Selasa, 17 Desember 2013

KE (TIDAK) BIJAKAN MEMPERSULIT UN

Lagi-lagi, kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkesan mempersulit dan semakin menekan siswa. Hari ini (17/12), media ini memberitakan rencana dari kementrian untuk mempersulit Ujian Nasional SMA/SMK dengan menambah soal predikitif. Kata Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Teuku Ramli Zakaria, hal ini untuk mengakomodasi kehendak pemerintah. Pernyataan ini terlihat sungguh tidak empatik terhadap peserta didik. Selama ini, kebijakan-kebijakan selalu saja berusaha mengakomodasi “kehendak” penguasa. Seolah, peserta didik hanya seperti objek dari setiap kebijakan yang egois.

Penulis tidak habis pikir, apa sebenarnya yang di inginkan dari kebijakan ini? Selalu saja, efektifitas dan efisiensi menjadi legitimasi pemerintah untuk mengambil keputusan politis terhadap proses pendidikan. Akhirnya pendidikan dan peserta didik menjadi korban dari keegoisan kebijakan. Padahal, jika dikaji lebih mendalam, masih mempertahankan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan saja, sudah jelas tidak efektif dan efisien. Setidaknya efektif dan efisien menurut kacamata pendidikan.

Kebijakan menambah tingkat kesulitan Ujian Nasional, tentu sangat tidak bijak dan sangat tidak berdasar. Praktik ujian nasional yang selama ini telah berjalan saja sudah sangat membuat siswa mengalami distress yang sangat tinggi. Sekarang, muncul lagi “kehendak” untuk lebih menekan siswa melalui praktik ilegal itu. Bisa-bisa, nantinya siswa akan mengalami gejala-gejala depresi yang sangat berbahaya.

Dari berbagai penelitian, banyak yang menyatakan bahwa distress yang berkepanjangan dalam proses pendidikan menghantarkan siswa untuk mengalami kejenuhan belajar. Jika dibiarkan, kejenuhan belajar yang dihasilkan dari tekanan ujian nasional ini akan berdampak pada timbulnya gangguan kejiwaan. Salah satunya dari pendapat Salmela-Aro (2008) yang menyatakan bahwa kejenuhan belajar diantara remaja pertengahan dan remaja akhir (usia sekolah menengah atas) harus diberikan perhatian serius karena dapat menggiring pada depressive symptoms (gejala depresi).

Hal ini jelas, bahwa kebijakan menambah tingkat kesulitan Ujian Nasional tidak berdasar pada kajian psikologis siswa. Lalu darimanakah para pengambil kebijakan dalam pendidikan berpijak? Apakah dari hasil penelitian? Atau hanya sekedar kebijakan nonsense saja dan memang sangat bernuansa politis? Sungguh sangat tidak bijak jika pengampu kebijakan mengotak-atik pendidikan demi kepentingan-kepentingan proyek atau politis.

Atau mungkin kebijakan ini dari hasil pantauan kemendikbud atas hasil-hasil semu semata? Sebagai contoh, jujur penulis tergelak saat Kemendikbud berbangga hati atas survei Organization Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Program for International Student Assessment (PISA) yang menyatakan siswa Indonesia paling bahagia pertama di dunia. Kebanggan yang naif ini sungguh memperlihatkan bahwa Kemendikbud tidak paham persoalan pendidikan sebenarnya.

Sudah jelas, jika siswa ditanya apakah mereka bahagia di sekolah, tentunya mengatakan bahagia. Karena sekolah adalah satu-satunya tempat dimana siswa dapat melepaskan diri  dari tuntutan kehidupan nyata. Ada banyak sekali faktor yang membuat siswa bahagia di sekolah, mulai dari guru yang jarang datang, mudahnya membulying, belajar hanya sekedar formalitas, kegiatan nyontek massal yang dibenarkan, hingga berbagai proses pelajaran menghayal yang jauh dari kenyataan kehidupan.

Dalam konteks belajar, bahagia bukanlah ukuran, terlalu sederhana jika belajar hanya sekadar bahagia. Yang patut dibanggakan adalah ketika siswa mengalami kondisi enggagement dalam proses belajar. Kondisi engagement dalam belajar ini menurut Wilmar B Schaufeli (2002) didefinisikan sebagai kondisi yang positif, penuh energy, dan terhubung antara fikiran dengan pekerjaan yang berkarakteristik giat (vigor), berdedikasi (dedication), dan menyenangkan (absorption).


Jika mau memetakan kondisi siswa, kemendikbud harus mengukur tingkat enggagement siswa ini, tidak hanya sekadar mengapresiasi kebahagiaan. Penulis yakin, siswa tak mengalami kondisi ini disekolah, karena sudah jelas, secara teoritis kondisi distres dan kejenuhan berbanding terbalik dengan kondisi enggagement ini. Kebijakan untuk mempersulit UN akan semakin menjauhkan siswa dengan kondisi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar