Rabu, 25 November 2015

GURU ADALAH ASET NEGARA

Ketika kita bertanya tentang posisi Guru di Indonesia, Apakah guru itu buruh atau pengabdi? Jawabannya mesti satu, Guru adalah aset negara. Kenapa demikian? Karena sudah jelas, sejak awal mesti difahami tugas guru bukanlah kacung negara, bukan pula bekerja pada yang membayar, guru adalah garda terdepan pembangun bangsa. Hal ini perlu sering ditekankan, untuk menghilangkan jargon-jargon lama bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, atau pengabdi yang tulus hati. Guru, adalah ujung tombak dari visi-visi kemajuan bangsa.

Berbeda jika dikatakan guru hanyalah pahlawan tanpa tanda jasa, Guru sebagai aset negara membuat pemerintah memiliki kewajiban untuk memeliharanya. Pemerintah seperti halnya aset negara lainnya, sepatutnya memberikan perawatan, memelihara kualitas, serta memberikan dana yang cukup agar aset negara ini tetap berjalan sesuai fungsinya.

Pendidikan, jika bagi rakyat adalah hak, bagi pemerintah adalah kewajiban. Konsekuensi logis dari yang punya kewajiban, ia harus menyediakan hal yang sepatutnya diberikan kepada pemilik hak. Rakyat indonesia, berhak mendapatkan pendidikan, dan konteks pendidikan ini tidak diartikan sembarang. Yang dimaksud pendidikan adalah, upaya membangun kepribadian, mempertajam kecerdasan, dan memperhalus perasaan bangsa yang di didik.

Upaya itu bukanlah upaya sepele dan murah. Pemerintah perlu dan berkewajiban menyediakan kualitas pendidikan sebaik-baiknya bagi rakyat indonesia. Sehingga, pemerintah berkewajiban pula menginvestasikan dana yang dihimpun dari pajak masyarakat, untuk merancang dan menyajikan sebuah sistem pendidikan dengan kualitas yang sepadan dengan kebutuhan negara. Sistem tak hanya berbentuk regulasi, didalamnya juga komponen-komponen kebutuhan pendidikan, harus yang sebaik-baiknya: termasuk Gurunya.

Implikasi dari amanat undang-undang tentang kewajiban negara memberikan pendidikan bagi bangsa, adalah juga kewajiban pemerintah memelihara kualitas guru termasuk nasibnya. Guru, adalah aset negara dalam kewajibannya menyelenggarakan pendidikan. Sehingga, maintenance termasuk mengenai kesejahteraanya adalah juga harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai, pemerintah melulu berfokus mengurusi upah buruh, tapi lupa kewajiban meningkatkan kesejahteraan aset negara ini.

Gaji guru yang diterima, seharusnya tak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup layaknya. Melainkan hingga pada cukup untuk memenuhi peningkatan pengetahuan, kompetensi dan pengalamannya. Sehingga dengan hal itu, masyarakat mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus sebagai haknya. Jangan berhalusinasi, ingin punya pendidik berbiaya murah namun ingin kualitas pendidikan yang juara. Keduanya harus seimbang dan setara.

Jika jargon pemerintah sekarang ini adalah revolusi mental, pertanyaannya siapa agen terdepan mewujudkan visi ini? Jelas yang paling strategis adalah para guru yang bersentuhan langsung dengan pembangunan mental rakyat. Guru, adalah ujung tombak negara untuk membangun dan merevolusi mental masyarakat Indonesia. Sejuta buruh sejahtera, menyumbang perekonomian sementara. Sejuta guru sejahtera, menyumbang kemajuan bangsa hingga ujung masa. Hal ini menandakan bahwa negara tak boleh abai memperhatikan guru Indonesia.

Pemerintah Indonesia, harus segera sadar dan memiliki political will untuk berinvestasi pada pendidikan. Pendidikan, sebagai bagian penting dari pembangunan sumberdaya manusia, tak pernah tidak menguntungkan pada kemajuan bangsa. Lihat negara-negara yang tengah menjadi raja dunia, mereka berada di garis depan bukan karena kekayaan, tapi karena kualitas sumberdaya manusianya. Kekayaan, akan senantiasa mengikuti jika kualitas manusia terbentuk dengan baik.

Oleh karena itu, perlakukan guru sebagai aset negara yang penting dipelihara dan elemen pendukung kemajuan bangsa. Sudahlah berhenti menstratifikasi guru dengan sebutan guru honorer dan guru pegawai negara. Pada hakikatnya, guru adalah harus menjadi milik negara karena jelas menjalankan fungsi negara membangun peradaban bangsa. Guru adalah guru, yang tak harus berada dalam pusaran mekanisme pasar.

Guru bukanlah pencari kerja atau prodak pasar yang siapa saja bisa membelinya. Saat ini kondisinya jelas demikian, guru seperti barang yang dari hasil pendidikan lalu dilempar ke pasar. Sehingga, pasar yang menentukan apakah guru itu dipakai atau tidak. Guru, sejak diterimanya untuk di didik, hingga siap menjadi agen pembangun bangsa, harus dipelihara negara.

Sabtu, 05 September 2015

Pers dan Jurnalistik, berbeda kah?

Pers

Masyarakat awam sering menyalah artikan, bahwa Pers dan Jurnalistik adalah itu-itu juga. Kadang tak sedikit yang menyatakan bahwa insan pers dan jurnalis, hanya merupakan istilah yang berbeda namun dengan konteks yang sama. Akan tetapi, sebetulnya istilah Pers dan Jurnalistik merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda.

Jika ditilik secara harfiah, pers atau dalam Bahasa Inggris disebut Press, berarti pencetak atau tekanan. Meski secara harfiah Pers, berarti mesin pencetak, akan tetapi istilah ini memiliki makna lain. Awal penggunaan istilah Pers/Press diawali saat Johanes Guttenberg pada tahun 1450 menemukan mesin cetak.

Penemuan ini tak ayal merupakan titik munculnya pencerahan, bahkan yang juga berperan pada lahirnya gerakan renaissance di penjuru eropa. Peran pentingnya, sejak kemunculan alat pencetak ini, beredarlah produk-produk tulisan yang diperbanyak kepada khalayak. Pada masa awal kemunculannya, alat pencetak digunakan untuk mencetak pamflet atau buku yang dengannya digunakan untuk menyebarluaskan ide dan gagasan.

Seiring kemunculan alat Press ini, mulai berhamburanlah berbagai macam ide dan gagasan yang tersebar luas dibaca banyak orang. Sehingga, saat banyak orang membaca gagasan-gagasan yang lainnya, timbullah ide-ide baru pemikiran-pemikiran baru yang menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu.

Betapa hebatnya pengaruh kelahiran alat pencetak ini, membuat ide dan gagasan setiap orang bak amuba yang terus membelah diri dan berkembang. Sehingga, banyak yang terpengaruh dan akhirnya terlahir gerakan sosial yang massif akibat berbagai ide yang tersebarluas. Sehingga dengan itu, kondisi sosial politik masyarakat terutama kecerdasan masyarakat dalam merespon kondisi sosialnya senantiasa berubah. Yang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Press ini merupakan penyulut lahirnya perubahan di masyarakat.

Kondisi ini menjadikan Pers adalah sebuah ikon. Pers merupakan alat atau bahkan senjata baru dalam melahirkan perubahan. Kegiatan pers utamanya adalah menyebarluaskan ide dan pemikiran kepada khalayak banyak. Sehingga, menghasilkan pergeseran makna yang asalnya pers atau press ini identik dengan mesin pencetak, bergeser pada makna dimana Pers merupakan kegiatan menyebarluaskan ide, gagasan, pemikiran yang bertujuan untuk melahirkan perubahan di masyarakat, suatu bangsa maupun negara.

Identitas pers menjadi identik dengan lembaga yang berkegiatan mengkaji, menelurkan ide, mencari gagasan baru serta menghasilkan pemikiran yang cemerlang yang selanjutnya disebarluaskan kepada khalayak agar dengan ide itu sama-sama menciptakan tatanan perubahan sosial yang baru. Tak heran jika Mark Twain mengungkapkan: There are only two things that can be lightening the world. The sun in the sky and the press in the earth”. Pers, menjadi alat untuk mencerhakan dunia.

Menciptakan gagasan baru, mempertajam analisa, mengembangkan pemikiran, serta mengkaji realitas sosial adalah kegiatan utama dari pers sendiri. Sehingga, jika ada yang mengatakan bahwa pers adalah hanya menulis berita, itu salah besar. Jantung kehidupan pers ada dalam gagasan, lantas gagasan itu dituangkan dalam tulisan.

Gaya tulisan bisa bermacam-macam, bisa essay, bisa analisa, atau juga berita. Namun, yang paling penting, dalam konteks pers, tulisan itu merupakan gagasan baru dan bertujuan untuk melahirkan gerakan perubahan. Jika Pers di identikkan dengan melahirkan berita, maka berita tersebut merupakan pengemasan dari ide-ide yang digagas dalam lembaga pers. Cara mengemas gagasan dalam bentuk berita inilah yang disebut dengan kegiatan jurnalistik.

Jurnalistik

Secara harfiah, jurnalistik artinya kewartawanan. Kata dasar dari jurnalistik  adalah jurnal (journal), atau laporan atau juga dapat diartikan catatan. Dalam bahasa prancis, jour berarti hari, atau laporan harian. Asal muasal istilah jurnalistik ini berasal dari bahasa Yunani kuno “du jour” yang berarti hari, atau yang bermakna kejadian hari ke hari. Sehingga, Jurnalistik adalah apa yang dilaporkan berdasarkan kejadian hari ke hari. Tentunya, jurnalistik dalam konteks pers, yakni laporan yang diberitakan dalam lembaran cetak.

Meski pada hari ini, baik pers dan jurnalistik tak lagi merupakan kegiatan cetak mencetak, bisa gambar televisi, tulisan daring, bahkan dengan berbagai media apapun termasuk yang kekinian di media sosial. Apapun bentuknya, yang dilaporkan berisi spirit untuk mempengaruhi publik untuk melakukan gerakan sosial yang merubah keadaan. Cara bagaimana mengemas ide dan gagasan tersebutlah yang menjadi inti dari kegiatan jurnalistik.

Dengan lebih gampang, kita katakan bahwa jurnalistik adalah alat atau cara. Cara bagaimana mengemas sebuah gagasan agar mudah difahami orang. Meski banyak cara, umumnya jurnalistik memakai cara tulisan untuk membuat ide gagasan mudah dicerna banyak orang. Sebagaimana arti harfiahnya, Jurnalistik berisi tentang bagaimana mengemas peristiwa atau kejadian hari ke hari yang bernilai bagi masyarakat dengan kaidah-kaidah tertentu. Walau bagaimanapun, jurnalistik hanyalah sebuah alat atau cara, cara mewartakan kepada khalayak.

Secara konseptual, jurnalistik sebagai proses merupakan aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Subjek yang melakukan aktivitas ini disebut sebagai jurnalis atau wartawan. Kegiatan yang dilakukan oleh jurnalis adalah mencari sebanyak banyaknya fakta dari sebuah kejadian atau peristiwa, baik itu apa yang dilihat, dirasa maupun apa yang didengar.

Selanjutnya, setelah hasil pencarian dianggap cukup, lalu diolah, dirunut dan disesuaikan dengan kepentingan ide yang dilahirkan dalam ruang redaksi. Berbagai olahan fakta yang didapat jurnalis, setelah tersusun ide utamanya lalu dituangkan dalam tulisan. Jurnalis menuliskan hasil olahan fikirannya yang didasarkan fakta yang didapat. Terakhir, setelah tulisan tersebut terbentuk, lalu jurnalis bertugas untuk menyebarluaskan informasi tersebut dalam berbagai media: cetak, online, gambar.

Sebagai teknik, jurnalistik merupakan sebuah keahlian atau keterampilan. Keterampilan dalam menuangkan sebuah peristiwa yang diarahkan oleh gagasan tertentu dalam sebuah tulisan. Jurnalistik sebagai teknik adalah keterampilan menulis berita, artikel maupun feature yang didalamnya juga terdapat keahlian dalam pengumpulan bahan-bahan tulisannya. Keahlian pengumpulan bahan tulisan ini dapat berbentuk peliputan atau reportase dan juga wawancara. Dalam konteks praktis, jurnalistik adalah sebuah proses pembuatan informasi atau berita (news processing) yang setelah itu disebarluaskan melalui media massa.

Dalam melaporkan sebuah kejadian melalui alat jurnalistik, terdapat berbagai kaidah-kaidah yang mesti diperhatikan. Pertama, accuracy; keakuratan merupakan pondasi dari segala macam penulisan bentuk jurnalistik. Jurnalis, tidak boleh ceroboh dalam melaporkan kejadian tanpa mempertimbangkan keakuratan berita. Bisa jadi jurnalis menyebarkan kebohongan, melakukan pembodohan kepada masyarakat akibat tidak memperhatikan kaidah yang pertama ini.

Untuk mendapatkan hasil yang akurat, hal yang mesti diperhatikan dalam hal ini meliputi; meyakinkan bahwa apa yang ditulis itu betul-betul berita atau kejadian yang benar. Selanjutnya, untuk memperkuat, lakukan pengecekkan atas data-data yang diperoleh tersebut. Jurnalis juga tidak boleh berspekulasi dengan isu yang diperoleh, harus betul-betul dipastikan bahwa kejadian benar-benar terjadi. Jurnalis harus memastikan semua informasi dan data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan.

Kedua, balance; keseimbangan merupakah kaidah dalam menulis sebuah berita. Dewasa ini, banyak sekali bentuk pemberitaan yang terkesan berat sebelah. Memihak terlalu berat pada satu pihak atau sisi kejadian, sehingga menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Jurnalis harus betul betul cermat mengolah dan menganalisa kejadian, sehingga tulisan yang dihasilkan tidak berunsur menyudutkan salah satu pihak atau menguntungkan salah satu pihak.

Keseimbangan antara berbagai sisi peristiwa harus sama sama diakomodir dan diberi ruang. Dalam konteks jurnalistik, usaha menyeimbangkan konten informasi disebut sebagai “cover both side”. Apakah hal ini berarti jurnalis harus netral? Tidak sama sekali! Tidak mungkin seorang jurnalis bisa netral, jurnalis harus berpihak. Berpihak pada siapa? Menurut Bill Kovach dan Tom Rosentiel, jurnalis harus berpihak kepada kebenaran. Namun meski begitu, keterangan dari kedua belah pihak harus sama-sama diakomodir dengan seimbang dan proporsional, hal ini merupakan bentuk dari keberpihakan pada kebenaran.

Kaidah ketiga, konten jurnalistik harus mempertimbangkan clarity; faktor kejelasan adalah hal yang penting dalam mewartakan suatu kejadian. Jangan sampai apa yang jurnalis tulis memiliki makna ganda, atau bernada ambigu. Meskipun tafsiran khalayak sangat beragam dan berbeda, namun dalam penulisan berita, jurnalis harus betul-betul clear dan difahami maksudnya oleh pembaca. Pembaca harus sampai mengerti isi dan maksud dari berita yang disebarluaskan oleh jurnalis.

Topik, alur pikir, kejelasan kalimat, pemilihan kata dan bahasa yang tepat mesti menjadi concern utama jurnalis dalam menuangkan gagasan dari sebuah peristiwa. Kaidah ini berimplikasi pada perlu dimilikinya keterampilan mengemas berita dalam bentuk tulisan agar mudah difahami oleh pembaca. Teknik-teknik penulisan yang tepat ini yang akhirnya merupakan kajian utama dalam jurnalistik. 

Jumat, 04 September 2015

SARJANA

Pagi itu, Cici terpekur memandangi layar handphonenya. Sepagi ini, selepas euphoria pesta wisudanya semalam, pesan dari Bunda begitu mengejutkan. “Nak, jika kau belum dapat kerja sampai akhir bulan ini di  Bandung, pulanglah, ayahmu sudah siapkan pendamping,” tulis Bundanya. Bukan alang kepalang, betapa mengagetkannya pesan Bundanya. Cici punya mimpi, dia ingin hidup di Bandung untuk dapat bekerja dan merengkuh mimpi-mimpinya sebagai pengajar. Bukan tak terpikir olehnya, jadi pengajar di Padang maupun di Bandung sama saja. Tapi, setelah 3,5 tahun kuliah di Bandung, hatinya terpaut untuk menetap. Bandung, seperti salah satu kata komedian, tak hanya masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan. Kutipan yang terpampang di dinding jembatan Jalan Asia Afrika yang beberapa waktu lalu Ia kunjungi, begitu terpatri. Sejak itu, ia bertekad menikmati perjalanan hidupnya di kota ini.

Kontras dengan keceriaan semalam, pagi ini Cici begitu gamang. Ia tak dapat membalas pesan sosok yang melahirkannya. Kepalanya jadi begitu berat, pening dan berkunang-kunang matanya. Tak terasa, air mata yang bahkan selama 3,5 tahun dibandung tak pernah ia kucurkan, mengalir jua. Sembab matanya, menahan kebingungan yang tak ia kuasa hadapi. Sejenak ia melamun, menatapi Ijazah sarjananya. Tiga koma empat delapan, nilai IPK nya hampir cumlaude. Kalaulah, ia tak sempat sakit gastritis, sehingga tinggalkan kuliahnya dan harus mengulang, pastilah ia dapatkan predikat itu. Tak berapa lama Cici menyadari, ada harapan yang masih bisa ia gantungkah: dengan IPK besarnya, mungkin pekerjaan tak begitu sulit didapat.

Tak mau larut dalam kesedihan, Cici bangkit bergegas mengumpulkan kertas-kertas berharga yang ia simpan rapi. Ada sertifikat pelatihan ini itu, ia dapati juga beberapa piagam penghargaan. Ia kumpulkan semuanya, tak lupa juga Ijazah akta mengajar, juga transkrip yang ia harap bisa jadi tiket dapat pekerjaan di Bandung. Ia pun tak bodoh bodoh amat pikirnya, karena hanya gagal dapat cumlaude tak berarti ia belum layak dapat kerja. Apalagi dengan passionnya mengajar, membuat Ia yakin: segera mendapat sekolah yang mau menampungnya.

Bersegera ia memfotocopy seluruh dokumen terbaiknya, membuat Curriculum Vitae se prestise mungkin, dan membuat surat lamaran. Lantas masalah baru datang seketika, ia tak mampu menulis. Menulis surat lamaran dengan kata-kata yang meyakinkan ternyata tak semudah lulus dari universitas. Baru ia sadari: kuliah, tak membuatnya pandai menulis. Sejenak ia menyesali, kenapa saat diberi tugas dari dosennya, ia hanya mengandalkan copy paste. Begitu banyaknya artikel di dunia maya dan begitu canggihnya mesin pencari, membuatnya terlena. Bahkan ia mulai sadari, tak sempat ia baca semua artikel yang ia dapat. Bahkan, hampir sulit mengingat isi-isi dari tugas yang dikumpulkannya.

Cici tak biasa membaca tulisan begitu panjang. Keahliannya: mengambil, memodifikasi agar sekonten dengan maksud tugas yang diberi dosennya. Kala itu ia meyakini, dengan mahasiswa sebanyak itu, mana mungkin dosen memeriksa dan baca tulisannya satu-satu. Toh, akhirnya ia selalu dapat A di mata kuliahnya. Meski sesekali B, dan pernah sekali dapat C namun ia ulang perbaiki dengan nilai akhir B. Tapi hari ini Ia menyadari, deret nilai yang bagus tak membuat ia pandai menulis. Hanya menulis surat lamaran! Oh, betapa Ia mengutuk dirinya sendiri, sarjana yang ia dapat dengan waktu singkat tak membuatnya pandai membuat tulisan, hanya tulisan di surat lamaran.

Tak habis akal, dan satu satunya yang ia bisa pikir, cari di mesin pencari daring! Bergegaslah ia buka Ineternet, menulis kata kunci “contoh surat lamaran”. Satu persatu Cici buka, dan baca isinya. Tak satupun ia dapati contoh lamaran menjadi pengajar. Ribuan deret yang didapati mesin pencari, tak jua ia dapatkan contoh surat lamaran untuk menjadi pengajar. Seketika ia merenung, apakah menjadi pengajar tak perlu surat lamaran? Buru-buru ia hapus pikirannya itu, bahwa jadi pengajar sama saja seperti menjadi karyawan, perlu surat lamaran.

Hampir satu jam Ia mencari, tak jua ia dapati. Cici mulai panik, matanya kembali berkunang-kunang seperti pagi ini. Beberapa kali mulutnya berkomat kamit mengutuki diri: kenapa juga sarjananya tak buat pandai menulis. Disela pencariannya dari laman ke laman, muncul kutukan baru: kenapa pula ia tak banyak membaca. Ia mengingat, selama berkuliah, tak banyak buku ia baca. Buku yang pernah ia baca hanya seputar buku teks perkuliahan, sesekali modul yang dijual dosennya, itupun tak selesai di baca. Cici terus berperang pikiran dalam diamnya. Mengutuki: sarjana tak pernah baca, tak pandai menulis. Lama-lama Ia mulai frustasi. Tangannya yang memegang tetikus komputer, mulai lemas. Matanya mulai berat, dan tak terkira detak jantungnya berderu cepat. Solar plexus di dadanya mulai pedih, tak kuasa ia tahan tangis: kali kedua ia meneteskan air mata.

Sempat terpikir untuk meminta bantuan temannya. Tapi, siapa? Kebanyakan temannya banyak menanya padanya. Nilai-nilainya yang selalu bagus, lantas membuatnya menjadi pusat pertanyaan. Cukup besar juga gengsinya untuk bertanya pada teman, yang ia pikir lebih rendah kemampuannya darinya. Teman-teman seangkatan belum ada yang lulus: dia yang pertama. Mana mungkin sarjana dengan IPK yang hampir cumlaude bertanya pada mahasiswa yang bahkan perkuliahannya banyak belum selesai. Tapi Cici mulai putus asa. Kembali ia mengutuki diri, dan menyadari: betapa berat gelar yang dipikulnya.

Tak menyerah, Cici mencoba menulis. Lima menit.. sepuluh menit.. setengah jam Ia memelototi layar komputer, tak juga terlintas kata pertama untuk memulai tulisannya. Ah! Betapa sukarnya hanya membuat surat lamaran saja, pikir Cici mengutuki. Sampai akhirnya, tak ada satupun contoh yang Ia dapat, tak satu katapun yang Ia tulis, Cici menyerah. Ia lalu merebahkan badan dengan mata sembab berair. Pikirnya melayang, membayangkan jika sampai akhir tahun Ia tak dapat kerja. Membayangkan, hari dimana ayah dan bundanya menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tak barang satu waktupun pernah ia lihat dan bayangkan. Tak kuasa ia menahan tangis membayangkan saat suami yang tak ia tahu siapa mulai menjamah dan melampiaskan hasrat kelelakiannya: ngeri. Betapa saat itu, gelar sarjana pengajaran yang ia raih tak dapat menolongnya dari kuasa suami kepada istri.

Sempat ia terpikir untuk meraih handphonenya mengabari bundanya disana. Menegaskan menolak perjodohannya. Tapi apa kuasa dia sebagai anak yang lahir di lingkungan serba patuh. Titah orang tua adalah titah dewa yang pamali ia tolak. Pikirannya terus bergejolak. Badannya lemas tak kuasa menahan gejolak pikirannya. Ia pun bangkit, mengusap seluruh airmatanya.

***

Pagi itu, belum sempat juga semburat matahari muncul di sudut lazuardi, tak seperti biasanya: Kosan Melati Hijau gempar. Awalnya, Suci, salah satu pengisi kosan tersebut, hendak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Namun, saat melewat kamar nomor 13, ia sempat mencium bau busuk. Bau busuk yang menusuk hidung, seperti bangkai tikus berhari hari. Sejenak ia menyadari, pengisi kamar itu tiga hari ini tak keluar kamar. Ia mengetuk-ngetuk, tak ada jawab.

Suci mulai penasaran, mengintiplah ia ke kaca nako yang atasnya sedikit terbuka.  Bukan main ia kaget, tersentak ia mendapati: pengisi kamar tergantung dengan jerat tambang di lehernya. Dindingnya bercoretkan darah: “GELAR TIADA GUNA, JIKA ISI KEPALA SEKEPAL SAJA”.


Pagi ternyata mendung, gemuruh petir dikejauhan meredam riuh manusia yang berkumpul di Melati Hijau. Lalu titik hujan membasahi bendera kuning dari kertas wajit, layu seakan berduka cita melepas kepergian sarjana yang beberapa saat lalu telah diwisuda.

Senin, 17 Agustus 2015

Siswa yang Merdeka*

Oleh : Isman Rahmani Yusron


Praktik pendidikan di Indonesia, sering kali tak ubahnya seperti penjajahan. Kemerdekaan berfikir seorang siswa, kadang kali direnggut oleh kurikulum atau bahkan gurunya. Siswa disekolah, dipaksa untuk menelan bulat-bulat konten kurikulum yang dibuat pemerintah, belum lagi setiap hari dijejali oleh doktrin dan tugas-tugas dari para guru. Siswa, yang semestinya bisa mengembangkan pikiran dan pengetahuannya, terpaksa dipenjara seperangkat batasan pembelajaran dan metode-metode yang sama. Siswa dipaksa memahami berbagai rumus, tapi tak diberitahu kenapa ia harus memahaminya. Siswa dituntut untuk mempelajari ini itu, tapi tak diberi kebebasan untuk memandang dari sudut yang berbeda.

Saat disekolah, siswa tak diperkenankan memilih apa yang ingin dipelajarinya. Setiap minggunya, siswa mesti menelan bahan ajar yang telah ditentukan sebelumnya. Seolah, guru dan pembuat kurikulum lebih tahu apa yang harus dan tidak harus dipelajari siswa. Ironisnya, apa yang diajarkan dari sabang sampai merauke bersumber dari kurikulum yang dibikin di Jakarta. Seolah, standarisasi pengetahuan -yang jauh dari konteks kehidupan siswa, lebih baik dan dibutuhkan siswa.

Tidakkah standarisasi ini, tak ubahnya seperti penjajahan kreatifitas siswa? Siswa yang memiliki kemampuan dan potensi yang tak sama, dipangkas dan ditekan agar memenuhi standar yang serupa. Siswa yang memiliki daya nalar tinggi, dipangkas direduksi hingga memenuhi standar yang sama. Lantas, siswa yang memilii kemampuan terbatas, ditekan, dipaksa memenuhi standar yang jauh dari jangkauan kemampuannya. Pada akhirnya, kreatifitas siswa tidak berkembang, yang kemampuannya terbatas, digusur dipaksa dan akhirnya jenuh dan kelelahan.

Alih-alih siswa kasmaran untuk belajar, yang terjadi hanya kecanduan disuapi pengajaran. Belajar yang asalnya bentuk kata kerja aktif, direduksi jadi kepasifan. Esensi pedagogis, yang asalnya membimbing siswa untuk mengembangkan kemampuan belajar, malah jadi praktik pembentukan dan pemaksaan. Siswa bak lilin yang bebas dibentuk jadi apa saja oleh gurunya. Kebebasan siswa diperkosa, dipaksa menerima penetrasi pengetahuan yang tidak diperlukannya.

Sepantasnya, di sekolah, siswa diberikan kebebasan memilih apa yang ingin dipelajarinya. Penulis yakin, setiap siswa tahu pengetahuan apa yang dibutuhkannya dalam kehidupan sehari hari. Sekolah, seharusnya melakukan need asessment pada siswa, sebelum tahun ajaran dimulai. Sehingga, dapat tergambar kebutuhan belajar apa yang betul-betul diperlukan siswa. Perumusan konten kurikulum, sepatutnya berdasarkan atas kebutuhan itu, bukan berdasarkan ilusi yang bahkan ngawur dan tidak kontekstual bagi kehidupan siswa.

Praktik kurikulum yang berdasarkan kebutuhan siswa itu, tak mungkin bisa jika masih tersentralisasi. Sepatutnya, tingkat kemampuan siswa, dan kebutuhan materi ajar yang berguna bagi kehidupan siswa, diakomodir dalam perumusan kurikulum. Tentu nantinya, kurikulum akan semakin plural dan beragam, tapi tak apa, bukankah perbedaan mestinya jadi keniscayaan? Justeru faham sentralistik dalam kurikulum yang selama ini terjadi, toh tidak menghasilkan prodak yang memuaskan?

Maka dari itu, pemerintah sudah sepatutnya mulai membuka diri untuk mengambil langkah pembebasan siswa dari jerat sistem yang seragam. Akomodasi perbedaan kemampuan siswa, adalah bentuk pemerdekaan siswa saat disekolah. Toh, pendidikan adalah hak siswa, dan siswa juga berhak memilih apa yang ingin dipelajarinya, dan mengembangkan kemampuan berfikirnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Akhirnya, penjajahan yang berbentuk standarisasi baik dalam kurikulum maupun ujian kesetaraan, perlu segera dimusnahkan, demi melahirkan siswa yang bebas dan merdeka.
*) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 18 Agustus 2015

Kamis, 05 Maret 2015

MEMPERSIAPKAN KARIR SISWA DI MASA DEPAN

Selain menghadapi Ujian Nasional, siswa SMA/MA juga akan menghadapi SNMPTN. Memang Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) ini tak melalui tes. Akan tetapi, mau tidak mau SNMPTN juga membuat konsentrasi siswa terbagi. Pasalnya, penentuan sekolah lanjutan menjadi penentu awal karir siswa dimasa depan. Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan agar siswa tak mengalami kecemasan. Terutama bagi siswa yang gamang dalam menentukan jurusan.

Momen SNMPTN ini terkadang tak jadi perhatian bagi sekolah. Karena sekian lama sekolah melulu terbiasa disibukkan oleh kegiatan UN. Padahal SNMPTN juga tak kalah menentukan bagi nasib siswa. Tingkat keterserapan siswa di SNMPTN juga ikut menyumbang reputasi sekolah. Namun, karena selama ini yang jadi prioritas adalah kelulusan 100 persen di UN, SNMPTN dinomorduakan. Tak heran jika kemarin (5/3) media ini memberitakan, baru 20% sekolah mengisi PPDS.

Perhatian sekolah terhadap SNMPTN memang bukan pada penyelenggaraannya. Urusan administrasi seperti pengisian PPDS memang penting tapi ada yang lebih penting. Perhatian sekolah terhadap kemampuan siswa dalam menentukan keputusan jurusan terkadang tak begitu diperhatikan. Siswa akhirnya banyak dilepaskan dalam menentukan jurusannya sendiri. Bahkan tanpa tau apakah itu selaras dengan minat dan kompetensi bawaannya.

Banyak gejala negatif yang sering muncul di kalangan mahasiswa setelah masuk perguruan tinggi. Kebanyaan bahkan bukan menyangkut sulitnya tugas kuliah atau proses pendidikan di perguruan tinggi. Tak sedikit mahasiswa malah merasa salah memilih jurusan. Bahkan, ada yang merasa terpaksa masuk ke jurusan yang dituju, apakah karena desakan orang tua atau karena waktu yang mepet sehingga asal memilih. Akhirnya yang terjadi adalah mahasiswa merasa tertekan, tidak bersemangat kuliah, bahkan akhirnya drop out.

Persoalan ini memang tak terkait secara langsung dengan sekolah. Namun, kurangnya fasilitiasi sekolah dalam mengadakan layanan bimbingan menjadi salah satu penyebabnya. Minimnya perhatian sekolah terhadap penyelenggaraan bimbingan karir ikut menyumbang ketidaksuksesan tersebut. Padahal, persoalan ini jelas merupakan masalah serius yang harus diantisipasi. Mempersiapkan masa depan siswa juga harus menjadi prioritas utama selain mempersiapkan untuk mengikuti ujian.

Dalam persoalan ini, perlu ada alokasi waktu khusus bagi siswa untuk memiliki keterampilan persiapan karir. Sebagaimana lazimnya sebelum ujian ada momen pemantapan, dalam menentukan jurusan kuliah pun perlu ada pemantapannya. Pemantapan ini semacam program yang berisi tentang persiapan karir siswa di masa depan. Isinya menyangkut keterampilan mengambil keputusan, penyelerasan minat, bakat dan keterampilan, penyelarasan kepribadian dengan karakter pekerjaan, seluk beluk dunia perguruan tinggi hingga kiat-kiat dalam menjalani dunia kemahasiswaan.

Melalui program ini, siswa difasilitasi untuk secara aktif dapat menentukan rencana karirnya dimasa depan. Karir tak melulu berbicara tentang pekerjaan, tapi tentang rencana kehidupan secara keseluruhan. Selain itu, siswa juga dapat mengetahui sejauh mana bakat yang dimilikinya serta keselarasan dengan minat karirnya. Terkadang siswa memilih jurusan tanpa pengetahuan yang cukup tentang karakteristiknya serta corak bakatnya. Akhirnya, Ia kelabakan mengikuti perkuliahan karena tak sesuai dengan bakat yang dimilikinya.


Diharapkan, melalui intervensi program tersebut siswa lebih matang dalam menjalani kehidupannya dimasa depan. Hidupnya tidak dihantui rasa ketidakcocokan dengan karir yang dimilikinya. Tentunya, program ini memerlukan dukungan yang besar dari penyelenggara sekolah. Jangan melulu konsentrasi tersandera pada persiapan mengikuti ujian semata. Namun, lupa jika ada yang lebih perlu dipersiapkan yaitu karir siswa. Jangan sampai seperti mengerahkan segala upaya untuk melewati sungai deras, tapi lupa mempersiapkan bekal untuk melanjutkan perjalanan.[]

Selasa, 27 Januari 2015

Biarkan Siswa Menentukan Standarnya Sendiri

Selepas ditetapkannya bahwa ujian nasional tidak lagi menjadi penentu kelulusan, saat kita memikirkan formulasi penggantinya. Bukan berarti membuat formulasi yang sama atau sekadar mengganti, namun juga betul-betul mempertimbangkan siswa sebagai subjek yang menentukannya. Jika selama ini yang menentukan capaian standar yang harus diraih siswa adalah pemerintah, kini saatnya memberikan porsi yang besar bagi siswa untuk menentukan tingkat capaiannya sendiri.

Banyak yang bertanya, ketika UN dihapus dan tidak lagi menjadi penentu kelulusan, maka apa yang menentukan siswa lulus atau tidak? Jawabannya cukup sederhana: siswa! Ya, siswalah yang patut menentukan sendiri tingkat standar yang dicapai oleh dirinya. Selama ini tes standarisasi, alih-alih membuat siswa bersemangat belajar, malah menjadi tekanan yang membuat siswa mengalami stress yang negatif. Formulasi ujian yang baru harus menghilangkan aspek tekanan ini, siswa harus diberikan ruang yang luas untuk menentukan tingkat kualitas belajarnya sendiri.

Sebetulnya, siswa tidak perlu dibebani dengan tingkat standar tertentu. Anggapan jika tidak ada ujian, siswa tak belajar jelas merupakan statement yang keliru. Siswa sebetulnya akan termotivasi untuk belajar dan menginvestasikan energinya untuk proses pembelajaran jika siswa memiliki keterikatan yang kuat (engagement) dengan proses belajarnya. Keterikatan yang kuat ini akan muncul ketika siswa memahami betul tujuan yang hendak dicapainya dalam proses pembelajaran.

Siswa, jika dipaksa dan ditekan terus menerus untuk memenuhi target tertentu, lama kelamaan secara psikologis dia akan mengalami keletihan. Dalam kondisi ekspektasi pemenuhan standar tertentu, yang terjadi adalah physical and emotional withdrawal. Pembelajaran tak ubahnya seperti kontrak kerja antara guru dan murid. Akan tetapi, sebaliknya jika siswa sendiri yang menentukan standar dan targetnya sendiri sejak awal proses pembelajaran, dengan sendirinya dia akan engage dengan proses pembelajaran. Dalam kondisi ini, siswa akan cenderung lebih menginvestasikan energi fisik, emosi serta kognitifnya secara signifikan.

Standar dan target yang jadi tujuan belajar siswa, tentunya ditentukan oleh siswa sendiri menurut minat dan kemampuannya sendiri. Minat siswa dalam hal ini diberikan prioritas penting dalam proses pembelajaran, yang dalam hal ini berupa minat karir atau sekolah lanjutan yang diinginkan siswa. Seperti misalnya siswa ingin masuk fakultas kedokteran, maka sejak awal siswa dapat dibimbing untuk menentukan target karir dimasa depan dalam bidang kedokteran. Tentunya untuk masuk ke fakultas kedokteran siswa akan memahami sendiri berapa target pencapaian nilai yang ia perlukan. Dalam hal ini guru Bimbingan dan Konseling berperan dalam membantu siswa memahami target yang hendak dicapai siswa.

Sudah barang tentu tidak semua siswa ingin ke fakultas kedokteran. Misalkan siswa lain ingin masuk jurusan Hukum, siswa dibimbing untuk menentukan targetnya sendiri dengan mengkoleksi nilai-nilai yang dibutuhkan untuk masuk ke fakultas kedokteran. Selanjutnya jika siswa ingin ke keguruan, politeknik, institut teknologi atau bahkan ke perguruan tinggi luar negeri, tentunya masing-masing memiliki standar yang berbeda-beda. Dengan begitu, siswa diberikan kebebasan dalam memfokuskan diri serta menentukam targetnya sendiri untuk memasuki jurusan yang diminatinya.


Melalui bentuk demikian, tak perlu lagi ada bentuk tes standarisasi yang menekan kondisi psikologis siswa. Tekanan akan menjadi negatif (distress) ketika dipaksakan untuk memenuhi standar tertentu yang kadang tidak diperlukan atau tidak difahami tujuannya oleh siswa. Namun, ketika yang menentukan nasib lulus atau tidaknya dia melalui standar yang ditentukannya sendiri, ini juga akan menjadi tekanan namun tekanan yang lebih positif (eustress). Jika siswa merasa memiliki kebebasan menentukan nasib dan standarnya sendiri tanpa harus dipaksa sama dan standar dengan orang lain, siswa dapat merasakan kondisi keterlibatan yang intens dalam proses pembelajaran. Bahkan, hal ini dapat menimbulkan achievement yang lebih daripada yang ditargetkan.