Senin, 15 Desember 2014

Desentralisasi Kurikulum & Otonomi Sekolah

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, Jum’at (5/12) lalu akhirnya memutuskan untuk mengaborsi Kurikulum 2013. One step better, daripada memaksakan kurikulum setengah matang itu ditelan oleh sekolah-sekolah yang jelas tidak siap. Secara konseptual, kurikulum ini mungkin bertujuan mulia dan mengandung cita-cita besar. Tapi apa boleh dikata, cita-cita besar ini jadi tidak realistis jika disandungkan pada kenyataan di lapangan.

Kondisi ini menjadi hikmah tersendiri. Mendesain dan mengirimkan sebuah kurikulum, harus juga mempertimbangkan situasi dan kondisi nyata dilapangan. Apalagi kurikulum ini dibuat tergesa-gesa dan sarat muatan politis, aspek-aspek tersebut mungkin kurang diperhitungkan. Meski kabarnya Kurikulum 2013 ini hendak disempurnakan dan digodok ulang, bukan tidak mungkin nantinya kurikulum yang baru lagi menuai polemik kembali. Memang ini sebuah konsekuensi, akibat sistem kurikulum yang dirancang secara sentralistik.

Permasalahan, dari kurikulum ke kurikulum, selalu bukan dari gagasan konseptual. Setiap kurikulum memiliki gagasan bagus dan bertujuan besar. Tapi, yang jelas menjadi polemik adalah ketika kurikulum tersebut diimplementasikan di lapangan. Masalah muncul ketika ada gagasan kurikulum yang hanya “jakarta sentris” tak menimbang kondisi nyata sekolah Indonesia dengan berbagai keragamannya. Ini yang selalu menjadi masalah, sehingga kurikulum yang dikirimkan pusat selalu menemukan sandungannya.

Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri, apakah betul kurikulum ini harus serba seragam dan se-sentralistik ini? Kurikulum bak menu makanan di restoran yang tak ada pilihan lain selain menelannya. Akhirnya, berbagai macam selera dan kemampuan mencerna, dipaksa harus menelan menu yang sama. Di jaman pasca refomasi ini, langkah sentralistik dan serba seragam ini terdengar seperti cerita usang orde baru. Sudah sepatutnya, konsep sentralistik ini berubah kearah otonomisasi pendidikan dan desentralisasi kurikulum.

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keragaman yang luarbiasa. Setiap sekolah di Indonesia, tak pasti memiliki situasi, kemampuan dan kebutuhan yang sama. Padahal bukankah tujuan pendidikan adalah harus selalu relevan dengan lingkungannya? Lantas apa alasan bahwa kurikulum di Papua sana harus sama dengan Jakarta? Atau kebutuhan output pendidikan di Nusa Tenggara harus sama dengan Jawa?

Sudah sepatutnya, Pemerintah memberikan keleluasaan bagi sekolah-sekolah untuk menentukan sendiri rencana dan perangkat pembelajarannya. Sehingga dengan itu, guru dapat memilih dengan bebas buku mana yang mesti dirujuknya, atau gaya pembelajaran apa yang cocok untuk muridnya. Yang lebih penting, dapat menentukan materi apa yang relevan diajarkan agar siswa dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya untuk lingkungannya sendiri. Melalui kebebasan ini, diharapkan guru terdorong untuk kreatif dalam membuat pendidikan itu lebih bermakna bagi siswa.

Kalaulah tidak persekolah pun, desentralisasi ini bisa bertahap mulai dari tingkatan provinsi ataupun kabupaten. Yang jelas, sentralisasi dan standarisasi tidak lagi menjadi “tuhan” dalam pendidikan. Seolah, ketika tidak sama standarnya merupakan sebuah dosa. Memang kenapa jika tidak sama? Percuma terstandarpun jika malah pengetahuan para siswa mengambang diawang-awang jauh dari pijakan. Pengetahuan dan kompetensi siswa, harusnya selalu relevan dengan permasalahan lingkungannya. Sehingga, melalui desentralisasi kurikulum ini, diharapkan output dari pendidikan berorientasi pada semangat membangun daerahnya sendiri.


Selama ini, kurikulum yang sentralistik selalu menjadi beban para guru dan sekolah. Beragamnya kesanggupan guru dan sekolah dipaksa mengejar kurikulum yang sama. Sehingga ruang kebebasan berfikir dan kreatifitas tertutup karena terbiasa dikekang sistem. Kondisi ini tidak bagus bagi perjalanan pendidikan di negara dengan keragaman budaya dan lingkungan yang se-plural ini. Sudah saatnya, pemerintah mencari formula kurikulum yang mengakomodasi pluralitas dan kebebasan berkreasi dalam merancang pendidikan yang bermakna bagi siswa.