Minggu, 08 Januari 2017

Yang tak banyak orang tahu tentang Ayah (Part-1)

Tulisan ini saya dedikasikan untuk ayah saya tercinta H.Uro Yusup, S.Ag. Selain saya tak sudi Ayah saya tak abadi dalam tulisan, ini merupakan bentuk terapi saya mengobati luka kehilangan beliau. Tak dapat dipungkiri, hati saya hancur lebur ketika mendapat kabar ayah saya meninggal. Selain saya banyak menggantungkan hidup pada beliau, saya bisa bilang ayah saya adalah cahaya yang setia menemani perjalanan hidup saya. Bisa dibayangkan bagaimana ketika berjalan di kegelapan, selalu ada cahaya menerangi, lalu tiba-tiba saja padam? Begitulah diri saya saat ini, meraba-raba dalam kegelapan, memaksakan diri melanjutkan kehidupan. Untuk beberpa waktu saya mengalami depresi, hilang pengharapan. Kalau saja bukan karena ingat perjuangan beliau, saya bagai kayu yang patah dan rapuh, tersandar di sudut gelap sendirian.

Ayah saya, adalah anugerah terbesar yang tak pernah saya minta. Betapa tuhan mencintai saya, sehingga saya dilahirkan di keluarga dengan ayah saya sebagai kepala keluarga. Meski saya ceritakan panjang lebar, pembaca tak akan pernah mengerti bagaimana pedihnya saya kehilangan beliau. Saya hanya ingin bercerita, sembari memelihara ingatan saya tentang sosok yang saya kagumi ini. Sebulan ia pergi, hampa dan rapuh rasanya, tapi saya terus belajar kuat.

          Memori pertama yang saya ingat tentang beliau adalah memori menunggu ia pulang. Seingat saya ketika masih kecil, sulit rasanya saya bertemu ayah saya sendiri. Beliau adalah sosok pekerja keras yang tak pernah berleha-leha diam di rumah. Saya masih ingat, saya biasa terbangun pukul 11 malam atau bahkan pukul satu dini hari, mendengar ketukan khas dari ayah saya saat ia pulang. Kebiasaannya, ia mengetuk pintu dengan ujung jarinya yang berkuku, bukan dengan punggung lipatan jarinya. Boleh ditanya pada semua anaknya, tak pernah ayah saya menggedor pintu dengan keras, kecuali hanya mengetuk-ngetukkan ujung jarinya. Dengan itu, cepat saya tau bahwa ayah saya telah pulang.

Dulu, beliau selalu pulang malam, padahal ayah saya waktu itu guru SD di SDN Banjaran IV, yang pukul 14.00 siang juga sudah selesai. Tapi, ayah saya tak biasa pulang siang, ia selalu lanjut mewakafkan dirinya di Jam’iyyah Persatuan Islam Cabang Banjaran, di Pajagalan Banjaran. Baru beberapa tahun belakangan saya tahu, ketika saya juga menjadi tasykil Pemuda Persis Banjaran, bahwa biasa beliau selalu mengerjakan Buletin Sambung Rasa, media dakwah mingguan, dengan rekan-rekannya, bahkan hingga larut malam (yang pada beberapa tahun belakang, saya yang ikut meneruskannya). Selain itu, kesibukannya adalah mengurus pendirian dan pengelolaan Pesantren Persis 31 Banjaran, hingga akhir hayatnya. Selain itu beliau juga menjadi pengurus Baitul maal wa tamwil (BMT), dan berbagai kesibukannya yang mungkin tak saya ketahui dengan baik. Sehingga sejak kecil, yang saya tau beliau tak pernah banyak diam di rumah. Kesibukannya mengurus Jam’iyyah, saya saksikan betul dengan militansi dan loyalitas yang sangat tinggi. Beliau menyebutnya ini adalah bentuk Wakaf Diri pada Jam’iyyah. Bahkan hingga waktu beliau meninggal, ia sedang berkegiatan dalam rangka kegiatan Jam’iyyah.

Tak hanya itu, saat pulang pun tak jarang beliau ikut melakukan kegiatan lain. Seperti momen yang sangat saya ingat betul. Waktu pagi, entah kapan tapi saya masih sangat kecil, saya merengek ingin ikut dengan ayah saya ke sekolah tempat ia mengajar. Waktu itu mungkin ia sedang banyak pekerjaan, sehingga membujuk saya untuk tidak ikut. Kemudian, beliau menjanjikan pada saya untuk ikut ronda pada malam hari. Ronda? Iya, ronda di kampung. Dengan syarat saya tidak ikut, dan harus tidur dulu siangnya. Betapa senangnya saya, waktu itu. Sampai pukul 10 malam, saya menunggu beliau pulang. Sehingga tiba saatnya beliau datang, ia tak mengingkari janjinya. Kamipun berangkat, namun terlebih dahulu ayah saya mengajak saya ke Banjaran, ke toko baju untuk membeli sweater hangat. Girangnya saya waktu itu, saya dibelikan sweater hangat warna hitam dengan sleting sampai dada. Karena waktu itu, saya tak punya jaket atau sweater. Saya masih simpan sweaternya. Kemudian kami kembali, dan ikut ronda malam, sampai pukul 12 saja, karena saya ketiduran. Entahlah, ayah saya meneruskan atau tidak, yang jelas pagi-pagi saya sudah bangun di rumah. Meski sangat sederhana, tapi memori itu cukup menyenangkan.

Boleh di bilang, saya adalah anak laki-lakinya yang paling manja pada beliau. Selalu ingin ikut kemana dia pergi, meski tak jarang sangat merepotkan. Tapi karena itu, saya belajar bagaimana ayah saya bekerja. Hingga, kalau sekalinya dibolehkan ikut, saya kelelahan karena harus ikut kesana kemari, beliau tak pernah diam selalu siap kalau ada pekerjaan, apapun itu. Tak sekali dua kali, ketika saya ikut ayah saya bekerja, saya tertidur karena menunggunya selesai. Apa pekerjaan ayah saya? Banyak! Pekerjaan utama mengajar di SD sebagai PNS pensiun tahun 2010, lalu mengajar di Tsanawiyyah di Pesantren yang ia ikut rintis sendiri sejak 1995, menjadi wakil kepala bagian kurikulum, menjadi kepala sekolah di Ibtidaiyyah, menjadi pengurus jama’ah, cabang, daerah, dan wilayah Persis, pengelola BMT, mengurus pemberangkatan jama’ah haji, mengurus penyaluran dana dari timur tengah ke mesjid-mesjid hingga menjadi panitia pembangunannya, membantu mencari donatur-donatur pembangunan mesjid dan pesantren, menjadi kepala sekolah Mu’allimin, belakangan saya tahu beliau juga pengurus MUI kabupaten Bandung. Mungkin tak hanya itu, banyak pekerjaan ayah saya yang tak saya ketahui. Karena sulit sekali menemui beliau beristirahat.

Betapa sangat sibuknya beliau, sehingga saya pernah mengalami perasaan tidak mendapat perhatiannya. Mungkin wajar, pada saat itu saya masih remaja, sehingga suka protes pada beliau yang tak banyak ada di rumah. Pernah suatu kali, saya memaksanya untuk beliau hadir pada pembagian hasil psikotes di salah satu bimbingan belajar yang saya ikuti. Saya tau waktu itu banyak agendanya yang akhirnya dibatalkan, karena pada saat bersama saya, banyak telepon yang datang dan beliau meminta maaf tidak bisa hadir karena memenuhi permintaan saya. Kadang saya merasa sangat bersalah waktu itu, tapi ada rasa keegoisan dari diri saya bahwa kehadiran ayah saya, pantas saya dapatkan. Hingga seharian, setelah pulang dari acara itu, saya bawa beliau makan dan jalan-jalan ditempat-tempat yang saya ingin kunjungi. Beliau tak menolak, meski sepanjang perjalanan, HP nya selalu berbunyi tanda ada yang menelpon. Selalu saya merasa bersalah saat mengingat momen ini, saya tau ayah saya sangat sibuk, tapi meski begitu ini adalah momen terbaik saya bersama ayah saya sendiri, hanya berdua, seharian jalan-jalan. Sejak itu, saya tak berani mengganggu agendanya lagi.

Hal yang paling unik saat bersama ayah saya, adalah ayah saya begitu sangat dermawan. Saat makan-makan dan jalan bersama saya, setiap ada pengemis, pengamen, dan yang kelihatan membutuhkan ia tak pernah tidak memberi uang. Bahkan, saat itu setelah makan, lalu ayah saya sedang merokok dekat pangkalan ojek, datanglah seorang preman jalanan menghampiri. Lalu, entah bagaimana ayah saya dimintai uang olehnya. Saya sempat takut, tapi ayah saya malah mengajaknya bercengkrama. Ngobrol ngalor-ngidul, tanya-tanya darimana asalnya, menawarkan rokok lalu merokok bersama, beberapa kali ayah saya memberi nasehat padanya, sampai akhirnya si Preman menjadi segan pada ayah saya. Pada si preman, Ayah saya bercerita tentang dulu dia pernah berjalan kaki dari rumahnya ke wilayah jajahan preman itu, untuk sekolah. Lalu kemudian, entah kenapa si Preman menjadi sangat ramah dan seperti malu pada ayah saya. Sampai terakhir, bukannya si Preman meminta uang, tapi ayah saya memaksa si Preman untuk menerima uang dari ayah saya. Si Preman menolak, malu katanya. Tapi ayah saya memaksa, waktu itu ayah saya memberinya uang dengan jumlah besar. Sampai akhirnya si Preman berterimakasih sampai mencium tangan ayah saya. Begitulah ayah saya, dan momen ini pernah beberapa kali saya saksikan sendiri dengan beberapa preman lainnya. Kadang sampai tertawa-tawa bersama, padahal kenal saja tidak.

Begitulah ayah saya, tak pernah segan bercengkrama pada siapapun bahkan pada pengemis dan tukang becak. Banyak tukang becak yang menjadi langganan ayah saya, bahkan yang terakhir diangkat bekerja di kebun ayah saya. Keluwesan dan kharismanya saat bergaul dengan kaum fakir, banyak diketahui orang. Betapa tidak bangga saya punya ayah seperti ini. Banyak kebaikannya yang malah tak mau diketahui orang. Ia mengamalkan sebuah hadits yang pernah ia ajarkan kepada saya :

“Innallaha yuhibbul abda taqiyya alghaniyya alkhafiyya..”
"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, kaya hati, dan tersembunyi." (HR Muslim)

 Saya, bersedia menjadi saksi di Akhirat nanti, kalau ayah saya mengamalkan hadits ini selama hidupnya. Begitupun, ia selalu mengajarkan pada saya dan anak-anaknya untuk mengamalkan hadits ini. Dan saya, menjadi saksi bagaimana hadits ini betul terwujud, saya melihat sendiri Allah mencintai Ayah saya, kami tak pernah mengalami hidup sulit, ayah saya setiap hari menerima cinta Allah karena ketaqwaannya, kekayaan hatinya, dan ia selalu tersembunyi mengamalkan semuanya. Ia bukan orang yang sombong, yang memperlihatkan betapa kaya hatinya. Ia tersembunyi, memberi kebaikan kepada semua orang, bahkan pada keluarganya sendiri. Apa yang saya saksikan, adalah kebaikan yang kebetulan saja saya saksikan, bukan untuk diperlihatkan. Dan saya tau, kebaikan hatinya itu adalah kebiasaannya, bukan karena ada maksud tertentu.

Hadits ini adalah salah satu bahan ajarnya pada saat di Tsanawiyyah kelas 9. Mungkin bagi yang pernah diajar oleh ayah saya di Pesantren, masih ingat hadits ini di BAB Zuhud wal Wara. Beliau sendiri yang meminta muridnya menghafal hadits ini, untuk kemudian di tes menalar setiap pertemuan. Dan, ayah saya tak hanya mengingatnya dan menjadikannya bahan ajar, tapi juga mengamalkannya. Semoga para muridnya, termasuk saya juga bisa ingat kembali dan mengamalkan hadits ini. Karena saya lihat sendiri, Allah begitu mencintai ayah saya, semoga para muridnya juga dicintai Allah. Mengamalkan ini, bagi manusia memang sangat berat, tapi beliau melaksanakan ini dengan penuh keikhlasan. Ikhtiar untuk dunia beliau jalankan dengan baik, ikhtiar untuk akhirat dia jalankan penuh kekhusyuan. Kalaulah, suatu hari nanti di akhirat beliau ditanya mengenai ini, saya ingin menjadi salah satu saksi, bahwa betul dia melakukannya dengan sangat baik. Dan semoga para santrinya kemudian menjadi saksi beliau di Akhirat kelak. Teladan ini yang mungkin untuk saya manusia biasa, terasa begitu berat bagaimana meniru kebaikkannya. Saya ingin berusaha untuk bisa, agar saya tak jadi pemberat beliau menuju surga.

Masih banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang ayah saya, namun untuk kali ini saya cukupkan saja dulu, karena kembali saya menjadi rapuh mengingat memori tentang ayah saya. Saya masih belum cukup kuat, semoga dilain waktu saya bisa melanjutkan cerita ini, agar kebaikannya terus abadi dan menjadi teladan juga manfaat bagi orang lain. Sebagaimana dalam hadits, Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Saya meyakini apa yang ditinggalkannya, tetap menjadi amal bagi beliau di alam kubur, karena ia tak pernah berhenti berjariyyah, tak pernah berhenti memberi ilmu yang manfaat, dan semoga kami anak dan cucunya menjadi amal ketiga beliau yang tak terputus.

Ini adalah tulisan, tepat sebulan setelah ia meninggal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar