Selasa, 27 Januari 2015

Biarkan Siswa Menentukan Standarnya Sendiri

Selepas ditetapkannya bahwa ujian nasional tidak lagi menjadi penentu kelulusan, saat kita memikirkan formulasi penggantinya. Bukan berarti membuat formulasi yang sama atau sekadar mengganti, namun juga betul-betul mempertimbangkan siswa sebagai subjek yang menentukannya. Jika selama ini yang menentukan capaian standar yang harus diraih siswa adalah pemerintah, kini saatnya memberikan porsi yang besar bagi siswa untuk menentukan tingkat capaiannya sendiri.

Banyak yang bertanya, ketika UN dihapus dan tidak lagi menjadi penentu kelulusan, maka apa yang menentukan siswa lulus atau tidak? Jawabannya cukup sederhana: siswa! Ya, siswalah yang patut menentukan sendiri tingkat standar yang dicapai oleh dirinya. Selama ini tes standarisasi, alih-alih membuat siswa bersemangat belajar, malah menjadi tekanan yang membuat siswa mengalami stress yang negatif. Formulasi ujian yang baru harus menghilangkan aspek tekanan ini, siswa harus diberikan ruang yang luas untuk menentukan tingkat kualitas belajarnya sendiri.

Sebetulnya, siswa tidak perlu dibebani dengan tingkat standar tertentu. Anggapan jika tidak ada ujian, siswa tak belajar jelas merupakan statement yang keliru. Siswa sebetulnya akan termotivasi untuk belajar dan menginvestasikan energinya untuk proses pembelajaran jika siswa memiliki keterikatan yang kuat (engagement) dengan proses belajarnya. Keterikatan yang kuat ini akan muncul ketika siswa memahami betul tujuan yang hendak dicapainya dalam proses pembelajaran.

Siswa, jika dipaksa dan ditekan terus menerus untuk memenuhi target tertentu, lama kelamaan secara psikologis dia akan mengalami keletihan. Dalam kondisi ekspektasi pemenuhan standar tertentu, yang terjadi adalah physical and emotional withdrawal. Pembelajaran tak ubahnya seperti kontrak kerja antara guru dan murid. Akan tetapi, sebaliknya jika siswa sendiri yang menentukan standar dan targetnya sendiri sejak awal proses pembelajaran, dengan sendirinya dia akan engage dengan proses pembelajaran. Dalam kondisi ini, siswa akan cenderung lebih menginvestasikan energi fisik, emosi serta kognitifnya secara signifikan.

Standar dan target yang jadi tujuan belajar siswa, tentunya ditentukan oleh siswa sendiri menurut minat dan kemampuannya sendiri. Minat siswa dalam hal ini diberikan prioritas penting dalam proses pembelajaran, yang dalam hal ini berupa minat karir atau sekolah lanjutan yang diinginkan siswa. Seperti misalnya siswa ingin masuk fakultas kedokteran, maka sejak awal siswa dapat dibimbing untuk menentukan target karir dimasa depan dalam bidang kedokteran. Tentunya untuk masuk ke fakultas kedokteran siswa akan memahami sendiri berapa target pencapaian nilai yang ia perlukan. Dalam hal ini guru Bimbingan dan Konseling berperan dalam membantu siswa memahami target yang hendak dicapai siswa.

Sudah barang tentu tidak semua siswa ingin ke fakultas kedokteran. Misalkan siswa lain ingin masuk jurusan Hukum, siswa dibimbing untuk menentukan targetnya sendiri dengan mengkoleksi nilai-nilai yang dibutuhkan untuk masuk ke fakultas kedokteran. Selanjutnya jika siswa ingin ke keguruan, politeknik, institut teknologi atau bahkan ke perguruan tinggi luar negeri, tentunya masing-masing memiliki standar yang berbeda-beda. Dengan begitu, siswa diberikan kebebasan dalam memfokuskan diri serta menentukam targetnya sendiri untuk memasuki jurusan yang diminatinya.


Melalui bentuk demikian, tak perlu lagi ada bentuk tes standarisasi yang menekan kondisi psikologis siswa. Tekanan akan menjadi negatif (distress) ketika dipaksakan untuk memenuhi standar tertentu yang kadang tidak diperlukan atau tidak difahami tujuannya oleh siswa. Namun, ketika yang menentukan nasib lulus atau tidaknya dia melalui standar yang ditentukannya sendiri, ini juga akan menjadi tekanan namun tekanan yang lebih positif (eustress). Jika siswa merasa memiliki kebebasan menentukan nasib dan standarnya sendiri tanpa harus dipaksa sama dan standar dengan orang lain, siswa dapat merasakan kondisi keterlibatan yang intens dalam proses pembelajaran. Bahkan, hal ini dapat menimbulkan achievement yang lebih daripada yang ditargetkan.