Kamis, 01 Mei 2014

MEMASYARAKATKAN PENDIDIKAN

Disadari atau tidak, hari ini sekolah sudah semakin menjauhkan peserta didik dari lingkungannya. Pendidikan, disimplifikasi menjadi sebuah kegiatan formil yang prosedural, kaku, dan eksklusif bernama sekolah. Logika industri lebih dominan di sekolah, ketimbang logika pendidikan sendiri. Sehingga, sekolah menjadi wadah yang merubah manusia menjadi asing di lingkungannya sendiri.

Kenyataan ini menunjukkan pada kita, bahwa pendidikan negeri ini tengah mengalami disorientasi. Tujuan pendidikan hakikatnya adalah untuk dapat memahami kondisi disekitarnya dan melahirkan solusi untuk memperbaikinya. Akan tetapi, jika kemudian kenyataanya pendidikan malah membuat peserta didik menjadi eksklusif dan enggan membaur di masyarakat, saat itulah kita katakan bahwa pendidikan sudah gagal mencapai tujuannya.

Sungguh ironis, jika kita temui kenyataan bahwa prodak dari pendidikan malah memperjelas dan memperlebar kesenjangan hidup masyarakat. Pendidikan dijadikan sebagai eskalator untuk meninggalkan kondisi kemiskinan. Saat berhasil lepas dari kondisi itu, mereka semakin jauh dari masyarakat kalangan bawah, tak menjadi solusi malah ikut menjadi penjajah bangsa sendiri. Hal ini mencerminkan sebuah kondisi pendidikan yang kapitalistik.

Belum lagi, semakin hari biaya untuk meraih pendidikan berkualitas, kian melangit tak terjangkau. Sehingga muncul kesan bahwa orang kaya lah yang berhak pintar dan berhak untuk berpendidikan. Sayangnya, mereka yang berhasil meraih pendidikan itu tak pernah memikirkan solusi untuk menghancurkan benteng kesenjangan ini. Sehingga, yang kaya semakin kaya, yang miskin tak punya harapan untuk merubah kehidupan. Maka kian hari, kian lebarlah jurang kesenjangan sosial negeri ini.

Kekacauan paradigma ini hendaknya segera disadari dan diakhiri. Sudah semakin jelas, hari ini pendidikan di sekolah hanya berhasil memisahkan peserta didiknya dari masyarakat dan kehidupan nyata. Sehingga, perlu ada langkah yang revolusioner untuk mendekatkan kembali kehidupan sekolah dengan kehidupan masyarakat. Bukan malah membuat kebijakan yang semakin menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.

Kebijakan kurikulum 2013 baru-baru ini yang menambah lebih banyak waktu di sekolah, semakin memperparah keadaan. Mengondisikan peserta didik lebih lama di sekolah yang kondisi fasilitas seadanya dengan guru berkualitas buruk hanya akan mebuat siswa semakin buruk. Kebijakan ini semakin menjauhkan insan-insan pendidikan dari kehidupan nyata serta masyarakat lingkungannya. Mereka hanya tau hidup di sekolah, sehingga akan rapuh saat harus bertahan hidup di ruang nyata.

Sudah sepatutnya pemegang kebijakan mencetuskan sistem pendidikan yang berbasiskan pengalaman dan masyarakat. Sehingga, tujuan dari pendidikan bukan hanya mengejar angka semata, tetapi menjadi bagian dari solusi perubahan kondisi masyarakat yang lebih baik. Anak-anak sekolah harus terbiasa hidup bermasyarakat dan terbiasa mengamalkan ilmu yang didapatkannya di masyarakat. Mereka tidak boleh merasa asing untuk membaur di masyarakat yang lebih membutuhkan mereka ketimbang tempat kerja.

Upaya ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menghancurkan kekakuan dan keformalan dalam pendidikan. Seperti sekolah hanya bisa dilakukan di kelas, harus memakai seragam, pelajaran dan jam belajar yang tidak fleksibel dan jauh dari kebutuhan masyarakat, tak bisa belajar tanpa ada guru, hingga belajar yang hanya untuk tes atau ujian nasional yang semakin menghancurkan tujuan belajar itu sendiri.

Dalam momen hari pendidikan nasional, sudah sepatutnya pihak-pihak pemegang kebijakan memikirkan ulang sistem pendidikan indonesia. Mereka harus responsif membaca keadaan bahwa sistem yang selama ini berjalan tak menjadi solusi dan perbaikan bagi masyarakat. Malahan, pendidikan hanya menambah panjang daftar masalah yang dihadapi bangsa ini.