Kamis, 24 Januari 2013

NASIB NAAS PENELITIAN ILMIAH

Sungguh malang nasib keilmuan kita. Itu mungkin ungkapan yang cocok menggambarkan kondisi ilmu pengetahuan saat ini. Betapa tidak, saat ini ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh universitas melalui penelitian-penelitian ilmiah tak lagi menjadi penyelesai masalah. Skripsi-skripsi, tesis maupun disertasi tak lagi menjadi jalan keluar untuk mengatasi persoalan bangsa. Padahal, sejatinya, ilmu-ilmu yang dihasilkan para sarjana adalah sebuah usulan solusi untuk memperbaiki negeri ini.

Sungguh sangat disayangkan, melihat kondisi penelitian-penelitian ilmiah saat ini tak lebih dari sekadar sampah. Kenapa dikatakan demikian, karena faktanya penelitian ilmiah hanya menjadi seonggok karya yang tersandar di sunyinya rak-rak perpustakaan. Eksperimen-eksperimen yang sejatinya menjadi sebuah inovasi yang berguna bagi masyarakat, bernasib naas karena hanya lapuk tak terbaca. Begitupun upaya universitas untuk memanfaatkan dan menyebarluaskan karya ilmiah para mahasiswanya, sungguh sangat sedikit dan tidak serius.

Jika dikalkulasi, dari ribuan karya para wisudawan universitas setiap tahunnya, bisa kita terka berapa yang dimanfaatkan, dan berapa ribu yang hanya memenuhi ruang-ruang penyimpanan. Akhirnya, karya ilmiah yang diharapkan menjadi sebuah solusi, malah jadi bagian dari masalah. Tingkat keterpakaian karya ilmiah di negeri ini sungguh sangat mengerikan. Sepengetahuan penulis, belum ada data terkait tingkat keterpakaian karya ilmiah yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan yang nyata dilapangan. Tentunya mungkin akan sangat sukar sekali mengukurnya, paling banter dipakai sebagai referensi dari penelitian-penelitian selanjutnya.

Akan tetapi, dapat masyarakat lihat seberapa banyak karya yang bermanfaat bagi negeri ini dalam menyelesaikan persoalan. Tentunya, jika karya-karya penelitian ilmiah sudah optimal dimanfaatkan, masyarakat bisa merasakan hasilnya. Setidak-tidaknya, beberapa masalah-masalah krusial di negeri ini dapat cepat teratasi. Namun, dapat dirasakan sendiri, ribuan penelitian ilmiah tak lagi  menyelesaikan masalah. Hasilnya tak lebih dari sekedar kesimpulan dan rekomendasi yang tak ditindaklanjuti. Karya ilmiah tak lebih dari sekadar koleksi, tersandar diruang sunyi, mengisi berjubel-jubel rak besi.

Bagaikan petir di siang bolong, seolah kenyataan menampar para akademisi pendidikan. Senin (21/1) lalu, 7 Bocah tertangkap membobol rumah mewah akibat kecanduan game online. Mereka yang notebene masih duduk di bangku sekolah menengah nekat mencuri dilatarbelakangi tak punya uang untuk bermain game online. Sungguh mengejutkan, hanya karena ketagihan bermain game di internet, mereka sampai terjerat kasus kriminal.

Contoh kasus diatas menjadi sebuah ironi tersendiri, mengingat banyak penelitian ilmiah yang jauh-jauh hari menyimpulkan bahwa kecanduan game online akan berdampak buruk bagi kesehatan mental anak. Berjubel treatment penanggulangan pun sudah tertulis dalam penelitian-penelitian yang tak sedikit jumlahnya. Sebagai contoh, ada banyak penelitian-penelitian dari para sarjana psikologi maupun bimbingan dan konseling yang membahas persoalan ini. Tawaran solusi baik preventif maupun kuratif untuk menangani anak yang kecanduan game online pun, sudah banyak dihasilkan.

Namun, berjubel hasil penelitian itu seperti omong kosong jika menyimak kasus diatas. Banyaknya penelitian ilmiah mengenai kecanduan (Addiction) game online, tak dapat dirasakan manfaatnya secara langsung. Padahal, ilmu-ilmu yang dihasilkan serta solusi yang ditawarkan, sungguh sangat bermanfaat jika digunakan. Tak hanya sebatas “harta karun” yang terpendam dalam koleksi perpustakaan universitas.

Kondisi ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Lama kelamaan masyarakat akan mempertanyakan, apa fungsi universitas sebenarnya? Apakah hanya penghasil sarjana? Penghasil tenaga kerja? Begitupun pertanyaan-pertanyaan hasil penelitian ilmiah yang setiap tahun ditelurkan para wisudawan.Apa fungsinya? Betul karya penelitian ilmiah atau hanya formalitas belaka?

Jangan heran memang jika pertanyaan-pertanyaan itu menyeruak. Melihat bobroknya moral serta banyaknya persoalan negeri ini yang tak terpecahkan, kegelisahan itu memang patut mengemuka. Tujuannya tak lain agar menyadarkan para peneliti dan calon peneliti bahwa sia-sia saja mereka membuang waktu bekerja keras melakukan riset. Namun, pada akhirnya karya-karya mereka tak dimanfaatkan dan bernasib naas, lapuk dan dilupakan. Karena tak ada upaya yang serius untuk benar-benar menggunakan hasil penelitian ilmiah sebagai jalan keluar dari persoalan.

Para warga perguruan tinggi tentu tahu isi dari tri dharma perguruan tinggi. Selain pendidikan dan penelitian, ada dharma selanjutnya yakni pengabdian pada masyarakat. Meski tak berdasar, bisa dikatakan fungsi ini tak begitu optimal. Buktinya hasil pendidikan dan penelitian tak jadi solusi bagi masyarakat. Tak jadi pengabdian. Hanya jadi jargon mulia yang tak terasa fungsinya.

Tentunya, tri dharma perguruan tinggi tak bisa diartikan secara terpisah. Ketiga-tiganya merupakan sebuah integrasi yang saling bersinergi. Satu fungsi saja tak teroptimalkan, dapat disimpulkan ada sebuah kegagalan dalam esensi dharma yang lain. Jika kenyataannya memang, hasil penelitian tak berguna bagi kehidupan masyarakat, berarti pula ada sebuah kegagalan dalam pendidikan. Hal itu berdampak pula pada kegagalann penelitian, yang nantinya berdampak pada lemahnya pengabdian pada masyarakat. Yang lebih bahaya lagi yakni munculnya sindrom impoten dari perguruan tinggi.

Menyimak kondisi seperti itu, sudah sepatutnyalah perguruan tinggi melakukan introspeksi. Sudah jelas terlihat masalah ketidakberfungsian tridharma perguruan tinggi. Tiga dharma itu sekarang hanya sebatas formalitas, kehilangan wujud mulianya. Padahal hal itu merupakan tonggak serta indikator berhasilnya sebuah institusi pendidikan tinggi. Sangat mengerikan jika kondisi ini tak segera teratasi.

Tentunya jalan keluar masalah ini perlu ditelusuri hingga akar permasalahan. Bisa jadi kesadaran dan upaya penyadaran tentang urgensi penelitian serta pengabdian pada masyarakat, kepada calon-calon sarjana tak optimal. Perlu ada upaya dari perguruan tinggi yang meyakinkan bahwa fungsi dari penelitian bukan hanya sebatas pemenuhan syarat untuk kelulusan. Begitupun fungsi pengabdian pada masyarakat jangan hanya sebatas formalitas kredit perkuliahan. Jika hal ini dibiarkan, bangsa ini akan semakin malang: banyak ilmuan, namun tetap banyak persoalan.

Begitupun pemerintah tak bisa tutup mata menyikapi persoalan ini. Perlu ada dukungan penuh bagi pemanfaatan penelitian ilmiah bagi masyarakat. Pemerintah perlu mengevaluasi dana yang dianggarkan bagi pembiayaan penelitian. Kenyataan dilapangan penggunaan dana ini tak jadi jalan keluar bagi masyarakat. Karya ilmiah banyak dihasilkan dan didanai pemerintah, namun kenapa hasilnya tak jadi alat memperbaiki negeri ini?


Tentunya masyarakat berharap banyak kepada institusi perguruan tinggi yang di isi para ilmuan. Kondisi negeri ini sudah sangat mengenaskan. Masyarakat sangat berharap para peneliti berperan memperbaiki kondisi bangsa ini. Mereka tak mengharapkan jutaan kertas dihabiskan, jutaan penelitian dilakukan, jutaan karya ilmiah dihasilkan, namun hanya menjadi pepesan kosong yang tak berguna. Masyarakat perlu bukti nyata dalam bentuk aksi, bukan bukti fisik jutaan skripsi, yang hanya memenuhi koleksi. Perguruan tinggi segera introspeksi, karena perguruan tinggi bukanlah sekadar pabrik ilmuan, namun produsen utama agen perubahan.[]