Sabtu, 08 April 2017

Apakah Menjadi Konservatif Lebih Bahagia daripada Liberal? (Review)



Review Artikel:
Are conservatives happier than liberals? Not always and not everywhere.

Olga Stavrova, Maike Luhmann. Journal of Research in Personality 63 (2016) 29–35

 Reviewer: Isman Rahmani Yusron

          Penelitian ini mencoba memeriksa kembali beberapa kesimpulan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, mengenai tingkat kebahagiaan terkait ideologi yang dianut masyarakat. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan fakta yang menyebutkan bahwa penganut konservatisme dilaporkan mendapat level kesejahteraan subjektif lebih tinggi daripada penganut liberalisme (Bixter, 2015; Jetten, Haslam & Barlow, 2013; Napier&Jost, 2008; Schlenker, Chambers & Le, 2012). Temuan ini kontras dengan gambaran peneliti psikologi sebelumnya yang menggambarkan konservatif sebagai ketakutan, kerapuhan, dan mudah terancam oleh ketidakpastian (Adorno,Frenkel-Brunswik, Levinson, & Sanford, 1950). Studi lain yang dilakukan oleh Onraet, Van Hiel, & Dhont (2013) melalui meta-analisis dari 9 studi menyebutkan terdapat hubungan positif yang signifikan meskipun kecil antara politik konservatf di satu sisi dan kebahagiaan atau kepuasan hidup di sisi lainnya. Temuan-temuan ini menggambarkan kebahagiaan suatu masyarakat, terkait dengan konservatisme sosiopolitik.
      
    Namun temuan-temuan tersebut memiliki keterbatasan yang sama: studinya didasarkan pada data yang diambil di Amerika pada periode 1990an hingga 2000 pada saat ideologi konservatif lebih besar daripada liberal. Stavrova & Luhmann (2016) mencoba menguji kembali mengenai “happiness gap” antara konservatif dan liberal yang ada pada periode berbeda di Amerika beberapa tahun terakhir (Studi 1) juga pada 92 negara lainnya di dunia (Studi 2). Pada studi ini Stavrova & Luhmann mencoba melakukan pengujian baru mengenai ideological gap of happiness yang berakar pada literatur person-culture fit dan shared reality. Studi ini mencoba meningkatkan pemahaman mengenai mekanisme yang melatarbelakangi asosiasi positif antara ideologi konservatif dan kebahagiaan. Penelitian ini melakukan pemeriksaan sistematis dari variasi antar budaya dalam waktu tertentu dalam kaitannya antara ideologi politik dan kebahagiaan.

Peneliti dalam penelitian ini berasumsi bahwa penyesuaian individu terhadap lingkungannya juga berperan terhadap munculnya kebahagiaan. Menurut perspektif person-cultur fit, individu menunjukkan kepuasan yang tinggi dan penyesuaian psikologis saat atribut personalnya sesuai dengan lingkungannya (Fulmer et al., 2010; Stavrova, Schlösser, & Fetchenhauer, 2013). Hal ini menjadi poin pijakan dalam mengkritisi beberapa penelitian sebelumnya terkait ideologi politik konservatif yang berkorelasi positif dengan kebahagiaan. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan sebelumnya, banyak bukti yang menyebutkan bahwa pemilihan ideologi dilandasi oleh keinginan untuk berafiliasi dengan kelompok sosial tertentu disekitarnya (Greene, 1999; Stangor, Sechrist, & Jost, 2001). Dalam hal ini, mendukung dan menjadi bagian dari ideologi politik tertentu dapat memuaskan kebutuhan relasional, dan berhubungan dengan tingginya kebahagiaan.

Penelitian dari Kruglanski & Orehek (2012) menyebutkan bahwa individu cenderung menerima informasi baru sebagai kebenaran sejauh informasi tersebut dibagikan oleh grup sosialnya. Sehingga, keyakinan ideologis membuat individu dalam kelompok memiliki lensa yang sama dalam memandang dunia yang menjamin kepastian dan kebenaran yang dilakukan selama sesuai dengan lingkungannya. Baik keyakinan ideologi konservatif maupun liberal memberikan kontribusi pada “sense of shared reality”, yang memunculkan hipotesis bahwa hidup dengan orang yang seideologi akan meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan hidup.

Dimensi Psikologis Utama dalam Perbedaan Antar Budaya (Review)


Review Artikel :
Major psychological dimensions of cross-cultural differences: Nastiness, Social Awareness/Morality, Religiosity and broad Conservatism/Liberalism.
Lazar Stankov, Learning and Individual Differences 49 (2016) 138–150.

Reviewer : Isman Rahmani Yusron

          Perbedaan kultur diantara berbagai wilayah, region dan negara yang berbeda merupakan sebuah keniscayaan. Masing-masing masyarakat di area terdekatnya, berkecenderungan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi cara pikir, pola hidup, tatanan masyarakat, politik dan berbagai elemen kultur lainnya. Konsensus masyarakat yang diakui secara luas menghasilkan sebuah budaya tertentu dengan sekumpulan karakteristik sistem nilai yang mendasar pada kehidupan. Dalam sudut pandang psikologi, budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karakteristik individual maupun masyarakat. Meski terbilang abstrak, elemen-elemen kultur yang menjadi basis nilai dan perilaku individu dapat menjadi variabel yang membedakan sekaligus menggambarkan suatu budaya dengan budaya lainnya.

          Atas dasar hal itu, timbul suatu pertanyaan mengenai dimensi psikologis apa yang menjadi variabel utama dalam membedakan suatu kultur masyarakat tertentu dengan kultur masyarakat lainnya? Serangkaian studi yang dilakukan Lazar Stankov (2016) yang diterbitkan dalam jurnal Learning and Individual Differences, mencoba menemukan dimensi psikologis pokok yang membedakan perbedaan kultural. Penelitian ini dilakukan kepada 8883 partisipan di 33 negara di dunia dengan mengujikan seperangkat pengukuran yang mencakup kepribadian, sikap sosial, norma sosial, dan berbagai dimensi psikologis untuk menghadirkan faktor dimensi utama yang membedakan antar budaya.

          Penelitian yang dilakukan Stankov pada kurun 2009-2012 ini menggunakan 4 dimensi konstruk non kognitif meliputi tes Big Six personality yang dimodifikasi, skala sikap sosial (Social Attitude and Values), Social Axioms, dan Social Norms (four GLOBE dimension). Partisipan merupakan mahasiswa dari 33 negara yang datanya diambil secara daring dengan seperangkat konstruk tadi yang dinamakan Survey of World Views. Rerata usia dari partisipan dalam penelitian ini adala 22.32 tahun dengan standar deviasi 5,62 dan 57% diantaranya merupakan perempuan. Ke-33 negara yang menjadi sampel penelitian ini diklasifikasikan kedalam 9 wilayah region yakni Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, Timur Tengah/Afrika Utara, Eropa Barat, wilayah Anglo, dan Asia Timur.

Efek Stres Kronis pada Struktur dan Fungsi Prefrontal Cortex Remaja (Review)


Review Artikel Neuropsikologi:

Effect of chronic stress during adolescence in prefrontal cortex structure and function.

Otávio Augusto de Araújo Costa Folha, Carlomagno Pacheco Bahia, Gisele Priscila Soares de Aguiar, Anderson Manoel Herculano, Nicole Leite Galvão Coelho, Maria Bernardete Cordeiro de Sousa, Victor Kenji Medeiros Shiramizu, Ana Cecília de Menezes Galvão, Walther Augusto de Carvalho, Antonio Pereira. 
Behavioural Brain Research 326 (2017) 44–51

Reviewer : Isman Rahmani Yusron (407565)

A. Pendahuluan

          Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dari stress kronis pada usia remaja pada struktur dan fungsi prefrontal korteks. Prefrontal korteks merupakan area otak yang berada pada lobus frontalis, yang berhubungan dengan fungsi eksekutif seperti mengorganisasikan, mengontrol, serta mengatur perilaku, dan membuat keputusan yang besar terutama perilaku yang berhubungan dengan sosial, memutuskan untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu (Zillmer, Spiers, & Culbertson, 2008). Prefrontal korteks ini berperan penting untuk regulasi diri serta hal yang berhubungan dengan fleksibilitas kognitif. Berbagai gangguan kognitif seperti ADHD, autisme, gangguan bipolar, depresi, skizofrenia berhubungan dengan ketidakberfungsian dari prefrontal korteks.

          Dalam pendahuluan artikel ini, Folha dan timnya (2017, p. 45) menyitir penelitian dari Hanson, et.al, 2012; Mizoguchi, et.al, 2000; Rolls 2004, yang menyebutkan bahwa cedera di area prefrontal korteks, terutama di area Medial Prefrontal cortex (MPC) dan Orbitofrontal Cortex (OFC), erat berhubungan dengan gangguan working memory, serta buruknya penilaian dan maladaptasi pengambilan keputusan yang menjadikan individu tidak memiliki kemampuan untuk mengantisipasi konsekuensi dari tindakannya. Dalam konteks penelitian ini, rusaknya area prefrontal korteks dihubungan dengan hasil dari stress kronis pada individu. Dengan kata lain, yang menjadi latar belakang dari penelitian ini ialah dimana stress kronis yang rentan dialami individu akan sangat berisiko pada perkembangan dan cederanya prefrontal korteks yang akan menyebabkan berbagai macam gangguan kognitif.

          Kondisi stress kronis atau pengalaman yang menyebabkan stress pada individu, akan secara langsung meningkatkan kadar kortisol yang dapat merusak perkembangan dari prefrontal korteks (Lupien et.al, 2009 dalam Folha et al., 2017). Pengalaman stress akan memicu kelenjar pituitary pada hipotalamus anterior untuk melepaskan glucocortisoid yang membuat kelenjar adrenal memproduksi kortisol yang banyak. Sehingga, banyaknya kadar kortisol ini berpengaruh pada beberapa organ yang berhubungan dengan respon stress terutama dalam penelitian ini pada rusaknya prefrontal korteks.

Kerentanan pengalaman stress kronis, pada penelitian ini, terutama adalah pada tingkat perkembangan remaja. Menyandarkan pada penelitian Niwa, et.al (2013) & Sinclair, et.al (2014), pada usia remaja, individu berada pada periode yang disebut Critical Periods of Cortical Development dimana seseorang rentan terpengaruhi oleh pengalaman stress kronis. Kemudian dalam abstrak penelitian ini, periode individu berada pada interval perkembangan dimana sirkuit neuronal mudah terpengaruhi oleh liingkungan disebut sebagai Critical Periods of Plasticity (CPPs). Peneilitian ini berfokus pada usia remaja karena pada usia ini banyak terpapar situasi stress dan banyaknya kondisi neuropsikiatrik yang terdiagnosa pada usia remaja (Christie et.al, 1988; Costello et.al, 2008; Mels et.al,2010; Kieling et.al; 2011 dalam Folha et al., 2017). Sehingga, peneliti dalam penelitian ini berasumsi bahwa tingkat resiko yang tinggi akibat stress kronis adalah pada saat periode kritis dari plastisitas (CPPs), yang dimana periode ini terjadi pada usia perkembangan remaja.

B. Metode dan Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan Folha serta timnya ini mempelajari bagaimana efek dari stress kronis pada struktur dan fungsi Prefrontal Corteks pada tikus pada saat perode kritis plastisitas (CPPs). Secara spesifik, penelitian ini melihat efek dari stress kronis pada distribusi spatial-temporal dari perineuronal net (PNN+) neuron dalam prefrontal korteks dan pada tes fungsi eksekutif pada tingkat perkembangan remaja. Penelitian ini menggunakan 48 tikus Wistar (Rattus novergicus) jantan berusia 28 hari sejak dilahirkan. Tikus-tikus secara random dibagi pada kelompok eksperimen (n=24) dan kelompok kontrol (n=24). Masing-masing kelompok dibagi pada tiga subgrup yang pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan lingkungan stress selama 7 hari (n=8), 15 hari (n=8) dan 35 hari (n=8) pada masing-masing subgrup.

Kelompok tikus eksperimen diberikan lingkungan stress kronis dengan diberikan kondisi dikurung dalam tabung plastik selama 2 jam tanpa makanan atau air; dimandikan dalam tank silinder (tinggi 60cm x diameter 30cm) selama 30 menit dalam air panas 32 derajar C; dipasangkan dengan tikus stress lainnya dalam serbuk gergaji basah selama 18 jam; ditempatkan pada kondisi cahaya gelap dan terang bergantian; ditempatkan pada ruangan sesak yakni 8 tikus pada kandang berukuran 4x3x2cm selama 24 jam; dijepit ekor selama 10 menit; diberikan udara panas (mendekati 38 derajat C) dengan hairdryer selama 10 menit. Berbagai kondisi stress ini diberikan kepada tikus secara random bergantian selama 7 hari pada subgrup pertama, 15 hari pada subgrup kedua, dan 35 hari pada subgrup ketiga. Paradigma eksperimen ini disandarkan pada penelitian Duccotet dan timnya (2003).