Jumat, 04 September 2015

SARJANA

Pagi itu, Cici terpekur memandangi layar handphonenya. Sepagi ini, selepas euphoria pesta wisudanya semalam, pesan dari Bunda begitu mengejutkan. “Nak, jika kau belum dapat kerja sampai akhir bulan ini di  Bandung, pulanglah, ayahmu sudah siapkan pendamping,” tulis Bundanya. Bukan alang kepalang, betapa mengagetkannya pesan Bundanya. Cici punya mimpi, dia ingin hidup di Bandung untuk dapat bekerja dan merengkuh mimpi-mimpinya sebagai pengajar. Bukan tak terpikir olehnya, jadi pengajar di Padang maupun di Bandung sama saja. Tapi, setelah 3,5 tahun kuliah di Bandung, hatinya terpaut untuk menetap. Bandung, seperti salah satu kata komedian, tak hanya masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan. Kutipan yang terpampang di dinding jembatan Jalan Asia Afrika yang beberapa waktu lalu Ia kunjungi, begitu terpatri. Sejak itu, ia bertekad menikmati perjalanan hidupnya di kota ini.

Kontras dengan keceriaan semalam, pagi ini Cici begitu gamang. Ia tak dapat membalas pesan sosok yang melahirkannya. Kepalanya jadi begitu berat, pening dan berkunang-kunang matanya. Tak terasa, air mata yang bahkan selama 3,5 tahun dibandung tak pernah ia kucurkan, mengalir jua. Sembab matanya, menahan kebingungan yang tak ia kuasa hadapi. Sejenak ia melamun, menatapi Ijazah sarjananya. Tiga koma empat delapan, nilai IPK nya hampir cumlaude. Kalaulah, ia tak sempat sakit gastritis, sehingga tinggalkan kuliahnya dan harus mengulang, pastilah ia dapatkan predikat itu. Tak berapa lama Cici menyadari, ada harapan yang masih bisa ia gantungkah: dengan IPK besarnya, mungkin pekerjaan tak begitu sulit didapat.

Tak mau larut dalam kesedihan, Cici bangkit bergegas mengumpulkan kertas-kertas berharga yang ia simpan rapi. Ada sertifikat pelatihan ini itu, ia dapati juga beberapa piagam penghargaan. Ia kumpulkan semuanya, tak lupa juga Ijazah akta mengajar, juga transkrip yang ia harap bisa jadi tiket dapat pekerjaan di Bandung. Ia pun tak bodoh bodoh amat pikirnya, karena hanya gagal dapat cumlaude tak berarti ia belum layak dapat kerja. Apalagi dengan passionnya mengajar, membuat Ia yakin: segera mendapat sekolah yang mau menampungnya.

Bersegera ia memfotocopy seluruh dokumen terbaiknya, membuat Curriculum Vitae se prestise mungkin, dan membuat surat lamaran. Lantas masalah baru datang seketika, ia tak mampu menulis. Menulis surat lamaran dengan kata-kata yang meyakinkan ternyata tak semudah lulus dari universitas. Baru ia sadari: kuliah, tak membuatnya pandai menulis. Sejenak ia menyesali, kenapa saat diberi tugas dari dosennya, ia hanya mengandalkan copy paste. Begitu banyaknya artikel di dunia maya dan begitu canggihnya mesin pencari, membuatnya terlena. Bahkan ia mulai sadari, tak sempat ia baca semua artikel yang ia dapat. Bahkan, hampir sulit mengingat isi-isi dari tugas yang dikumpulkannya.

Cici tak biasa membaca tulisan begitu panjang. Keahliannya: mengambil, memodifikasi agar sekonten dengan maksud tugas yang diberi dosennya. Kala itu ia meyakini, dengan mahasiswa sebanyak itu, mana mungkin dosen memeriksa dan baca tulisannya satu-satu. Toh, akhirnya ia selalu dapat A di mata kuliahnya. Meski sesekali B, dan pernah sekali dapat C namun ia ulang perbaiki dengan nilai akhir B. Tapi hari ini Ia menyadari, deret nilai yang bagus tak membuat ia pandai menulis. Hanya menulis surat lamaran! Oh, betapa Ia mengutuk dirinya sendiri, sarjana yang ia dapat dengan waktu singkat tak membuatnya pandai membuat tulisan, hanya tulisan di surat lamaran.

Tak habis akal, dan satu satunya yang ia bisa pikir, cari di mesin pencari daring! Bergegaslah ia buka Ineternet, menulis kata kunci “contoh surat lamaran”. Satu persatu Cici buka, dan baca isinya. Tak satupun ia dapati contoh lamaran menjadi pengajar. Ribuan deret yang didapati mesin pencari, tak jua ia dapatkan contoh surat lamaran untuk menjadi pengajar. Seketika ia merenung, apakah menjadi pengajar tak perlu surat lamaran? Buru-buru ia hapus pikirannya itu, bahwa jadi pengajar sama saja seperti menjadi karyawan, perlu surat lamaran.

Hampir satu jam Ia mencari, tak jua ia dapati. Cici mulai panik, matanya kembali berkunang-kunang seperti pagi ini. Beberapa kali mulutnya berkomat kamit mengutuki diri: kenapa juga sarjananya tak buat pandai menulis. Disela pencariannya dari laman ke laman, muncul kutukan baru: kenapa pula ia tak banyak membaca. Ia mengingat, selama berkuliah, tak banyak buku ia baca. Buku yang pernah ia baca hanya seputar buku teks perkuliahan, sesekali modul yang dijual dosennya, itupun tak selesai di baca. Cici terus berperang pikiran dalam diamnya. Mengutuki: sarjana tak pernah baca, tak pandai menulis. Lama-lama Ia mulai frustasi. Tangannya yang memegang tetikus komputer, mulai lemas. Matanya mulai berat, dan tak terkira detak jantungnya berderu cepat. Solar plexus di dadanya mulai pedih, tak kuasa ia tahan tangis: kali kedua ia meneteskan air mata.

Sempat terpikir untuk meminta bantuan temannya. Tapi, siapa? Kebanyakan temannya banyak menanya padanya. Nilai-nilainya yang selalu bagus, lantas membuatnya menjadi pusat pertanyaan. Cukup besar juga gengsinya untuk bertanya pada teman, yang ia pikir lebih rendah kemampuannya darinya. Teman-teman seangkatan belum ada yang lulus: dia yang pertama. Mana mungkin sarjana dengan IPK yang hampir cumlaude bertanya pada mahasiswa yang bahkan perkuliahannya banyak belum selesai. Tapi Cici mulai putus asa. Kembali ia mengutuki diri, dan menyadari: betapa berat gelar yang dipikulnya.

Tak menyerah, Cici mencoba menulis. Lima menit.. sepuluh menit.. setengah jam Ia memelototi layar komputer, tak juga terlintas kata pertama untuk memulai tulisannya. Ah! Betapa sukarnya hanya membuat surat lamaran saja, pikir Cici mengutuki. Sampai akhirnya, tak ada satupun contoh yang Ia dapat, tak satu katapun yang Ia tulis, Cici menyerah. Ia lalu merebahkan badan dengan mata sembab berair. Pikirnya melayang, membayangkan jika sampai akhir tahun Ia tak dapat kerja. Membayangkan, hari dimana ayah dan bundanya menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tak barang satu waktupun pernah ia lihat dan bayangkan. Tak kuasa ia menahan tangis membayangkan saat suami yang tak ia tahu siapa mulai menjamah dan melampiaskan hasrat kelelakiannya: ngeri. Betapa saat itu, gelar sarjana pengajaran yang ia raih tak dapat menolongnya dari kuasa suami kepada istri.

Sempat ia terpikir untuk meraih handphonenya mengabari bundanya disana. Menegaskan menolak perjodohannya. Tapi apa kuasa dia sebagai anak yang lahir di lingkungan serba patuh. Titah orang tua adalah titah dewa yang pamali ia tolak. Pikirannya terus bergejolak. Badannya lemas tak kuasa menahan gejolak pikirannya. Ia pun bangkit, mengusap seluruh airmatanya.

***

Pagi itu, belum sempat juga semburat matahari muncul di sudut lazuardi, tak seperti biasanya: Kosan Melati Hijau gempar. Awalnya, Suci, salah satu pengisi kosan tersebut, hendak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Namun, saat melewat kamar nomor 13, ia sempat mencium bau busuk. Bau busuk yang menusuk hidung, seperti bangkai tikus berhari hari. Sejenak ia menyadari, pengisi kamar itu tiga hari ini tak keluar kamar. Ia mengetuk-ngetuk, tak ada jawab.

Suci mulai penasaran, mengintiplah ia ke kaca nako yang atasnya sedikit terbuka.  Bukan main ia kaget, tersentak ia mendapati: pengisi kamar tergantung dengan jerat tambang di lehernya. Dindingnya bercoretkan darah: “GELAR TIADA GUNA, JIKA ISI KEPALA SEKEPAL SAJA”.


Pagi ternyata mendung, gemuruh petir dikejauhan meredam riuh manusia yang berkumpul di Melati Hijau. Lalu titik hujan membasahi bendera kuning dari kertas wajit, layu seakan berduka cita melepas kepergian sarjana yang beberapa saat lalu telah diwisuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar