Selasa, 29 April 2014

Masihkah Kita Percaya UN?

Sekali lagi, Kemendikbud dipecundangi oleh kenyataan bahwa Ujian Nasional tak lagi memiliki kredibilitas. Kemarin, media ini mengabarkan ditemukannya fakta beredarnya bocoran soal UN, pada saat sebelum UN berlangsung. Sepatutnya kenyataan ini membuka mata kita, bahwa tak ada alasan lagi untuk mempertahankan UN sebagai standar kelulusan siswa.

Jikalau jajaran Kemendikbud masih memiliki fikiran jernih dan waras, tentunya fakta ini mesti dijadikan bahan evaluasi untuk tidak lagi memakai UN sebagai standar kelulusan. Pasalnya, dari sejak lahirnya, kebijakan ini telah cacat dan setiap tahunnya tak pernah lepas dari kecurangan. Berhenti untuk menyatakan bahwa kecurangan UN ini hanya segelintir kasus semata. Penyangkalan semacam ini hanya mempertontonkan kebodohan yang nyata.

Bayangkan saja, jika UN ini masih tetap keukeuh jadi penentu kelulusan siswa. Betapa banyak siswa yang diperlakukan tidak adil karena mereka yang jujur harus dipersamakan dengan mereka yang curang. Meski lulus atau tidak pun, mereka tak dapat menjamin apakah kelulusan atau ketidaklulusannya adalah hal yang terjamin kepercayaannya.

Akan selamanya mereka dihantui rasa bersalah dan tertanamlah keyakinan kerdil bahwa pendidikan tak menjamin seseorang memiliki budi yang terpuji. Apalagi rencananya UN akan dipakai sebagai bahan pertimbangan masuk perguruan tinggi negeri. Semakin besarlah peluang yang terbiasa curang menjadi sosok agen  perubahan. Sudah dapat kita baca, kemana arah negeri ini berubah. Pembiaran akan hal ini merupakan wujud nyata dari menghancurkan bangsa.

Penderitaan negeri ini sudah cukup besar dengan banyaknya kebodohan. Kebodohan yang akhirnya hanya menghasilkan kemiskinan dan kriminalitas. Tentunya kebodohan yang massif ini berbiaya sangat tinggi. Sehingga, jangan pula negeri ini memamahbiakkan benih-benih ketidakjujuran. Sudah dapat dipastikan, hasilnya adalah para bandit-bandit dan segerombolan penipu berijazah. Bayangkan, jika prodak ketidakjujuran ini mengisi tempat-tempat strategis di negeri ini pada masa depan. Celakalah kita.

Menemukan kenyataan seperti ini, sepatutnya segera pihak Kemendikbud mengambil langkah strategis. Tentunya, jangan hanya mempersoalkan temuan kecurangannya, bak menambal jalan berlubang. Jika di ibaratkan, kini pendidikan sudah sedemikian kronisnya mengidap kanker. Maka tak ada lagi jalan selain mengambil langkah total sebelum kerusakannya semakin menjalar dan menggerogoti kesehatan pendidikan kita.

Apalagi alasan yang bisa memperkuat bahwa UN ini mesti dipertahankan? Jika alasannya untuk memetakan kualitas pendidikan, lantas dari penyelenggarannya yang lebih dari sepuluh tahun ini, apa hasilnya? Dapat dilihat dengan kasat mata, kualitas pendidikan kita masih jalan ditempat. Kualitas pendidikan kita masih kalah dari negara tetangga. Malah, lebih parah, kerusakan moral semakin banyak terjadi dalam wilayah pendidikan. Artinya ini tak lagi memiliki kekuatan untuk membuktikan bahwa UN masih penting diselenggarakan.

Lantas jika alasannya, sebagaimana apa yang dikatakan Jusuf Kalla, bahwa anak tak akan belajar jika tak ada ujian? Inilah justru mitos dalam pendidikan yang masih kita pertahankan. Justru seharusnya kita harus khawatir jikalau siswa hanya mau belajar karena ada ujian. Hal ini berarti bahwa belajar bukan menjadi kebutuhan hidup, akan tetapi menjadi kebutuhan formalitas. Padahal, seyogianya belajar adalah kegiatan seumur hidup seseorang.


Sudah sepatutnya, kenyataan ini dijadikan bahan introspeksi. Sebelum UN ini dipakai untuk mengevaluasi dan meluluskan siswa, mesti terlebih dahulu dijadikan alat mengevaluasi dan meluluskan kinerja pemerintah wabil khusus kementerian pendidikan dan kebudayaan. Kemendikbud mesti menyadari, sebelum menstandarisasi siswa, terlebih dahulu lah mereka menstandarisasi kinerja mereka dalam melaksanakan kewajiban memenuhi fasiliitas pendidikan. Yang perlu di standarisasi adalah kualitas sekolah dengan terus meningkatkan infrastruktur dan fasilitas pendidikan. Jangan karena hal itu sulit diwujudkan, akhirnya siswa yang jadi korban.