Jumat, 23 September 2016

Kesadaran Kritis dan Perilaku Korupsi: Sebuah Kajian Psikologis*

Oleh : Isman Rahmani Yusron
PENGANTAR

Merebaknya kasus korupsi di Indonesia, menjadi sebuah fenomena yang perlu segera dicari solusinya. Pasalnya, kasus korupsi di Indonesia sudah pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dirilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2014, menyebutkan dalam kurun waktu satu tahun saja terdapat 629 kasus korupsi dengan jumlah tersangka hingga 1328 orang. Kerugian negara akibat perilaku korupsi ini mencapai 5,29 trilliun pada tahun 2014. Pada tahun sebelumnya pun, terdeteksi 560 kasus dengan jumlah tersangka 1271 orang dan kerugian negara mencapai 7,3 triliun selama tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tren perilaku korupsi dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Menariknya, kasus-kasus korupsi ini sudah sedemikian massif dan berada di berbagai lini. Kasus korupsi terjadi mulai dari tataran masyarakat bawah hingga pada pejabat setingkat kementrian bahkan juga dilakukan oleh kalangan akademisi. Seperti dalam rilis yang sama disebutkan bahwa tahun 2014, dari 629 kasus diantaranya terdapat 33 kasus korupsi dilakukan oleh elemen Rektor, dosen dan akademisi, serta ada 22 kasus korupsi dilakukan oleh ketua dan pengurus organisasi profesi (ICW, 2014). Hal ini menjadi fenomena yang menarik, dimana perilaku korupsi ini juga dilakukan oleh kalangan masyarakat dengan level pendidikan tinggi dan akademisi. Tak jarang, perilaku-perilaku kecurangan dan koruptif justru muncul salah satunya dengan sarana tingkat pendidikan. Korupsi menurut Masduki (Salama, 2014 p.151) merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar.
Fenomena terjadinya korupsi yang dilakukan kalangan terdidik memunculkan kesan ironi. Pendidikan, yang sejatinya membangun kesadaran moral, intelektual serta sosial dan diharapkan membangun peradaban juga membebaskan masyarakat dari ketertindasan, tidak banyak berkontribusi dalam menurunkan perilaku korupsi. Hal ini memicu sebuah hipotesis dimana tingkat pendidikan tidak serta merta membangun kesadaran akan pembebasan masyarakat dari sistem yang menindas. Korupsi, yang dikategorikan sebagai extraordinary crime, tidak berdampak tunggal melainkan telah menjadi sistem yang merusak dan menindas. Bahkan, korupsi juga disebut sebagai crimes againts humanity, atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak yang mempersepsikan bahwa korupsi sebatas kejahatan individual yang tidak berdampak pada kehidupan masyarakat. Padahal, korupsi berdampak buruk pada perkembangan sebuah negara, korupsi merugikan investasi dan pertumbuhan, kesenjangan dan kemiskinan, serta pada alokasi dana publik untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik (Ryvkin & Serra, 2010; Mauro, 1995; Keefar dan Knack,1995; Gupta et.al., 1998; Tanzi dan Davoodi, 1997). Jika dikaitkan dengan dampaknya yang kompleks dan sistemik, maka dapat dikatakan bahwa perilaku korupsi ini merupakan perilaku yang menindas masyarakat karena merugikan segala aspek kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kesadaran pada dampak perilaku korupsi ini sama dengan kesadaran akan situasi yang menindas.
Sedemikian kompleks dan besarnya dampak dari korupsi, sebagian besar tidak disadari oleh masyarakat sebagai situasi yang menindas. Hal ini karena korupsi biasanya terjadi di wilayah jabatan publik yang tidak terlalu dekat dan berdampak secara langsung pada kehidupan masyarakat. Situasi ini melahirkan sebuah banalitas korupsi. Banalitas korupsi ini berarti menjadikan korupsi sebagai sesuatu yang lumrah, biasa, wajar, bahkan menjadi prinsip penggerak kehidupan sehari-hari (Purwantari, 2010 dalam Salama, 2014 hlm.150).  Banalitas korupsi ini sangat terkait erat dengan konsep kesadaran menurut Paulo Freire, dimana situasi ini disebutnya sebagai kesadaran transitif atau kesadaran naif.
Kesadaran naif ini merupakan tingkat kesadaran yang bercirikan pada kecenderungan melakukan simplifikasi yang berlebihan (over-simplification) pada suatu masalah; bernostalgia pada masalalu; meremehkan situasi yang lumrah; tendensi yang kuat untuk berkelompok; kurang ketertarikan untuk mendalami sebuah masalah; penjelasan yang fantastis; argumen yang rapuh; emosional; berpolemik daripada berdialog (Freire, 1974 hlm.14).
Tingkatan kesadaran naif yang dijelaskan Freire diatas senada dengan situasi banalitas terhadap korupsi, dimana korupsi yang merupakan sebuah masalah kemasyarakatan dianggap sebagai situasi yang biasa dan wajar tidak dikaitkan dengan sebuah situasi yang menindas. Masyarakat naif, berkecenderungan untuk menyederhanakan sebuah permasalahan dengan kacamata yang individual daripada sistemik. Orang-orang menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem itu sendiri (Smith, 2001 hlm.69). Kesadaran naif ini berkaitan juga dengan situasi yang pada dasarnya masyarakat mengetahui bahwa korupsi merupakan sebuah bentuk penindasan dan ketidakadilan, akan tetapi alih-alih berupaya memahami situasi ini sebagai penindasan, malah melakukan simplifikasi permasalahan dan cenderung merasa bukan tanggung jawab individual untuk mengubahnya. Karakteristik kesadaran naif ini salah satunya ialah ketika mereka berbicara apa yang seharusnya dilakukan, mereka selalu mengacu pada apa yang seharusnya dilakukan orang lain (Smith, 2001 hlm.70). Maka dari itu, situasi masyarakat yang berada pada tingkat kesadaran naif cenderung akan melanggengkan perilaku koruptif. Bahkan, jika mengacu pada pendapat Freire (Smith, 2010) masyarakat yang memiliki kesadaran naif ini alih-alih memberantas sistem yang menindas, mereka berkecenderungan untuk menjadi sama dengan penindas atau dengan kata lain jika suatu saat memiliki kesempatan untuk berkorupsi, maka mereka cenderung akan melakukan korupsi.
Tingkat kesadaran naif ini merupakan transisi menuju kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran kritis (critical conscousness). Kesadaran kritis menurut Freire (1974), berkarakteristik dengan interpretasi yang mendalam pada suatu permasalahan, mengganti penjelasan magis dari sebuah permasalahan dengan prinsip kausalitas, berpikiran terbuka, menolak untuk melemparkan tanggung jawab; menolak posisi yang pasif; argumentatif dan berdialog daripada berpolemik. Kondisi kesadaran kritis ini jauh lebih mengaitkan sebuah permasalahan dengan sebuah sistem yang lebih besar daripada melakukan penyederhanaan. Jika dikaitkan dengan konteks korupsi, individu dengan kesadaran kritis cenderung berupaya memahami korupsi dengan cakupan kausalitas yang lebih besar dan juga memahami dampak korupsi tidak sebatas “pencurian” melainkan sebuah langkah “penindasan” masyarakat. Artinya, kesadaran kritis cenderung memandang permasalahan dalam cakupan yang luas, sistemik dan berprinsip kausalitas. Kesadaran kritis menganggap “semua fakta sebagaimana adanya secara empiris dalam korelasi-korelasi kausalitas dari lingkungan (Freire, 1973 dalam Smith, 2010 hlm.86). Pada taraf kesadaran kritis, tidak seperti kesadaran naif, individu tidak menyalahkan individu-individu lain, tetapi justeru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi (Smith, 2010 hlm.80). Konsep kesadaran kritis ini tidak sebatas dimensi kajian sosio politis, namun lebih jauh merupakan kajian psikologis terutama mengenai konsep perkembangan manusia. Smith (2010 hlm.54) menyatakan bahwa konsep Conscientizacao bisa dinilai sebagai sebuah konsep perkembangan yang koheren, dan konsep semacam ini selaras dengan keterebatasan-keterbatasan dan syarat-syarat konseptual dari teori perkembangan lainnya, seperti konsep Piaget, Maslow, Kohlberg, Loevinger dan sebagainya.
Berbeda dengan kesadaran naif dimana seseorang cenderung merasionalisasikan sebuah ketidakadilan dengan asumsi bahwa sistem yang membuat hal tersebut terjadi, kesadaran kritis lebih berfokus pada pemecahan masalah dengan memahami sebuah sistem ketidakadilan dan tergerak untuk melakukan perubahan. Melalui hal ini, kesadaran kritis melibatkan kemampuan kognitif yang lebih kompleks juga melibatkan moralitas dalam menganalisa sebuah permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan yang dikaitkan dengan perilaku korupsi dimana jika masyarakat masih berada dalam kesadaran naif, maka kecenderungan untuk melakukan korupsi akan tinggi dan sebalikya semakin masyarakat sadar secara kritis tentang korupsi, membuat perilaku korupsi bisa dihindarkan. Hal ini menjadi sebuah kajian yang menarik dan perlu dilakukan sebuah penelitian mengenai korelasi antara kedua hal tersebut. Penulis berasumsi bahwa tingkat korupsi berakar dari rendahnya kesadaran kritis masyaarakat. Tulisan ini dapat menjadi sebuah gambaran awal, bagaimana menyusun strategi dari pencegahan perilaku korupsi sejak dini dengan kegiatan penyadaran atau mengacu pada istilah Paulo Freire yakni Conscientizacao. Fenomena korupsi tidak harus melulu difahami dari segi sosio politik dan ekonomis semata, melainkan perlu juga dikaji dalam tataran disiplin ilmu Psikologi. Tulisanan ini merupakan upaya untuk memahami secara kritis tentang perilaku korupsi, yang berfokus pada akar dari permasalahan perilaku dan proses mental.

Minggu, 11 September 2016

√(-1) ♥ π = Aku Mencintaimu


Tidak mudah merumuskan sebuah perasaan dalam simbol Matematika. Karena tentu saja, perasaan bukanlah sebuah kalkulasi, atau sebuah proses transaksi. Perasaan, terkhusus rasa cinta, adalah sebuah konstruk imajiner yang sering kali tak masuk diakal. Karena memang bukan di lobus frontal ia berasal, rasa itu muncul di gerbang sebelum masuk pada bagian rasio. Cinta, yang merupakan bagian dari emosi, di proses di sebuah bagian tengah otak bernama amygdala. Ketika lobus temporal mengindra seseorang, melalui proses equipotesialitas, lalu didistribusikan ke bagian otak lainnya untuk disimpan dalam memori. Saat masuk memori, otak akan menentukan apakah akan masuk ke long-term memory, atau akan dibuang kemudian. Tapi, ada sebuah proses yang berbeda ketika kau lihat orang yang kau cintai, ia akan lama diproses di amygdala sebelum kemudian akan disimpan di memori jangka panjang.
            Rasa suka saat melihat seseorang, di proses melalui amygdala. Tapi, ketika otak menyadari bahwa seseorang yang kau indra, tidak cukup di proses dengan rasa suka, secara cepat dia akan segera di evaluasi dengan mendistribusikannya ke belahan otak lainnya untuk direpresi menjadi memori. Kemudian, semua bagian otak akan me-recall segala hal yang relevan dengannya. Saat, otak lalu menyadari bahwa dia relevan dengan segala yang kau fahami tentang sebuah relasi, lalu lobus frontalis akan memprosesnya secara rasional. Namun, ketika rasio tak mampu mendefinisikan segala kesamaan tentangnya, memori itu akan dikembalikan ke lobus temporalis, dikonfirmasi oleh amygdala didalamnya untuk diproses secara deklaratif: aku mencintaimu.
            Jadilah jelas, rasa cinta bukanlah proses yang mudah dalam otakku. Dirimu, diproses oleh semua bagian otak untuk didefinisikan secara rasional, namun akhirnya tak berhasil. Meski, tak berarti mencintaimu bukan berdasar pertimbangan rasional. Otak rasionalku jelas mendefinisikanmu, tapi kemudian tak jua menemukan jawabannya karena ada keganjilan yang tak bisa dikalkulasikan. Otak depanku, merepresentasikanmu seperti akar minus satu. Otak meng-encoding dirimu berupa bilangan yang tak ada hasil secara rasional. Jangankan kalkulator mendefinisikan akar minus satu, otak rasio saja tak mampu. Tapi kamu menjelma bilangan akar minus satu, karena kamu adalah konstruk imajiner yang tak perlu alasan, juga tak perlu dikalkulasikan. Tapi, dirimu mengandung filosofi: kamu adalah bilangan “i”, tak bisa didefinisikan namun relevan dengan segala yang aku miliki.
            Jika semua realitas yang ada didunia ini berada disumbu X dalam persepsiku, jelas aku adalah sumbu Y untuk mengukurnya. Semua yang ada disekitarku selalu bisa kudefinisikan dengan bilangan rasional: entah mereka bilangan positif, atau mereka berada di sisi negatif. Relatifitas kehidupan bergerak di sumbu X baik sisi negatif maupun positif. Semua bisa kudefinisikan, otakku berhasil meng-encode nya untuk dipilah dalam beberapa skema yang sudah terbentuk. Tapi saat aku menemuimu, kamu adalah akar minus satu, tak bisa otakku meng-encode nya dengan cara yang biasa. Kamu tak bisa dikalkulasikan dan lalu dimasukkan pada satu dari jutaan skema yang kumiliki. Kamu, hanya bisa membuatku membentuk skema baru. Skema yang tak relevan dengan segala relatifitas kehidupan. Kamu hanya bisa masuk pada satu skema: tentang diriku.
            Atas hal itulah, semua jadi jelas kenapa engkau adalah akar minus satu. Karena bilangan imajiner yang melekat padamu, tak diterima dalam sumbu horizontal. Kamu adalah yang membuat segala keganjilan perasaan, menjadi genap berada dalam sumbu yang hanya milikku: Y.
Otakku menyadari, akar minus satu hanya bisa kudefinisikan saat kamu berada di sumbuku. Sebagaimana filosofi akar minus satu, menjadi operator memindahkanmu kedalam sumbuku. Saat kau berada di sumbu Y milikku, semua tentangmu bisa kudefinisikan: semua tentangmu berbeda dengan semua tentang yang ada didunia ini. Kamu hanya bisa menjadi rasional, ketika kamu menjadi aku, berjalan bersama dalam sumbu yang sama.
            Lalu otakku kembali menemukan keganjilan saat secara deklaratif menyebut namamu. Kamu adalah keliling lingkaran tanpa ujung, yang tak pernah sampai pada kesimpulan di bilangan apa kau berakhir. Namamu, saat di encode dalam otakku, disimbolkan dengan angka ganjil yang tak habis dibagi. Engkau adalah keliling, dengan milyaran angka yang tak ada satupun orang dapat menentukan akhirnya. Engkau adalah “Pi”!  angka yang tak pernah ada ujungnya. Itulah kenapa kau tak masuk pada skema manapun tentang dunia. Itulah kenapa lobus temporalku mendeklarasikanmu sebagai Cinta: karena kamu, tak pernah berakhir. Saat aku menyadari kau adalah π, segera aku sadar kamu adalah sosok yang tak pernah berakhir dalam dunia imajiku. Kekagumanku saat mempersepsi dirimu, tak pernah berhasil aku temukan ujungnya. Sumbuku menjadi sangat panjang tak berakhir, saat aku berusaha mendefinisikanmu. “Pi”, kamu berhasil menggambarkan suatu bilangan imaji yang tak pernah berakhir: masa depan. Dan π selalu relevan denganmu dalam dunia imaji dan realitasku.
            Tak mudah mendefinisikan rasa yang kumiliki ini dalam simbol Matematika. Tapi, saat ada kamu didalamnya, aku bisa. Dengan sendirinya, saat aku membayangkanmu, otakku lalu membuat sebuah rangkaian rumus tentangmu :√(-1) ♥ π
Ya, aku mencintaimu  π . Bilangan yang tak bisa ku akhiri.




Rabu, 03 Agustus 2016

Apakah Psikologi kajian ilmiah?

Oleh: Isman Rahmani Yusron

Ilmiah atau tidaknya sebuah pengetahuan atau suatu bidang kajian, memerlukan syarat-syarat tertentu agar bidang kajian disebut sebagai sebuah Ilmu. Tidak semua pengetahuan atau bidang kajian akan menjadi ilmu, jika tidak memenuhi syarat-syarat utama agar kajian itu disebut sebagai ilmu. Hal yang paling mendasar, pengetahuan akan menjadi sebuah ilmu adalah ketika pengetahuan itu dapat dibuktikan dengan upaya yang tersistematis melalui metode ilmiah tertentu. Metode ilmiah adalah penggunaan prosedur yang objektif dan sistematis yang mengantarkan pada pemahaman yang akurat mengenai apa yang menjadi kajian (Gazzaniga, et.al, 2012:6) . Setidaknya, untuk dapat disebut ilmu, sebuah pengetahuan dan atau bidang kajian mensyaratkan empat hal; pertama, suatu bidang tersebut memiliki objek tertentu yang jelas; kedua, memiliki metode tertentu; ketiga, bersifat sistematis; dan yang terakhir bersifat universal.

Sebelum membuktikan bahwa Psikologi adalah sebuah ilmu atau dapat dikatakan ilmiah atau tidak, perlu dibedah terlebih dahulu istilah dari Psikologi sendiri. Secara terminologis, Psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa, dan “logos” yang berarti ilmu. Secara literal, arti dari Psikologi adalah ilmu tentang jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa –yang dalam hal ini jiwa manusia. Psyche, atau jiwa menurut KBBI (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, 2016) berarti roh manusia (yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup); nyawa; 2 seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dsb). Jika merujuk pada definisi ini, Psikologi adalah sebuah bidang kajian yang mempelajari mengenai “ruh”. Bruno (1987) juga menyatakan bahwa Psikologi adalah studi penyelidikan mengenai ruh. Dalam pengertian yang lain, jiwa diartikan sebagai daya hidup rohaniah, bersifat abstrak dan menjadi pengatur bagi semua perbuatan manusia. Jika merujuk pada definisi ini, muncul sebuah pertanyaan bagaimana caranya mempelajari sesuatu yang bersifat abstrak seperti halnya jiwa atau “ruh”? Bagaimana menyelidiki sesuatu yang keberadaanya tak bisa ditangkap secara langsung oleh indra, padahal salah satu syarat agar dapat dikatakan ilmiah harus memiliki objek yang dapat diselidiki? Ilmuwan Thomas Alva Edison bahkan pernah mengatakan: “My mind is incapable of conceiving such a thing as a soul”.

Jumat, 19 Februari 2016

LGBT dalam Perspektif Psikologi

Oleh: Isman Rahmani Yusron

Definisi
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual/Transgender atau sering disingkat LGBT, merupakan sebuah identitas orientasi seksual yang merujuk pada perilaku homosekualitas. Homoseksual merupakan ketertarikan individu secara seksual terhadap sesama jenisnya1 (laki-laki kepada laki-laki, perempuan kepada perempuan), yang diiringi oleh hasrat untuk membangun hubungan kepada seseorang yang berkelamin sama. Homoseksualitas, sebagai kata benda merupakan atraksi seksual atau aktivitas seksual kepada sesama jenisnya, biasanya orientasi homoseksualitas ini merujuk pada pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenisnya.
Kata homoseksual adalah hasil pernikahan bahasa Yunani dan Latin dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait dengan kata Latin homo, 'manusia', seperti dalam Homo sapiens), sehingga dapat juga berarti tindakan seksual dan kasih sayang antara individu berjenis kelamin sama, termasuk lesbianisme. Gay umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat digunakan secara luas untuk merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian, hanya merujuk pada homoseksualitas perempuan. Kata "lesbian" berasal dari nama pulau Yunani Lesbos, di mana penyair Sappho banyak sekali menulis tentang hubungan emosionalnya dengan wanita muda. Sedangkan Biseksual, merupakan istilah bagi individu yang memiliki ketertarikan seksual kepada laki-laki dan perempuan. Orientasi biseksual bisa terjadi karena tuntutan internal dan eksternal, ataupun secara alamiah memiliki ketertarikan kepada keduanya. Transeksual/Transgender, merupakan payung istilah dimana seseorang secara identitas gendernya, ekspresi gendernya atau perilakunya yang tidak terasosiasi dengan jenis kelamin yang dimilikinya sejak lahir2.
Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun 1869 dalam sebuah pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria Kertbeny yang diterbitkan secara anonim, berisi perdebatan melawan hukum anti-sodomi Prusia. Pada tahun 1879, Gustav Jager menggunakan istilah Kertbeny dalam bukunya, Discovery of The Soul (1880). Pada tahun 1886, Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya Psychopathia Sexualis, mungkin meminjamnya dari buku Jager. Buku Krafft-Ebing begitu populer di kalangan baik orang awam dan kedokteran hingga istilah "heteroseksual" dan "homoseksual" menjadi istilah yang paling luas diterima untuk orientasi seksual.
Sebagai orientasi seksual, LGBT tergolong pada perilaku seksual abnormal. Istilah normal dan abnormal ini disandarkan pada dapat atau tidak diterimanya suatu perilaku atau orientasi oleh populasi masyarakat. Normal dan abnormal ini akan sangat terkait pada norma-norma yang berlaku dimasyarakat, dimana seseorang atau sesuatu dianggap abnormal adalah ketika perilaku tersebut berbeda dari norma yang dianut masyarakat atau ketidaklaziman yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Sehingga, istilah normal dan abnormal ini sangat erat kaitannya dengan perilaku mayoritas masyarakat atau juga sesuai atau tidak dengan norma yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. LGBT, dapat dikategorikan sebagai perilaku seksual yang abnormal, karena berbeda dengan norma masyarakat kebanyakan. Namun, dalam perkembangannya, LGBT lebih disebut sebagai minoritas seksual ketimbang abnormalitas. Banyak resistensi masyarakat kekinian yang menggolongkan LGBT ini sebagai perilaku “sakit”, “mental illness”, “disorder”, atau “gangguan jiwa”. Meski begitu, para ahli sepakat bahwa LGBT ini merupakan penyimpangan dari normal, meskipun sering diperhalus dan tidak diidentikkan dengan perilaku yang negatif.
Pada tahun 1973, American Psychiatric Association mengeluarkan perilaku homoseksual ini dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, dimana homosekual ini tidak lagi dikategorikan sebagai penyakit psikologis, gangguan mental dan sebagainya3. Artinya, dengan hal ini homoseksual tidak lagi dikategorikan sebagai penyakit atau gangguan, melainkan kondisi normal seseorang yang berbeda dengan populasi kebanyakan. Implikasinya, tak ada lagi keharusan upaya “penyembuhan” atau “pelurusan” bagi seseorang yang memiliki orientasi homoseks, akan tetapi lebih pada pembimbingan untuk menerima kondisinya sebagai homoseks.
Masalah penerimaan mengenai status homoseksual ini, PPDGJ menggolongkan dua kategori seseorang saat merasakan ketertarikan terhadap sesama jenis4. Kategori pertama adalah egosintonik, dimana seseorang secara penuh menerima, menikmati, bahkan merasa senang dan bangga akan identitasnya sebagai homoseks. Kategori egosintonik ini, merasa bahwa hasrat homoseksual merupakan pemberian dari tuhan, dan tidak ada lagi konflik batin dalam dirinya mengenai kondisinya yang berbeda atau kebingungan identitas seksualnya. Individu homoseks yang terkategori egosintonik ini bahkan yang sering mengkampanyekan agar identitas homoseks diterima oleh masyarakat. Kategori kedua adalah egodistonik, dimana seseorang yang merasakan hasrat dan ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, namun selama itu dia mengalami konflik batin, tidak menerima, bahkan merasakan tekanan saat menyadari dirinya menyukai sesama jenis. Kategori inilah yang biasanya menjadi sasaran penanganan bagi psikolog maupun psikiater, yang dimana penanganannya pun mengarah pada upaya untuk membantu klien homoseks ini untuk menerima kondisi dirinya sebagai homoseks sehingga tidak mengalami kecemasan, stress dan tekanan psikologis lainnya.
Dalam sudut pandang psikologis, hampir tak ada upaya formal untuk mengintervensi pengidap LGBT ini untuk kembali sembuh atau kembali menjadi heteroseks. Karena, sudut pandang bagi LGBT ini bukanlah sebagai sesuatu yang perlu disembuhkan, melainkan untuk mereduksi kecemasan dan tekanannya agar tidak berlanjut pada maladaptasi atau perilaku membahayakan. Dengan kata lain, LGBT ini disebut sebagai sebuah kewajaran selama tidak melakukan perilaku-perilaku membahayakan diri atau lingkungan sosial. LGBT tidak dianggap sebagai kebahayaan, meskipun melalui perilaku ini banyak mengundang kerentanan seperti HIV/AIDS, pembunuhan (kasus Rian Jagal) hingga pemerkosaan sodomi pada anak dibawah umur. Terlepas keliru atau tidaknya penerimaan kondisi homoseksualitas seseorang sehingga dikategorikan normal, faktanya munculnya HIV/AIDS bahkan sodomi terhadap anak dibawah banyak disumbang oleh perilaku homoseksual, meskipun secara statistik kedua kasus tersebut juga banyak dialami dan dilakukan oleh seseorang yang heteroseks.
Penerimaan LGBT, bukan tanpa masalah, di Amerika sendiri dalam kurun 1969-1979 akibat pengakuan akan homoseksualitas menyumbang statistik kenaikan 245% terhadap pelacuran remaja laki-laki kepada sesama jenis5. 300-600 ribu remaja Amerika terlibat pelacuran sesama jenis, dan jelas ini menimbulkan permasalahan yang serius. Di Amerika dan Kanada secara umum, menurut penelitian (Ellis, Robb & Burke, 2005)6, 96% anak laki mengalami ketertarikan kepada perempuan dan 98% anak perempuan tertarik secara seksual kepada laki-laki, hal ini berarti populasi homoseks ini hanya 4% dikalangan laki-laki dan 2% dikalangan perempuan. Implikasinya, abnormalitas homoseksual ini masih cenderung kuat dan sebaliknya penerimaan homoseksual sebagai normal akan berefek pada meluasnya jumlah populasi homoseks. Selama masyarakat masih memegang resistensi terhadap homoseksual, populasi homoseksual tidak akan berkembang, sebaliknya permisifnya masyarakat akan homoseksualitas akan mengancam populasi heteroseksual yang salah satunya berdampak pada kerentanan resiko terjadinya HIV/AIDS dan pencabulan atau penyodomian terhadap anak dibawah umur.
Berbicara normal atau abnormal secara psikologis, seseorang akan dianggap secara psikologis normal jika dirinya dapat mengikuti norma sosial yang berlaku dan juga dapat mengendalikan dirinya akan dorongan-dorongan perilaku yang tidak sesuai dengan masyarakat. Menurut Calhoun&Acocella (1990) juga Atkinson dkk., kriteria untuk mendefinisikan abnormal adalah pelanggaran norma sosial7. Perilaku LGBT, di dalam masyarakat mayoritas heteroseksual,  akan dianggap sebagai abnormal. Apakah perlu atau tidak untuk diluruskan, hal tersebut merupakan persoalan lain. Akan tetapi, mayoritas manusia yang heteroseks menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia dikodratkan heteroseks dan homoseks adalah penyimpangan perilaku. Sehingga, jika ada dorongan untuk menerima LGBT sebagai perilaku yang normal, hal itu tidak dapat diterima. Kondisi faktual bahwa mayoritas manusia berorientasi heteroseks, menandakan bahwa yang beridentitas homoseks dapat kembali menjadi heteroseks, dan anggapan bahwa menjadi homoseks adalah gejala alamiah tidak mendapat posisi yang kuat.
Gejala alamiah yang paling kentara adalah melihat pada fungsi-fungsi organ secara biologis, dimana struktur organ kelamin laki-laki dan perempuan memiliki bentuk yang berbeda, oleh karena perbedaan itulah organ kelamin laki-laki dan perempuan dibentuk secara alamiah oleh tuhan untuk dipergunakan sesuai dengan fungsi dan tempatnya. Fungsi organ kelamin adalah sebagai alat reproduksi, dimana proses reproduksi itu akan terjadi hanya ketika jenis kelaminnya berbeda. Sehingga, jika organ kelamin dipergunakan pada jenis kelamin yang sama, fungsi dari organ kelamin tidak bisa dipergunakan sesuai dengan hakikat fungsinya sebagai alat reproduksi. Melalui fugsi organ kelamin ini pula lah, bahwa LGBT dikatakan sebagai alamiah dan normal terbantahkan begitu saja. Meskipun, homoseksual tidak melulu identik dengan hubungan seksual, akan tetapi secara alamiah manusia memiliki hasrat untuk melangsungkan eksistensi dan pelestarian penerusnya melalui kegiatan bereproduksi. Pada akhirnya, meski dibantah bahwa homoseks tidak melulu hubungan seksual, akan tetapi pada ujungnya hasrat seksual akan dilampiaskan melalui kegiatan hubungan seksual. Hubungan seksual sesama jenis inilah yang menimbulkan kerentanan dan kebahayaan baik individual maupun sosial, dan hal ini tidak bisa dianggap lazim atau normal.