Kamis, 19 Desember 2013

IMPOTENSI PENGELOLAAN ANGGARAN KEMENDIKBUD

Rendahnya penyerapan anggaran oleh lembaga negara, tak terkecuali Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, menandakan begitu percumanya anggaran tinggi jika tidak di iringi dengan efektifitas penyerapan anggaran. Kenyataan ini sungguh menambah rentetan rapor merah Kemendikbud, setelah berbagai banyak kebijakan yang juga tak efektif untuk pendidikan.

Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 hasil amandemen yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Pasal ini jelas menginstruksikan bahwa yang dibutuhkan tidak hanya penganggaran saja, akan tetapi prioritas penyerapan yang sekurang-kurangnya 20% dari APBN.

Seperti yang diberitakan “PR” hari ini (19/12), Kemendikbud hanya dapat menyerap 74% dari total anggaran sebesar Rp.79 triliun. Hampir 20 triliun rupiah anggaran tahun ini tak berhasil dimanfaatkan oleh Kemendikbud untuk membiayai pendidikan nasional. Angka ini sangat fantastis jika dibandingkan dengan berbagai persoalan pendidikan yang belum selesai.

Dengan sisa anggaran yang hampir 20 triliun itu, hingga sekarang masih banyak sekolah-sekolah yang masih memungut uang dari siswa akibat kurangnya kucuran anggaran. Sampai saat ini pula masih banyak sekolah-sekolah swasta yang hampir bangkrut karena kalah saing akibat fasilitas yang dimiliki tak memadai sedangkan kebutuhan pembiayaan tinggi. Akhirnya, banyak sekolah-sekolah yang  membebankan pembiayaan pada masyarakat.

Selain itu, yang hangat dibicarakan juga adalah nasib guru honorer yang gajinya tak lebih baik dari gaji buruh pabrik. Padahal, para guru honorer ini berjasa besar dalam membantu pemerintah untuk menyelesaikan persoalan rendahnya pendidikan masyarakat. Masih banyak guru honorer yang hingga saat ini ditengah kebutuhan hidup yang begitu mencekik, bertahan menjadi pendidik meski hanya digaji sebesar 10 ribu per jam per minggu.

Dengan kenyataan rendahnya penyerapan anggaran dibandingkan dengan banyaknya persoalan yang belum selesai, menimbulkan ironi tersendiri. Jika dihitung-hitung, anggaran 20 triliun yang tak bisa dimanfaatkan Kemendikbud, sangat cukup sekali untuk menghentikan pungutan-pungutan liar disekolah terhadap siswa. Bahkan bisa memberi secercah harapan bagi para guru honorer untuk sementara menikmati hidup yang cukup.

Begitu lamban dan tidak efektifnya Kemendikbud dalam menyerap anggaran, menandakan rendahnya kualitas manajerial penggunaan anggaran di Kemendikbud. Salah satu contoh, keterserapan yang hanya 74% dari total anggaran itu, sudah termasuk berbagai langkah Kemendikbud yang terkesan menghamburkan anggaran namun begitu tak efektif. Misalnya, penyelenggaraan konvensi Ujian Nasional beberapa waktu lalu, proyek percetakan soal UN, hingga pelatihan seadanya dan pencetakan buku kurikulum 2013.

Selain rendahnya kualitas manajerial yang dimiliki Kemendikbud, rendahnya penyerapan anggaran juga menandakan kurangnya sense of crisis dari Kemendikbud terhadap kondisi pendidikan nasional. Hingga saat ini, masih banyak anak-anak negeri ini yang berkeliaran dijalan tak sekolah. Banyak pula anak-anak sekolah yang hanya menikmati kandang kambing untuk tempat belajar. Bahkan, banyak pula anak-anak yang menggigit jari melihat sekolahnya ditutup karena tak mampu membiayai kebutuhan sekolah.

Jika rentetan persoalan pendidikan negeri ini belum terselesaikan, namun anggaran masih tinggi sekali menumpuk, tidakkah ini merupakan bentuk kurangnya komitmen Kemendikbud untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional? Sangat disayangkan, rendahnya prestasi Kemendikbud ini pastinya mengecewakan para pendidik yang masih rela mengbdi tanpa digaji.

Lebih disayangkan lagi, bukannya introspeksi diri, menteri pendidikan M.Nuh malah lagi-lagi melontarkan disclaimer terhadap kenyataan ini. Nuh hanya mengatak tak jelek-jelek amat dengan pencapaian rendah ini. Padahal sudah jelas, bahwa ini sungguh prestasi yang buruk, mengingat bahwa kondisi pendidikan saat ini belum juga membaik.

Sudah sepatutnya bentuk perencanaan anggaran yang berpola top down ini dievaluasi. Seharusnya Kemendikbud membuat revolusi perencanaan anggaran yang bottom up, sehingga jelas apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan terbiayai oleh anggaran. Sehingga, diharapkan sekolah-sekolah akar rumput yang kering anggaran, mengecap besarnya 22% lebih anggaran pendidikan.

Selasa, 17 Desember 2013

KE (TIDAK) BIJAKAN MEMPERSULIT UN

Lagi-lagi, kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkesan mempersulit dan semakin menekan siswa. Hari ini (17/12), media ini memberitakan rencana dari kementrian untuk mempersulit Ujian Nasional SMA/SMK dengan menambah soal predikitif. Kata Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Teuku Ramli Zakaria, hal ini untuk mengakomodasi kehendak pemerintah. Pernyataan ini terlihat sungguh tidak empatik terhadap peserta didik. Selama ini, kebijakan-kebijakan selalu saja berusaha mengakomodasi “kehendak” penguasa. Seolah, peserta didik hanya seperti objek dari setiap kebijakan yang egois.

Penulis tidak habis pikir, apa sebenarnya yang di inginkan dari kebijakan ini? Selalu saja, efektifitas dan efisiensi menjadi legitimasi pemerintah untuk mengambil keputusan politis terhadap proses pendidikan. Akhirnya pendidikan dan peserta didik menjadi korban dari keegoisan kebijakan. Padahal, jika dikaji lebih mendalam, masih mempertahankan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan saja, sudah jelas tidak efektif dan efisien. Setidaknya efektif dan efisien menurut kacamata pendidikan.

Kebijakan menambah tingkat kesulitan Ujian Nasional, tentu sangat tidak bijak dan sangat tidak berdasar. Praktik ujian nasional yang selama ini telah berjalan saja sudah sangat membuat siswa mengalami distress yang sangat tinggi. Sekarang, muncul lagi “kehendak” untuk lebih menekan siswa melalui praktik ilegal itu. Bisa-bisa, nantinya siswa akan mengalami gejala-gejala depresi yang sangat berbahaya.

Dari berbagai penelitian, banyak yang menyatakan bahwa distress yang berkepanjangan dalam proses pendidikan menghantarkan siswa untuk mengalami kejenuhan belajar. Jika dibiarkan, kejenuhan belajar yang dihasilkan dari tekanan ujian nasional ini akan berdampak pada timbulnya gangguan kejiwaan. Salah satunya dari pendapat Salmela-Aro (2008) yang menyatakan bahwa kejenuhan belajar diantara remaja pertengahan dan remaja akhir (usia sekolah menengah atas) harus diberikan perhatian serius karena dapat menggiring pada depressive symptoms (gejala depresi).

Hal ini jelas, bahwa kebijakan menambah tingkat kesulitan Ujian Nasional tidak berdasar pada kajian psikologis siswa. Lalu darimanakah para pengambil kebijakan dalam pendidikan berpijak? Apakah dari hasil penelitian? Atau hanya sekedar kebijakan nonsense saja dan memang sangat bernuansa politis? Sungguh sangat tidak bijak jika pengampu kebijakan mengotak-atik pendidikan demi kepentingan-kepentingan proyek atau politis.

Atau mungkin kebijakan ini dari hasil pantauan kemendikbud atas hasil-hasil semu semata? Sebagai contoh, jujur penulis tergelak saat Kemendikbud berbangga hati atas survei Organization Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Program for International Student Assessment (PISA) yang menyatakan siswa Indonesia paling bahagia pertama di dunia. Kebanggan yang naif ini sungguh memperlihatkan bahwa Kemendikbud tidak paham persoalan pendidikan sebenarnya.

Sudah jelas, jika siswa ditanya apakah mereka bahagia di sekolah, tentunya mengatakan bahagia. Karena sekolah adalah satu-satunya tempat dimana siswa dapat melepaskan diri  dari tuntutan kehidupan nyata. Ada banyak sekali faktor yang membuat siswa bahagia di sekolah, mulai dari guru yang jarang datang, mudahnya membulying, belajar hanya sekedar formalitas, kegiatan nyontek massal yang dibenarkan, hingga berbagai proses pelajaran menghayal yang jauh dari kenyataan kehidupan.

Dalam konteks belajar, bahagia bukanlah ukuran, terlalu sederhana jika belajar hanya sekadar bahagia. Yang patut dibanggakan adalah ketika siswa mengalami kondisi enggagement dalam proses belajar. Kondisi engagement dalam belajar ini menurut Wilmar B Schaufeli (2002) didefinisikan sebagai kondisi yang positif, penuh energy, dan terhubung antara fikiran dengan pekerjaan yang berkarakteristik giat (vigor), berdedikasi (dedication), dan menyenangkan (absorption).


Jika mau memetakan kondisi siswa, kemendikbud harus mengukur tingkat enggagement siswa ini, tidak hanya sekadar mengapresiasi kebahagiaan. Penulis yakin, siswa tak mengalami kondisi ini disekolah, karena sudah jelas, secara teoritis kondisi distres dan kejenuhan berbanding terbalik dengan kondisi enggagement ini. Kebijakan untuk mempersulit UN akan semakin menjauhkan siswa dengan kondisi ini.

Selasa, 26 November 2013

GURU DAN DOKTRIN KEPAHLAWANANNYA

Sanjungan kepada sosok Guru yang disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, sepertinya mengandung makna yang bisa jadi terlalu berlebihan dan bisa jadi ada benarnya juga. Yang jelas, doktrin absurd yang turun temurun ini perlu diuji kebenarannya dan dibenturkan dengan kondisi riilnya. Harus dipertanyakan, betulkah sanjungan itu masih relevan atau hanya sekadar sakralisasi yang bisa jadi hanya mitos belaka?

Pertanyaan ini tak hendak merendahkan kehormatan profesi Guru. Namun, pertanyaan ini perlu juga dipertimbangkan sebagai bahan introspeksi. Agar para Guru tidak terlena oleh sanjungan-sanjungan agung, namun malah menjadi blunder yang membuat Guru malu sendiri karena dalam kenyataannya tak terbukti. Sebuah wibawa dan pujian tak lahir dari sekedar keyakinan dan doktrin turun temurun. Melainkan, hasil dan bukti nyata dari usaha yang dilakukan.

Penulis jadi teringat obrolan bersama kawan-kawan tentang apa yang melekat dalam ingatan jika mendengar kata Guru. Kebanyakan, yang mereka ingat adalah memori-memori negatif seperti, Gurunya yang galak, Gurunya yang mengancam tak beri nilai jika tak beli LKS, bahkan hingga pengalaman pernah dilecehkan Guru didepan kelas. Bahkan, kemarin pagi, salah seorang presenter televisi swasta berujar bahwa yang dia ingat dari Guru adalah sosok yang selalu membawa tongkat kayu panjang untuk memukul muridnya yang menurut sang Guru “nakal”.

Atas segala yang pernah dialami kawan saya sewaktu di sekolah, mereka tak pernah sekali diberi kesempatan untuk memberikan kritik atas perilaku negatif Gurunya. Atau setidaknya konfirmasi atas sebab kenakalannya, tak pernah sekalipun diberi kesempatan. Akhirnya murid dihukum tanpa konfirmasi. Takut untuk mengkritik, bahkan segan untuk hanya sekadar bertanya kenapa. Guru bak dewa yang selalu benar, dan murid diposisikan sebagai orang yang perlu diajari dan dibetulkan sikapnya.

Menarik mencermati pendapat Guru Besar Emeritus FPIPS UPI, Said Hamid Hasan yang ditulis di media ini. Katanya, sikap mampu bertanya adalah inti dari pola critical thinking. Lemahnya siswa dalam kemampuan berpikir kritis, katanya merupakan kunci lemahnya pendidikan di Indonesia. Perilaku Guru yang arogan seperti yang penulis contohkan tadi, serta perilaku Guru bak dewa yang menciptakan pola hubungan feodalistis dengan siswa, menjadikan siswa tidak memiliki keberanian untuk bertanya apalagi berfikir kritis.

Sehingga, jika memakai logika itu, tidakkah berarti Guru-lah yang menjadi subjek kunci lemahnya pendidikan di Indonesia? Atas kondisi nyata ini, masih relevankah atau setidaknya apakah tidak terlalu berlebihan, memberi sanjungan Guru sebagai pahlawan? Sekali lagi, tidak berarti melecehkan pengabdian Guru, namun hanya sebagai bahan introspeksi agar para Guru tak terlena dan merasa terlegitimasi menjadi sosok bak dewa di sekolah.

Lucunya, terkadang saat Guru melakukan kesalahan, dengan naifnya sang Guru berkata bahwa, Guru juga manusia. Sikap keras dengan dalih penegakan disiplin di sekolah yang kadang tanpa dasar dan indikator yang jelas dalam menjudge murid, sehingga terkesan bahwa Guru lah yang paling benar di sekolah, oleh dirinya sendiri di negasi bahwa dirinya juga tak luput dari kesalahan. Sikap plintat-plintut ini, menurut penulis, bukanlah karakter seorang pahlawan.

Tapi, terkadang melihat kenyataan, miris juga melihat nasib Guru. Frasa “tanpa tanda jasa” yang melekat pada Guru, bisa jadi ada benarnya. Dalam tajuk media ini, disebutkan bahwa gaji para “Pahlawan” ini, tidak lebih besar dari UMK buruh pabrik. Sungguh malang para pendidik negeri ini. Ini bukti bahwa ilmu pengetahuan tak ada harganya di negeri yang katanya mendambakan kemajuan.

Seolah-olah, sanjungan “Pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi sebuah pembenaran, bahwa Guru tak perlu digaji berkecukupan. Seolah, Guru hanya perlu dipuji tanpa perlu dikasihani. Namun realitanya, pada akhirnya Guru tak bisa kenyang dihargai dengan pujian meski berlebihan. Guru perlu penghidupan. Karena, Guru juga manusia yang punya berbagai kebutuhan. Mana bisa Guru konsentrasi untuk mendidik putra putri negeri, jika pikirannya saja masih terbebani biaya hidup yang semakin meninggi.

Kamis, 26 September 2013

BAHAYA PSIKOLOGIS UJIAN NASIONAL

Keengganan pemerintah untuk segera meniadakan penyelenggaraan UN perlu dipertanyakan dasarnya. Jika dianalisa secara psikologis, penyelenggaraan UN seperti ini sangat berbahaya bagi siswa. Salah satu gejala yang akan muncul salah satunya adalah Academic Burnout.

Academic Burnout secara teoritis merupakan kondisi dimana siswa telah mengalami kelelahan yang hebat dalam belajar. Schaufeli et al (2002) menjelaskan bahwa academic burnout merujuk pada situasi perasaan keletihan dikarenakan tuntutan belajar, memperlihatkan sikap sinis dan menghindari dari pembelajaran, merasa tidak kompeten atau merasa tak mampu sebagai pelajar.

Pada awalnya, Burnout identik dengan kondisi pekerja yang mengalami stress diiringi kelelahan fisik dan emosional. Freudeunberger (1974) menganalogikan kondisi ini seperti gedung yang terbakar habis (burnout) dimana secara fisik masih utuh namun isinya (jiwanya) terbakar habis. Penelitian terbaru memaparkan, kondisi ini tidak hanya terjadi di kalangan pekerja, melainkan siswa pun sangat rentan mengalami burnout. Artinya, sekolah telah tak jauh beda seperti bekerja.

Penyelenggaraan UN yang pada faktanya hanya menuntut pemenuhan standar kuantitatif dari hasil pembelajaran menjadikan sekolah tak ubahnya seperti bekerja. Kartadinata (2010) menyatakan, ekspektasi standar serta ukuran kuantitatif dalam proses pembelajaran pada akhirnya memicu terjadinya simplifikasi proses pendidikan yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan dan kerapuhan kehidupan bangsa.

Simplifikasi yang dimaksud adalah berupa pemusatan tujuan pada tujuan individual yang bersifat intelektual yang diukur melalui ujian, sehingga siswa dipaksa untuk memenuhi harapan standar tersebut yang menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik. Kondisi ini menjadi sebuah pemicu siswa mengalami burnout dalam pembelajaran.

Burnout dalam setting belajar diakibatkan oleh tingginya tuntutan sekolah dan belajar kepada siswa. Penyelenggaraan UN di sekolah bagi siswa merupakan satu sumber tekanan psikologis tersendiri. Tuntutan pemenuhan nilai yang bersifat kuantitatif yang terkesan dipaksakan, belum lagi tuntutan citra sekolah menjadikan kondisi stress dan burnout tak terelakkan lagi. Hal ini sudah menjadi alasan kuat bahwa ujian nasional harus segera dihentikan.

Academic Burnout menghantarkan siswa mengalami kejenuhan emosional, kecenderungan berkurangnya keaktifan fisik dan emosional, serta rendahnya keinginan untuk sukses. Dampak yang muncul pada saat siswa mengalami kondisi ini ialah memicu keengganan hadir dalam kelas, rendahnya motivasi belajar, hingga tingginya angka drop out (Aypay, 2011).

Bahkan penelitian terakhir menyebutkan, academic burnout akan memicu gejala lain yang lebih parah. Salah satunya adalah hasil penelitian dari Salmela –Aro (2008) yang menyatakan bahwa kondisi burnout di sekolah bagi siswa harus segera mendapat perhatian serius, karena akan menggiring siswa mengalami gejala-gejala depresi.


Dari berbagai fakta diatas, maka tak ada alasan lagi UN harus dipertahankan. Pemerintah terutama Kemendikbud jangan bertindak egois dengan tetap mempertahankan UN sebagai alat untuk mengukur mutu pendidikan. Alasan tersebut adalah alasan yang sangat irrasional. Jika melihat dampak buruknya, ujian nasional tidak meningkatkan mutu pendidikan,  melainkan -meminjam istilah Sunaryo Kartadinata- akan hanya menghasilkan masyarakat yang sakit (sane society).

Kamis, 19 September 2013

MEMBEBASKAN PENDIDIK DARI TRADISI FEODALISME

Peran sentral pendidik sebagai agen yang mempersiapkan generasi baru, dituntut untuk lebih adaptif dalam menghadapi pesatnya era global. Dalam proses belajar mengajar, pendidik harus mempersiapkan langkah yang revolusioner. Mereka dituntut membebaskan fikirannya dari konservatisme.

Para pendidik harus pandai menuntut diri untuk membebaskan fikirannya dari belenggu paradigma pedagogis yang telah usang. Karena, jika sikap para pendidik masih cenderung konservatif dalam melaksanakan proses pendidikan, maka hasilnya hanya melahirkan generasi yang tak mampu beradaptasi dalam perkembangan zaman.

Setidaknya penulis mengidentifikasi beberapa paradigma usang yang perlu untuk segera dirubah demi melahirkan generasi era baru. Salah satunya, pola interaksi antara guru dan murid yang feodalistis. Banyak yang menilai, pola hubungan pedagogis memang berimplikasi pada sistem yang cenderung feodal. Posisi pendidik harus lebih tinggi dan “terhormat” daripada murid karena terkait pola transformasi ilmu yang berasal dari guru dan dikonsumsi oleh para peserta didik.

Paradigma ini sungguh telah usang dan sungguh kolot. Faktanya, budaya feodal hanyalah menghasilkan generasi yang tak percaya diri dan cenderung koruptif. Dampak dari lestarinya sistem ini, menjadikan terpatri dalam fikiran bahwa yang berhak dilayani adalah masyarakat dari kalangan terhormat atau yang memiliki kekayaan. Sehingga, tindakan korupsi tak lagi terelakkan, misalnya karena tak bisa menolak permintaan atasan atau demi menghormati atasan,  sogokan dan gratifikasi berubah makna menjadi “menghargai” atau “menghormati”.

Selain itu, pola interaksi antara guru dan murid yang feodal, hanya melahirkan generasi yang konsumtif. Jika dalam proses belajar mengajar, guru menanamkan bahwa sumber ilmu adalah dirinya, maka murid diposisikan sebagai konsumen. Padahal, masa depan menuntut generasi yang produktif yang dapat senantiasa melahirkan ilmu. Kebanyakan para murid hari ini, dibentuk sebagai konsumen ilmu. Akhirnya, konstruk fikirannya dalam sikap belajar adalah senantiasa mengonsumsi bukan memproduksi.

Untuk hal yang satu ini, perlu sekali menjadi tekanan penting. Masa depan menuntut orang untuk merubah caranya dalam mendapatkan ilmu. Dalam hal ini seorang filsuf pendidikan, Paolo Freire berkomentar, “cara memperoleh pengetahuanlah yang menjadi salah satu masalah dalam lapangan pendidikan yang perlu dipecahkan oleh sebuah masyarakat yang revolusioner. Sebuah masyarakat yang revolusioner seharusnya melihat bahwa usaha memperoleh pengetahuan itu menuntut diri mereka berperan sebagai subjek – pencipta (creator), pencipta kembali (recreator), dan penemu ulang (reinvetor),” (Freire, 2000:12).

Dalam tuntutan kekinian, yang harus dikembangkan dalam sistem interaksi antara guru dan murid adalah sistem yang egalitarian. Guru harus berbesar hati untuk berada sejajar dengan murid. Fungsi dari guru tak lagi bak dewa yang selalu benar, tapi merupakan bagian dari proses belajar. Proses transformasi pengetahuan dalam kegiatan belajar mengajar menjadi multi arah. Peserta didik diperlakukan sebagai subjek belajar, bukan menjadi objek mengajar.

Freire sempat memberikan wejangan dalam hal ini, “jika dikotomi antara mengajar dan belajar sampai menyebabkan pihak yang mengajar tidak mau belajar dari peserta didik yang diajarnya, berarti sebuah ideologi dominasi mulai tumbuh (Freire, 2000:8). Statement tersebut bermakna bahwa baik guru maupun murid merupakan subjek yang sama-sama saling belajar.

Sekolah hari ini, harus di isi oleh para pendidik yang revolusioner. Para pendidik harus berani memecah rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang telah usang. Perlu para pendidik sadari bahwa pola feodalistis di sekolah merupakan warisan era kolonialis yang tak perlu dipertahankan. Para pendidik era baru harus menyadari bahwa dirinya sedang berada di peran sentral dalam mempersiapkan generasi baru untuk lebih siap dalam mengisi dan turut menjadi bagian dari masyarakat dunia (world citizen) yang mesti siap mengikuti arus perkembangan.

Kamis, 24 Januari 2013

NASIB NAAS PENELITIAN ILMIAH

Sungguh malang nasib keilmuan kita. Itu mungkin ungkapan yang cocok menggambarkan kondisi ilmu pengetahuan saat ini. Betapa tidak, saat ini ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh universitas melalui penelitian-penelitian ilmiah tak lagi menjadi penyelesai masalah. Skripsi-skripsi, tesis maupun disertasi tak lagi menjadi jalan keluar untuk mengatasi persoalan bangsa. Padahal, sejatinya, ilmu-ilmu yang dihasilkan para sarjana adalah sebuah usulan solusi untuk memperbaiki negeri ini.

Sungguh sangat disayangkan, melihat kondisi penelitian-penelitian ilmiah saat ini tak lebih dari sekadar sampah. Kenapa dikatakan demikian, karena faktanya penelitian ilmiah hanya menjadi seonggok karya yang tersandar di sunyinya rak-rak perpustakaan. Eksperimen-eksperimen yang sejatinya menjadi sebuah inovasi yang berguna bagi masyarakat, bernasib naas karena hanya lapuk tak terbaca. Begitupun upaya universitas untuk memanfaatkan dan menyebarluaskan karya ilmiah para mahasiswanya, sungguh sangat sedikit dan tidak serius.

Jika dikalkulasi, dari ribuan karya para wisudawan universitas setiap tahunnya, bisa kita terka berapa yang dimanfaatkan, dan berapa ribu yang hanya memenuhi ruang-ruang penyimpanan. Akhirnya, karya ilmiah yang diharapkan menjadi sebuah solusi, malah jadi bagian dari masalah. Tingkat keterpakaian karya ilmiah di negeri ini sungguh sangat mengerikan. Sepengetahuan penulis, belum ada data terkait tingkat keterpakaian karya ilmiah yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan yang nyata dilapangan. Tentunya mungkin akan sangat sukar sekali mengukurnya, paling banter dipakai sebagai referensi dari penelitian-penelitian selanjutnya.

Akan tetapi, dapat masyarakat lihat seberapa banyak karya yang bermanfaat bagi negeri ini dalam menyelesaikan persoalan. Tentunya, jika karya-karya penelitian ilmiah sudah optimal dimanfaatkan, masyarakat bisa merasakan hasilnya. Setidak-tidaknya, beberapa masalah-masalah krusial di negeri ini dapat cepat teratasi. Namun, dapat dirasakan sendiri, ribuan penelitian ilmiah tak lagi  menyelesaikan masalah. Hasilnya tak lebih dari sekedar kesimpulan dan rekomendasi yang tak ditindaklanjuti. Karya ilmiah tak lebih dari sekadar koleksi, tersandar diruang sunyi, mengisi berjubel-jubel rak besi.

Bagaikan petir di siang bolong, seolah kenyataan menampar para akademisi pendidikan. Senin (21/1) lalu, 7 Bocah tertangkap membobol rumah mewah akibat kecanduan game online. Mereka yang notebene masih duduk di bangku sekolah menengah nekat mencuri dilatarbelakangi tak punya uang untuk bermain game online. Sungguh mengejutkan, hanya karena ketagihan bermain game di internet, mereka sampai terjerat kasus kriminal.

Contoh kasus diatas menjadi sebuah ironi tersendiri, mengingat banyak penelitian ilmiah yang jauh-jauh hari menyimpulkan bahwa kecanduan game online akan berdampak buruk bagi kesehatan mental anak. Berjubel treatment penanggulangan pun sudah tertulis dalam penelitian-penelitian yang tak sedikit jumlahnya. Sebagai contoh, ada banyak penelitian-penelitian dari para sarjana psikologi maupun bimbingan dan konseling yang membahas persoalan ini. Tawaran solusi baik preventif maupun kuratif untuk menangani anak yang kecanduan game online pun, sudah banyak dihasilkan.

Namun, berjubel hasil penelitian itu seperti omong kosong jika menyimak kasus diatas. Banyaknya penelitian ilmiah mengenai kecanduan (Addiction) game online, tak dapat dirasakan manfaatnya secara langsung. Padahal, ilmu-ilmu yang dihasilkan serta solusi yang ditawarkan, sungguh sangat bermanfaat jika digunakan. Tak hanya sebatas “harta karun” yang terpendam dalam koleksi perpustakaan universitas.

Kondisi ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Lama kelamaan masyarakat akan mempertanyakan, apa fungsi universitas sebenarnya? Apakah hanya penghasil sarjana? Penghasil tenaga kerja? Begitupun pertanyaan-pertanyaan hasil penelitian ilmiah yang setiap tahun ditelurkan para wisudawan.Apa fungsinya? Betul karya penelitian ilmiah atau hanya formalitas belaka?

Jangan heran memang jika pertanyaan-pertanyaan itu menyeruak. Melihat bobroknya moral serta banyaknya persoalan negeri ini yang tak terpecahkan, kegelisahan itu memang patut mengemuka. Tujuannya tak lain agar menyadarkan para peneliti dan calon peneliti bahwa sia-sia saja mereka membuang waktu bekerja keras melakukan riset. Namun, pada akhirnya karya-karya mereka tak dimanfaatkan dan bernasib naas, lapuk dan dilupakan. Karena tak ada upaya yang serius untuk benar-benar menggunakan hasil penelitian ilmiah sebagai jalan keluar dari persoalan.

Para warga perguruan tinggi tentu tahu isi dari tri dharma perguruan tinggi. Selain pendidikan dan penelitian, ada dharma selanjutnya yakni pengabdian pada masyarakat. Meski tak berdasar, bisa dikatakan fungsi ini tak begitu optimal. Buktinya hasil pendidikan dan penelitian tak jadi solusi bagi masyarakat. Tak jadi pengabdian. Hanya jadi jargon mulia yang tak terasa fungsinya.

Tentunya, tri dharma perguruan tinggi tak bisa diartikan secara terpisah. Ketiga-tiganya merupakan sebuah integrasi yang saling bersinergi. Satu fungsi saja tak teroptimalkan, dapat disimpulkan ada sebuah kegagalan dalam esensi dharma yang lain. Jika kenyataannya memang, hasil penelitian tak berguna bagi kehidupan masyarakat, berarti pula ada sebuah kegagalan dalam pendidikan. Hal itu berdampak pula pada kegagalann penelitian, yang nantinya berdampak pada lemahnya pengabdian pada masyarakat. Yang lebih bahaya lagi yakni munculnya sindrom impoten dari perguruan tinggi.

Menyimak kondisi seperti itu, sudah sepatutnyalah perguruan tinggi melakukan introspeksi. Sudah jelas terlihat masalah ketidakberfungsian tridharma perguruan tinggi. Tiga dharma itu sekarang hanya sebatas formalitas, kehilangan wujud mulianya. Padahal hal itu merupakan tonggak serta indikator berhasilnya sebuah institusi pendidikan tinggi. Sangat mengerikan jika kondisi ini tak segera teratasi.

Tentunya jalan keluar masalah ini perlu ditelusuri hingga akar permasalahan. Bisa jadi kesadaran dan upaya penyadaran tentang urgensi penelitian serta pengabdian pada masyarakat, kepada calon-calon sarjana tak optimal. Perlu ada upaya dari perguruan tinggi yang meyakinkan bahwa fungsi dari penelitian bukan hanya sebatas pemenuhan syarat untuk kelulusan. Begitupun fungsi pengabdian pada masyarakat jangan hanya sebatas formalitas kredit perkuliahan. Jika hal ini dibiarkan, bangsa ini akan semakin malang: banyak ilmuan, namun tetap banyak persoalan.

Begitupun pemerintah tak bisa tutup mata menyikapi persoalan ini. Perlu ada dukungan penuh bagi pemanfaatan penelitian ilmiah bagi masyarakat. Pemerintah perlu mengevaluasi dana yang dianggarkan bagi pembiayaan penelitian. Kenyataan dilapangan penggunaan dana ini tak jadi jalan keluar bagi masyarakat. Karya ilmiah banyak dihasilkan dan didanai pemerintah, namun kenapa hasilnya tak jadi alat memperbaiki negeri ini?


Tentunya masyarakat berharap banyak kepada institusi perguruan tinggi yang di isi para ilmuan. Kondisi negeri ini sudah sangat mengenaskan. Masyarakat sangat berharap para peneliti berperan memperbaiki kondisi bangsa ini. Mereka tak mengharapkan jutaan kertas dihabiskan, jutaan penelitian dilakukan, jutaan karya ilmiah dihasilkan, namun hanya menjadi pepesan kosong yang tak berguna. Masyarakat perlu bukti nyata dalam bentuk aksi, bukan bukti fisik jutaan skripsi, yang hanya memenuhi koleksi. Perguruan tinggi segera introspeksi, karena perguruan tinggi bukanlah sekadar pabrik ilmuan, namun produsen utama agen perubahan.[]