Sabtu, 21 April 2012

Kartini, Habis Gelap Terbitlah Sesat!

Siapa yang tak tahu Kartini kawan? Ya, dia yang selama ini kita kenal dengan namanya yang harum, lama kita klaim sebagai “Ibu” kita, seorang putri sejati sampai konon katanya memiliki cita-cita luhur untuk Indonesia. Tapi tidakkah kawan sadari bahwa semua yang melekat di memori kolektif bangsa Indonesia tentang Kartini sangat terlalu berlebihan? Pernahkah kalian sadari siapa sebenarnya Kartini?
Mendengar kata “Kartini” tentunya kita tergiring fikiran kepada sesosok perempuan yang merepresentasikan emansipasi. Emansipasi adalah spirit kesetaraan perempuan dengan laki-laki dari berbagai segi : sosial, psikologis ,budaya, ekonomi, dll. Spirit emansipasi bagi kaum ekstrimis penentang kesetaraan diartikan sebagai perjuangan posisi perempuan untuk setara dengan laki-laki dari berbagai aspek. Bahkan, salah arti dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap laki-laki.
Padahal, emansipasi yang asli tak mesti diartikan seperti itu. Spirit emansipasi adalah perlwanan terhadap budaya “kolot” yang tak memberikan banyak hak kebebasan perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri dan spirit tentang penghilangan diskriminasi bagi perempuan.
Kembali kepada Kartini, seorang yang katanya putri sejati telah melekat diingatan kita sebagai sosok yang mengeliminasi perjuangan wanita-wanita lain pada jamannya. Bahkan, saya cukup gerah –salah satu alasan saya menulis ini- dengan bentuk propaganda “Kartini” di berbagai media sampai memiliki hari sendiri, yakni 21 April 2012. Tapi siapa Kartini kawan? Siapa dia sehingga begitu dielukan oleh bangsa Indonesia,  sampai perlu kiranya semua orang mengucapkan “selamat hari Kartini”?
Kita coba lagi buka fikiran kita, tentang kejanggalan propaganda Kartini yang sebegitu hebatnya tertanam dalam hati bangsa Indonesia. Tahukah kawan, propaganda Kartini, cerita heroik –really?- Kartini, dan berbagai spirit yang melahirkan emansipasi kaum perempuan dengan identifikasi kata Kartini adalah kebohongan sejarah? Sungguh kawan, ini hanya konspirasi yang sangat rapih dan sampai kita luput menyadari bahwa ini terlalu berlebihan, terlalu dusta!
Beginilah ceritanya kawan. 1908 kira-kira tahunnya. Tahun itu, merupakan tahun kecemasan bagi pemerintahan Hindia Belanda yang menjajah Indonesia. Cemasnya bukan tak beralasan, karena waktu itu semakin kuatnya pemerintahan penjajah digoyang oleh gerakan menyeluruh dari kaum perempuan pribumi. Gerakan itu dinamai oleh Hindia belanda sebagai gerakan Holistisme khas Islam.
Gerakan yag cukup deras di penghujung abad ke-19 itu tentu membuat cemas para penjajah. Begitu cemasnya para penjajah terhadap “pemberontak” perempuan bukan karena mereka mengangkat senjata atau bambu runcing. Mereka sangat cemas karena waktu itu para perempuan pribumi “memberontak” melalui senjata intelektual. Kertas dan pena!
Salah satunya ialah epos “La-Galigo” yang ditulis oleh Siti Aisyah We Tenriolle. Seorang putri intelek yang berasal dari Sulawesi Selatan ini pernah membuat sejarawan Belanda BF Matthes terpesona karena pelangi sastra yang mengandung kritik dan pemberontakan melalui tulisan. Tak hanya nilai-nilai nasionalisme yang disuarakan, tapi juga nilai-nilai Islam yang menyeluruh.
Pemerintahan Hindia Belanda lebih gerah lagi, ketika Siti Aisyah We Tenriolle mendirikan sekolah modern yang terbuka untuk lelaki maupun perempuan. Ini sebuah kemajuan intelektual bangsa Indonesia yang lebih visioner dan “real action” ketimbang Kartini yang hanya bisa “curhat” kepada para sahabatnya (tentunya, jika kala itu ada Facebook atau Twitter, Kartini adalah gadis alay yang suka katarsis).
Ketika gerakan Siti Aisyah dan juga diikuti oleh perempuan-perempuan lain yang “memberontak” di daerah-daerah lain, seperti Dewi Sartika, Sultanah Safiatuddin, Nyi Endang Darma, dll. Maka, semakin cemaslah para penjajah. Maka, pada saat itu, Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintahan Hindia Belanda, merasa harus segera bertindak untuk menghentikan semua “kekacauan” tersebut.
Sedikit diceritakan, C.Snouck Hurgronje adalah seorang yang pernah mengaku masuk Islam. Tak hanya mengaku, dia pernah berguru di Al-Azhar Kairo. Bahkan Snouck pernah berganti nama menjadi Abdul Ghaffar dan pernah juga dianggap sebagai Syekh Islam Jawa. Benarkah dia pengikut agama Islam? Jelas tidak! Dia hanya berpura-pura masuk Islam, mencari ilmu Islam dengan tujuan untuk mengahancurkan gerakan Islam. Bahkan, menurut PSJ Van Koningsveld dalam bukunya Snouck Hurgronje en Islam, disebutkan bahwa dia adalah seorang orientalis Yahudi yang merupakan pengikut dari seorang agamawan Yahudi Ignaz Goldzhier.
Kembali pada “kekacauan” tadi, akhirnya Snouck Hurgronje mencari celah bagaimana menghentikan pergerakan nasionalisme pribumi dengan corak Islam yang kental.  Akhirnya dia bertemu dengan JH Abendanon (salah satu yang pernah membukukan surat-surat Kartini), untuk meminta pendapatnya bagaimana menghentikan pergerakan wanita nasionalisme Islam. Abendanon, yang waktu itu dekat dengan Kartini, dan sering-surat menyurat dengannya membisikkan untuk menjalankan taktik propaganda yang mengeliminasi suara-suara kaum wanita nasionalisme Islam.
Pilihan mereka jatuh pada Kartini! Kenapa Kartini? Karena, dia adalah salah seorang wanita “katarsis” yang dibesarkan oleh pendidikan Hindia Belanda. Melalui cara mengagung-agungkan surat Kartini kepada sahabatnya yang dianggap “tidak seberapa” pengaruhnya kepada pemerintahan Hindia Belanda, Abendanon dan Snouck mempropagandakan Kartini untuk meredam suara perjuangan para wanita nasionalis Islam.
Tujuan Snouck lainnya adalah untuk mengkultuskan atau mensucikan didikan Hindia Belanda sehingga menjadikan didikan Islam sebagai didikan yang primitif! Bahkan Snouck mengatakan “Pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan adalah langkah penting untuk menjauhkan mereka dari Islam.
Propagandapun dijalankan dengan mengusung tajuk “Emansipasi” dan perjuangan kaum perempuan melalui surat. Propaganda, yang sejak berabad-abad lalu dikatakan sebagai senjata paling berbahaya di dunia sejajar dengan Psikologi, sungguh ampuh menjadikan bangsa Indonesia sesat di lorong kegelapan sejarah. Habis Gelap Terbitlah Terang tak cocok menggambarkan Kartini! Tapi, Habis Gelap, Terbitlah Sesat! Sesat fikir, sesat sejarah, menjadi korban pembodohan kaum penjajah dan orientalis Yahudi.
Akhirnya, hingga sampai saat inipun kita masih terjajah! Ini bukan merupakan abitrer! Tapi benar, kita masih terjajah oleh kesesatan-kesesatan warisan penjajah. Betapa tidak kawan, coba masuki alam bawah sadar kalian, dan rasakan betapa kuatnya tertanam dalam diri kita dan para generasi bangsa tentang keagungan Kartini yang tak lebih dari sebuah warisan kedustaan dan penyesatan fikiran.
Terlebih itu, tajuk yang Kartini bawa tentang emansipasi yang sangat Absurd dan Paradoks! Lihat lebih dalam ke alam bawah sadar kita, bahwa kita sebenarnya sedang luluh lantah bagaikan Hirosima di masa 45, karena kita selama bertahun-tahun di bom dengan senjata paling berbahaya di dunia : Psikologi Propaganda tentang Kartini dan berbagai kesesatannya.
Heran kiranya kita, kaum intelektual masih percaya terhadap takhayul heroisme Kartini dan Emansipasinya. Heran, jika kita mahasiswa Psikologi, tidak dapat menangkap bahwa gembar-gembor Kartini merupakan intrik dan indoktrinasi propaganda yang ditanamkan kedalam jiwa kita melalui “diseminasi” kebohongan yang menyesatkan.
Sekarang, kawan, kita kaum Intelektual, berhentilah mengagung-agungkan Kartini! Percayalah, dia bukan putri sejati, melainkan alat Cristiaan Snouck Hurgronje, untuk menjauhkan generasi bangsa Indonesia dengan heroisme gerakan Holistis khas Islam di penghujung abad 19. Juga, sebagai alat para Yahudi untuk membodohi kita.
Sekian tulisan saya kawan, mudah-mudahan ini menjadikan kita tak hanya “Pintar” tapi juga “Tercerahkan”! Saya tutup tulisan saya dengan kutipan dari Dr.Aib Suminto dalam bukunya Politik Islam Hindia Belanda : “Dalam Perlombaan bersaing melawan Islam, bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan barat akan keluar sebagai pemenang.”
Terima Kasih!
21 April 2012, di pagi yang memuakkan melihat televisi yang mengagung-agungkan hari Kartini!

(Sumber: Tandi Skober ,Pikiran Rakyat dan berbagai sumber lainnya)

Senin, 09 April 2012

Introspeksi: Metode Sakral

Berbicara tentang kita, kawan! Satu pernyataan yang seolah hilang dalam pusaran buih ombak. Bersuara sekejap, lalu hilang tertelan kesunyian. Berbicara tentang kita berarti menggali lebih dalam tentang diri yang telah tenggelam di alam bawah sadar. Introspeksi, sebuah kata klise namun tahukah bahwa ini adalah cikal bakal dari lahirnya berjuta-juta teori psikologi.
Sebuah kata yang perlu kita munculkan di alam sadar kita dan digenggam dengan kuat : Introspeksi. Introspeksi adalah sebuah metode yang dipakai Wilhem Wundt, untuk membidani lahirnya psikologi eksperimental. Meskipun Wundt membantah metode ini dengan nama baru namun dengan substansi yang sama : Retrospeksi.
Introspeksi berasal dari dua suku kata : Intra yang berarti dalam dan Spectare yang berarti melihat. Lebih suka saya artikan sebagai “Mawas Diri”, meski secara istilah diartikan sebagai melihat kedalam diri. Kata ini telah dijadikan sebagai metode untuk melahirkan teori psikologi, meski kedudukannya hanya dijadikan penguat untuk mengevaluasi kebenaran yang muncul dalam teori-teori eksperimental.
Kedudukan introspeksi selalu di subordinatkan dan diragukan keabsahannya oleh berbagai ahli. Posisi penghayatan diri kepada pengalaman-pengalaman yang telah dilalui dikaburkan maknanya dengan sebuah keyakinan baru bahwa hal ini terlalu subjektif. Subjektifitas selalu dilabeli stigma bagi kalangan yang menuhankan metode objektif. Padahal, dirinya sendiri berarti mengingkari eksistensi dirinya sebagai makhluk berfikir.
Tak dapat dipungkiri, bahwa objektifitas adalah sebuah pengingkaran. Manusia tak bisa mengelak dari subjektifitas. Karena, subjek adalah induk dari lahirnya objektifitas-objektifitas yang munafik. Pun dengan introspeksi, sebuah metode ampuh yang menjadi induk berbagai pemikiran brilian ikut di justifikasi sebagai sebuah kesalahan dan jauh dari kevalidan.
Para gerombolan munafik yang menuhankan metode objektif adalah kaum behavioral. Mereka mengingkari introspeksi sebagai suatu cara untuk melahirkan sebuah ilmu. Mereka berkeyakinan bahwa permasalahan ilmiah dalam psikologi harus dilandasi oleh sesuatu yang dapat diukur dan harus objektif. Akhirnya, metode-metode mereka hanya berakhir di tong sampah ketika dibenturkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan.
Bahkan, keangkuhan mereka memposisikan manusia tak lebih sebagai tikus-tikus latih atau bahkan anjing-anjing liar yang perlu dikondisikan seperti apa yang mereka mau. Ketika menjawab akan pertanyaan siapakah manusia? Atau siapakah dirinya? Tak pernah dijawab tegas, hanya penjelasan-penjelasan yang jauh panggang dari api.
Introspeksi, patutnya segera disakralkan. Karena introspeksi merupakan kontemplasi diri yang merupakan proses menuju kebenaran yang hakiki.  Erwin Ariyanto mengungkapkan hal ini dengan ungkapan yang menyentuh: “Sebuah kapal yang akan berlayar pasti membutuhkan petunjuk arah. Namun tak kalah pentingnya adalah selalu mengetahui posisi yang benar ketika di lautan lepas. Karena sedikit kekeliruan membuat kapal tersesat dan kehilangan arah.”
Mengeliminasi Introspeksi dalam setiap diskursus keilmuan hanyalah menempatkan fenomena pada posisi yang bisa diukur dan terfokus pada perilaku semata. Artinya, ilmu tak lebih dari sebuah kuantitas namun tak lekat dengan situasi riil kehidupan. Ini berarti mengesampingkan kesadaran dan sensasi dari setiap ilmu. Mungkin inilah yang menjadikan ilmu sebegitu membosankannya karena terlalu jemu dengan kuantitas dan rumus-rumus baku.
Sejak zaman Sokrates, Introspeksi telah digunakan sebagai metode dari ilmu-ilmu yang dilahirkannya. Meskipun metode ini klasik, namun kemanjuran dari metode ini sungguh perlu dihidupkan kembali. Betapa tidak, kita telah lihat realitas keilmuan yang maha objektif, telah menjauhkan diri kita dari kemanusiaan. Ilmu kita telah menjauhkan diri kita dari realitas-realitas kemanusiaan disekitar.
Suatu bukti nyata, bahwa ilmu yang kita fahami hanya tersandar dilorong-lorong sepi yang jauh dari kenyataan. Ilmu yang didapat tak lebih dari sekadar pengetahuan-pengetahuan yang terjerembab dalam jurang kepicikan. Bahkan kita sering bertanya, ilmu mana yang kita ketahui dapat diaplikasikan di dunia nyata. Atau, bagaimana kita menerapkan apa yang kita tahu dalam praktik-praktik kehidupan.
Introspeksi, sebuah metode yang lahir di Leipzig, Jerman pada tahun 1897 tak boleh lekang ditelan zaman. Apa yang Wundt lahirkan, merupakan sebuah pencerahan bagi keilmuan yang sarat makna. Ini merupakan negasi dari teori-teori behavioris, namun tak juga merupakan penguat dari psikoanalisis. Karena seperti apa yang telah diucapkan Maslow, kita perlu merumuskan secara mandiri titik tengah dari setiap perdebatan keilmuan. Menurutnya, terlalu picik jika mengatakan psikoanalisa sebagai teori yang “sakit jiwa” dan juga terlalu picik mengatakan bahwa behavioral merupakan metode yang terlalu mekanis. Tapi perlu ada sebuah integrasi aplikasi yang tak menghilangkan sebuah metoda introspeksi.
Introspeksi perlu segera dijadikan sebuah pegangan dari setiap praktik-praktik keilmuan. Kita jangan naif meniru sebuah metode yang pada kenyataannya jauh dari realitas. Introspeksi perlu jadi salah satu jalan agar muncul dinamika keilmuan yang relevan sesuai keadaan. Jangan sampai kita menelan bulat-bulat ilmu tanpa kita mencampurkan subjektifitas diri yang berasal dari pengalaman-pengalaman kehidupan. Mengintegrasikan penghayatan kehidupan pada setiap aplikasi keilmuan adalah sebuah jalan menuju pencerahan.
Sebuah antitesa dari hal itu hanya menjadikan kita sebagai manusia-manusia kaku. Kemanusiaan tak diperhitungkan dalam setiap transformasi keilmuan. Lebih jauh, kita mesti rumuskan sendiri apa yang kita tahu, agar teori-teori tidak menjadi kepanjangan tangan dari penindasan kemanusiaan. Introspeksi, sebuah metode sakral yang perlu kembali diingatkan.
kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA
( itb bandung – 19 agustus 1978 )