Rabu, 01 Agustus 2018

Heutagogy, Peeragogy & Cybergogy*

Oleh : Isman Rahmani Yusron


Awal tahun ajaran baru merupakan momentum penting bagi para guru, setidaknya untuk melakukan 3 hal: Evaluasi, Formulasi, dan Menyusun Strategi. Proses pembelajaran di sekolah, perlu dilakukan rekalibrasi, agar tetap relevan dengan kondisi kekinian, namun tak mengikis prinsip utama pendidikan. Di jaman kekinian, belajar mengajar di sekolah tak lagi sebatas pedagogy, namun juga heutagogy, peeragogy, dan cybergogy.
            Telah umum kiranya, di sekolah-sekolah, proses pembelajaran menempatkan guru sebagai sumber utama belajar. Guru menjadi titik sentral pembelajaran, dan siswa menjadi audiens penyimak dan berlaku pasif dan jadi objek dalam belajar. Gaya ini memang bertahan menjadi tradisi persekolahan, kendatipun telah banyak gerakan-gerakan untuk mengubah pembelajaran yang asalnya teacher centered menjadi student centered.
            Para guru telah semestinya menjadi garda depan pemecah tradisi kekunoan ini. Bisa kita saksikan kini, sumber informasi, sumber pengetahuan, hingga sumber kepercayaan telah berada di setiap genggaman siswa sendiri. Sehingga, praktik pembelajaran yang bersifat pedagogis menghadapi keniscayaannya sendiri di jaman ini : tidak relevan dan sangat banal.
            Jika masih bertahan dengan model yang satu ini, pembelajaran menjadi kian tidak menarik. Belajar di sekolah malah menjadi kurungan, di saat pengetahuan yang lebih beragam dengan mudahnya mereka dapat diluar kelas. Maka, guru perlu segera mengubah siasat. Mengajar tak lagi berarti ‘mengajari’, akan tetapi ‘memfasilitasi’ dan ‘menanam budi’.
            Jaman ini, setidaknya ada tiga alternatif utama siasat dalam proses pendidikan di sekolah. Pertama, Heutagogy. Heutagogy ini merupakan strategi mendidik siswa yang mendorong mereka untuk memiliki keterampilan mengarahkan diri. Pengembangan kemampuan self-directing ini begitu penting di jaman multitasking ini. Tanpa kemampuan mengarahkan diri, siswa akan sangat mudah terganggu, terpengaruh, dan teralihkan oleh berseliwerannya fitur-fitur digital.
            Kita saksikan bersama, berbagai fitur gadget dan berjuta aplikasi kini telah membanjiri benak para siswa. Kemampuan berkonsentrasi pada satu hal secara mendalam, kian tergerus dan mengganggu fokus. Jika siswa tidak dilatih keterampilannya untuk mengarahkan diri, siswa akan selalu terbuai dengan berbagai konten informasi dan aplikasi yang membuat konsentrasi belajarnya terbagi. Hal ini dapat membuat para pelajar memiliki pengetahuan dangkal, dan tak mampu memahami suatu permasalahan secara komprehensif.
            Strategi pendidikan kedua, yakni Peeragogy. Peeragogy ini adalah strategi pendidikan yang membiasakan siswa untuk terlatih fokus pada belajar bekerjasama dan mencipta bersama-sama. Tak dapat dinafikan, gadget yang kini digandrungi para peserta didik kian menjauhkan mereka dari lingkungan sosial. Siswa menjadi sangat individual dan tak terbiasa belajar dengan teman sebaya. Padahal, keterampilan abad 21 mensyaratkan kompetensi siswa untuk mampu berkolaborasi dengan individu lainnya. Kompetensi berkolaborasi ini perlu ditanamkan melalui strategi peeragogy.
            Strategi yang ketiga, ialah Cybergogy. Cybergogy ini merupakan strategi pendidikan yang mendorong para pembelajar untuk terlibat dalam lingkungan belajar dalam jaringan. Lingkungan Online, serba terkoneksi, kini telah menjadi keseharian dari kehidupan para siswa. Media komunikasi dan interaksi, suka tidak suka kini telah beralih dari bentuk fisik ke bentuk maya.
Akan tetapi, alih-alih jadi kekhawatiran, justru situasi ini menciptakan suatu peluang baru dalam proses pendidikan maupun belajar mengajar. Guru dapat menciptakan lingkungan dan iklim belajar yang lebih luas tanpa dibatasi oleh sekat-sekat tradisional: ruang kelas, jadwal dan kurikulum. Proses pendidikan dapat menjelajah kehidupan siswa secara lebih luas, dan membuat iklim eksplorasi pengetahuan menjadi menarik dan relevan dengan kondisi kekinian.

Tiga alternatif strategi ini dapat di integrasikan dan dikolaborasikan menjadi suatu strategi dan formulasi baru dalam dunia pendidikan. Sehingga, sekolah semakin dekat dengan para siswa, dan konten belajar menjadi lebih relevan bagi kehidupan para siswa. Kita perlu menciptakan strategi-strategi baru, agar pendidikan tetap tidak jauh dengan jaman dan tetap relevan dengan kehidupan. 

*) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 28 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar