi dengan hal ini, seharusnya pendidikan itu yang diutamakan adalah kualitas mahasiswa/lulusan dan setidaknya sepadan dengan apa yang dibayarkan. Sungguh memilukan jika keluar kalimat seperti “Sekolah Mahal, Kuliah Susah, Lulusnya Nganggur..” kan ini suatu hal yang ironis di indonesia, dan menggambarkan bahwa kualitas pendidikan memang kurang layak untuk dibayar mahal oleh masyarakat.
Masyarakat ataupun mahasiswa sering berunjuk rasa menginginkan bahwa pendidikan itu gratis. Tapi coba kita analisis lebih dalam. Kita lihat jika pendidikan di gratiskan, ini tentu akan berdampak luas. Yang pertama, kita tidak bisa memungkiri bahwa untuk infrastruktur pendidikan membutuhkan cost yang tinggi. Jika gratis, maka ongkos untuk menggaji guru atau dosen dari mana? Untuk membeli peralatan praktek  dari mana? Jika dijawab ini merupakan tanggung jawab Negara, ya bisa jadi itu memang tanggung jawab Negara. Tapi kita juga tidak boleh berhenti memikirkan hal tersebut dan menganggap bahwa dengan itu tanggung jawab Negara itu merupakan penyelesaian yang terbaik. Kita tidak boleh lupa bahwa jika pendidikan di gratiskan berarti Negara bertanggung jawab dalam membiayai pendidikan di Indonesia, dan berarti APBN mengeluarkan anggaran secara lebih dalam membiayai pendidikan. Nah, jika anggaran pendidikan di APBN di naikkan, maka otomatis anggaran untuk yang lain harus dikurangi, dan pasti juga akan berdampak kepada yang lainnya. Jika anggaran yang lain berkurang, maka protespun akan tetap ada, karena salah satu anggaran di bidang yang lain dikurangi. Dan salah satu dampak untuk menyelesaikan hal itu, otomatis pajak yang dipungut Negara akan lebih besar. Misalnya pajak dinaikan 50% dari masyarakat karena APBN banyak berasal dari pajak.  Apakah hal itu merupakan solusi yang lebih baik? Apakah tidak memikirkan dampak yang sangat kompleks tersebut?
Jika kita bercermin ke Negara lain, contohnya di Jerman, di Negara ini biaya pendidikan bagi mahasiswanya sangat murah, dan kualitasnyapun bagus. Bahkan biaya untuk sekolah atau kuliah disini gratis, meskipun tidak sepenuhnya. Negara ini mengalokasikan dana untuk pendidikan sangat tinggi dari Negara, namun di sisi lain, pajak penghasilan di jerman hampir mencapai 50%, sehingga biaya untuk pendidikan ditanggung dari Negara karena pemasukan pajaknya sangat tinggi. Jika kita bandingkan ke Indonesia, kalau masyarakat di Indonesia ingin di gratiskan pendidikannya lantas apakah rela jika masyarakat di berikan tarif pajak yang tinggi? Apakah semua masyarakat Indonesia mampu menanggung pajak yang sangat tinggi? belum tentu.
Dalam permasalahan seperti ini sungguh sangat kompleks, kita tidak bisa berfikir terlalu parsial, karena permasalahan di Indonesia ini sudah sangat kompleks dan belum terselesaikan. Seringkali, mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi menutup mata pada realita yang sangat kompleks ini, dan hanya terkurung pada kepentingan dirinya sendiri. Tapi hal ini juga tentunya harus segera diselesaikan oleh pemerintah, karena jika berlarut – larut, maka cita – cita untuk mencerdaskan bangsa ini hanyalah omong kosong belaka dan mustahil akan tercapai.
Kita semua pasti berharap agar permasalahan yang seperti benang yang kusut ini dapat terselesaikan secepatnya dan dapat memunculkan keputusan yang tidak merugikan salah satu pihak. Dan semoga kita juga semakin tidak bodoh dan tidak dibodohi oleh orang – orang yang memiliki kewenangan di pemerintahan. Merdekalah bangsaku, Bangkitlah Indonesiaku, dan Jayalah Negeriku!!

*Hasil Diskusi bersama di UNIT PERS MAHASISWA Universitas Pendidikan Indonesia (UPM-UPI)

Selasa, 30 Maret 2010

Kondisi Mahasiwa yang Apatis dan Apolitis

 “Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan”. (Catatan Soe Hok Gie)
Kutipan sekaligus cita- cita soe hok gie diatas seolah menjadi suatu sindiran terhadap keadaan mahasiswa sekarang ini. Meskipun catatan tersebut telah lama ia goreskan yang terlahir dari keprihatinannya terhadap keaadaan mahasiswa pada waktu itu, akan tetapi jika melihat keadaan mahasiswa hari ini, masih relevan dan bahkan mungkin lebih parah dibandingkan keadaan pada waktu itu.
Mahasiswa yang sering disebut sebagai agent of change kini sudah tak pantas lagi disandang. Karena jika dilihat dari realitas keadaan mahasiswa pada hari ini, sangatlah memprihatinkan dan sudah lagi tidak berpegang pada misi suci yaitu melakukan perubahan dinamis dan progresif berdasarkan nilai nilai kebenaran. Mahasiswa kini semakin apatis terhadap permasalahan permasalahan sosial disekitarnya yang bahkan sebenarnya berpengaruh langsung kepada mereka sendiri, namun mereka kini sudah tak sadar lagi bahwa eksistensinya sebagai mahasiswa yang mempunyai cita-cita perubahan, telah diperkosa dan dikebiri dengan alasan alasan akademis yang seolah menjadi senjata bagi para penguasa kampus dengan maksud untuk membungkam daya kritis, dan sikap politis mahasiswa.
Jika bercermin kepada pergerakan pergerakan kemahasiswaan masa lampau, kita teringat bahwa yang menjadi garda terdepan untuk merubah nasib bangsa ini, diretas oleh daya kritis mahasiswa yang prihatin dan peduli terhadap kondisi sosial politik yang bergulir dan mempunyai cita – cita suci untuk menegakan kebenaran dan keadilan, seperti kita tahu sikap sikap politik mahasiswa angkatan 45, angkatan 66, dan angkatan 98 yang memperjuangkan tegaknya keadilan dan perubahan yang lebih baik, menyumbangkan torehan sejarah pergerakan kemahasiswaan yang patut menyandang gelar sebagai agen perubahan. Namun, ruh usaha gemilang para pendahulu untuk memperjuangkan eksistensi mahasiswa sebagai agen perubahan, seolah telah hilang dan digantikan oleh generasi penerus yang semakin pragmatis dan bahkan apatis terhadap nilai nilai perjuangan yang angkatan terdahulu perjuangkan.
Keadaan mahasiswa pada saat ini sungguh sangat jauh berbeda dengan jaman dahulu. Paradigma mereka kini sudah sangat pragmatis dan sangat berorientasi kelulusan saja, padahal tugas perubahan yang dinantikan demi mewujudkan kondisi bangsa kearah yang lebih baik, sudah sepatutnya disadari oleh mahasiswa untuk segera dijadikan prioritas sebagai bakti kepada bangsa juga sebagai tanggung jawab penyandang gelar agent of change.
Cita cita yang dinantikan tersebut mungkin sekarang hanya tinggal angan yang tak tahu kapan akan terwujud, kini mahasiswa semakin terbuai oleh arus moderenisasi dan perkembangan teknologi, mereka lebih disibukkan bermain facebook daripada melakukan diskusi – diskusi untuk menentukan sikap politik dan berbakti kepada masyarakat, mereka lebih sering meng-update status jejaring sosial dibanding membaca buku. Jika dilihat, seolah mereka tidak bergairah lagi dalam menentukan sikap politik dengan berdasarkan kebenaran, dan juga tak bergairah lagi melakukan tindakan – tindakan kongkrit demi memperjuangkan perubahan bangsa ini kearah yang lebih baik.
Keadaan mahasiswa yang apolitis dan juga apatis terhadap permasalahan sosial disekitarnya, merupakan suatu kondisi yang sangat memprihatinkan. Bagaimana jadinya bangsa kita kedepan jika garda terdepan dalam melakukan perubahan sudah lagi apatis dan apolitis? Hal ini sungguh ironis jika dibandingkan dengan perjuangan – perjuangan angkatan terdahulu yang diperjuangkan untuk berbakti kepada bangsa.

Daya nalar mahasiswa kini semakin dangkal, mereka lebih berorientasi hasil dibanding memperjuangkan kondisi bangsa yang semakin buruk. Dalam pikiran mereka, duduk di bangku kuliah dan menjadi mahasiswa hanya sebagai suatu sarana untuk memperoleh gelar yang akan diandalkannya untuk bekerja. Pikiran mereka, tujuan mereka yang terpenting ketika mahasiswa adalah cepat menyelesaikan kuliah dan cepat bisa bekerja. Mungkin paradigma mereka terhadap perguruan tinggi adalah sebagai “Pabrik Sarjana” yang tujuannya mendapatkan gelar yang akan mereka pakai di akhir namanya agar mudah untuk mereka segera mendapatkan pekerjaan. Lantas, masih pantaskah mahasiswa menyandang gelar agent of change jika pemikiran mereka sedangkal itu?