Rabu, 01 Agustus 2018

Heutagogy, Peeragogy & Cybergogy*

Oleh : Isman Rahmani Yusron


Awal tahun ajaran baru merupakan momentum penting bagi para guru, setidaknya untuk melakukan 3 hal: Evaluasi, Formulasi, dan Menyusun Strategi. Proses pembelajaran di sekolah, perlu dilakukan rekalibrasi, agar tetap relevan dengan kondisi kekinian, namun tak mengikis prinsip utama pendidikan. Di jaman kekinian, belajar mengajar di sekolah tak lagi sebatas pedagogy, namun juga heutagogy, peeragogy, dan cybergogy.
            Telah umum kiranya, di sekolah-sekolah, proses pembelajaran menempatkan guru sebagai sumber utama belajar. Guru menjadi titik sentral pembelajaran, dan siswa menjadi audiens penyimak dan berlaku pasif dan jadi objek dalam belajar. Gaya ini memang bertahan menjadi tradisi persekolahan, kendatipun telah banyak gerakan-gerakan untuk mengubah pembelajaran yang asalnya teacher centered menjadi student centered.
            Para guru telah semestinya menjadi garda depan pemecah tradisi kekunoan ini. Bisa kita saksikan kini, sumber informasi, sumber pengetahuan, hingga sumber kepercayaan telah berada di setiap genggaman siswa sendiri. Sehingga, praktik pembelajaran yang bersifat pedagogis menghadapi keniscayaannya sendiri di jaman ini : tidak relevan dan sangat banal.
            Jika masih bertahan dengan model yang satu ini, pembelajaran menjadi kian tidak menarik. Belajar di sekolah malah menjadi kurungan, di saat pengetahuan yang lebih beragam dengan mudahnya mereka dapat diluar kelas. Maka, guru perlu segera mengubah siasat. Mengajar tak lagi berarti ‘mengajari’, akan tetapi ‘memfasilitasi’ dan ‘menanam budi’.
            Jaman ini, setidaknya ada tiga alternatif utama siasat dalam proses pendidikan di sekolah. Pertama, Heutagogy. Heutagogy ini merupakan strategi mendidik siswa yang mendorong mereka untuk memiliki keterampilan mengarahkan diri. Pengembangan kemampuan self-directing ini begitu penting di jaman multitasking ini. Tanpa kemampuan mengarahkan diri, siswa akan sangat mudah terganggu, terpengaruh, dan teralihkan oleh berseliwerannya fitur-fitur digital.
            Kita saksikan bersama, berbagai fitur gadget dan berjuta aplikasi kini telah membanjiri benak para siswa. Kemampuan berkonsentrasi pada satu hal secara mendalam, kian tergerus dan mengganggu fokus. Jika siswa tidak dilatih keterampilannya untuk mengarahkan diri, siswa akan selalu terbuai dengan berbagai konten informasi dan aplikasi yang membuat konsentrasi belajarnya terbagi. Hal ini dapat membuat para pelajar memiliki pengetahuan dangkal, dan tak mampu memahami suatu permasalahan secara komprehensif.
            Strategi pendidikan kedua, yakni Peeragogy. Peeragogy ini adalah strategi pendidikan yang membiasakan siswa untuk terlatih fokus pada belajar bekerjasama dan mencipta bersama-sama. Tak dapat dinafikan, gadget yang kini digandrungi para peserta didik kian menjauhkan mereka dari lingkungan sosial. Siswa menjadi sangat individual dan tak terbiasa belajar dengan teman sebaya. Padahal, keterampilan abad 21 mensyaratkan kompetensi siswa untuk mampu berkolaborasi dengan individu lainnya. Kompetensi berkolaborasi ini perlu ditanamkan melalui strategi peeragogy.
            Strategi yang ketiga, ialah Cybergogy. Cybergogy ini merupakan strategi pendidikan yang mendorong para pembelajar untuk terlibat dalam lingkungan belajar dalam jaringan. Lingkungan Online, serba terkoneksi, kini telah menjadi keseharian dari kehidupan para siswa. Media komunikasi dan interaksi, suka tidak suka kini telah beralih dari bentuk fisik ke bentuk maya.
Akan tetapi, alih-alih jadi kekhawatiran, justru situasi ini menciptakan suatu peluang baru dalam proses pendidikan maupun belajar mengajar. Guru dapat menciptakan lingkungan dan iklim belajar yang lebih luas tanpa dibatasi oleh sekat-sekat tradisional: ruang kelas, jadwal dan kurikulum. Proses pendidikan dapat menjelajah kehidupan siswa secara lebih luas, dan membuat iklim eksplorasi pengetahuan menjadi menarik dan relevan dengan kondisi kekinian.

Tiga alternatif strategi ini dapat di integrasikan dan dikolaborasikan menjadi suatu strategi dan formulasi baru dalam dunia pendidikan. Sehingga, sekolah semakin dekat dengan para siswa, dan konten belajar menjadi lebih relevan bagi kehidupan para siswa. Kita perlu menciptakan strategi-strategi baru, agar pendidikan tetap tidak jauh dengan jaman dan tetap relevan dengan kehidupan. 

*) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 28 Juli 2018

Senin, 09 Oktober 2017

Ironi Sarkastik, Katalisator Kreatifitas dan Kompleksitas Kognitif

Oleh : Isman Rahmani Yusron


1.      Kata dan Pemrosesan Informasi

Pada percakapan sehari-hari, gaya berbahasa seseorang dalam berkomunikasi begitu unik dan khas. Terutama terkait dengan budaya di Indonesia yang beragam, berbagai bentuk pengungkapan berbahasa yang sangat bervariasi. Saat berkomunikasi, tergantung pada konteks tertentu seseorang dapat menggunakan bahasa sopan, bahasa pergaulan, bahasa slang, bahkan hingga menggunakan bahasa sarkasme. Secara umum, masing-masing individu saat mengungkapkan maksud pembicaraannya, ada yang diungkapkan secara langsung dan jelas agar yang diajak bicara mudah menangkap maknanya, ada juga yang melalui ungkapan-ungkapan tidak langsung atau melalui berbagai perumpamaan agar yang diajak bicara dapat menafsirkan sendiri maknanya dan memahaminya.

Pada akhirnya, berkomunikasi tidaklah terbatas pada proses mentransfer bunyi suara dari kata-kata, lebih jauh dari itu terdapat transformasi makna pada suatu bentuk pengertian tertentu. Bahkan secara ekstrem, ada ungkapan words don’t mean, people mean, yang menunjukkan bahwa kata-kata hanyalah simbolisasi maksud akan tetapi melalui simbol itulah individu membangun makna dan pengertian. Proses ini, bukan lagi persoalan linguistik semata, lebih jauh merupakan kajian menarik dalam ilmu psikologi. Stimulus kata-kata yang diucapkan lawan bicara, diproses secara mental dan otak mencernanya dengan menyatukan berbagai informasi hingga terbangun makna pemahaman tertentu sebagai bahan untuk merespons stimulus tersebut. Misalnya, saat lawan bicara mengatakan “mobil”, otak merespon dengan mencari asosiasi kata tersebut dalam memori tentang sebuah benda dengan bentuk tertentu dan memiliki ciri tertentu. Sehingga, melalui proses itu tergambar maksud pembicaraan lawan bicara dan terbangun pemahaman secara keseluruhan tentang isi pembicaraan.

Kata atau kalimat yang memiliki makna yang jelas dan lugas, akan secara langsung direspon otak sesuai dengan makna ucapannya. Otak tidak menerjemahkan kembali maksud diluar dari makna ucapan karena secara jelas merujuk pada informasi tertentu. Bagian otak yang memproses kata-kata, mengolah lebih mudah makna yang terkandung dalam kata yang diungkapkan dan secara langsung terbangun pengertian dari keseluruhan kalimat. Secara konseptual, proses bagaimana otak mencerna kata-kata dan konsepnya disebut sebagai mental lexicon, proses mental mengenai penyimpanan informasi mengenai kata-kata yang mencakup informasi semantik (makna kata), informasi sintaktik (bagaimana kata dikombinasikan menjadi bentuk kalimat), dan bentuk detail dari kata (pengucapan dan pola suaranya) (Gazzaniga, Ivry, & Mangun, 2015).

Sekilas, atau secara mudah disimpulkan bahwa ketika kalimat yang diucapkan lawan bicara menyebutkan kata-kata langsung –tanpa makna luas dibaliknya, proses mental yang terjadi di dalam otak berlangsung tidak terlalu kompleks. Otak hanya mencatut kembali informasi-informasi sebelumnya mengenai kata-kata tersebut dan menyusunnya jadi suatu pengertian tertentu. Akan tetapi beda halnya jika, kalimat yang diucapkan lawan bicara tidak sesuai dengan makna sebenarnya atau bahkan kebalikan dari makna yang sebenarnya. Tentunya pada pemrosesan kata-kata jenis tersebut, ada proses membangun makna yang melibatkan pemahaman konseptual terkait konteks tertentu. Misalnya ketika seseorang memakai baju warna hitam, lalu lawan bicara berkomentar dengan kalimat “wah, sepertinya kamu sedang berkabung ya?”. Padahal dalam konteks saat itu, ia tak mengalami pengalaman menyedihkan atau berkabung, akan tetapi yang diajak bicara akan dapat memahami bahwa komentar lawan bicara bukan mengenai konteks pengalaman, melainkan komentar tentang warna baju yang digunakan. Bagaimana kata-kata yang tidak bermakna sebenarnya dapat diproses menjadi pemahaman tertentu dan langsung mengaitkannya dengan warna baju yang sama sekali tidak berhubungan secara arti kata? Tentunya otak lebih kompleks mencernanya dibandingkan dengan mendengar kata-kata “kok memakai baju warna hitam?”.

Bentuk ungkapan komunikasi secara tidak langsung ini, membutuhkan pemrosesan yang kompleks dan penuh kesadaran. Komunikan setelah menangkap pesan, harus menafsirkan lebih dari sebatas makna aslinya bahkan melibatkan proses kognitif yang kompleks. Pada saat seseorang bertanya, “Siapa namamu?”, respon individu bahkan tidak memerlukan kesadaran yang penuh, dapat menjawabnya. Namun berbeda ketika hal itu diungkapkan dengan “Kamu sudah terkenal?” dalam konteks baru bertemu orang yang baru, maka yang diajak bicara akan melibatkan kesadaran penuh untuk memaknai pertanyaan tersebut dan sampai pada pemahaman bahwa dirinya belum mengenalkan diri atau menyebutkan nama. Seperti contoh sebelumnya, ketika mendengar “sepertinya kamu sedang berkabung?”, otak akan memproses secara sadar dan melibatkan kompleksitas kognitif pada pencarian informasi yang terkait dengan makna “berkabung”. Makna kata tersebut dekat dengan kesedihan, dan dalam konteks budaya tertentu (bahkan universal?), kesedihan atau berkabung identik dengan simbol “hitam”,  dan lalu otak secara sadar menginspeksi informasi dalam memori terkait dengan simbol tersebut. Kemudian, antara makna “berkabung”, dikaitkan dengan ingatan tentang pakaian yang digunakan yaitu pakaian serba warna hitam yang juga terkait dengan informasi pakaian yang biasanya digunakan saat berkabung.

Sabtu, 26 Agustus 2017

Menumbuhkan Kasmaran pada Proses Pendidikan

Oleh : Isman Rahmani Yusron

Sudah sejak lama, dan hingga kini bercokol suatu keyakinan, bahwa mengajarkan anak kedisiplinan di sekolah, adalah dengan menjalankan mekanisme reward and punishment. Keyakinan kuno yang berakar pada tradisi behaviorisme ini, sangat diyakini sebagai metode yang efektif dalam membentuk karakter anak yang disiplin, patuh, penurut, dan taat pada aturan bersekolah. Anak didik, diperlakukan sebagai robot mekanis yang bisa disetel sesuai keinginan si pemegang aturan. Atau, diposisikan sebagai anjing peliharaan, yang bisa dilatih sesuai keinginan si pemilik, jika patuh beri dia hadiah, jika tak patuh: hukum dan paksa, jangan diberi pilihan untuk tidak patuh.

Pendidikan model seperti ini memang paling mudah, namun berakar pada keyakinan yang salah. Pendidikan, kata kuncinya adalah ‘mengembangkan’, dan bukan ‘membentuk’. Memang, tradisi behaviorisme meyakini bahwa manusia dapat dipandang sebagai tabula rasa, yang bisa dibentuk oleh lingkungan. Saya tak akan mementahkan seluruhnya sudut pandang ini apalagi berdebat, namun untuk konteks “Pendidikan”, kita mesti sangat skeptis dengan keyakinan seperti ini.

Setidaknya, sebelum memutuskan dengan gaya tersebut, kita perlu bertanya: apa iya, manusia semudah itu bisa dibentuk? Apa semua manusia bisa dibentuk? Bagaimana kita tau, bahwa landasan kita membentuk seorang manusia itu didasari pada alasan yang tepat? Bagaimana jika kita membentuk mereka menjadi “salah”? Kebenaran mana yang kita pegang? Apa kebenaran kita cocok dengan kebenaran anak yang kita bentuk?. Jika kita yakin ini paling tepat tanpa bertanya, kita telah melakukan simplifikasi yang sangat naif!

Sebagai contoh, praktik pendidikan di indonesia membentuk suatu iklim pembelajaran dimana siswa harus duduk tegap rapih, berjejer jejer, dengan guru di depan sebagai sumber utama belajar, dan siswa dibelakangnya sebagai obyek mengajar guru. Kadang mereka tak diperkenankan menyela guru, tak diperbolehkan mempertanyakan kebenaran yang disampaikan guru, bahkan tak diperbolehkan bersuara jika belum diijinkan guru. Guru sebagai otoritas mutlak saat di kelas.

Apa ini praktik yang tepat dalam konteks “pendidikan”? Tidakkah, itu hanya membentuk siswa sebagai makhluk pasif, tak berdaya, hanya disuapi, dan dipaksa menelan bulat semua ajaran guru tanpa mereka bisa membedakan apakah yang guru cekoki itu vitamin atau racun? Ini sangat mengerikan bagi anak yang sejatinya harus berkembang, meski sangat banal terjadi di Indonesia.

Begitupun dengan mekanisme hukuman. Siswa terlambat di hukum, tak mengerjakan tugas dihukum, dianggap tidak sopan dihukum, tak berseragam rapih dihukum, sepatu berbeda dihukum. Come on, ini lembaga pendidikan atau lembaga pemasyarakatan? Coba kita renungkan ulang, pernah tidak kita memikirkan apa yang terjadi dibalik perilaku yang menyebabkan siswa mendapat hukuman? Siswa terlambat misalnya, kita pernah merenungkan secara serius “apa yang menyebabkan siswa terlambat?”, bisa jadi karena rumah yang jauh, bisa jadi karena semalam membantu orang tua berdagang hingga bangun kesiangan, bisa jadi karena kesalahan teknis bajunya kena kotoran hingga mesti dicuci dahulu demi menyelematkan hargadirinya, bisa jadi karena kemacetan, bahkan bisa jadi karena memang sekolah sudah sebegitu memuakkan baginya!

Selasa, 22 Agustus 2017

Project Based Learning dan Tantangan Abad 21

Oleh : Isman Rahmani Yusron
         
   Proses pembelajaran di sekolah, selalu identik dengan kegiatan yang serba formal dan statis. Guru memberikan pelajaran, dan siswa menerima apa yang diajarkan guru secara langsung dan searah. Bahkan, terkadang proses pembelajaran berlangsung tanpa interaksi, tanpa kesempatan untuk pertanyaan. Posisi guru berada sebagai pemberi pengetahuan, dan siswa sebagai wadah kosong dan pasif menerima pengetahuan. Proses pembelajaran seperti ini, menempatkan siswa sebagai objek pengajaran dari guru daripada sebagai learner. Seolah, yang lebih penting adalah siswa menguasai materi ajar daripada proses belajar itu sendiri. Bahkan, saking banalnya proses rigid ini, menciptakan suatu kesalahfahaman dari arti kata “belajar”. Makna keaktifan subjek dalam belajar, direduksi oleh proses pengajaran semacam ini.
    
        Banalitas pembelajaran yang rigid ini, secara otomatis membuat kualitas pendidikan Indonesia semakin terpuruk. Berdasarkan laporan PISA yang diselenggarakan OECD pada tahun 2015, indonesia berada di urutan ke 69 dari 76 negara atau 8 terbawah dalam hal mutu pendidikan (BBC, 2015). Tak dapat dinafikan, kondisi ini pula berkontribusi pada lambannya kemajuan ekonomi Indonesia. Pendidikan yang memiliki posisi strategis pada kemajuan bangsa, belum juga memberikan hasil yang maksimal. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, per Maret 2016 Index Gini Ratio indonesia berada di angka 0,397, yang berarti kesenjangan ekonomi masyarakat masih cenderung tinggi. Bahkan menurut survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, melaporkan bahwa 1% masyarakat indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional (katadata.co.id, 2017). Besarnya ketimpangan, memperlihatkan bahwa pendidikan nasional belum berhasil meningkatkan kemampuan masyarakat dalam perekonomian.

Dua hal yakni buruknya pendidikan nasional dan buruknya perekonomian masyarakat, tidak bisa secara naif dikatakan tidak ada kaitannya. Bagaimanapun, pendidikan adalah salah satu hal strategis dalam membangun perekonomian masyarakat. Jika melihat realitas yang ada seperti diuraikan sebelumnya, maka implikasi yang dapat disimpulkan adalah bahwa proses pendidikan harus menciptakan kualitas dan proses pendidikan harus berkontribusi pada kehidupan masyarakat. Dua hal ini menjadi titik langkah awal dalam perbaikan proses pendidikan nasional secara luas. Pendidikan perlu membentuk kultur “menghasilkan” dan “berkontribusi” pada kehidupan. Pendidikan jangan hanya sebuah proses eksklusif dan monoton yang semakin menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan. Prodak pendidikan harus sedini mungkin dinikmati manfaatnya oleh masyarakat, setidaknya membentuk keterampilan peserta didik untuk mampu menjalani kehidupan mandiri.

Untuk menjawab tantangan dari realitas tersebut, penulis menawarkan sebuah metode pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning). Project Based Learning atau PBL, merupakan model aktifitas kelas yang berbeda dengan aktivitas yang biasa dilakukan yang bersifat singkat terisolasi serta berpusat pada guru, menjadi aktivitas jangka panjang, terbuka, multidisiplin dan berpusat pada siswa (student centered). PBL berbentuk pembelajaran siswa yang diorganisasikan dalam kerangka sebuah proyek tertentu yang bermanfaat dan bermakna bagi pembelajar maupun masyarkat. Jones, Rasmussen & Moffitt (Thomas, 2000) mendefinisikan PBL sebagai suatu tugas kompleks, berbasiskan pertanyaan atau problem menantang, yang melibatkan siswa dalam merancang, menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, atau aktivitas investigatif; memberikan siswa kesempatan untuk berkerja secara relatif mandiri dalam suatu jangka waktu tertentu; dan berpuncak pada suatu prodak atau presentasi yang realistis.

Ketidakjujuran Akademik: Dinamika Perspektif Neurosains

Oleh : Isman Rahmani Yusron

Tidak jujur, terutama dalam dunia akademik, merupakan suatu sikap negatif individu yang secara umum tidak dapat diterima. Melakukan plagiarisme, menyontek dan berbagai bentuk kecurangan lainnya, adalah suatu tindakan yang dipersepsikan sebagai suatu pelanggaran dari pakem yang seharusnya dilakukan. Perilaku curang atau tidak jujur, merupakan suatu keputusan yang didalamnya mengandung intensi untuk tidak melakukan yang seharusnya. Dengan kata lain, seseorang yang melakukan kecurangan bukan tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya merupakan suatu kesalahan, akan tetapi sengaja mengambil keputusan untuk tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Anderman & Murdock (2011) menyimpulkan dari berbagai analisis penelitian, ketika seseorang melakukan berbagai perilaku kecurangan, mereka memang membuat keputusan untuk terlibat dalam perilaku curang tersebut. Artinya, kecurangan, secara umum merupakan salah satu bentuk dari self deception, atau sikap menipu diri sendiri. Aspek moral dan emosional berperan dalam kaitan perilaku tersebut.

            Menurut Anderman & Murdock (2011), dalam perspektif belajar, curang merupakan suatu strategi yang dilakukan sebagai jalan pintas kognitif (cognitive shortcut). Menurutnya, siswa yang memilih untuk curang bukan karena mereka tidak tahu bagaimana strategi yang efektif atau simpelnya karena mereka tidak mau untuk menginvestasikan waktu untuk menggunakan berbagai strategi belajar. Artinya, bahwa kecurangan terjadi, ketika individu memilih jalan pintas dan tidak mau berupaya lebih untuk melakukan tindakan yang seharusnya. Jelas disini berarti bahwa melakukan kecurangan mengandung sebuah kompleksitas proses kognitif, tidak semata-mata perilaku spontan namun mengandung sebuah intensi dan proses pengambilan keputusan. Bahkan sebagai implikasi, terdapat dimensi perilaku yang disengaja dan diupayakan pada tindakan kecurangan. Atas dasar hal tersebut, dimensi kognitif berperan penting dalam perilaku kecurangan.

            Berdasarkan uraian singkat tersebut, memicu satu pertanyaan penting terkait perilaku kecurangan, terutama bagian otak mana yang memproses intensi kecurangan. Kompleksitas sudut pandang dalam melihat perilaku kecurangan pada tingkat personal, ada yang memandang terkait dengan afeksi, emosi, kognisi, konstruk sosial dan berbagai dimensi lainnya mengundang keingintahuan tentang fakta ilmiah mengenai bagian mana yang memproses suatu intensi dan tindakan kecurangan. Sebuah penelitian dari Abe et al., (2014) melakukan studi mengenai neural basis dari kecurangan dimana, dalam penelitian tersebut melalui alat functional magnetic resonance imaging (fMRI) mencoba melihat mekanisme neurokognitif seseorang ketika berintensi curang atau tidak jujur.

           Dalam penelitian yang dilakukan Abe et al. (2014), menganalisa subjek yang berjumlah 25 partisipan diantaranya 14 perempuan dan 11 laki-laki, dengan melihat dinamika aktivitas otak ketika partisipan diberi perlakuan yang memungkinkan menentukan keputusan untuk tidak jujur. Partisipan dengan umur rata-rata 22 tahun, diberikan 90 cerita yang memungkinkan untuk melakukan memilih tidak jujur yang negatif (Harmful story) dan 90 cerita  yang memungkinkan memilih tidak jujur positif (helpful story). Sebagai contoh dari Harmful story misalnya “kamu sedang berbelanja di mall, kamu membutuhkan untuk ke kamar mandi. Kemudian kamu tidak sengaja merusak pintu kamar mandi mall tersebut. Ketika sedang di kamar mandi, petugas kebersihan datang dan bertanya padamu apakah kamu tau kenapa pintu kamar mandi sampai rusak?. Apakah kamu akan jujur memberitahukan petugas bahwa kamu yang merusaknya atau kamu akan berbohong?”. Contoh Helpful story, sebagai berikut “Kamu lulus dari universitas dan kemudian diterima kerja, hal tersebut membuat bahagia orangtuamu yang telah didiagnosa kanker di rumahsakit. Karena krisis ekonomi, tak lama kamu dipecat oleh perusahaan. Hari berikutnya, saat kamu menjenguk ibumu, ibumu bertanya mengenai bagaimana pekerjaan kamu di perusahaan. Apakah kamu akan jujur bahwa kamu telah dipecat, atau akan memilih berbohong?”. Juga ditambah control story yang tidak berhubungan dengan pemilihan keputusan berbohong atau tidak.

Ilmu (Tidak) Bebas Kepentingan? Refleksi Kritis Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kemanusiaan.

Oleh: Isman Rahmani Yusron


“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” - Tan Malaka

A.    Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan arus utama, selalu pongah dengan klaim bahwa suatu kebenaran hanya dapat diterima jika telah diverifikasi secara empiris dengan bukti nyata menurut pengalaman. Objektivitas dalam kegiatan ilmiah, seolah menjadi legitimasi yang berlebihan untuk dijadikan sebagai kebenaran yang universal dan dapat digeneralisasi pada aspek yang lebih luas. Seolah-olah, subjektifitas dan rasionalitas subjektif tidak dapat diikutkan dan bermakna peyoratif dalam dunia ilmu pengetahuan. Paradigma ini, memicu sebuah klaim yang berlebihan mengenai ilmiah atau tidaknya suatu teori didasarkan semata-mata pada bukti empirik apa adanya. Bahkan, tradisi pembuktian menurut pengalaman empiris dan objektif ini menjadi pedoman ekslusif yang mendikhotomi realitas menjadi “yang ilmiah” dan “tidak ilmiah”. Sesuatu yang ilmiah dikesankan pada suatu bentuk rigid yang selaras dengan bukti yang ditemukan secara empirik. Hal-hal yang berkaitan dengan nilai dan kepentingan masyarakat, seolah dibebaskan bahkan dijauhkan. Akhirnya, jargon fakta ilmiah bebas nilai, seolah menjadi lazim dan tidak dapat digugat.
Pemisahan ilmu pengetahuan dengan kepentingan, menghasilkan masyarakat keilmuan yang lari dari tanggung jawab. Ilmu pengetahuan dijadikan sebuah domain yang tidak boleh tercampuri urusan politis kemanusiaan. Sekaligus, secara otomatis, ilmu pengetahuan tidak dibentuk untuk secara direktif menyelesaikan masalah nilai kemasyarakatan. Ilmu pengetahuan hanyalah untuk ilmu pengetahuan, demi perkembangan ilmu pengetahuan. Pola saintisme semacam ini, melahirkan sebuah kultur pemisahan ilmu pengetahuan dengan realitas hidup kemasyarakatan. Akibatnya, dunia keilmuan semakin berada di awang-awang, melesat meninggalkan realitas kehidupan yang –jika tak bisa dibilang lamban, memerlukan proses kompleks untuk mencapai titik kemajuan tertentu.
Meski demikian, ketimpangan jarak antara ilmu dan realitas masyarakat, pada akhirnya menggusur pihak yang lebih lamban untuk mengejar ketertinggalannya. Sehingga, dalam hal ini realitas kemasyarakatan yang wajarnya bergerak berproses, dipaksa untuk berubah pesat, serba cepat, mengejar keseimbangan dengan perubahan cepat ilmu pengetahuan. Kondisi ini menghasilkan sebuah tatanan masyarakat yang tak pernah selesai mencerna zaman. Kultur kehidupan berubah dari yang asalnya pendalaman makna alam semesta, menjadi masyarakat kompetitif yang penuh persaingan mewujudkan ambisi idealnya. Situasi yang serba berkompetisi dan bersaing ini, lama kelamaan mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Kehidupan semakin tidak manusiawi, bergerak seperti mesin dalam sebuah pabrik yang berlomba-lomba untuk terus berproduksi, serba transaksional dan saling tindas menindas.

Teori Kebenaran Pragmatis

Oleh : Isman Rahmani Yusron         
Teori kebenaran pragmatis merupakan derivasi dari aliran filsafat pragmatisme yang lahir pada penghujung abad ke 19 di Amerika. Pragmatisme pertama kali dicetuskan tiga filsuf kenamaan Amerika yakni Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Walaupun ditahun 1955, C.S Peirce menamakan versi pendekatannya sebagai Pragmaticism, karena tidak puas dengan pendekatan William James yang Individualistik (Biesta & Burbules, 2003), sehingga Peirce merasa perlu untuk membedakannya agar tidak identik dengan pendekatan James. Namun, ketiga tokoh ini disebut sebagai tokoh utama dalam membidani aliran pragmatisme.

            Pragmatisme, berakar dari aliran empirisme yang sebelumnya dipopulerkan oleh Immanuel Kant. Meski sering disebut sebagai filsafat Amerika, namun sedikit banyak pragmatisme dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat eropa. Hal ini karena baik Pierce, Dewey, maupun James banyak dipengaruhi oleh fikiran-fikiran Kant dan tokoh-tokohnya selain Pierce (Dewey, James, Mead) mendapatkan pendidikan di universitas eropa sebagaimana lazimnya pada saat itu (Biesta & Burbules, 2003). Pragmatisme dijelaskan sebagai sikap fikiran (attitude of mind), sebagai metode investigasi (method of investigation) dan sebagai teori kebenaran (theory of truth). Sebagai sikap,  (Geyer, 1914)

            Pragamatisme, secara terminologis berasal dari bahasa Yunani yakni pragma. Pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan atau tindakan (Bakhtiar, 2004). Sebagai salah satu aliran filsafat, -meski Pierce hanya menyebut sebagai teknik memecahkan masalah (Muhadjir, 2015), pragmatisme berupaya memfilosofikan sebuah makna dan teori sehingga dengan penemuan makna itu dievaluasi kegunaannya atau kemanfaatannya bagi kehidupan.
Metoda pragmatik menurut Pierce, bukan dimaksudkan untuk menetapkan makna dari semua ide, melainkan untuk konsep intelektual yang mempunyai struktur argumentatif atas fakta obyektif. Pragmatisme tidak hendak membuktikan tentang problem riil metafisik, melainkan hendak menunjukkan bahwa problem metafisik itu tak bermakna apapun (Muhadjir, 2015)