Jumat, 27 Juli 2012

Otonomi? Legitimasi komersialisasi?

Oleh :
Isman R Yusron
(Ketua Umum Unit Pers Mahasiswa UPI)

Babak baru otonomi Perguruan Tinggi (PT) kini dimulai. Sejak disahkannya UU Dikti pada 13 Juli lalu, berakhirlah perjalanan panjang rancangan UU Pendidikan Tinggi yang sarat kontroversi. Meski telah disahkan, bukan berarti UU ini tidak menyisakan persoalan. Banyak hal yang perlu di kaji kembali atas disahkannya UU ini, terutama subtansi pasal per pasal yang multi tafsir dan rentan untuk dipermainkan. Seperti kita fahami bersama, telah kentara motif begitu “keukeuhnya” pemerintah beserta Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sebelumnya telah berbadan hukum (BH) untuk segera mengesahkan UU Dikti ini. Tak lain, motif utamanya ialah legitimasi bagi PT untuk memiliki otonomi yang luas dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Lantas bagaimana kita menyikapi persoalan ini? Benarkah otonomi PT merupakan solusi dari carut marutnya kondisi pendidikan negeri ini?
Berbicara mengenai begitu keukeuhnya PT harus memiliki otonomi, banyak hal yang memang menjadi faktor yang perlu dikaji. Bagi perguruan tinggi, otonomi memang diperlukan. Meski begitu, otonomi bukanlah hal yang mutlak diperlukan, apalagi otonomi yang sifatnya luas bahkan tak terbatas. Otonomi bagi PT diperlukan hanya dalam hal kebebasan mimbar akademik dan independensi dalam pengelolaan penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi. Pasalnya, independensi ini akan menjadi landasan utama untuk PT dapat mengembangkan wahana keilmuan yang disesuaikan dengan corak dan kultur perguruan tinggi. Generalisasi dalam bidang akademik akan serta merta mengekang kebebasan pengembangan akademik masing-masing perguruan tinggi. Dalam hal ini, lembaga pendidikan memerlukan otoritas keilmuan yang tak dibatasi agar dapat berkembang dan memiliki daya saing.
Meski begitu, otonomi dalam hal lain yang sifatnya tidak berhubungan dengan pengembangan akademik, seperti dalam hal pengembangan fisik apalagi usaha komersil bukan hal yang urgent bagi perguruan tinggi. Perguruan tinggi, adalah lembaga yang seharusnya memiliki fokus utama dan konsen terhadap pengembangan kualitas pendidikan. Persoalan pembiayaan untuk mengembangkannya sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab negara secara penuh. Landasan mengenai hal ini telah lama termaktub dalam amanat UUD 1945 sebagai dasar penyelenggaraan negara. Selain itu, kualitas berkembangnya suatu negara sudah mutlak ditopang oleh tingginya kualitas pendidikan di negaranya. Jadi, sudah jelas tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan secara keseluruhan merupakan titik tolak untuk membuat bangsa ini lebih baik dan berkembang.
Sekarang, kenyataan berkata lain. Esensi dari pemikiran diatas sudah lagi tak menjadi titik perhatian. Buktinya, beberapa kali pemerintah mencoba membuat sektor pendidikan sebagai komoditas komersial yang tidak pro rakyat. Seperti contoh, lahirnya UU BHP yang berujung pada kesimpulan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Selepas dibatalkan, seolah pemerintah tak kehabisan akal dengan meluncurkan UU Dikti yang substansinya tak jauh beda. Ruhnya masih sama, namun kemasan yang berbeda. Sebenarnya apa maksud dibalik semua itu?
Ada suatu fakta yang menegaskan bahwa memang UU Dikti ini begitu diperlukan. Semenjak Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) serta diratifikasinya berbagai perjanjian multilateral, Indonesia harus serta merta meliberalkan berbagai sektor, termasuk pendidikan. Educational Service adalah salah satu dari 12 sektor yang dikenakan peraturan WTO (Nasionalis, 2012). Implikasinya, Indonesia harus taat terhadap amanat dari Bank Dunia dalam Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang kurang lebih isinya : “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN Higher Education Is a legal subset of BHP” (Nasionalis, 2012).
Tafsiran dari amanat Bank Dunia diatas menjadi motif utama kenapa perlu adanya UU Dikti. Pasalnya, saat UU BHP ditetapkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, BHMN jelas tak memiliki payung hukum yang menaungi. Sedangkan, PT berbadan hukum mutlak merupakan instruksi dari Bank Dunia diatas. Maka, UU Dikti adalah cara mengembalikan UU BHP agar liberalisasi sektor pendidikan tetap bercokol. Hal ini jelas menggambarkan bahwa UU Dikti dibuat tak lain untuk memuluskan kepentingan kapitalis dan liberalis agar dapat menjadikan pendidikan sebagai komoditas komersial. Tujuannya adalah kepentingan keuntungan finansial yang jauh dari nilai pendidikan apalagi pro rakyat miskin.
Maka, jangan heran banyak pihak yang menyatakan bahwa UU Dikti ini bukan cara memberikan otonomi keilmuan di perguruan tinggi, melainkan legitimasi praktik-praktik komersialiasi pendidikan tinggi khususnya PT berbadan hukum. Dan memang jelas kenyataannya seperti itu, motifnya pun bisa kita baca. Artinya, UU Dikti bukanlah bagian dari solusi, melainkan masalah baru dan sangat tak merubah kondisi apapun.
Pakar pendidikan, Darmaningtyas menyimpulkan bahwa lahirnya UU Dikti ini tidak akan mengubah kondisi buruk masyarakat selama ini dalam mengakses pendidikan tinggi yang bermutu (Suara Pembaruan, 19 Juli 2012). Ia menganalisa bahwa kondisi keluhan masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan tidak akan berubah dengan atau tanpa adanya UU Dikti. Terbukti, pasal-pasal yang termaktub dalam UU Dikti malah memberikan legitimasi bagi PT khususnya PT yang memilih untuk memiliki badan hukum untuk seluas-luasnya “mempermainkan” lembaga pendidikan tinggi. Seperti dalam pasal 65 UU Dikti, yang memberikan otonomi luas dalam penyelenggaraan pendidikan dalam berbagai sektor : Akademik dan Non Akademik. Parahnya lagi, legitimasi komersialiasi jelas kentara dengan memberikan wewenang kepada PT berbadan hukum untuk melenceng dari tujuan utama lembaga pendidikan yakni wewenang untuk memiliki badan usaha. Bahkan, segala aset fasilitas berhak digunakan untuk kepentingan pembiayaan, yang artinya komersialisasi tetap berlaga.
Jelas ini memberikan kesempatan praktik buruk BHMN kembali dilakukan di perguruan tinggi. Bahkan, legitimasinya sangat kuat dengan munculnya UU Dikti ini. Salah satu contoh, keluhan masyarakat mengenai mahalnya biaya pendidikan tidak akan teratasi dengan lahirnya UU Dikti ini. Lihat saja pada pasal 73 ayat 1 yang menyatakan bahwa : Penerimaaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional dan bentuk lain. “Bentuk Lain” ini sangat menimbulkan tafsiran yang luas, dan rentan dipergunakan untuk kepentingan komersial. Seperti contoh, Ujian Masuk Mandiri atau sejenisnya yang penetapan tarifnya sangat mahal. Dan legitimasi untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat, ada dalam celah-celah komersial UU Dikti.
Selain itu, dalam pasal 83 sampai 89 tentang pembiayaan pendidikan tinggi, memberikan kesempatan PT untuk mematok harga selangit untuk satu kursi bangku kuliah. Masyarakat dan mahasiswa akan menjadi tumpuan pemasukan keuangan PTN (Darmaningtyas, 2012). Legitimasi PTN khususnya PT BHMN untuk melakukan praktik komersial jelas diberikan ruang yang cukup banyak. Dalam Pasal 87 tercantum : “Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada PT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Terbuka jelas kesempatan bagi PT untuk memperjualbelikan segala aset dan kekayaan yang dimilikinya kepada mahasiswa dengan tarif yang bisa saja seenak perutnya. Beban pembiayaan aset dan kekayaan akan diberikan kepada pengakses PT tersebut : Mahasiswa. Misalnya, ruang kuliah, ruang kegiatan mahasiswa, fasilitas, dan bahkan tak ada sejengkal pun ruang di kampus yang tak bisa dijadikan komoditas komersial. Bisa jadi hanya jalan-jalan atau nongkrong di kampus saja harus bayar. Tampak jelas komersialisasi dalam hal ini.
Belum lagi Internasionalisasi pendidikan. Tak hentinya pasal ini diperdebatkan dan bahkan dikecam, tapi tetap saja dicantumkan. Dalam Pasal 90 UU Dikti ini termaktub bahwa PT negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Ini jelas merupakan langkah untuk membunuh PT domestik. Ayat liberalisasi ini membuka kesempatan sektor pendidikan bak perdagangan di pasar. Membunuh persaingan dalam negeri. Dan efeknya bisa jadi menjadikan masyarakat indonesia sebagai kuli terdidik. Liberalisasi sektor pendidikan memang diharapkan oleh pihak kapitalis agar dapat meraup keuntungan di negara ini. Akhirnya, bukan menjadikan kualitas pendidikan menjadi lebih baik, sebaliknya hanya dapat mencengkram dan memonopoli persaingan potensi nasional. Internasionalisasi ini bisa saja terjadi seperti UU Migas, akan ada alih teknologi (metode) pendidikan tapi akhirnya pihak asing malah mencengkram. Mahasiswa kita malah menjadi kuli terdidik. (Faris, 2012)
Juga yang perlu menjadi perhatian utama ialah kebebasan mahasiswa. Dalam UU Dikti ini, pada pasal 14 dan 15, tercantum bahwa posisi organisasi mahasiswa sebagai civitas akademika. Pada pasal 15 dijelaskan bahwa kegiatan kampus diatur dalam peraturan menteri. Pasal-pasal itu bertendensi mengembalikan mahasiswa ke zaman NKK/BKK. Mungkin akan dengan kedok yang lebih baru, dan sarat akan kamuflase. Ditambah lagi di saat PTN memilih berbadan hukum, privatisasi sangan memungkinkan, sehingga posisi gerakan mahasiswa adalah posisi yang paling rawan untuk dibungkam. Otonomi memberikan kebebasan bagi PTN untuk mengusir pihak yang merongrong kekuasaan termasuk dosen dan mahasiswa. Sehingga, pembungkaman dengan berkedok “akademik”  akan segera menghantui.
Banyak lagi sederet kontroversi dari disahkannya UU Dikti ini. Kenyataan ini merupakan kemunduran dari kondisi pendidikan di negeri ini. Semuanya tak ada yang pro terhadap rakyat, yang jelas terlihat hanya liberalisasi dan komersialiasi pendidikan sebagai akal bulus para kapitalis.
BO PTN
Baru-baru ini, pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan menghembuskan angin segar yang tak lebih dari kamuflase menyembunyikan kenyataan buruk diatas. Pemerintah berencana menggelontorkan dana yang bersumber dari APBN untuk membiayai biaya operasional Perguruan Tinggi Negeri (BO-PTN). BO PTN ini nantinya akan digunakan untuk menutupi keperluan biaya operasional seperti uang gedung dan fasilitas, honor dosen, serta biaya operasional lainnya selain dana yang bersumber dari SPP. Sehingga, dengan adanya BO-PTN ini, mahasiswa baru yang diterima di PTN hanya akan membayar biaya SPP per semester saja. Gelontoran dana yang bersumber dari APBN ini memiliki besaran 5-6 triliun. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mendapat jatah BO-PTN ini sebesar 26 miliar.
Kebijakan ini memang perlu di apresiasi, karena memang merupakan upaya nyata untuk mengurangi beban masyarakat yang mengakses perguruan tinggi. Bahkan pemerintah menjamin bahwa masyarakat hanya akan membayar tak lebih dari kisaran 1-2 juta rupiah per smesternya. Mendikbud menegaskan bahwa BO PTN ini, selain agar dapat menyediakan pendidikan tinggi terjangkau bagi masyarakat, juga sebagai upaya untuk menanggulangi “kreatifitas” rektor untuk mengeruk dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat. (Pikiran Rakyat, 23 Juli 2012) Tak dapat dimungkiri menurut M.Nuh bahwa yang menyebabkan biaya masuk PTN kian mahal ialah hasil dari kongkalikong serta sederet skenario rektor menyamarkan perampokan berkedok biaya gedung dan fasilitas. Kini melalui BO-PTN, pemenuhan biaya uang gedung dan fasilitas tidak lagi di bebankan kepada masyarakat, melainkan ditanggung APBN.
Tapi, begitu segarnya kabar ini tak juga menghilangkan kesangsian atas komersialiasi pendidikan. Meskipun adanya BO PTN ini dinaungi oleh kedudukan hukum UU Dikti yang baru saja disahkan, namun UU Dikti ini sendiri juga yang memberikan legitimasi bagi PTN yang berbadan hukum untuk dapat melakukan praktik-praktik komersialisasi. Bisa saja uang gedung dan dana pengembangan kampus mungkin dihapus, tapi bagaimana dengan celah dari berjubel aset negara yang dikelola secara otonom oleh PTN berbadan hukum? Pasal 65 UU Dikti sendiri memperbolehkan PTN berbadan hukum untuk mengkomersilkan segala yang dimiliki. Artinya biaya mahal akan tetap mahal, karena toh yang menentukan semua di komersilkan adalah otonomi masing-masing birokrat kampus.
Akhirnya, BO-PTN ini tak lebih dari hanya angin surga saja yang hanya kamuflase. Iming-iming dari pembebasan biaya gedung bukan berarti tak bisa mengkomersilkan segala aset dan fasilitas lainnya. Pengaruh buruknya, PTN bisa saja mendirikan berbagai program studi yang “mengada-ada” untuk meraup keuntungan lebih banyak berkedok kebutuhan masyarakat. Akhirnya kurang lebih nasib PTN berbadan hukum bak toko kelontong atau toserba yang prodinya serba ada. Sehingga keajegan keilmuan perguruan tinggi, yang memang merupakan amanat utama, tak lagi menjadi perhatian utama. Yang menjadi perhatian utama jelas profit oriented. Jadi, BO PTN ini mungkin memang membantu, tapi tak dapat merubah citra negatif dan hasrat utama yang selama ini ada di PT berbadan hukum dimana meraup keuntungan adalah tujuan utamanya.
Ditambah lagi, seperti jejak-jejak sebelumnya mengenai bantuan negara, selalu tak lepas dari penyimpangan dan penyelewengan. Jejak rekam yang buruk menguatkan kesangsiang bahwa BO PTN ini akan efektif meringankan beban masyarakat mengakses perguruan tinggi. Seperti contoh, sistem APBN yang turun bulan Oktober adalah sebuah masalah yang memberikan celah karena kebutuhan PTN umumnya bulan Agustus. Celah ini bisa saja dimodifikasi menjadi skenario baru untuk meraup keuntungan. Sehingga, kontrol atas pemberlakuan kebijakan ini memang perlu benar-benar ketat. Mahasiswa harus banyak menjadi watch dog dalam penggunaan anggaran negara ini.

Melihat konteks di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yang nantinya mendapat bantuan sekitar 26 miliar rupiah, hingga kini “seperti biasa” belum menentukan poin mana yang diturunkan tarifnya. Kendati perintah menurukan tarif kuliah dari mendikbud sudah terlontar, tanggapannya hanya enteng “UPI belum memutuskan, masih dikaji,” kata Rektor. Sudah dapat tergambar, belum ditetapkan menjadi PT berbadan hukum yang otonom saja sudah berlagak otonom, apalagi setelah benar-benar jadi otonom? Tantangan melawan penguasa otoriter yang menindas kian berada di depan mata. Selamat berjuang!