Senin, 17 Agustus 2015

Siswa yang Merdeka*

Oleh : Isman Rahmani Yusron


Praktik pendidikan di Indonesia, sering kali tak ubahnya seperti penjajahan. Kemerdekaan berfikir seorang siswa, kadang kali direnggut oleh kurikulum atau bahkan gurunya. Siswa disekolah, dipaksa untuk menelan bulat-bulat konten kurikulum yang dibuat pemerintah, belum lagi setiap hari dijejali oleh doktrin dan tugas-tugas dari para guru. Siswa, yang semestinya bisa mengembangkan pikiran dan pengetahuannya, terpaksa dipenjara seperangkat batasan pembelajaran dan metode-metode yang sama. Siswa dipaksa memahami berbagai rumus, tapi tak diberitahu kenapa ia harus memahaminya. Siswa dituntut untuk mempelajari ini itu, tapi tak diberi kebebasan untuk memandang dari sudut yang berbeda.

Saat disekolah, siswa tak diperkenankan memilih apa yang ingin dipelajarinya. Setiap minggunya, siswa mesti menelan bahan ajar yang telah ditentukan sebelumnya. Seolah, guru dan pembuat kurikulum lebih tahu apa yang harus dan tidak harus dipelajari siswa. Ironisnya, apa yang diajarkan dari sabang sampai merauke bersumber dari kurikulum yang dibikin di Jakarta. Seolah, standarisasi pengetahuan -yang jauh dari konteks kehidupan siswa, lebih baik dan dibutuhkan siswa.

Tidakkah standarisasi ini, tak ubahnya seperti penjajahan kreatifitas siswa? Siswa yang memiliki kemampuan dan potensi yang tak sama, dipangkas dan ditekan agar memenuhi standar yang serupa. Siswa yang memiliki daya nalar tinggi, dipangkas direduksi hingga memenuhi standar yang sama. Lantas, siswa yang memilii kemampuan terbatas, ditekan, dipaksa memenuhi standar yang jauh dari jangkauan kemampuannya. Pada akhirnya, kreatifitas siswa tidak berkembang, yang kemampuannya terbatas, digusur dipaksa dan akhirnya jenuh dan kelelahan.

Alih-alih siswa kasmaran untuk belajar, yang terjadi hanya kecanduan disuapi pengajaran. Belajar yang asalnya bentuk kata kerja aktif, direduksi jadi kepasifan. Esensi pedagogis, yang asalnya membimbing siswa untuk mengembangkan kemampuan belajar, malah jadi praktik pembentukan dan pemaksaan. Siswa bak lilin yang bebas dibentuk jadi apa saja oleh gurunya. Kebebasan siswa diperkosa, dipaksa menerima penetrasi pengetahuan yang tidak diperlukannya.

Sepantasnya, di sekolah, siswa diberikan kebebasan memilih apa yang ingin dipelajarinya. Penulis yakin, setiap siswa tahu pengetahuan apa yang dibutuhkannya dalam kehidupan sehari hari. Sekolah, seharusnya melakukan need asessment pada siswa, sebelum tahun ajaran dimulai. Sehingga, dapat tergambar kebutuhan belajar apa yang betul-betul diperlukan siswa. Perumusan konten kurikulum, sepatutnya berdasarkan atas kebutuhan itu, bukan berdasarkan ilusi yang bahkan ngawur dan tidak kontekstual bagi kehidupan siswa.

Praktik kurikulum yang berdasarkan kebutuhan siswa itu, tak mungkin bisa jika masih tersentralisasi. Sepatutnya, tingkat kemampuan siswa, dan kebutuhan materi ajar yang berguna bagi kehidupan siswa, diakomodir dalam perumusan kurikulum. Tentu nantinya, kurikulum akan semakin plural dan beragam, tapi tak apa, bukankah perbedaan mestinya jadi keniscayaan? Justeru faham sentralistik dalam kurikulum yang selama ini terjadi, toh tidak menghasilkan prodak yang memuaskan?

Maka dari itu, pemerintah sudah sepatutnya mulai membuka diri untuk mengambil langkah pembebasan siswa dari jerat sistem yang seragam. Akomodasi perbedaan kemampuan siswa, adalah bentuk pemerdekaan siswa saat disekolah. Toh, pendidikan adalah hak siswa, dan siswa juga berhak memilih apa yang ingin dipelajarinya, dan mengembangkan kemampuan berfikirnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Akhirnya, penjajahan yang berbentuk standarisasi baik dalam kurikulum maupun ujian kesetaraan, perlu segera dimusnahkan, demi melahirkan siswa yang bebas dan merdeka.
*) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 18 Agustus 2015