Selasa, 31 Januari 2017

Distorsi Kognitif

Distorsi kognitif merupakan salah satu gejala gangguan psikologis, yang dapat dialami siapa saja, termasuk anda sekalian. Bahkan, jika kondisi ini tetap anda pelihara, akan juga menimbulkan gangguan psikologis lainnya yang lebih parah, terutama diawali oleh emotional distres.
Lalu apa itu distorsi kognitif? definisi mudahnya dari distorsi kognitif ini adalah ketika anda terlalu berfikir berlebihan terhadap sesuatu, kemudian anda mengembangkannya pada keyakinan-keyakinan yang tidak rasional.
Sebagai contoh, jika setiap anda mengindra sesuatu, misalnya logo BI, lalu kemudian secara otomatis pikiran anda mengembangkan keyakinan bahwa ini adalah alat penyebaran ideologi PKI (karena anda cari2 sendiri kemiripannya dengan logo palu arit), lalu kemudian anda meyakini bahwa ada upaya sistematis dan terstruktur yang kemudian anda merasa terancam, yap! positif anda terjangkit distorsi kognitif.
Lalu kemudian, jika kondisi ini menjadi pikiran otomatis (automatic thought) anda setiap anda mendapat hal baru, yang secara tanpa anda sadari anda mencari-cari "kecocokan" atau "ketidaksesuaian" agar anda meyakini bahwa ada sesuatu mengancam diri atau golongan anda, anda mungkin perlu berhati-hati, bisa jadi fungsi kognitif anda mulai mengalami gangguan yang lebih parah.
Beberapa macam gejala yang menandai distorsi kognitif ini ialah; pertama, penalaran anda selalu dikotomis, memandang segala hal hitam dan putih, kalo nggak sama seperti apa yang saya pikirkan, ya salah! atau anda berarti kafir! anda berarti PKI!, begitulah misalnya.
Kedua, anda selalu menggeneralisasi sesuatu secara berlebihan, anda tergesa-gesa mengkategorikan sesuatu/seseorang yang anda tidak sukai dengan sesuatu yang lain tanpa memiliki bukti yang memadai. Bahkan hanya dengan melihat sebuah peristiwa tunggal, kemudian anda membuat kesimpulan yang sangat luas. Misalnya, karena candaan Om Telolet Om, sama nadanya dengan om shanti, shanti, om, kemudian candan itu anda simpulkan sebagai penyesatan aqidah, dsb.
Ketiga, selalu memiliki filter mental, yakni dimana ketika anda cenderung selalu mengambil sisi negatif dari setiap yang anda ketahui. Misalnya, pemerintah membuat program pengentasan kemiskinan, lalu kemudian secara otomatis pikiran anda tertuju pada hal yang negatif, "Ah! ini pasti pencitraan", "Ah ini pasti pengalihan isu", "Ah! ini pasti misi komunis!", ya begitulah..anda lebih tau contoh yang lain.
Keempat, loncatan kesimpulan, dimana ketika anda selalu membuat prasangka-prasangka negatif seolah-olah anda mengetahui pasti apa yang akan terjadi. Misalnya, karena dulunya Ahok berpasangan dengan Jokowi, dan sekarang Jokowi jadi presiden dan punya kekuasaan, pasti Ahok ga mungkin dipenjara, pasti dibela hakim, dibebaskan. Dan kemudian jika terbukti di pengadilan tidak bersalah, lalu anda meyakini "Tuh kan! Rezim ini rezim anti islam!!". ya begitulah kira-kira...
Kalau anda kebetulan sudah kadung terjangkit, mungkin juga tulisan yang anda baca ini bermakna negatif, dan menggeneralisasi saya sebagai yang nulis dengan kategori-kategori mental yang telah anda buat. Ya tidak apa-apa, anda hanya perlu segera ke Psikolog untuk memeriksakan kesehatan mental anda. hehe..
NB: ingin memahami lebih lanjut tentang distorsi kognitif? silahkan baca buku The Feeling Good Handbook di Chapter 3, karangan David D Burns, dia yang pertama memperkenalkan teori ini.

Rabu, 25 Januari 2017

Sistem Penilaian Kumulatif*

Oleh : Isman Rahmani Yusron


Setiap tahun penyelenggaraan Ujian Nasional, setiap tahun juga kebijakan itu mengundang masalah. Masalah tidak hanya terkait dengan urusan teknis, namun pula bersebrangannya semangat UN dengan konsep pedagogis dan filosofis pendidikan. Riak-riak protes tahunan mengenai penyelenggaraan UN, seolah menjadi banal dan lazim. Pemerintah, terutama Kemendikbud, seolah sudah kebal pada aspirasi penghapusan sistem UN ini. Alasannya, tak ada solusi lain sebagus penyelenggaraan UN untuk memetakan kualitas Pendidikan di Indonesia.
            Beberapa tahun belakangan, terutama setelah pemerintahan berganti, ada sedikit tambalan-tambalan mengenai penyelenggaraan evaluasi nasional ini. Sempat hampir dihapus, namun ujungnya berakhir sama: UN tetap terselenggara. Proses standarisasi pendidikan melalui UN ini seolah memiliki dasar konseptual dan filosofis kuat, meski pada faktanya bau-bau bisnis dan berbagai kepentingan, ikut tercium di setiap dipertahankannya kebijakan ini. Meski akhirnya, legitimasi kelulusan dikembalikan ke sekolah, namun penyelenggaraannya seolah tak boleh hilang.
            Penghilangan legitimasi UN sebagai penentu kelulusan, seolah menjadi win-win solution menghadapi riak penolakan UN. Bagi penyelenggara, dalam hal ini pemerintah, mungkin kebijakan ini menjadi angin segar bagi para siswa. Namun bagi siswa, suasana psikologis UN sebagai momok di setiap momen akhir pembelajaran akan tetap menjadi tekanan. Padahal persoalan utamanya justeru hal ini : UN menjadi sumber stress negatif dan mengacau sistem pendidikan. Betapa tidak, banalitas belajar untuk ujian menjadi proses yang lazim setiap tahunnya. Padahal pendidikan, tidaklah dibentuk untuk kepentingan pragmatis seperti ujian, tapi untuk membangun karakter dan kasmaran akan belajar.
            Oleh karena itu, sudah sepatutnya sistem ini dicabut dan dicari solusinya. Secara filosofis, proses belajar di sekolah tidaklah hanya untuk mengejar kelulusan beberapa mata pelajaran Ujian Nasional saja. Lebih jauh, proses belajar seharusnya memacu target hasil belajarnya sendiri setiap saat. Targetnya, tidak hanya yang penting lulus UN, namun memiliki target prestasi di setiap semester. Proses pembelajaran di sekolah, harus melahirkan need of achievement yang tertumpu tidak hanya untuk lulus ujian. Para siswa harus terbiasa mengejar target keberhasilan bahkan sejak semester pertama di sekolah.
            Maka dari itu, kebijakan evaluasi tidak harus hanya tertumpu pada akhir kelulusan. Kebijakan evaluasi pendidikan, perlu menghargai proses pembelajaran sejak awal pembelajaran dimulai. Sehingga, mesti dimunculkan sebuah sistem evaluasi kumulatif yang memacu siswa untuk mengejar target hasil pembelajaran di setiap semesternya. Sistem ini sepenuhnya menjadi target-target pribadi siswa dalam proses belajar di sekolah. Melalui sistem ini, siswa diharapkan mampu terpacu memenuhi target ketercapaian belajar untuk kepentingan kelulusan sejak semester pertama.
            Sebagai contoh, misal pemerintah yang terkoordinasi antara kemendikbud dan kemenristekdikti, menetapkan sebuah ambang minimum keberhasilan siswa berdasarkan akumulasi nilai setiap semesternya dari seluruh mata pelajaran. Hasil nilai kumulatif ini dapat juga digunakan sebagai bahan seleksi masuk perguruan tinggi untuk tingkat SMA. Katakanlah ambang batasnya adalah 80, namun nilai ini merupakan nilai kumulatif dari semester pertama hingga semester terakhir. Sehingga, jika pada saat semester pertama akumulasi nilainya belum sampai pada target nilai 80, maka siswa akan terdorong untuk memperbaiki nilai di semester berikutnya.
            Melalui sistem ini, siswa akan termotivasi memperbaiki hasil nilai belajarnya sendiri di setiap semester. Akan tetapi, siswa juga memiliki kesempatan sepanjang semester untuk termotivasi mengejar target pribadinya sampai ambang batas minimum tercapai bahkan lebih. Apalagi ketika siswa juga memiliki visi untuk lolos di jurusan tertentu di Universitas. Sehingga, siswa terdorong memacu dirinya selama proses pembelajaran dengan sedikit-sedikit mengoleksi nilai agar secara akumulatif memenuhi target nilai minimum diterima di salah satu universitas impiannya.

            Melalui sistem ini, need of achievement siswa tidak hanya ketika mau ujian akhir, namun terus dipelihara sepanjang semester. Sistem ini juga memberikan kesempatan luas untuk siswa fokus pada matapelajaran kesukaannya dan kemampuannya sendiri. Sehingga jika nilai lain tidak terlalu menonjol, dapat diperbaiki oleh peningkatan nilai pelajaran yang disukainya. Melalui hal ini, keragaman kemampuan belajar siswa tetap terakomodasi, namun motivasi siswa mencapai target belajar tetap terpelihara. Urusan hasil akhir, tak ada kata tidak lulus. Hasil usaha sepanjang semesterlah yang menjadi bukti kualitas belajarnya sendiri. 
 *) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 25 Januari 2017

Minggu, 08 Januari 2017

Yang tak banyak orang tahu tentang Ayah (Part-1)

Tulisan ini saya dedikasikan untuk ayah saya tercinta H.Uro Yusup, S.Ag. Selain saya tak sudi Ayah saya tak abadi dalam tulisan, ini merupakan bentuk terapi saya mengobati luka kehilangan beliau. Tak dapat dipungkiri, hati saya hancur lebur ketika mendapat kabar ayah saya meninggal. Selain saya banyak menggantungkan hidup pada beliau, saya bisa bilang ayah saya adalah cahaya yang setia menemani perjalanan hidup saya. Bisa dibayangkan bagaimana ketika berjalan di kegelapan, selalu ada cahaya menerangi, lalu tiba-tiba saja padam? Begitulah diri saya saat ini, meraba-raba dalam kegelapan, memaksakan diri melanjutkan kehidupan. Untuk beberpa waktu saya mengalami depresi, hilang pengharapan. Kalau saja bukan karena ingat perjuangan beliau, saya bagai kayu yang patah dan rapuh, tersandar di sudut gelap sendirian.

Ayah saya, adalah anugerah terbesar yang tak pernah saya minta. Betapa tuhan mencintai saya, sehingga saya dilahirkan di keluarga dengan ayah saya sebagai kepala keluarga. Meski saya ceritakan panjang lebar, pembaca tak akan pernah mengerti bagaimana pedihnya saya kehilangan beliau. Saya hanya ingin bercerita, sembari memelihara ingatan saya tentang sosok yang saya kagumi ini. Sebulan ia pergi, hampa dan rapuh rasanya, tapi saya terus belajar kuat.

          Memori pertama yang saya ingat tentang beliau adalah memori menunggu ia pulang. Seingat saya ketika masih kecil, sulit rasanya saya bertemu ayah saya sendiri. Beliau adalah sosok pekerja keras yang tak pernah berleha-leha diam di rumah. Saya masih ingat, saya biasa terbangun pukul 11 malam atau bahkan pukul satu dini hari, mendengar ketukan khas dari ayah saya saat ia pulang. Kebiasaannya, ia mengetuk pintu dengan ujung jarinya yang berkuku, bukan dengan punggung lipatan jarinya. Boleh ditanya pada semua anaknya, tak pernah ayah saya menggedor pintu dengan keras, kecuali hanya mengetuk-ngetukkan ujung jarinya. Dengan itu, cepat saya tau bahwa ayah saya telah pulang.

Dulu, beliau selalu pulang malam, padahal ayah saya waktu itu guru SD di SDN Banjaran IV, yang pukul 14.00 siang juga sudah selesai. Tapi, ayah saya tak biasa pulang siang, ia selalu lanjut mewakafkan dirinya di Jam’iyyah Persatuan Islam Cabang Banjaran, di Pajagalan Banjaran. Baru beberapa tahun belakangan saya tahu, ketika saya juga menjadi tasykil Pemuda Persis Banjaran, bahwa biasa beliau selalu mengerjakan Buletin Sambung Rasa, media dakwah mingguan, dengan rekan-rekannya, bahkan hingga larut malam (yang pada beberapa tahun belakang, saya yang ikut meneruskannya). Selain itu, kesibukannya adalah mengurus pendirian dan pengelolaan Pesantren Persis 31 Banjaran, hingga akhir hayatnya. Selain itu beliau juga menjadi pengurus Baitul maal wa tamwil (BMT), dan berbagai kesibukannya yang mungkin tak saya ketahui dengan baik. Sehingga sejak kecil, yang saya tau beliau tak pernah banyak diam di rumah. Kesibukannya mengurus Jam’iyyah, saya saksikan betul dengan militansi dan loyalitas yang sangat tinggi. Beliau menyebutnya ini adalah bentuk Wakaf Diri pada Jam’iyyah. Bahkan hingga waktu beliau meninggal, ia sedang berkegiatan dalam rangka kegiatan Jam’iyyah.

Tak hanya itu, saat pulang pun tak jarang beliau ikut melakukan kegiatan lain. Seperti momen yang sangat saya ingat betul. Waktu pagi, entah kapan tapi saya masih sangat kecil, saya merengek ingin ikut dengan ayah saya ke sekolah tempat ia mengajar. Waktu itu mungkin ia sedang banyak pekerjaan, sehingga membujuk saya untuk tidak ikut. Kemudian, beliau menjanjikan pada saya untuk ikut ronda pada malam hari. Ronda? Iya, ronda di kampung. Dengan syarat saya tidak ikut, dan harus tidur dulu siangnya. Betapa senangnya saya, waktu itu. Sampai pukul 10 malam, saya menunggu beliau pulang. Sehingga tiba saatnya beliau datang, ia tak mengingkari janjinya. Kamipun berangkat, namun terlebih dahulu ayah saya mengajak saya ke Banjaran, ke toko baju untuk membeli sweater hangat. Girangnya saya waktu itu, saya dibelikan sweater hangat warna hitam dengan sleting sampai dada. Karena waktu itu, saya tak punya jaket atau sweater. Saya masih simpan sweaternya. Kemudian kami kembali, dan ikut ronda malam, sampai pukul 12 saja, karena saya ketiduran. Entahlah, ayah saya meneruskan atau tidak, yang jelas pagi-pagi saya sudah bangun di rumah. Meski sangat sederhana, tapi memori itu cukup menyenangkan.

Boleh di bilang, saya adalah anak laki-lakinya yang paling manja pada beliau. Selalu ingin ikut kemana dia pergi, meski tak jarang sangat merepotkan. Tapi karena itu, saya belajar bagaimana ayah saya bekerja. Hingga, kalau sekalinya dibolehkan ikut, saya kelelahan karena harus ikut kesana kemari, beliau tak pernah diam selalu siap kalau ada pekerjaan, apapun itu. Tak sekali dua kali, ketika saya ikut ayah saya bekerja, saya tertidur karena menunggunya selesai. Apa pekerjaan ayah saya? Banyak! Pekerjaan utama mengajar di SD sebagai PNS pensiun tahun 2010, lalu mengajar di Tsanawiyyah di Pesantren yang ia ikut rintis sendiri sejak 1995, menjadi wakil kepala bagian kurikulum, menjadi kepala sekolah di Ibtidaiyyah, menjadi pengurus jama’ah, cabang, daerah, dan wilayah Persis, pengelola BMT, mengurus pemberangkatan jama’ah haji, mengurus penyaluran dana dari timur tengah ke mesjid-mesjid hingga menjadi panitia pembangunannya, membantu mencari donatur-donatur pembangunan mesjid dan pesantren, menjadi kepala sekolah Mu’allimin, belakangan saya tahu beliau juga pengurus MUI kabupaten Bandung. Mungkin tak hanya itu, banyak pekerjaan ayah saya yang tak saya ketahui. Karena sulit sekali menemui beliau beristirahat.

Betapa sangat sibuknya beliau, sehingga saya pernah mengalami perasaan tidak mendapat perhatiannya. Mungkin wajar, pada saat itu saya masih remaja, sehingga suka protes pada beliau yang tak banyak ada di rumah. Pernah suatu kali, saya memaksanya untuk beliau hadir pada pembagian hasil psikotes di salah satu bimbingan belajar yang saya ikuti. Saya tau waktu itu banyak agendanya yang akhirnya dibatalkan, karena pada saat bersama saya, banyak telepon yang datang dan beliau meminta maaf tidak bisa hadir karena memenuhi permintaan saya. Kadang saya merasa sangat bersalah waktu itu, tapi ada rasa keegoisan dari diri saya bahwa kehadiran ayah saya, pantas saya dapatkan. Hingga seharian, setelah pulang dari acara itu, saya bawa beliau makan dan jalan-jalan ditempat-tempat yang saya ingin kunjungi. Beliau tak menolak, meski sepanjang perjalanan, HP nya selalu berbunyi tanda ada yang menelpon. Selalu saya merasa bersalah saat mengingat momen ini, saya tau ayah saya sangat sibuk, tapi meski begitu ini adalah momen terbaik saya bersama ayah saya sendiri, hanya berdua, seharian jalan-jalan. Sejak itu, saya tak berani mengganggu agendanya lagi.

Hal yang paling unik saat bersama ayah saya, adalah ayah saya begitu sangat dermawan. Saat makan-makan dan jalan bersama saya, setiap ada pengemis, pengamen, dan yang kelihatan membutuhkan ia tak pernah tidak memberi uang. Bahkan, saat itu setelah makan, lalu ayah saya sedang merokok dekat pangkalan ojek, datanglah seorang preman jalanan menghampiri. Lalu, entah bagaimana ayah saya dimintai uang olehnya. Saya sempat takut, tapi ayah saya malah mengajaknya bercengkrama. Ngobrol ngalor-ngidul, tanya-tanya darimana asalnya, menawarkan rokok lalu merokok bersama, beberapa kali ayah saya memberi nasehat padanya, sampai akhirnya si Preman menjadi segan pada ayah saya. Pada si preman, Ayah saya bercerita tentang dulu dia pernah berjalan kaki dari rumahnya ke wilayah jajahan preman itu, untuk sekolah. Lalu kemudian, entah kenapa si Preman menjadi sangat ramah dan seperti malu pada ayah saya. Sampai terakhir, bukannya si Preman meminta uang, tapi ayah saya memaksa si Preman untuk menerima uang dari ayah saya. Si Preman menolak, malu katanya. Tapi ayah saya memaksa, waktu itu ayah saya memberinya uang dengan jumlah besar. Sampai akhirnya si Preman berterimakasih sampai mencium tangan ayah saya. Begitulah ayah saya, dan momen ini pernah beberapa kali saya saksikan sendiri dengan beberapa preman lainnya. Kadang sampai tertawa-tawa bersama, padahal kenal saja tidak.

Begitulah ayah saya, tak pernah segan bercengkrama pada siapapun bahkan pada pengemis dan tukang becak. Banyak tukang becak yang menjadi langganan ayah saya, bahkan yang terakhir diangkat bekerja di kebun ayah saya. Keluwesan dan kharismanya saat bergaul dengan kaum fakir, banyak diketahui orang. Betapa tidak bangga saya punya ayah seperti ini. Banyak kebaikannya yang malah tak mau diketahui orang. Ia mengamalkan sebuah hadits yang pernah ia ajarkan kepada saya :

“Innallaha yuhibbul abda taqiyya alghaniyya alkhafiyya..”
"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, kaya hati, dan tersembunyi." (HR Muslim)

 Saya, bersedia menjadi saksi di Akhirat nanti, kalau ayah saya mengamalkan hadits ini selama hidupnya. Begitupun, ia selalu mengajarkan pada saya dan anak-anaknya untuk mengamalkan hadits ini. Dan saya, menjadi saksi bagaimana hadits ini betul terwujud, saya melihat sendiri Allah mencintai Ayah saya, kami tak pernah mengalami hidup sulit, ayah saya setiap hari menerima cinta Allah karena ketaqwaannya, kekayaan hatinya, dan ia selalu tersembunyi mengamalkan semuanya. Ia bukan orang yang sombong, yang memperlihatkan betapa kaya hatinya. Ia tersembunyi, memberi kebaikan kepada semua orang, bahkan pada keluarganya sendiri. Apa yang saya saksikan, adalah kebaikan yang kebetulan saja saya saksikan, bukan untuk diperlihatkan. Dan saya tau, kebaikan hatinya itu adalah kebiasaannya, bukan karena ada maksud tertentu.

Hadits ini adalah salah satu bahan ajarnya pada saat di Tsanawiyyah kelas 9. Mungkin bagi yang pernah diajar oleh ayah saya di Pesantren, masih ingat hadits ini di BAB Zuhud wal Wara. Beliau sendiri yang meminta muridnya menghafal hadits ini, untuk kemudian di tes menalar setiap pertemuan. Dan, ayah saya tak hanya mengingatnya dan menjadikannya bahan ajar, tapi juga mengamalkannya. Semoga para muridnya, termasuk saya juga bisa ingat kembali dan mengamalkan hadits ini. Karena saya lihat sendiri, Allah begitu mencintai ayah saya, semoga para muridnya juga dicintai Allah. Mengamalkan ini, bagi manusia memang sangat berat, tapi beliau melaksanakan ini dengan penuh keikhlasan. Ikhtiar untuk dunia beliau jalankan dengan baik, ikhtiar untuk akhirat dia jalankan penuh kekhusyuan. Kalaulah, suatu hari nanti di akhirat beliau ditanya mengenai ini, saya ingin menjadi salah satu saksi, bahwa betul dia melakukannya dengan sangat baik. Dan semoga para santrinya kemudian menjadi saksi beliau di Akhirat kelak. Teladan ini yang mungkin untuk saya manusia biasa, terasa begitu berat bagaimana meniru kebaikkannya. Saya ingin berusaha untuk bisa, agar saya tak jadi pemberat beliau menuju surga.

Masih banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang ayah saya, namun untuk kali ini saya cukupkan saja dulu, karena kembali saya menjadi rapuh mengingat memori tentang ayah saya. Saya masih belum cukup kuat, semoga dilain waktu saya bisa melanjutkan cerita ini, agar kebaikannya terus abadi dan menjadi teladan juga manfaat bagi orang lain. Sebagaimana dalam hadits, Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Saya meyakini apa yang ditinggalkannya, tetap menjadi amal bagi beliau di alam kubur, karena ia tak pernah berhenti berjariyyah, tak pernah berhenti memberi ilmu yang manfaat, dan semoga kami anak dan cucunya menjadi amal ketiga beliau yang tak terputus.

Ini adalah tulisan, tepat sebulan setelah ia meninggal.