Senin, 09 Oktober 2017

Ironi Sarkastik, Katalisator Kreatifitas dan Kompleksitas Kognitif

Oleh : Isman Rahmani Yusron


1.      Kata dan Pemrosesan Informasi

Pada percakapan sehari-hari, gaya berbahasa seseorang dalam berkomunikasi begitu unik dan khas. Terutama terkait dengan budaya di Indonesia yang beragam, berbagai bentuk pengungkapan berbahasa yang sangat bervariasi. Saat berkomunikasi, tergantung pada konteks tertentu seseorang dapat menggunakan bahasa sopan, bahasa pergaulan, bahasa slang, bahkan hingga menggunakan bahasa sarkasme. Secara umum, masing-masing individu saat mengungkapkan maksud pembicaraannya, ada yang diungkapkan secara langsung dan jelas agar yang diajak bicara mudah menangkap maknanya, ada juga yang melalui ungkapan-ungkapan tidak langsung atau melalui berbagai perumpamaan agar yang diajak bicara dapat menafsirkan sendiri maknanya dan memahaminya.

Pada akhirnya, berkomunikasi tidaklah terbatas pada proses mentransfer bunyi suara dari kata-kata, lebih jauh dari itu terdapat transformasi makna pada suatu bentuk pengertian tertentu. Bahkan secara ekstrem, ada ungkapan words don’t mean, people mean, yang menunjukkan bahwa kata-kata hanyalah simbolisasi maksud akan tetapi melalui simbol itulah individu membangun makna dan pengertian. Proses ini, bukan lagi persoalan linguistik semata, lebih jauh merupakan kajian menarik dalam ilmu psikologi. Stimulus kata-kata yang diucapkan lawan bicara, diproses secara mental dan otak mencernanya dengan menyatukan berbagai informasi hingga terbangun makna pemahaman tertentu sebagai bahan untuk merespons stimulus tersebut. Misalnya, saat lawan bicara mengatakan “mobil”, otak merespon dengan mencari asosiasi kata tersebut dalam memori tentang sebuah benda dengan bentuk tertentu dan memiliki ciri tertentu. Sehingga, melalui proses itu tergambar maksud pembicaraan lawan bicara dan terbangun pemahaman secara keseluruhan tentang isi pembicaraan.

Kata atau kalimat yang memiliki makna yang jelas dan lugas, akan secara langsung direspon otak sesuai dengan makna ucapannya. Otak tidak menerjemahkan kembali maksud diluar dari makna ucapan karena secara jelas merujuk pada informasi tertentu. Bagian otak yang memproses kata-kata, mengolah lebih mudah makna yang terkandung dalam kata yang diungkapkan dan secara langsung terbangun pengertian dari keseluruhan kalimat. Secara konseptual, proses bagaimana otak mencerna kata-kata dan konsepnya disebut sebagai mental lexicon, proses mental mengenai penyimpanan informasi mengenai kata-kata yang mencakup informasi semantik (makna kata), informasi sintaktik (bagaimana kata dikombinasikan menjadi bentuk kalimat), dan bentuk detail dari kata (pengucapan dan pola suaranya) (Gazzaniga, Ivry, & Mangun, 2015).

Sekilas, atau secara mudah disimpulkan bahwa ketika kalimat yang diucapkan lawan bicara menyebutkan kata-kata langsung –tanpa makna luas dibaliknya, proses mental yang terjadi di dalam otak berlangsung tidak terlalu kompleks. Otak hanya mencatut kembali informasi-informasi sebelumnya mengenai kata-kata tersebut dan menyusunnya jadi suatu pengertian tertentu. Akan tetapi beda halnya jika, kalimat yang diucapkan lawan bicara tidak sesuai dengan makna sebenarnya atau bahkan kebalikan dari makna yang sebenarnya. Tentunya pada pemrosesan kata-kata jenis tersebut, ada proses membangun makna yang melibatkan pemahaman konseptual terkait konteks tertentu. Misalnya ketika seseorang memakai baju warna hitam, lalu lawan bicara berkomentar dengan kalimat “wah, sepertinya kamu sedang berkabung ya?”. Padahal dalam konteks saat itu, ia tak mengalami pengalaman menyedihkan atau berkabung, akan tetapi yang diajak bicara akan dapat memahami bahwa komentar lawan bicara bukan mengenai konteks pengalaman, melainkan komentar tentang warna baju yang digunakan. Bagaimana kata-kata yang tidak bermakna sebenarnya dapat diproses menjadi pemahaman tertentu dan langsung mengaitkannya dengan warna baju yang sama sekali tidak berhubungan secara arti kata? Tentunya otak lebih kompleks mencernanya dibandingkan dengan mendengar kata-kata “kok memakai baju warna hitam?”.

Bentuk ungkapan komunikasi secara tidak langsung ini, membutuhkan pemrosesan yang kompleks dan penuh kesadaran. Komunikan setelah menangkap pesan, harus menafsirkan lebih dari sebatas makna aslinya bahkan melibatkan proses kognitif yang kompleks. Pada saat seseorang bertanya, “Siapa namamu?”, respon individu bahkan tidak memerlukan kesadaran yang penuh, dapat menjawabnya. Namun berbeda ketika hal itu diungkapkan dengan “Kamu sudah terkenal?” dalam konteks baru bertemu orang yang baru, maka yang diajak bicara akan melibatkan kesadaran penuh untuk memaknai pertanyaan tersebut dan sampai pada pemahaman bahwa dirinya belum mengenalkan diri atau menyebutkan nama. Seperti contoh sebelumnya, ketika mendengar “sepertinya kamu sedang berkabung?”, otak akan memproses secara sadar dan melibatkan kompleksitas kognitif pada pencarian informasi yang terkait dengan makna “berkabung”. Makna kata tersebut dekat dengan kesedihan, dan dalam konteks budaya tertentu (bahkan universal?), kesedihan atau berkabung identik dengan simbol “hitam”,  dan lalu otak secara sadar menginspeksi informasi dalam memori terkait dengan simbol tersebut. Kemudian, antara makna “berkabung”, dikaitkan dengan ingatan tentang pakaian yang digunakan yaitu pakaian serba warna hitam yang juga terkait dengan informasi pakaian yang biasanya digunakan saat berkabung.