Jumat, 23 September 2016

Kesadaran Kritis dan Perilaku Korupsi: Sebuah Kajian Psikologis*

Oleh : Isman Rahmani Yusron
PENGANTAR

Merebaknya kasus korupsi di Indonesia, menjadi sebuah fenomena yang perlu segera dicari solusinya. Pasalnya, kasus korupsi di Indonesia sudah pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dirilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2014, menyebutkan dalam kurun waktu satu tahun saja terdapat 629 kasus korupsi dengan jumlah tersangka hingga 1328 orang. Kerugian negara akibat perilaku korupsi ini mencapai 5,29 trilliun pada tahun 2014. Pada tahun sebelumnya pun, terdeteksi 560 kasus dengan jumlah tersangka 1271 orang dan kerugian negara mencapai 7,3 triliun selama tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tren perilaku korupsi dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Menariknya, kasus-kasus korupsi ini sudah sedemikian massif dan berada di berbagai lini. Kasus korupsi terjadi mulai dari tataran masyarakat bawah hingga pada pejabat setingkat kementrian bahkan juga dilakukan oleh kalangan akademisi. Seperti dalam rilis yang sama disebutkan bahwa tahun 2014, dari 629 kasus diantaranya terdapat 33 kasus korupsi dilakukan oleh elemen Rektor, dosen dan akademisi, serta ada 22 kasus korupsi dilakukan oleh ketua dan pengurus organisasi profesi (ICW, 2014). Hal ini menjadi fenomena yang menarik, dimana perilaku korupsi ini juga dilakukan oleh kalangan masyarakat dengan level pendidikan tinggi dan akademisi. Tak jarang, perilaku-perilaku kecurangan dan koruptif justru muncul salah satunya dengan sarana tingkat pendidikan. Korupsi menurut Masduki (Salama, 2014 p.151) merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar.
Fenomena terjadinya korupsi yang dilakukan kalangan terdidik memunculkan kesan ironi. Pendidikan, yang sejatinya membangun kesadaran moral, intelektual serta sosial dan diharapkan membangun peradaban juga membebaskan masyarakat dari ketertindasan, tidak banyak berkontribusi dalam menurunkan perilaku korupsi. Hal ini memicu sebuah hipotesis dimana tingkat pendidikan tidak serta merta membangun kesadaran akan pembebasan masyarakat dari sistem yang menindas. Korupsi, yang dikategorikan sebagai extraordinary crime, tidak berdampak tunggal melainkan telah menjadi sistem yang merusak dan menindas. Bahkan, korupsi juga disebut sebagai crimes againts humanity, atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak yang mempersepsikan bahwa korupsi sebatas kejahatan individual yang tidak berdampak pada kehidupan masyarakat. Padahal, korupsi berdampak buruk pada perkembangan sebuah negara, korupsi merugikan investasi dan pertumbuhan, kesenjangan dan kemiskinan, serta pada alokasi dana publik untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik (Ryvkin & Serra, 2010; Mauro, 1995; Keefar dan Knack,1995; Gupta et.al., 1998; Tanzi dan Davoodi, 1997). Jika dikaitkan dengan dampaknya yang kompleks dan sistemik, maka dapat dikatakan bahwa perilaku korupsi ini merupakan perilaku yang menindas masyarakat karena merugikan segala aspek kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kesadaran pada dampak perilaku korupsi ini sama dengan kesadaran akan situasi yang menindas.
Sedemikian kompleks dan besarnya dampak dari korupsi, sebagian besar tidak disadari oleh masyarakat sebagai situasi yang menindas. Hal ini karena korupsi biasanya terjadi di wilayah jabatan publik yang tidak terlalu dekat dan berdampak secara langsung pada kehidupan masyarakat. Situasi ini melahirkan sebuah banalitas korupsi. Banalitas korupsi ini berarti menjadikan korupsi sebagai sesuatu yang lumrah, biasa, wajar, bahkan menjadi prinsip penggerak kehidupan sehari-hari (Purwantari, 2010 dalam Salama, 2014 hlm.150).  Banalitas korupsi ini sangat terkait erat dengan konsep kesadaran menurut Paulo Freire, dimana situasi ini disebutnya sebagai kesadaran transitif atau kesadaran naif.
Kesadaran naif ini merupakan tingkat kesadaran yang bercirikan pada kecenderungan melakukan simplifikasi yang berlebihan (over-simplification) pada suatu masalah; bernostalgia pada masalalu; meremehkan situasi yang lumrah; tendensi yang kuat untuk berkelompok; kurang ketertarikan untuk mendalami sebuah masalah; penjelasan yang fantastis; argumen yang rapuh; emosional; berpolemik daripada berdialog (Freire, 1974 hlm.14).
Tingkatan kesadaran naif yang dijelaskan Freire diatas senada dengan situasi banalitas terhadap korupsi, dimana korupsi yang merupakan sebuah masalah kemasyarakatan dianggap sebagai situasi yang biasa dan wajar tidak dikaitkan dengan sebuah situasi yang menindas. Masyarakat naif, berkecenderungan untuk menyederhanakan sebuah permasalahan dengan kacamata yang individual daripada sistemik. Orang-orang menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem itu sendiri (Smith, 2001 hlm.69). Kesadaran naif ini berkaitan juga dengan situasi yang pada dasarnya masyarakat mengetahui bahwa korupsi merupakan sebuah bentuk penindasan dan ketidakadilan, akan tetapi alih-alih berupaya memahami situasi ini sebagai penindasan, malah melakukan simplifikasi permasalahan dan cenderung merasa bukan tanggung jawab individual untuk mengubahnya. Karakteristik kesadaran naif ini salah satunya ialah ketika mereka berbicara apa yang seharusnya dilakukan, mereka selalu mengacu pada apa yang seharusnya dilakukan orang lain (Smith, 2001 hlm.70). Maka dari itu, situasi masyarakat yang berada pada tingkat kesadaran naif cenderung akan melanggengkan perilaku koruptif. Bahkan, jika mengacu pada pendapat Freire (Smith, 2010) masyarakat yang memiliki kesadaran naif ini alih-alih memberantas sistem yang menindas, mereka berkecenderungan untuk menjadi sama dengan penindas atau dengan kata lain jika suatu saat memiliki kesempatan untuk berkorupsi, maka mereka cenderung akan melakukan korupsi.
Tingkat kesadaran naif ini merupakan transisi menuju kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran kritis (critical conscousness). Kesadaran kritis menurut Freire (1974), berkarakteristik dengan interpretasi yang mendalam pada suatu permasalahan, mengganti penjelasan magis dari sebuah permasalahan dengan prinsip kausalitas, berpikiran terbuka, menolak untuk melemparkan tanggung jawab; menolak posisi yang pasif; argumentatif dan berdialog daripada berpolemik. Kondisi kesadaran kritis ini jauh lebih mengaitkan sebuah permasalahan dengan sebuah sistem yang lebih besar daripada melakukan penyederhanaan. Jika dikaitkan dengan konteks korupsi, individu dengan kesadaran kritis cenderung berupaya memahami korupsi dengan cakupan kausalitas yang lebih besar dan juga memahami dampak korupsi tidak sebatas “pencurian” melainkan sebuah langkah “penindasan” masyarakat. Artinya, kesadaran kritis cenderung memandang permasalahan dalam cakupan yang luas, sistemik dan berprinsip kausalitas. Kesadaran kritis menganggap “semua fakta sebagaimana adanya secara empiris dalam korelasi-korelasi kausalitas dari lingkungan (Freire, 1973 dalam Smith, 2010 hlm.86). Pada taraf kesadaran kritis, tidak seperti kesadaran naif, individu tidak menyalahkan individu-individu lain, tetapi justeru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi (Smith, 2010 hlm.80). Konsep kesadaran kritis ini tidak sebatas dimensi kajian sosio politis, namun lebih jauh merupakan kajian psikologis terutama mengenai konsep perkembangan manusia. Smith (2010 hlm.54) menyatakan bahwa konsep Conscientizacao bisa dinilai sebagai sebuah konsep perkembangan yang koheren, dan konsep semacam ini selaras dengan keterebatasan-keterbatasan dan syarat-syarat konseptual dari teori perkembangan lainnya, seperti konsep Piaget, Maslow, Kohlberg, Loevinger dan sebagainya.
Berbeda dengan kesadaran naif dimana seseorang cenderung merasionalisasikan sebuah ketidakadilan dengan asumsi bahwa sistem yang membuat hal tersebut terjadi, kesadaran kritis lebih berfokus pada pemecahan masalah dengan memahami sebuah sistem ketidakadilan dan tergerak untuk melakukan perubahan. Melalui hal ini, kesadaran kritis melibatkan kemampuan kognitif yang lebih kompleks juga melibatkan moralitas dalam menganalisa sebuah permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan yang dikaitkan dengan perilaku korupsi dimana jika masyarakat masih berada dalam kesadaran naif, maka kecenderungan untuk melakukan korupsi akan tinggi dan sebalikya semakin masyarakat sadar secara kritis tentang korupsi, membuat perilaku korupsi bisa dihindarkan. Hal ini menjadi sebuah kajian yang menarik dan perlu dilakukan sebuah penelitian mengenai korelasi antara kedua hal tersebut. Penulis berasumsi bahwa tingkat korupsi berakar dari rendahnya kesadaran kritis masyaarakat. Tulisan ini dapat menjadi sebuah gambaran awal, bagaimana menyusun strategi dari pencegahan perilaku korupsi sejak dini dengan kegiatan penyadaran atau mengacu pada istilah Paulo Freire yakni Conscientizacao. Fenomena korupsi tidak harus melulu difahami dari segi sosio politik dan ekonomis semata, melainkan perlu juga dikaji dalam tataran disiplin ilmu Psikologi. Tulisanan ini merupakan upaya untuk memahami secara kritis tentang perilaku korupsi, yang berfokus pada akar dari permasalahan perilaku dan proses mental.


PERILAKU KORUPSI

Istilah Korupsi, berasal dari kata latin yakni corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, dipikat, disuap. Korupsi atau corruptio merupakan kata kerja dari corrumpere yang sebangun dengan istilah latin lainnya yakni corruptus yang berarti berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi kondisi sebaliknya (Azhar et.al., 2003 hlm.28). Berdasarkan definisi tersebut korupsi, dapat diartikan juga sebagai sebuah perilaku tidak jujur, tidak benar dan tidak adil yang dilakukan sehingga berakibat merusak dan merugikan. Pada bangunan definisi korupsi dalam kajian ini, korupsi dikaji dalam dimensi perilaku dan proses mental manusia dan segala hal yang terkait dengan aspek-aspek psikologis lainnya. Istilah korupsi memang biasanya digunakan dalam istilah-istilah ekonomi, hukum, sosial, pemerintahan dan politik, yang mengacu pada sebuah kegiatan penyalahgunaan wewenang publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Akan tetapi, pada kajian ini definisi korupsi dibatasi dalam aspek perilaku dan proses mental individu dan tidak terkait langsung dengan jabatan publik atau kebijakan pemerintahan.
Definisi korupsi sangat beragam, karena terkait dengan terminologi kebijakan publik dan pemerintahan, setiap negara memiliki definisi korupsinya sendiri-sendiri. Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 secara implisit menyebutkan Korupsi merupakan sebuah tindakan melawan hukum demi memperkaya diri sendiri. Tindakan ini dapat merupakan tindakan perseorangan, jabatan publik, kelompok dan lain sebagainya. Kunci utama dalam definisi mengenai korupsi adalah mencari keuntungan untuk diri sendiri dengan cara yang dapat merugikan orang lain, masyarakat maupun negara. Tidak ada definisi yang eksplisit mengenai definisi korupsi ini karena pengertian korupsi dapat berarti sangat luas dan bisa berkembang dalam berbagai situasi. Kandungan utama dalam perilaku korupsi ini mengacu pada kebusukan moralitas individu maupun lembaga yang merugikan dan berdampak langsung maupun tidak langsung (sistemik).
Dalam istilah yang berkaitan dengan perilaku, Huntington (1986 dalam Salama, 2014 hlm.150) mendefinisikan korupsi sebagai “behavior of public officials which deviates from accepted norms in order to serve private ends”. Korupsi merupakan perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Johnston (1996 dalam Osipian, 2008 hlm.346) menjelaskan bahwa kata korupsi berasal dari kata Latin corruptio, yang pada abad pertengahan merupakan ekspresi dari kebusukan moral, perilaku jahat, kebusukan dan kebobrokan. Korupsi ini juga terkait dengan konteks penyuapan atau ketidakjujuran lainnya untuk mendapatkan suatu tujuan yang memalukan, dan sebagai gejala dari sebuah masyarakat yang sakit (ailing society) (Milovanovic, 2001 dalam Osipian, 2008 hlm.246). Korupsi, sangat penting dibicarakan tidak hanya dengan konstruk definisi teknis, melainkan didasarkan pada faktor-faktor perilaku (Gebel, 2012 dalam Nordin et.al.,2013). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa korupsi terjadi sebagai bentuk dari perilaku melanggar etika pelayanan publik, akar dari pelanggaran norma sosial yang menekankan pada pemberian hadiah dan loyalti pada keluarga atau klan, daripada aturan hukum (Nordin et.al., 2013).
Perilaku korupsi muncul dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal baik kultural maupun lingkungan. Berbagai studi menyatakan bahwa individu yang  tumbuh di sebuah masyarakat yang koruptif (atau memiliki budaya koruptif) lebih banyak melakukan tindakan korupsi dibandingkan dengan individu yang tumbuh dalam masyarakat yang jauh dari budaya korupsi (Barr & Serra, 2009 hlm.862). Hal ini menggambarkan bahwa korupsi sangat besar dipengaruhi oleh budaya masyarakat. Indonesia, sebagai negara berkembang sangat lekat dengan budaya korupsi, dan korupsi menjadi banal dianggap wajar oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat indonesia sangat rentan terhadap munculnya dorongan instrinsik untuk melakukan korupsi. Berbicara budaya tentunya juga berbicara tentang berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Berpijak pada hal itu, definisi korupsi dalam kajian ini tidak dibatasi sebagai aktivitas penyelewengan yang dilakukan pejabat publik, melainkan sebuah perilaku dalam kehidupan yang mencakup berbagai dimensi kehidupan seperti dalam tataran akademik, organisasi maupun kehidupan sosial.
Lebih spesifik, studi mengenai perilaku korupsi juga didefinisikan dalam dimensi kegiatan akademik. Heyneman (2004) mendefinisikan korupsi akademik sebagai penyelewengan dari kekuasaan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Definisi ini hampir sama dengan definisi umum tentang korupsi, namun pada definisi ini tidak menekankan pada keuntungan material (material benefit) melainkan keuntungan pribadi (personal benefit). Artinya dalam konteks akademik ini segala hal yang berkaitan dengan kegiatan kecurangan, penyelewengan, pelanggaran yang menghasilkan keuntungan bagi personal. Rumantseva (2005) menyebutkan bahwa korupsi akademik dilakukan oleh mahasiswa seperti mencontek ketika ujian atau melakukan plagiarisme. Osipian (2008) juga menyebutkan bahwa korupsi dalam kegiatan akademik seperti halnya melakukan kegiatan membayar orang lain untuk menyelesaikan tugas perkuliahan yang dikategorikan sebagai penipuan, korupsi dalam proses akademik seperti membeli ijazah, mencontek, plagiat, kolusi, penggelapan informasi dan hal penyimpangan lainnya.
Secara lebih operasional, Amundsen (1999 dalam Andvig & Fjeldstad, 2000) menyebutkan bentuk dari perilaku korupsi yaitu penyuapan (dalam bentuk uang maupun kebaikan), penggelapan, penipuan, dan pemerasan. Tentunya bentuk-bentuk korupsi dalam konteks tulisan ini disesuaikan dengan perilaku yang relevan dengan kegiatan mahasiswa sehari-hari. Bentuk-bentuk tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1.   Penyuapan, penyuapan berarti pemberian hadiah baik dalam bentuk uang maupun kebaikan atau hal yang menyenangkan orang lain dalam konteks untuk mendapatkan umpan balik berupa kemudahan, keuntungan atau hal-hal yang membuat pemberi suap diuntungkan baik secara materil maupun immateril
2.   Penggelapan, kegiatan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan sebuah hal yang berharga maupun berguna, terutama sebuah tindakan yang pada dasarnya mendapatkan sesuatu namun tidak boleh diketahui orang lain. Penggelapan ini bisa dalam bentuk mendapatkan informasi jawaban ujian, penyelewengan, pencurian baik barang maupun non barang.
3.   Penipuan, yaitu kegiatan memalsukan sesuatu agar dapat mengelabui orang lain, atau membuat orang lain tertipu seolah-olah sesuai dengan yang diharapkan orang lain. Contohnya mencontek dalam ujian, tugas, plagiarisme, membayar orang untuk menyelesaikan tugas dan hal yang lainnya.
4.   Pemerasan, yiatu kegiatan memintai uang atau non uang dengan sebuah ancaman, memberikan penawaran yang tidak bisa ditolak, serta segala hal untuk mendapatkan keuntungan dari kelemahan orang lain.

KESADARAN KRITIS

Istilah kesadaran kritis yang digunakan dalam tulisa ini mengacu pada konsep yang dipopulerkan oleh tokoh pendidik masyarakat dan organisator politik berkebangsaan Brasil Paulo Freire. Freire juga disebut sebagai teoritikus pendidikan, filsuf, tokoh pendidikan yang meletakkan dasar-dasar konsep pendidikan kritis dan pendidikan sebagai alat untuk pembebasan serta transformasi sosial. Istilah kesadaran kritis merupakan salah satu konsep dari Paulo Freire yang merupakan bagian dari pembahasan mengenai apa yang disebutnya sebagai Conscientizacao. Conscientizacao ini merupakan konsep tingkat kesadaran dimana setiap individu mampu melihat sistem sosial secara kritis (Smith, 2010 hlm.3). Konsep kesadaran menurut Freire ini membagi tingkatan kesadaran individu kedalam tiga tahap, yakni kesadaran magis atau disebutnya sebagai tingkat semi intransitif, kesadaran naif atau transitif, dan tingkat kesadaran kritis.
Freire mengontraskan kesadaran kritis seseorang di dalam sebuah sistem dengan dua tingkat kesadaran lainnya yang lebih rendah. Kesadaran naif dicirikhasi dengan perilaku orang yang terlalu menyederhanakan dan meromantisasikan realitas; dia berusaha mereformasi individu-individu yang tidak adil dengan asumsi bahwa sistem yang mewadahinya bisa bekerja secara tepat. Kesadaran magis adalah fase dimana orang mengadaptasi atau menyesuaikan diri secara fatalistik dengan sistem yang ada (Smith, 2010 hlm.3)
Konsep kesadaran menurut Freire ini menunjukkan sebuah jenjang kesadaran masyarakat atau individual yang dimulai dengan kesadaran fatalistik yang mengasosiasikan segala apa yang terjadi dengan sebab-sebab magis yang tak bisa dijelaskan secara rasional. Pada tingkat kesadaran ini individu menggantungkan hidupnya pada sesuatu yang transenden, dan cenderung menerima segala apa yang dijalaninya sebagai sebuah “ketentuan” atau “keharusan” dan tidak menyadari kausalitas sistem yang lebih besar. Kesadaran magis atau semi-intransitif berarti dimana lingkungan persepsi seseorang sangat terbatas, yang dimana dirinya tidak dapat menolak situasi diluar wilayah kebutuhan biologisnya (Freire, 1974 hlm.13). Individu yang berada dalam tingkat kesadaran magis, seluruh perhatiannya terfokus pada pemenuhan kebutuhan hidup atau kebutuhan biologis tanpa dapat mempersepsi kausalitas sistemik yang menyangkut kehidupannya secara langsung. Lebih lanjut Freire (Smith, 2010 hlm.27) menjelaskan situasi ini sebagai berikut:
Orang-orang yang memiliki kesadaran semi-intransitif (magis) tidak dapat menangkap masalah-masalah yang disebabkan oleh selain kebutuhan biologis mereka. Kepentingan mereka hampir sepenuhnya berkisar pada cara bertahan hidup, dan mereka tidak memiliki sense of life yang lebih bersifat historis.
Tingkatan kesadaran berikutnya sebagai tingkat yang lebih tinggi dari kesadaran magis adalah tingkat kesadaran naif atau transitif. Ketika individu yang berada dalam kesadaran magis mulai dapat memahami kausalitas kehidupan dalam sebuah sistem yang berkaitan erat, serta mulai membuka pemahamannya tentang nasib dan kehidupan, maka individu meningkat menuju kesadaran naif. Transisi pada kesadaran naif ini ditandai ketika individu mulai dapat melakukan dialog dan mempertanyakan dunianya. Kesadaran transitif membuat dirinya lebih dapat “ditembus” (Freire, 1974 hlm.14). Artinya pikirannya mulai terbuka dan menyadari hal yang lebih luas daripada pandangan sempitnya mengenai kehidupan. Kesadaran naif  atau transitif ini ditandai dengan penyederhanaan masalah, penjelasan yang fantastis, argumentasi yang rapuh, kecenderungan kuat untuk berkelompok, berpolemik daripada berdialog dan bagi pemikir naif, yang penting adalah akomodasi terhadap keadaan yang sekarang yang normal (Freire, 1968; 1973, dalam Smith, 2010, hlm.69-70). Pada individu yang tengah berada pada kesadaran naif ini, mereka mulai menyadari bahwa ada sistem lain yang berpengaruh pada kehidupannya, namun secara naif diketahui bahkan menganggap lebih baik tidak mengetahuinya.
Orang-orang menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem itu sendiri. Argumentasi-argumentasi mereka rapuh ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem dimana mereka hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dalam realitas (Smith, 2010 hlm.69).
Tingkatan selanjutnya yang juga menjadi fokus pada kajian ini ialah tingkat kesadaran kritis (critical consciousness/critical transitive). Kesadaran krtis ini menekankan pada pemahaman dan analisa kritis terhadap situasi sosial dan mengupayakan sebuah perubahan terhadap ketidakadilan. Pada tingkatan kesadaran kritis, individu cenderung mempersepsi sebuah kondisi dirinya maupun kondisi sosial secara lebih kritis dengan prinsip kausalitas. Pada tahap ini seseorang dapat berfikir terbuka, tergerak untuk mengubah sistem dan menolak untuk menjadi penindas atau pelaku ketidakadilan. Freire menjelaskan karakteristis kesadaran kritis ini sebagai berikut:
Kesadaran transitif yang kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada polemik; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekadar karena sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kunonya karena sifat kekunoannya –yakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru (Smith, 2010 hlm.80).
Karakteristik kesadaran kritis yang dijelaskan Freire diatas jelas menggambarkan sebuah situasi mental kesadaran yang memahami dan mengaitkan segala bentuk kondisi sosial dengan hal-hal kausalitas yang berhubungan. Seseorang yang memiliki kesadaran kritis memilih untuk terbuka terhadap segala kemungkinan sebab akibat, juga menghindari distorsi kognitif saat memahami sebuah permasalahan. Individu menyadari dan memahami situasi kehidupannya sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan holistik. Atas dasar pemahaman itu, individu menolak untuk menjadi pasif namun berupaya untuk melakukan hal yang dapat mengubah sistem ketidakadilan menjadi lebih adil dengan pemikiran dan analisa yang kritis. Freire (Landreman et.al., 2007 hlm.276) menggunakan istilah conscientizacao yang berarti kesadaran kritis untuk mendeskripsikan proses perkembangan pengetahuan dan keprihatinan personal pada keadilan sosial yang mengantarkan pada sebuah tindakan untuk mengubahnya. Kesadaran kritis ini juga diartikan sebagai belajar mempersepsi kontradiksi sosial, politik dan ekonomi dan melakukan sebuah tindakan untuk melawan realitas yang menindas (Diemer et.al., 2015 hlm.810). Kesadaran kritis ini juga mengacu pada analisis kritis pada ketidakadilan sosial dan berpartisipasi untuk bertindak mengubah ketidakadilan yang menjebak seseorang atau sekelompok orang pada ketidakadian sosiopolitis (Diemer, Rapa, et.al., 2015 hlm.4).
Landreman et.al. (2007 hlm.276) menyebutkan bahwa seseorang yang berada dalam kesadaran kritis menyadari: (a) implikasi historis, politis, dan sosial dari sebuah situasi; (b) lokasi dan konteks sosial sekitarnya; (c) penyimbangan-penyimpangan identitas multipelnya (ras, sosioekonomis, gender); dan (d) pertentangan yang turun temurun antara visi keadilan sosial dan realita kondisi sosial yang ada di masyarakat. Kesadaran kritis ini mencakup berbagai komponen seperti kesadaran kritis, refleksi kritis, aksi kritis, efikasi politik, dan aktivisme kritis. Hal-hal yang terkait pada kesadaran kritis adalam kemampuan mencerna segala situasi secara kritis dan memanifestasikan kesadarannya dalam bentuk sikap maupun perilaku untuk mengubah apa yang salah dan apa yang seharusnya. Secara operasional, Diemer et.al, (2014 hlm.2) mendefinisikan kesadaran kritis dalam dua komponen yakni refleksi kritis dan aksi kritis. Refleksi kritis ini terbagi pada dua sub komponen: (a) analisis kritis pada ketidakadilan sosial, seperti ketidakadilan etnis, gender, sosioekonomik yang berpengaruh pada kesempatan pendidikan dan pekerjaan; (b) egalitarian, atau dukungan pada kesejajaran sosial. Carlson, Engbretson, dan Chamberlain (Watts, et.al., 2011 hlm.49) menganalisis untuk memahami refleksi kritis ini kedalam empat tahap yakni (1) adaptasi pasif; (2) keterlibatan emosional; (3) kesadaran kognitif; (4) intensi untuk bertindak. Komponen kedua adalah aksi kritis dimana seseorang atau kelompok berpartisipasi bertindak menciptakan perubahan sosiopolitis. Komponen ketiga ditambahkan oleh Watts et.al. (2011 hlm.46) yakni efikasi politis dimana individu memiliki kapasitas pemahaman politis untuk mempengaruhi perubahan sosial dan politik dengan aktivisme individual dan atau kelompok. Efikasi politik ini diiringi dengan keinginan seseorang untuk terlibat pada aksi kritis untuk membuat sebuah perubahan.

DINAMIKA KESADARAN KRITIS DAN PERILAKU KORUPSI

Dalam kacamata hukum, korupsi merupakan sebuah tindakan pidana luarbiasa (extraordinary crime). Di Indonesia, untuk urusan korupsi ditangani oleh lembaga khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi, dalam kacamata sosial, korupsi dapat dikategorikan sebagai penindasan, karena akibat dari korupsi yang sangat kompleks dan merugikan kehidupan masyarakat. Korupsi tidak hanya terkait dengan pencurian atau penggelapan sejumlah uang, korupsi dapat berbentuk penyalahgunaan kekuasaan dengan mengandalkan relasi kuasa memafaatkan celah kekuatan masyarakat yang lemah untuk mendapatkan keuntungan. Contoh yang paling simpel adalah menggunakan birokrasi yang memaksa masyarakat untuk mengeluarkan uang agar kebutuhan sipilnya terlayani. Dalam menggunakan sudut pandang Freire, hal ini dapat dikategorikan sebagai ketidakadilan sosial (social inequity). Bentuk kegiatan korupsi ini menjadi salah satu objek dari fungsi kesadaran kritis yang dijelaskan melalui konsep conscientizacao. Posisi penting kesadaran kritis dalam konteks ini ialah mengubah situasi ketidakadilan sosial yang dalam hal ini kegiatan korupsi. Jika dikaitkan dengan bentuk korupsi yang sama dengan penindasan sosial, maka peran penting kesadaran kritis adalah untuk menyadarinya dan mengubahnya. Diemer (Garcia, 2016 hlm.1) menyatakan bahwa hasil dari kesadaran kritis ini adalah bertambahnya kesadaran akan penindasan struktural dan dukungan pada kondisi kesetaraan yang ideal. Hal ini juga selaras dengan komponen utama dari kesadaran kritis dimana seseorang tergerak untuk merespon ketidakadilan sebuah sistem (McWhirter & McWhirter, 2016 hlm.543).
Memahami korupsi, bukanlah perkara yang mudah dicerna oleh pemahaman yang awam. Karena bentuknya yang sangat variatif, terselubung namun laten. Memahami untuk mengubah keadaan yang koruptif ini memerlukan sebuah analisa yang kritis dengan penafsiran yang mendalam dan terbuka. Dalam situasi ini, kesadaran kritis sangat diperlukan karena menurut Watts (2011, hlm.44) kesadaran kritis ini adalah bentuk belajar untuk menganalisis secara kritis pada kondisi sosialnya serta bertindak untuk mengubahnya. Bentuk kesadaran kritis ini jelas diperlukan agar sebagaimana karakteristik kesadaran kritis ialah dimana seseorang menolak untuk menjadi penindas atau dalam hal ini menolak untuk jadi koruptor, dan berupaya untuk melakukan sesuatu agar korupsi tidak terjadi. Jika seseorang masih berada dalam kesadaran naif, saat seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi, maka berkecenderungan untuk melakukannya meskipun menyadari bahwa korupsi itu tidak benar.

Atas dasar pemahaman yang telah diuraikan, maka ada sebuah hal yang dapat disimpulkan secara sementara, dimana saat seseorang memiliki kesadaran kritis, maka seseorang cenderung untuk tidak memiliki keinginan korupsi. Sebaliknya jika seseorang dengan tingkat kesadaran kritis yang rendah, atau masih berada dalam kesadaran naif, kecenderungan untuk melakukan korupsi menjadi tinggi. Analisa ini memunculkan sebuah dugaan bahwa tingkat perilaku korupsi terkait dengan tinggi rendahnya tingkat kesadaran kritis seseorang. Penulis memberikan dugaan bahwa ada hubungan kausalitas antara kesadaran kritis dengan perilaku seseorang.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari proposal penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Kesadaran Kritis dengan Perilaku Korupsi di Kalangan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada”, Matakuliah Metodologi Penelitian, Program PraPascasarjana Magister Psikologi, Universitas Gadjah Mada.

REFERENSI

Andvig, J.C. & Fjeldstad, O.H.(2000). Research on Corruption: A Policy Oriented Survey. Final Report. Chr. Bergen/Oslo: Michelsen Institute & Norwegian Institute of International Affairs.
Azhar, M., et.al. (2003). Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership, Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi.
Barr, A. & Serra, D. (2009). Corruption and Culture: An Experimental Analysis. Journal of Public Economics, 94(2010): 862-869.
Diemer, M.A., Rapa, L.J., et.al. (2014). Development and Validation of the Critical Consciousness Scale. Youth & Society, 2014: 1-23.
Diemer, M.A., et.al. (2015). Advances in The Conceptualization and Measurement of Critical Consciousness. The Urban Review, 47(2015): 809-823.
Freire, P. (1974). Education for Critical Consciousness. New York: Continuum.
Garcia, M. (2016). Raising Critical Consciousness in Adolescents: An Evaluation of the Fair Curriculum. Thesis. Colorado: Department of Human Development and Family Studies, Colorado State University.
Heyneman, S.P. (2004). Education and Corruption. International Journal of Educational Development, 24(2004): 637-648.
ICW. (2004). Tren Pemberantasan Korupsi 2014. [Online]. Divisi Investigasi dan Publikasi ICW. Tersedia: http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Kajian/Trend%20Korupsi%20Tahun%202014.pdf [17 September 2016].
Landreman, L.M., et.al. (2007). A Phenomenological Study of The Development of University Educators’ Critical Consciousness. Journal of College Student Development, 48(3): 275-296.
McWhirter, E.H. & McWhirter, B.T. (2016). Critical Consciousness and Vocational Development Among Latina/o High School Youth: Initial Development and Testing of a Measure. Journal of Career Assesment, 24(3): 543-558.
Nordin, R.M., et.al. (2013). Behavioural Factors of Corruption in The Construction Industry. Social and Behavioral Sciences, 105(2013): 64-74.
Osipian, A.L. (2007). Corruption in Higher Education: Conceptual Approaches and Measurement Techniques. Research in Comparative and International Education, 2(4): 313-332.
Osipian, A.L. (2008). Corruption in Higher Education: Does It Differ Across The Nations and Why?. Research in Comparative and International Education, 3(4): 345-365.
Rumantseva, N.L. (2005). Taxonomy of Corruption in Higher Education. Peabody Journal of Education, 80(1): 81-92.
Ryvkin,D. & Serra, D. (2012). How Corruptible Are You? Bribery Under Uncertainty. Journal of Economic Behavior & Organization, 81(2012): 466-477.
Salama, N. (2014). Motif dan Proses Psikologis Korupsi. Jurnal Psikologi, 41(2): 149-164.
Smith, W.A. (2001). The Meaning of Concscientizacao, The Goal of Paulo Freire’s Pedagogi. Massachusetts: Center of International Education, University of Massachusetts Amhers. Terjemahan A.Prihantoro. 2010. Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Watts, R.J., et.al. (2011). Critical Consciousness: Current Status and Future Directions. Dalam C.A. Flanagan & B.D. Christens (Eds.), Youth Civic Development: Work at the Cutting Edge. New Directions for Child and Adolescent Development, 134, 43-57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar