Selasa, 30 Maret 2010

Kondisi Mahasiwa yang Apatis dan Apolitis

 “Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan”. (Catatan Soe Hok Gie)
Kutipan sekaligus cita- cita soe hok gie diatas seolah menjadi suatu sindiran terhadap keadaan mahasiswa sekarang ini. Meskipun catatan tersebut telah lama ia goreskan yang terlahir dari keprihatinannya terhadap keaadaan mahasiswa pada waktu itu, akan tetapi jika melihat keadaan mahasiswa hari ini, masih relevan dan bahkan mungkin lebih parah dibandingkan keadaan pada waktu itu.
Mahasiswa yang sering disebut sebagai agent of change kini sudah tak pantas lagi disandang. Karena jika dilihat dari realitas keadaan mahasiswa pada hari ini, sangatlah memprihatinkan dan sudah lagi tidak berpegang pada misi suci yaitu melakukan perubahan dinamis dan progresif berdasarkan nilai nilai kebenaran. Mahasiswa kini semakin apatis terhadap permasalahan permasalahan sosial disekitarnya yang bahkan sebenarnya berpengaruh langsung kepada mereka sendiri, namun mereka kini sudah tak sadar lagi bahwa eksistensinya sebagai mahasiswa yang mempunyai cita-cita perubahan, telah diperkosa dan dikebiri dengan alasan alasan akademis yang seolah menjadi senjata bagi para penguasa kampus dengan maksud untuk membungkam daya kritis, dan sikap politis mahasiswa.
Jika bercermin kepada pergerakan pergerakan kemahasiswaan masa lampau, kita teringat bahwa yang menjadi garda terdepan untuk merubah nasib bangsa ini, diretas oleh daya kritis mahasiswa yang prihatin dan peduli terhadap kondisi sosial politik yang bergulir dan mempunyai cita – cita suci untuk menegakan kebenaran dan keadilan, seperti kita tahu sikap sikap politik mahasiswa angkatan 45, angkatan 66, dan angkatan 98 yang memperjuangkan tegaknya keadilan dan perubahan yang lebih baik, menyumbangkan torehan sejarah pergerakan kemahasiswaan yang patut menyandang gelar sebagai agen perubahan. Namun, ruh usaha gemilang para pendahulu untuk memperjuangkan eksistensi mahasiswa sebagai agen perubahan, seolah telah hilang dan digantikan oleh generasi penerus yang semakin pragmatis dan bahkan apatis terhadap nilai nilai perjuangan yang angkatan terdahulu perjuangkan.
Keadaan mahasiswa pada saat ini sungguh sangat jauh berbeda dengan jaman dahulu. Paradigma mereka kini sudah sangat pragmatis dan sangat berorientasi kelulusan saja, padahal tugas perubahan yang dinantikan demi mewujudkan kondisi bangsa kearah yang lebih baik, sudah sepatutnya disadari oleh mahasiswa untuk segera dijadikan prioritas sebagai bakti kepada bangsa juga sebagai tanggung jawab penyandang gelar agent of change.
Cita cita yang dinantikan tersebut mungkin sekarang hanya tinggal angan yang tak tahu kapan akan terwujud, kini mahasiswa semakin terbuai oleh arus moderenisasi dan perkembangan teknologi, mereka lebih disibukkan bermain facebook daripada melakukan diskusi – diskusi untuk menentukan sikap politik dan berbakti kepada masyarakat, mereka lebih sering meng-update status jejaring sosial dibanding membaca buku. Jika dilihat, seolah mereka tidak bergairah lagi dalam menentukan sikap politik dengan berdasarkan kebenaran, dan juga tak bergairah lagi melakukan tindakan – tindakan kongkrit demi memperjuangkan perubahan bangsa ini kearah yang lebih baik.
Keadaan mahasiswa yang apolitis dan juga apatis terhadap permasalahan sosial disekitarnya, merupakan suatu kondisi yang sangat memprihatinkan. Bagaimana jadinya bangsa kita kedepan jika garda terdepan dalam melakukan perubahan sudah lagi apatis dan apolitis? Hal ini sungguh ironis jika dibandingkan dengan perjuangan – perjuangan angkatan terdahulu yang diperjuangkan untuk berbakti kepada bangsa.

Daya nalar mahasiswa kini semakin dangkal, mereka lebih berorientasi hasil dibanding memperjuangkan kondisi bangsa yang semakin buruk. Dalam pikiran mereka, duduk di bangku kuliah dan menjadi mahasiswa hanya sebagai suatu sarana untuk memperoleh gelar yang akan diandalkannya untuk bekerja. Pikiran mereka, tujuan mereka yang terpenting ketika mahasiswa adalah cepat menyelesaikan kuliah dan cepat bisa bekerja. Mungkin paradigma mereka terhadap perguruan tinggi adalah sebagai “Pabrik Sarjana” yang tujuannya mendapatkan gelar yang akan mereka pakai di akhir namanya agar mudah untuk mereka segera mendapatkan pekerjaan. Lantas, masih pantaskah mahasiswa menyandang gelar agent of change jika pemikiran mereka sedangkal itu?