Jumat, 23 September 2016

Kesadaran Kritis dan Perilaku Korupsi: Sebuah Kajian Psikologis*

Oleh : Isman Rahmani Yusron
PENGANTAR

Merebaknya kasus korupsi di Indonesia, menjadi sebuah fenomena yang perlu segera dicari solusinya. Pasalnya, kasus korupsi di Indonesia sudah pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dirilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2014, menyebutkan dalam kurun waktu satu tahun saja terdapat 629 kasus korupsi dengan jumlah tersangka hingga 1328 orang. Kerugian negara akibat perilaku korupsi ini mencapai 5,29 trilliun pada tahun 2014. Pada tahun sebelumnya pun, terdeteksi 560 kasus dengan jumlah tersangka 1271 orang dan kerugian negara mencapai 7,3 triliun selama tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tren perilaku korupsi dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Menariknya, kasus-kasus korupsi ini sudah sedemikian massif dan berada di berbagai lini. Kasus korupsi terjadi mulai dari tataran masyarakat bawah hingga pada pejabat setingkat kementrian bahkan juga dilakukan oleh kalangan akademisi. Seperti dalam rilis yang sama disebutkan bahwa tahun 2014, dari 629 kasus diantaranya terdapat 33 kasus korupsi dilakukan oleh elemen Rektor, dosen dan akademisi, serta ada 22 kasus korupsi dilakukan oleh ketua dan pengurus organisasi profesi (ICW, 2014). Hal ini menjadi fenomena yang menarik, dimana perilaku korupsi ini juga dilakukan oleh kalangan masyarakat dengan level pendidikan tinggi dan akademisi. Tak jarang, perilaku-perilaku kecurangan dan koruptif justru muncul salah satunya dengan sarana tingkat pendidikan. Korupsi menurut Masduki (Salama, 2014 p.151) merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar.
Fenomena terjadinya korupsi yang dilakukan kalangan terdidik memunculkan kesan ironi. Pendidikan, yang sejatinya membangun kesadaran moral, intelektual serta sosial dan diharapkan membangun peradaban juga membebaskan masyarakat dari ketertindasan, tidak banyak berkontribusi dalam menurunkan perilaku korupsi. Hal ini memicu sebuah hipotesis dimana tingkat pendidikan tidak serta merta membangun kesadaran akan pembebasan masyarakat dari sistem yang menindas. Korupsi, yang dikategorikan sebagai extraordinary crime, tidak berdampak tunggal melainkan telah menjadi sistem yang merusak dan menindas. Bahkan, korupsi juga disebut sebagai crimes againts humanity, atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak yang mempersepsikan bahwa korupsi sebatas kejahatan individual yang tidak berdampak pada kehidupan masyarakat. Padahal, korupsi berdampak buruk pada perkembangan sebuah negara, korupsi merugikan investasi dan pertumbuhan, kesenjangan dan kemiskinan, serta pada alokasi dana publik untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik (Ryvkin & Serra, 2010; Mauro, 1995; Keefar dan Knack,1995; Gupta et.al., 1998; Tanzi dan Davoodi, 1997). Jika dikaitkan dengan dampaknya yang kompleks dan sistemik, maka dapat dikatakan bahwa perilaku korupsi ini merupakan perilaku yang menindas masyarakat karena merugikan segala aspek kehidupan masyarakat. Maka dari itu, kesadaran pada dampak perilaku korupsi ini sama dengan kesadaran akan situasi yang menindas.
Sedemikian kompleks dan besarnya dampak dari korupsi, sebagian besar tidak disadari oleh masyarakat sebagai situasi yang menindas. Hal ini karena korupsi biasanya terjadi di wilayah jabatan publik yang tidak terlalu dekat dan berdampak secara langsung pada kehidupan masyarakat. Situasi ini melahirkan sebuah banalitas korupsi. Banalitas korupsi ini berarti menjadikan korupsi sebagai sesuatu yang lumrah, biasa, wajar, bahkan menjadi prinsip penggerak kehidupan sehari-hari (Purwantari, 2010 dalam Salama, 2014 hlm.150).  Banalitas korupsi ini sangat terkait erat dengan konsep kesadaran menurut Paulo Freire, dimana situasi ini disebutnya sebagai kesadaran transitif atau kesadaran naif.
Kesadaran naif ini merupakan tingkat kesadaran yang bercirikan pada kecenderungan melakukan simplifikasi yang berlebihan (over-simplification) pada suatu masalah; bernostalgia pada masalalu; meremehkan situasi yang lumrah; tendensi yang kuat untuk berkelompok; kurang ketertarikan untuk mendalami sebuah masalah; penjelasan yang fantastis; argumen yang rapuh; emosional; berpolemik daripada berdialog (Freire, 1974 hlm.14).
Tingkatan kesadaran naif yang dijelaskan Freire diatas senada dengan situasi banalitas terhadap korupsi, dimana korupsi yang merupakan sebuah masalah kemasyarakatan dianggap sebagai situasi yang biasa dan wajar tidak dikaitkan dengan sebuah situasi yang menindas. Masyarakat naif, berkecenderungan untuk menyederhanakan sebuah permasalahan dengan kacamata yang individual daripada sistemik. Orang-orang menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem itu sendiri (Smith, 2001 hlm.69). Kesadaran naif ini berkaitan juga dengan situasi yang pada dasarnya masyarakat mengetahui bahwa korupsi merupakan sebuah bentuk penindasan dan ketidakadilan, akan tetapi alih-alih berupaya memahami situasi ini sebagai penindasan, malah melakukan simplifikasi permasalahan dan cenderung merasa bukan tanggung jawab individual untuk mengubahnya. Karakteristik kesadaran naif ini salah satunya ialah ketika mereka berbicara apa yang seharusnya dilakukan, mereka selalu mengacu pada apa yang seharusnya dilakukan orang lain (Smith, 2001 hlm.70). Maka dari itu, situasi masyarakat yang berada pada tingkat kesadaran naif cenderung akan melanggengkan perilaku koruptif. Bahkan, jika mengacu pada pendapat Freire (Smith, 2010) masyarakat yang memiliki kesadaran naif ini alih-alih memberantas sistem yang menindas, mereka berkecenderungan untuk menjadi sama dengan penindas atau dengan kata lain jika suatu saat memiliki kesempatan untuk berkorupsi, maka mereka cenderung akan melakukan korupsi.
Tingkat kesadaran naif ini merupakan transisi menuju kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran kritis (critical conscousness). Kesadaran kritis menurut Freire (1974), berkarakteristik dengan interpretasi yang mendalam pada suatu permasalahan, mengganti penjelasan magis dari sebuah permasalahan dengan prinsip kausalitas, berpikiran terbuka, menolak untuk melemparkan tanggung jawab; menolak posisi yang pasif; argumentatif dan berdialog daripada berpolemik. Kondisi kesadaran kritis ini jauh lebih mengaitkan sebuah permasalahan dengan sebuah sistem yang lebih besar daripada melakukan penyederhanaan. Jika dikaitkan dengan konteks korupsi, individu dengan kesadaran kritis cenderung berupaya memahami korupsi dengan cakupan kausalitas yang lebih besar dan juga memahami dampak korupsi tidak sebatas “pencurian” melainkan sebuah langkah “penindasan” masyarakat. Artinya, kesadaran kritis cenderung memandang permasalahan dalam cakupan yang luas, sistemik dan berprinsip kausalitas. Kesadaran kritis menganggap “semua fakta sebagaimana adanya secara empiris dalam korelasi-korelasi kausalitas dari lingkungan (Freire, 1973 dalam Smith, 2010 hlm.86). Pada taraf kesadaran kritis, tidak seperti kesadaran naif, individu tidak menyalahkan individu-individu lain, tetapi justeru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi (Smith, 2010 hlm.80). Konsep kesadaran kritis ini tidak sebatas dimensi kajian sosio politis, namun lebih jauh merupakan kajian psikologis terutama mengenai konsep perkembangan manusia. Smith (2010 hlm.54) menyatakan bahwa konsep Conscientizacao bisa dinilai sebagai sebuah konsep perkembangan yang koheren, dan konsep semacam ini selaras dengan keterebatasan-keterbatasan dan syarat-syarat konseptual dari teori perkembangan lainnya, seperti konsep Piaget, Maslow, Kohlberg, Loevinger dan sebagainya.
Berbeda dengan kesadaran naif dimana seseorang cenderung merasionalisasikan sebuah ketidakadilan dengan asumsi bahwa sistem yang membuat hal tersebut terjadi, kesadaran kritis lebih berfokus pada pemecahan masalah dengan memahami sebuah sistem ketidakadilan dan tergerak untuk melakukan perubahan. Melalui hal ini, kesadaran kritis melibatkan kemampuan kognitif yang lebih kompleks juga melibatkan moralitas dalam menganalisa sebuah permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan yang dikaitkan dengan perilaku korupsi dimana jika masyarakat masih berada dalam kesadaran naif, maka kecenderungan untuk melakukan korupsi akan tinggi dan sebalikya semakin masyarakat sadar secara kritis tentang korupsi, membuat perilaku korupsi bisa dihindarkan. Hal ini menjadi sebuah kajian yang menarik dan perlu dilakukan sebuah penelitian mengenai korelasi antara kedua hal tersebut. Penulis berasumsi bahwa tingkat korupsi berakar dari rendahnya kesadaran kritis masyaarakat. Tulisan ini dapat menjadi sebuah gambaran awal, bagaimana menyusun strategi dari pencegahan perilaku korupsi sejak dini dengan kegiatan penyadaran atau mengacu pada istilah Paulo Freire yakni Conscientizacao. Fenomena korupsi tidak harus melulu difahami dari segi sosio politik dan ekonomis semata, melainkan perlu juga dikaji dalam tataran disiplin ilmu Psikologi. Tulisanan ini merupakan upaya untuk memahami secara kritis tentang perilaku korupsi, yang berfokus pada akar dari permasalahan perilaku dan proses mental.

Minggu, 11 September 2016

√(-1) ♥ π = Aku Mencintaimu


Tidak mudah merumuskan sebuah perasaan dalam simbol Matematika. Karena tentu saja, perasaan bukanlah sebuah kalkulasi, atau sebuah proses transaksi. Perasaan, terkhusus rasa cinta, adalah sebuah konstruk imajiner yang sering kali tak masuk diakal. Karena memang bukan di lobus frontal ia berasal, rasa itu muncul di gerbang sebelum masuk pada bagian rasio. Cinta, yang merupakan bagian dari emosi, di proses di sebuah bagian tengah otak bernama amygdala. Ketika lobus temporal mengindra seseorang, melalui proses equipotesialitas, lalu didistribusikan ke bagian otak lainnya untuk disimpan dalam memori. Saat masuk memori, otak akan menentukan apakah akan masuk ke long-term memory, atau akan dibuang kemudian. Tapi, ada sebuah proses yang berbeda ketika kau lihat orang yang kau cintai, ia akan lama diproses di amygdala sebelum kemudian akan disimpan di memori jangka panjang.
            Rasa suka saat melihat seseorang, di proses melalui amygdala. Tapi, ketika otak menyadari bahwa seseorang yang kau indra, tidak cukup di proses dengan rasa suka, secara cepat dia akan segera di evaluasi dengan mendistribusikannya ke belahan otak lainnya untuk direpresi menjadi memori. Kemudian, semua bagian otak akan me-recall segala hal yang relevan dengannya. Saat, otak lalu menyadari bahwa dia relevan dengan segala yang kau fahami tentang sebuah relasi, lalu lobus frontalis akan memprosesnya secara rasional. Namun, ketika rasio tak mampu mendefinisikan segala kesamaan tentangnya, memori itu akan dikembalikan ke lobus temporalis, dikonfirmasi oleh amygdala didalamnya untuk diproses secara deklaratif: aku mencintaimu.
            Jadilah jelas, rasa cinta bukanlah proses yang mudah dalam otakku. Dirimu, diproses oleh semua bagian otak untuk didefinisikan secara rasional, namun akhirnya tak berhasil. Meski, tak berarti mencintaimu bukan berdasar pertimbangan rasional. Otak rasionalku jelas mendefinisikanmu, tapi kemudian tak jua menemukan jawabannya karena ada keganjilan yang tak bisa dikalkulasikan. Otak depanku, merepresentasikanmu seperti akar minus satu. Otak meng-encoding dirimu berupa bilangan yang tak ada hasil secara rasional. Jangankan kalkulator mendefinisikan akar minus satu, otak rasio saja tak mampu. Tapi kamu menjelma bilangan akar minus satu, karena kamu adalah konstruk imajiner yang tak perlu alasan, juga tak perlu dikalkulasikan. Tapi, dirimu mengandung filosofi: kamu adalah bilangan “i”, tak bisa didefinisikan namun relevan dengan segala yang aku miliki.
            Jika semua realitas yang ada didunia ini berada disumbu X dalam persepsiku, jelas aku adalah sumbu Y untuk mengukurnya. Semua yang ada disekitarku selalu bisa kudefinisikan dengan bilangan rasional: entah mereka bilangan positif, atau mereka berada di sisi negatif. Relatifitas kehidupan bergerak di sumbu X baik sisi negatif maupun positif. Semua bisa kudefinisikan, otakku berhasil meng-encode nya untuk dipilah dalam beberapa skema yang sudah terbentuk. Tapi saat aku menemuimu, kamu adalah akar minus satu, tak bisa otakku meng-encode nya dengan cara yang biasa. Kamu tak bisa dikalkulasikan dan lalu dimasukkan pada satu dari jutaan skema yang kumiliki. Kamu, hanya bisa membuatku membentuk skema baru. Skema yang tak relevan dengan segala relatifitas kehidupan. Kamu hanya bisa masuk pada satu skema: tentang diriku.
            Atas hal itulah, semua jadi jelas kenapa engkau adalah akar minus satu. Karena bilangan imajiner yang melekat padamu, tak diterima dalam sumbu horizontal. Kamu adalah yang membuat segala keganjilan perasaan, menjadi genap berada dalam sumbu yang hanya milikku: Y.
Otakku menyadari, akar minus satu hanya bisa kudefinisikan saat kamu berada di sumbuku. Sebagaimana filosofi akar minus satu, menjadi operator memindahkanmu kedalam sumbuku. Saat kau berada di sumbu Y milikku, semua tentangmu bisa kudefinisikan: semua tentangmu berbeda dengan semua tentang yang ada didunia ini. Kamu hanya bisa menjadi rasional, ketika kamu menjadi aku, berjalan bersama dalam sumbu yang sama.
            Lalu otakku kembali menemukan keganjilan saat secara deklaratif menyebut namamu. Kamu adalah keliling lingkaran tanpa ujung, yang tak pernah sampai pada kesimpulan di bilangan apa kau berakhir. Namamu, saat di encode dalam otakku, disimbolkan dengan angka ganjil yang tak habis dibagi. Engkau adalah keliling, dengan milyaran angka yang tak ada satupun orang dapat menentukan akhirnya. Engkau adalah “Pi”!  angka yang tak pernah ada ujungnya. Itulah kenapa kau tak masuk pada skema manapun tentang dunia. Itulah kenapa lobus temporalku mendeklarasikanmu sebagai Cinta: karena kamu, tak pernah berakhir. Saat aku menyadari kau adalah π, segera aku sadar kamu adalah sosok yang tak pernah berakhir dalam dunia imajiku. Kekagumanku saat mempersepsi dirimu, tak pernah berhasil aku temukan ujungnya. Sumbuku menjadi sangat panjang tak berakhir, saat aku berusaha mendefinisikanmu. “Pi”, kamu berhasil menggambarkan suatu bilangan imaji yang tak pernah berakhir: masa depan. Dan π selalu relevan denganmu dalam dunia imaji dan realitasku.
            Tak mudah mendefinisikan rasa yang kumiliki ini dalam simbol Matematika. Tapi, saat ada kamu didalamnya, aku bisa. Dengan sendirinya, saat aku membayangkanmu, otakku lalu membuat sebuah rangkaian rumus tentangmu :√(-1) ♥ π
Ya, aku mencintaimu  π . Bilangan yang tak bisa ku akhiri.