Jumat, 17 Januari 2014

Mengkaji Ulang Pemantapan di Sekolah

Setiap tahunnya, saat memasuki semester genap mendekati Ujian Nasional, para siswa khususnya kelas akhir (kelas IX & XII) harus mengikuti pemantapan persiapan ujian. Siswa digenjot paksa untuk intensif mempersiapkan ujian yang hanya beberapa hari. Hampir selama 6 bulan terakhir, mereka ditekan habis-habisan untuk memenuhi keegoisan citra sekolah agar lulus seratus persen dalam UN.

Mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian memang sah-sah saja. Sudah seharusnya memang, para siswa menampilkan performa yang prima pada saat diuji. Namun, jika persiapan ujian diperlihatkan dalam bentuk tekanan yang mencekam, siswa tak akan menikmati proses belajarnya. Terlebih lagi, jika pemantapan ujian ini dalam bentuk tuntutan dari sekolah bukan hasil dari upaya mandiri siswa. Pemantapan tak ubahnya seperti kerja rodi, mekanistik juga tak manusiawi.

Berminggu-minggu, siswa dipaksa untuk terus menerus mengisi soal ujian latihan, tanpa diberi kesempatan menyelami makna soal yang diujikan. Proses berpikir dikerdilkan dengan siasat-siasat bagaimana menebak jawaban soal yang sulit. Berjam-jam selama berbulan-bulan, kepala siswa dipaksa berhenti untuk berpikir komprehensif, kognitifnya direkontruksi untuk siap mengisi soal dengan jawaban-jawaban yang tak perlu difahami maknanya: tak perlu njelimet memahami, yang penting, jika soal begini isinya pasti begini!

Pada akhirnya, dalam proses pemantapan ujian ini muncul benih-benih dehumanisasi dalam proses pendidikan. Maksud baik, bersiap untuk menghadapi momentum ujian, yang terjadi adalah penyimpangan kaidah pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan adalah memanusiakan manusia yang maknanya, pendidikan bukan soal pintar mengisi soal ujian, melainkan pandai memecahkan persoalan kehidupan. Menurut W.B. Yeats Pendidikan adalah proses menyalakan api pikiran, bukan malah pintar mengisi soal ujian.

Setidaknya, dehumanisasi ini terlihat dalam bentuk sebagai berikut: Pertama, siswa dipaksa berfikir kerdil dan dangkal karena hanya bertugas untuk mengisi soal ujian tanpa sempat memahami maknanya. Kedua, siswa yang memiliki potensi dan minat berbeda, dipaksa harus sama belajar mata pelajaran yang diujikan saja.  Ketiga, selama proses pemantapan, siswa dipadamkan minatnya untuk mempelajari pelajaran lain karena harus fokus mempersiapkan ujian yang hanya beberapa mata pelajaran saja. Keempat, siswa tak diberikan pilihan untuk menghindari tekanan, mau tidak mau siswa harus ikut pemantapan. 

Proses pemantapan yang dipaksakan intensif selama beberapa bulan demi ujian yang hanya beberapa hari, tentunya sangat melelahkan bagi siswa. Mereka mengalami tekanan fisik dan emosi dalam waktu yang lama. Dalam teori psikologi pendidikan, tekanan dalam jangka waktu yang lama akan memicu kejenuhan dalam belajar.

Kejenuhan belajar ini memicu keengganan hadir dalam kelas, rendahnya motivasi belajar, hingga tingginya angka drop out (Aypay, 2011). Lebih jauh, kondisi ini akan memicu siswa memperlihatkan sikap sinis (cynism), menghindar dari pembelajaran hingga siswa merasa tidak kompeten atau merasa tak mampu sebagai pelajar (Schaufeli, 2002).

Pemantapan di sekolah pada akhirnya terkesan mengeliminasi proses belajar siswa yang telah dijalani selama hampir 3 tahun. Pemantapan selama beberapa bulan, seperti menyepelekan kerja kerja keras siswa yang telah berusaha bertahun-tahun sebelumnya. Persiapan ujian yang instan ini hanya menghasilkan generasi-generasi instan.

Pemantapan seolah merupakan bentuk ketidakpercayaan sekolah terhadap proses belajar siswa, sekaligus bentuk pengakuan sekolah bahwa mereka tak mampu mencetak siswa yang siap menghadapi berbagai evaluasi. Ironisnya, ketidakmampuan ini terkadang dibebankan kepada siswa dengan harus membayar sejumlah uang demi menyelenggarakan pemantapan (dalam harian “PR”, 7/1/2014)


Namun, memang tak perlu sepenuhnya menyalahkan sekolah atas malpraktik pendidikan seperti ini. Semuanya bermuara pada sistem yang memang dirancang oleh yang bukan ahlinya. Seharusnya, kebijakan pemicu pemantapan ini yang juga perlu dievaluasi. Pemerintah jangan menutup mata, segala bentuk kekacauan bermuara pada ketidaktahuan.