Kamis, 19 Desember 2013

IMPOTENSI PENGELOLAAN ANGGARAN KEMENDIKBUD

Rendahnya penyerapan anggaran oleh lembaga negara, tak terkecuali Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, menandakan begitu percumanya anggaran tinggi jika tidak di iringi dengan efektifitas penyerapan anggaran. Kenyataan ini sungguh menambah rentetan rapor merah Kemendikbud, setelah berbagai banyak kebijakan yang juga tak efektif untuk pendidikan.

Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 hasil amandemen yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Pasal ini jelas menginstruksikan bahwa yang dibutuhkan tidak hanya penganggaran saja, akan tetapi prioritas penyerapan yang sekurang-kurangnya 20% dari APBN.

Seperti yang diberitakan “PR” hari ini (19/12), Kemendikbud hanya dapat menyerap 74% dari total anggaran sebesar Rp.79 triliun. Hampir 20 triliun rupiah anggaran tahun ini tak berhasil dimanfaatkan oleh Kemendikbud untuk membiayai pendidikan nasional. Angka ini sangat fantastis jika dibandingkan dengan berbagai persoalan pendidikan yang belum selesai.

Dengan sisa anggaran yang hampir 20 triliun itu, hingga sekarang masih banyak sekolah-sekolah yang masih memungut uang dari siswa akibat kurangnya kucuran anggaran. Sampai saat ini pula masih banyak sekolah-sekolah swasta yang hampir bangkrut karena kalah saing akibat fasilitas yang dimiliki tak memadai sedangkan kebutuhan pembiayaan tinggi. Akhirnya, banyak sekolah-sekolah yang  membebankan pembiayaan pada masyarakat.

Selain itu, yang hangat dibicarakan juga adalah nasib guru honorer yang gajinya tak lebih baik dari gaji buruh pabrik. Padahal, para guru honorer ini berjasa besar dalam membantu pemerintah untuk menyelesaikan persoalan rendahnya pendidikan masyarakat. Masih banyak guru honorer yang hingga saat ini ditengah kebutuhan hidup yang begitu mencekik, bertahan menjadi pendidik meski hanya digaji sebesar 10 ribu per jam per minggu.

Dengan kenyataan rendahnya penyerapan anggaran dibandingkan dengan banyaknya persoalan yang belum selesai, menimbulkan ironi tersendiri. Jika dihitung-hitung, anggaran 20 triliun yang tak bisa dimanfaatkan Kemendikbud, sangat cukup sekali untuk menghentikan pungutan-pungutan liar disekolah terhadap siswa. Bahkan bisa memberi secercah harapan bagi para guru honorer untuk sementara menikmati hidup yang cukup.

Begitu lamban dan tidak efektifnya Kemendikbud dalam menyerap anggaran, menandakan rendahnya kualitas manajerial penggunaan anggaran di Kemendikbud. Salah satu contoh, keterserapan yang hanya 74% dari total anggaran itu, sudah termasuk berbagai langkah Kemendikbud yang terkesan menghamburkan anggaran namun begitu tak efektif. Misalnya, penyelenggaraan konvensi Ujian Nasional beberapa waktu lalu, proyek percetakan soal UN, hingga pelatihan seadanya dan pencetakan buku kurikulum 2013.

Selain rendahnya kualitas manajerial yang dimiliki Kemendikbud, rendahnya penyerapan anggaran juga menandakan kurangnya sense of crisis dari Kemendikbud terhadap kondisi pendidikan nasional. Hingga saat ini, masih banyak anak-anak negeri ini yang berkeliaran dijalan tak sekolah. Banyak pula anak-anak sekolah yang hanya menikmati kandang kambing untuk tempat belajar. Bahkan, banyak pula anak-anak yang menggigit jari melihat sekolahnya ditutup karena tak mampu membiayai kebutuhan sekolah.

Jika rentetan persoalan pendidikan negeri ini belum terselesaikan, namun anggaran masih tinggi sekali menumpuk, tidakkah ini merupakan bentuk kurangnya komitmen Kemendikbud untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional? Sangat disayangkan, rendahnya prestasi Kemendikbud ini pastinya mengecewakan para pendidik yang masih rela mengbdi tanpa digaji.

Lebih disayangkan lagi, bukannya introspeksi diri, menteri pendidikan M.Nuh malah lagi-lagi melontarkan disclaimer terhadap kenyataan ini. Nuh hanya mengatak tak jelek-jelek amat dengan pencapaian rendah ini. Padahal sudah jelas, bahwa ini sungguh prestasi yang buruk, mengingat bahwa kondisi pendidikan saat ini belum juga membaik.

Sudah sepatutnya bentuk perencanaan anggaran yang berpola top down ini dievaluasi. Seharusnya Kemendikbud membuat revolusi perencanaan anggaran yang bottom up, sehingga jelas apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan terbiayai oleh anggaran. Sehingga, diharapkan sekolah-sekolah akar rumput yang kering anggaran, mengecap besarnya 22% lebih anggaran pendidikan.

Selasa, 17 Desember 2013

KE (TIDAK) BIJAKAN MEMPERSULIT UN

Lagi-lagi, kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkesan mempersulit dan semakin menekan siswa. Hari ini (17/12), media ini memberitakan rencana dari kementrian untuk mempersulit Ujian Nasional SMA/SMK dengan menambah soal predikitif. Kata Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Teuku Ramli Zakaria, hal ini untuk mengakomodasi kehendak pemerintah. Pernyataan ini terlihat sungguh tidak empatik terhadap peserta didik. Selama ini, kebijakan-kebijakan selalu saja berusaha mengakomodasi “kehendak” penguasa. Seolah, peserta didik hanya seperti objek dari setiap kebijakan yang egois.

Penulis tidak habis pikir, apa sebenarnya yang di inginkan dari kebijakan ini? Selalu saja, efektifitas dan efisiensi menjadi legitimasi pemerintah untuk mengambil keputusan politis terhadap proses pendidikan. Akhirnya pendidikan dan peserta didik menjadi korban dari keegoisan kebijakan. Padahal, jika dikaji lebih mendalam, masih mempertahankan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan saja, sudah jelas tidak efektif dan efisien. Setidaknya efektif dan efisien menurut kacamata pendidikan.

Kebijakan menambah tingkat kesulitan Ujian Nasional, tentu sangat tidak bijak dan sangat tidak berdasar. Praktik ujian nasional yang selama ini telah berjalan saja sudah sangat membuat siswa mengalami distress yang sangat tinggi. Sekarang, muncul lagi “kehendak” untuk lebih menekan siswa melalui praktik ilegal itu. Bisa-bisa, nantinya siswa akan mengalami gejala-gejala depresi yang sangat berbahaya.

Dari berbagai penelitian, banyak yang menyatakan bahwa distress yang berkepanjangan dalam proses pendidikan menghantarkan siswa untuk mengalami kejenuhan belajar. Jika dibiarkan, kejenuhan belajar yang dihasilkan dari tekanan ujian nasional ini akan berdampak pada timbulnya gangguan kejiwaan. Salah satunya dari pendapat Salmela-Aro (2008) yang menyatakan bahwa kejenuhan belajar diantara remaja pertengahan dan remaja akhir (usia sekolah menengah atas) harus diberikan perhatian serius karena dapat menggiring pada depressive symptoms (gejala depresi).

Hal ini jelas, bahwa kebijakan menambah tingkat kesulitan Ujian Nasional tidak berdasar pada kajian psikologis siswa. Lalu darimanakah para pengambil kebijakan dalam pendidikan berpijak? Apakah dari hasil penelitian? Atau hanya sekedar kebijakan nonsense saja dan memang sangat bernuansa politis? Sungguh sangat tidak bijak jika pengampu kebijakan mengotak-atik pendidikan demi kepentingan-kepentingan proyek atau politis.

Atau mungkin kebijakan ini dari hasil pantauan kemendikbud atas hasil-hasil semu semata? Sebagai contoh, jujur penulis tergelak saat Kemendikbud berbangga hati atas survei Organization Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Program for International Student Assessment (PISA) yang menyatakan siswa Indonesia paling bahagia pertama di dunia. Kebanggan yang naif ini sungguh memperlihatkan bahwa Kemendikbud tidak paham persoalan pendidikan sebenarnya.

Sudah jelas, jika siswa ditanya apakah mereka bahagia di sekolah, tentunya mengatakan bahagia. Karena sekolah adalah satu-satunya tempat dimana siswa dapat melepaskan diri  dari tuntutan kehidupan nyata. Ada banyak sekali faktor yang membuat siswa bahagia di sekolah, mulai dari guru yang jarang datang, mudahnya membulying, belajar hanya sekedar formalitas, kegiatan nyontek massal yang dibenarkan, hingga berbagai proses pelajaran menghayal yang jauh dari kenyataan kehidupan.

Dalam konteks belajar, bahagia bukanlah ukuran, terlalu sederhana jika belajar hanya sekadar bahagia. Yang patut dibanggakan adalah ketika siswa mengalami kondisi enggagement dalam proses belajar. Kondisi engagement dalam belajar ini menurut Wilmar B Schaufeli (2002) didefinisikan sebagai kondisi yang positif, penuh energy, dan terhubung antara fikiran dengan pekerjaan yang berkarakteristik giat (vigor), berdedikasi (dedication), dan menyenangkan (absorption).


Jika mau memetakan kondisi siswa, kemendikbud harus mengukur tingkat enggagement siswa ini, tidak hanya sekadar mengapresiasi kebahagiaan. Penulis yakin, siswa tak mengalami kondisi ini disekolah, karena sudah jelas, secara teoritis kondisi distres dan kejenuhan berbanding terbalik dengan kondisi enggagement ini. Kebijakan untuk mempersulit UN akan semakin menjauhkan siswa dengan kondisi ini.