Sabtu, 05 September 2015

Pers dan Jurnalistik, berbeda kah?

Pers

Masyarakat awam sering menyalah artikan, bahwa Pers dan Jurnalistik adalah itu-itu juga. Kadang tak sedikit yang menyatakan bahwa insan pers dan jurnalis, hanya merupakan istilah yang berbeda namun dengan konteks yang sama. Akan tetapi, sebetulnya istilah Pers dan Jurnalistik merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda.

Jika ditilik secara harfiah, pers atau dalam Bahasa Inggris disebut Press, berarti pencetak atau tekanan. Meski secara harfiah Pers, berarti mesin pencetak, akan tetapi istilah ini memiliki makna lain. Awal penggunaan istilah Pers/Press diawali saat Johanes Guttenberg pada tahun 1450 menemukan mesin cetak.

Penemuan ini tak ayal merupakan titik munculnya pencerahan, bahkan yang juga berperan pada lahirnya gerakan renaissance di penjuru eropa. Peran pentingnya, sejak kemunculan alat pencetak ini, beredarlah produk-produk tulisan yang diperbanyak kepada khalayak. Pada masa awal kemunculannya, alat pencetak digunakan untuk mencetak pamflet atau buku yang dengannya digunakan untuk menyebarluaskan ide dan gagasan.

Seiring kemunculan alat Press ini, mulai berhamburanlah berbagai macam ide dan gagasan yang tersebar luas dibaca banyak orang. Sehingga, saat banyak orang membaca gagasan-gagasan yang lainnya, timbullah ide-ide baru pemikiran-pemikiran baru yang menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu.

Betapa hebatnya pengaruh kelahiran alat pencetak ini, membuat ide dan gagasan setiap orang bak amuba yang terus membelah diri dan berkembang. Sehingga, banyak yang terpengaruh dan akhirnya terlahir gerakan sosial yang massif akibat berbagai ide yang tersebarluas. Sehingga dengan itu, kondisi sosial politik masyarakat terutama kecerdasan masyarakat dalam merespon kondisi sosialnya senantiasa berubah. Yang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Press ini merupakan penyulut lahirnya perubahan di masyarakat.

Kondisi ini menjadikan Pers adalah sebuah ikon. Pers merupakan alat atau bahkan senjata baru dalam melahirkan perubahan. Kegiatan pers utamanya adalah menyebarluaskan ide dan pemikiran kepada khalayak banyak. Sehingga, menghasilkan pergeseran makna yang asalnya pers atau press ini identik dengan mesin pencetak, bergeser pada makna dimana Pers merupakan kegiatan menyebarluaskan ide, gagasan, pemikiran yang bertujuan untuk melahirkan perubahan di masyarakat, suatu bangsa maupun negara.

Identitas pers menjadi identik dengan lembaga yang berkegiatan mengkaji, menelurkan ide, mencari gagasan baru serta menghasilkan pemikiran yang cemerlang yang selanjutnya disebarluaskan kepada khalayak agar dengan ide itu sama-sama menciptakan tatanan perubahan sosial yang baru. Tak heran jika Mark Twain mengungkapkan: There are only two things that can be lightening the world. The sun in the sky and the press in the earth”. Pers, menjadi alat untuk mencerhakan dunia.

Menciptakan gagasan baru, mempertajam analisa, mengembangkan pemikiran, serta mengkaji realitas sosial adalah kegiatan utama dari pers sendiri. Sehingga, jika ada yang mengatakan bahwa pers adalah hanya menulis berita, itu salah besar. Jantung kehidupan pers ada dalam gagasan, lantas gagasan itu dituangkan dalam tulisan.

Gaya tulisan bisa bermacam-macam, bisa essay, bisa analisa, atau juga berita. Namun, yang paling penting, dalam konteks pers, tulisan itu merupakan gagasan baru dan bertujuan untuk melahirkan gerakan perubahan. Jika Pers di identikkan dengan melahirkan berita, maka berita tersebut merupakan pengemasan dari ide-ide yang digagas dalam lembaga pers. Cara mengemas gagasan dalam bentuk berita inilah yang disebut dengan kegiatan jurnalistik.

Jurnalistik

Secara harfiah, jurnalistik artinya kewartawanan. Kata dasar dari jurnalistik  adalah jurnal (journal), atau laporan atau juga dapat diartikan catatan. Dalam bahasa prancis, jour berarti hari, atau laporan harian. Asal muasal istilah jurnalistik ini berasal dari bahasa Yunani kuno “du jour” yang berarti hari, atau yang bermakna kejadian hari ke hari. Sehingga, Jurnalistik adalah apa yang dilaporkan berdasarkan kejadian hari ke hari. Tentunya, jurnalistik dalam konteks pers, yakni laporan yang diberitakan dalam lembaran cetak.

Meski pada hari ini, baik pers dan jurnalistik tak lagi merupakan kegiatan cetak mencetak, bisa gambar televisi, tulisan daring, bahkan dengan berbagai media apapun termasuk yang kekinian di media sosial. Apapun bentuknya, yang dilaporkan berisi spirit untuk mempengaruhi publik untuk melakukan gerakan sosial yang merubah keadaan. Cara bagaimana mengemas ide dan gagasan tersebutlah yang menjadi inti dari kegiatan jurnalistik.

Dengan lebih gampang, kita katakan bahwa jurnalistik adalah alat atau cara. Cara bagaimana mengemas sebuah gagasan agar mudah difahami orang. Meski banyak cara, umumnya jurnalistik memakai cara tulisan untuk membuat ide gagasan mudah dicerna banyak orang. Sebagaimana arti harfiahnya, Jurnalistik berisi tentang bagaimana mengemas peristiwa atau kejadian hari ke hari yang bernilai bagi masyarakat dengan kaidah-kaidah tertentu. Walau bagaimanapun, jurnalistik hanyalah sebuah alat atau cara, cara mewartakan kepada khalayak.

Secara konseptual, jurnalistik sebagai proses merupakan aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Subjek yang melakukan aktivitas ini disebut sebagai jurnalis atau wartawan. Kegiatan yang dilakukan oleh jurnalis adalah mencari sebanyak banyaknya fakta dari sebuah kejadian atau peristiwa, baik itu apa yang dilihat, dirasa maupun apa yang didengar.

Selanjutnya, setelah hasil pencarian dianggap cukup, lalu diolah, dirunut dan disesuaikan dengan kepentingan ide yang dilahirkan dalam ruang redaksi. Berbagai olahan fakta yang didapat jurnalis, setelah tersusun ide utamanya lalu dituangkan dalam tulisan. Jurnalis menuliskan hasil olahan fikirannya yang didasarkan fakta yang didapat. Terakhir, setelah tulisan tersebut terbentuk, lalu jurnalis bertugas untuk menyebarluaskan informasi tersebut dalam berbagai media: cetak, online, gambar.

Sebagai teknik, jurnalistik merupakan sebuah keahlian atau keterampilan. Keterampilan dalam menuangkan sebuah peristiwa yang diarahkan oleh gagasan tertentu dalam sebuah tulisan. Jurnalistik sebagai teknik adalah keterampilan menulis berita, artikel maupun feature yang didalamnya juga terdapat keahlian dalam pengumpulan bahan-bahan tulisannya. Keahlian pengumpulan bahan tulisan ini dapat berbentuk peliputan atau reportase dan juga wawancara. Dalam konteks praktis, jurnalistik adalah sebuah proses pembuatan informasi atau berita (news processing) yang setelah itu disebarluaskan melalui media massa.

Dalam melaporkan sebuah kejadian melalui alat jurnalistik, terdapat berbagai kaidah-kaidah yang mesti diperhatikan. Pertama, accuracy; keakuratan merupakan pondasi dari segala macam penulisan bentuk jurnalistik. Jurnalis, tidak boleh ceroboh dalam melaporkan kejadian tanpa mempertimbangkan keakuratan berita. Bisa jadi jurnalis menyebarkan kebohongan, melakukan pembodohan kepada masyarakat akibat tidak memperhatikan kaidah yang pertama ini.

Untuk mendapatkan hasil yang akurat, hal yang mesti diperhatikan dalam hal ini meliputi; meyakinkan bahwa apa yang ditulis itu betul-betul berita atau kejadian yang benar. Selanjutnya, untuk memperkuat, lakukan pengecekkan atas data-data yang diperoleh tersebut. Jurnalis juga tidak boleh berspekulasi dengan isu yang diperoleh, harus betul-betul dipastikan bahwa kejadian benar-benar terjadi. Jurnalis harus memastikan semua informasi dan data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan.

Kedua, balance; keseimbangan merupakah kaidah dalam menulis sebuah berita. Dewasa ini, banyak sekali bentuk pemberitaan yang terkesan berat sebelah. Memihak terlalu berat pada satu pihak atau sisi kejadian, sehingga menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Jurnalis harus betul betul cermat mengolah dan menganalisa kejadian, sehingga tulisan yang dihasilkan tidak berunsur menyudutkan salah satu pihak atau menguntungkan salah satu pihak.

Keseimbangan antara berbagai sisi peristiwa harus sama sama diakomodir dan diberi ruang. Dalam konteks jurnalistik, usaha menyeimbangkan konten informasi disebut sebagai “cover both side”. Apakah hal ini berarti jurnalis harus netral? Tidak sama sekali! Tidak mungkin seorang jurnalis bisa netral, jurnalis harus berpihak. Berpihak pada siapa? Menurut Bill Kovach dan Tom Rosentiel, jurnalis harus berpihak kepada kebenaran. Namun meski begitu, keterangan dari kedua belah pihak harus sama-sama diakomodir dengan seimbang dan proporsional, hal ini merupakan bentuk dari keberpihakan pada kebenaran.

Kaidah ketiga, konten jurnalistik harus mempertimbangkan clarity; faktor kejelasan adalah hal yang penting dalam mewartakan suatu kejadian. Jangan sampai apa yang jurnalis tulis memiliki makna ganda, atau bernada ambigu. Meskipun tafsiran khalayak sangat beragam dan berbeda, namun dalam penulisan berita, jurnalis harus betul-betul clear dan difahami maksudnya oleh pembaca. Pembaca harus sampai mengerti isi dan maksud dari berita yang disebarluaskan oleh jurnalis.

Topik, alur pikir, kejelasan kalimat, pemilihan kata dan bahasa yang tepat mesti menjadi concern utama jurnalis dalam menuangkan gagasan dari sebuah peristiwa. Kaidah ini berimplikasi pada perlu dimilikinya keterampilan mengemas berita dalam bentuk tulisan agar mudah difahami oleh pembaca. Teknik-teknik penulisan yang tepat ini yang akhirnya merupakan kajian utama dalam jurnalistik. 

Jumat, 04 September 2015

SARJANA

Pagi itu, Cici terpekur memandangi layar handphonenya. Sepagi ini, selepas euphoria pesta wisudanya semalam, pesan dari Bunda begitu mengejutkan. “Nak, jika kau belum dapat kerja sampai akhir bulan ini di  Bandung, pulanglah, ayahmu sudah siapkan pendamping,” tulis Bundanya. Bukan alang kepalang, betapa mengagetkannya pesan Bundanya. Cici punya mimpi, dia ingin hidup di Bandung untuk dapat bekerja dan merengkuh mimpi-mimpinya sebagai pengajar. Bukan tak terpikir olehnya, jadi pengajar di Padang maupun di Bandung sama saja. Tapi, setelah 3,5 tahun kuliah di Bandung, hatinya terpaut untuk menetap. Bandung, seperti salah satu kata komedian, tak hanya masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan. Kutipan yang terpampang di dinding jembatan Jalan Asia Afrika yang beberapa waktu lalu Ia kunjungi, begitu terpatri. Sejak itu, ia bertekad menikmati perjalanan hidupnya di kota ini.

Kontras dengan keceriaan semalam, pagi ini Cici begitu gamang. Ia tak dapat membalas pesan sosok yang melahirkannya. Kepalanya jadi begitu berat, pening dan berkunang-kunang matanya. Tak terasa, air mata yang bahkan selama 3,5 tahun dibandung tak pernah ia kucurkan, mengalir jua. Sembab matanya, menahan kebingungan yang tak ia kuasa hadapi. Sejenak ia melamun, menatapi Ijazah sarjananya. Tiga koma empat delapan, nilai IPK nya hampir cumlaude. Kalaulah, ia tak sempat sakit gastritis, sehingga tinggalkan kuliahnya dan harus mengulang, pastilah ia dapatkan predikat itu. Tak berapa lama Cici menyadari, ada harapan yang masih bisa ia gantungkah: dengan IPK besarnya, mungkin pekerjaan tak begitu sulit didapat.

Tak mau larut dalam kesedihan, Cici bangkit bergegas mengumpulkan kertas-kertas berharga yang ia simpan rapi. Ada sertifikat pelatihan ini itu, ia dapati juga beberapa piagam penghargaan. Ia kumpulkan semuanya, tak lupa juga Ijazah akta mengajar, juga transkrip yang ia harap bisa jadi tiket dapat pekerjaan di Bandung. Ia pun tak bodoh bodoh amat pikirnya, karena hanya gagal dapat cumlaude tak berarti ia belum layak dapat kerja. Apalagi dengan passionnya mengajar, membuat Ia yakin: segera mendapat sekolah yang mau menampungnya.

Bersegera ia memfotocopy seluruh dokumen terbaiknya, membuat Curriculum Vitae se prestise mungkin, dan membuat surat lamaran. Lantas masalah baru datang seketika, ia tak mampu menulis. Menulis surat lamaran dengan kata-kata yang meyakinkan ternyata tak semudah lulus dari universitas. Baru ia sadari: kuliah, tak membuatnya pandai menulis. Sejenak ia menyesali, kenapa saat diberi tugas dari dosennya, ia hanya mengandalkan copy paste. Begitu banyaknya artikel di dunia maya dan begitu canggihnya mesin pencari, membuatnya terlena. Bahkan ia mulai sadari, tak sempat ia baca semua artikel yang ia dapat. Bahkan, hampir sulit mengingat isi-isi dari tugas yang dikumpulkannya.

Cici tak biasa membaca tulisan begitu panjang. Keahliannya: mengambil, memodifikasi agar sekonten dengan maksud tugas yang diberi dosennya. Kala itu ia meyakini, dengan mahasiswa sebanyak itu, mana mungkin dosen memeriksa dan baca tulisannya satu-satu. Toh, akhirnya ia selalu dapat A di mata kuliahnya. Meski sesekali B, dan pernah sekali dapat C namun ia ulang perbaiki dengan nilai akhir B. Tapi hari ini Ia menyadari, deret nilai yang bagus tak membuat ia pandai menulis. Hanya menulis surat lamaran! Oh, betapa Ia mengutuk dirinya sendiri, sarjana yang ia dapat dengan waktu singkat tak membuatnya pandai membuat tulisan, hanya tulisan di surat lamaran.

Tak habis akal, dan satu satunya yang ia bisa pikir, cari di mesin pencari daring! Bergegaslah ia buka Ineternet, menulis kata kunci “contoh surat lamaran”. Satu persatu Cici buka, dan baca isinya. Tak satupun ia dapati contoh lamaran menjadi pengajar. Ribuan deret yang didapati mesin pencari, tak jua ia dapatkan contoh surat lamaran untuk menjadi pengajar. Seketika ia merenung, apakah menjadi pengajar tak perlu surat lamaran? Buru-buru ia hapus pikirannya itu, bahwa jadi pengajar sama saja seperti menjadi karyawan, perlu surat lamaran.

Hampir satu jam Ia mencari, tak jua ia dapati. Cici mulai panik, matanya kembali berkunang-kunang seperti pagi ini. Beberapa kali mulutnya berkomat kamit mengutuki diri: kenapa juga sarjananya tak buat pandai menulis. Disela pencariannya dari laman ke laman, muncul kutukan baru: kenapa pula ia tak banyak membaca. Ia mengingat, selama berkuliah, tak banyak buku ia baca. Buku yang pernah ia baca hanya seputar buku teks perkuliahan, sesekali modul yang dijual dosennya, itupun tak selesai di baca. Cici terus berperang pikiran dalam diamnya. Mengutuki: sarjana tak pernah baca, tak pandai menulis. Lama-lama Ia mulai frustasi. Tangannya yang memegang tetikus komputer, mulai lemas. Matanya mulai berat, dan tak terkira detak jantungnya berderu cepat. Solar plexus di dadanya mulai pedih, tak kuasa ia tahan tangis: kali kedua ia meneteskan air mata.

Sempat terpikir untuk meminta bantuan temannya. Tapi, siapa? Kebanyakan temannya banyak menanya padanya. Nilai-nilainya yang selalu bagus, lantas membuatnya menjadi pusat pertanyaan. Cukup besar juga gengsinya untuk bertanya pada teman, yang ia pikir lebih rendah kemampuannya darinya. Teman-teman seangkatan belum ada yang lulus: dia yang pertama. Mana mungkin sarjana dengan IPK yang hampir cumlaude bertanya pada mahasiswa yang bahkan perkuliahannya banyak belum selesai. Tapi Cici mulai putus asa. Kembali ia mengutuki diri, dan menyadari: betapa berat gelar yang dipikulnya.

Tak menyerah, Cici mencoba menulis. Lima menit.. sepuluh menit.. setengah jam Ia memelototi layar komputer, tak juga terlintas kata pertama untuk memulai tulisannya. Ah! Betapa sukarnya hanya membuat surat lamaran saja, pikir Cici mengutuki. Sampai akhirnya, tak ada satupun contoh yang Ia dapat, tak satu katapun yang Ia tulis, Cici menyerah. Ia lalu merebahkan badan dengan mata sembab berair. Pikirnya melayang, membayangkan jika sampai akhir tahun Ia tak dapat kerja. Membayangkan, hari dimana ayah dan bundanya menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tak barang satu waktupun pernah ia lihat dan bayangkan. Tak kuasa ia menahan tangis membayangkan saat suami yang tak ia tahu siapa mulai menjamah dan melampiaskan hasrat kelelakiannya: ngeri. Betapa saat itu, gelar sarjana pengajaran yang ia raih tak dapat menolongnya dari kuasa suami kepada istri.

Sempat ia terpikir untuk meraih handphonenya mengabari bundanya disana. Menegaskan menolak perjodohannya. Tapi apa kuasa dia sebagai anak yang lahir di lingkungan serba patuh. Titah orang tua adalah titah dewa yang pamali ia tolak. Pikirannya terus bergejolak. Badannya lemas tak kuasa menahan gejolak pikirannya. Ia pun bangkit, mengusap seluruh airmatanya.

***

Pagi itu, belum sempat juga semburat matahari muncul di sudut lazuardi, tak seperti biasanya: Kosan Melati Hijau gempar. Awalnya, Suci, salah satu pengisi kosan tersebut, hendak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Namun, saat melewat kamar nomor 13, ia sempat mencium bau busuk. Bau busuk yang menusuk hidung, seperti bangkai tikus berhari hari. Sejenak ia menyadari, pengisi kamar itu tiga hari ini tak keluar kamar. Ia mengetuk-ngetuk, tak ada jawab.

Suci mulai penasaran, mengintiplah ia ke kaca nako yang atasnya sedikit terbuka.  Bukan main ia kaget, tersentak ia mendapati: pengisi kamar tergantung dengan jerat tambang di lehernya. Dindingnya bercoretkan darah: “GELAR TIADA GUNA, JIKA ISI KEPALA SEKEPAL SAJA”.


Pagi ternyata mendung, gemuruh petir dikejauhan meredam riuh manusia yang berkumpul di Melati Hijau. Lalu titik hujan membasahi bendera kuning dari kertas wajit, layu seakan berduka cita melepas kepergian sarjana yang beberapa saat lalu telah diwisuda.