Jumat, 21 Maret 2014

Pendidikan Berorientasi Masa Depan

Dalam setiap retorika dan wacana politik di Indonesia, selalu saja wacana mengenai Pendidikan Indonesia bernada minor. Pendidikan tak pernah menjadi perhatian utama pihak manapun, termasuk pemerintah sendiri. Isu mengenai kesejahteraan, bantuan langsung, hingga iming-iming peningkatan pendapatan masih menjadi wacana utama. Adapun wacana tentang pendidikan, paling baru menyentuh pada wacana penggratisan pendidikan dasar.

Kenyataan itu memperlihatkan kita: paradigma bangsa kita masih berputar-putar pada persoalan materialistik. Padahal, kemajuan sebuah bangsa tidak dihitung oleh standar-standar material. Kemajuan bangsa diukur dari sejauh mana kualitas masyarakat dari berbagai segi. Kualitas masyarakat ini tak akan pernah bisa dibangun secara instan. Kualitas masyarakat dibangun oleh upaya serius dan konstan dalam bentuk pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan dimasa depan.

Jika kita kaji lebih dalam, praktik pendidikan hari ini semakin dangkal. Pendidikan berorientasi pada kepentingan jangka pendek, instan, dan materialistik. Sehingga, pendidikan yang seyogianya mempersiapkan peserta didik untuk tangguh dalam menghadapi segala kemungkinan dimasa depan, direduksi menjadi langkah untuk mencapai kepentingan sementara. Pola pendidikan di simplifikasi sebagai langkah pencarian hasil-hasil kuantitatif. Kualitas masyarakat dengan pendidikan bak jauh panggang dari pada api: tak ada korelasi.

Pengerdilan pendidikan ini setidaknya adalah akibat dari beberapa kekeliruan-kekeliruan yang masih dipertahankan. Pertama, proses pendidikan masih difahami sebagai proses transformasi pengetahuan saja –bahkan lebih buruk dari itu, transformasi trik jalan pintas- ketimbang transformasi nilai. Proses pendidikan sekadar mempersiapkan siswa untuk menyelesaikan soal ujian, bukan menyelesaikan persoalan kehidupan. Lembaga pendidikan tak lain sekadar mempelajari jalan pintas paling mudah dalam menyelesaikan persoalan. Sehingga, jangan salahkan jika output-nya adalah insan yang manipulatif dan memikirkan keuntungannya sendiri.

Kedua, proses pendidikan di sederhanakan menjadi proses mempermudah mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan masyarakat, bahkan masyarakat yang berada dalam lingkungan pendidikan mengamini bahwa pendidikan adalah cara mudah untuk seseorang mendapatkan pekerjaan. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin tinggi peluang mendapatkan pekerjaan juga pendapatan.

Hal ini menyebabkan tereduksinya hakikat pendidikan sebagai media untuk mengoptimalkan perkembangan, mempertajam pemikiran dan memperhalus perasaan. Pendidikan dipaksa memenuhi orientasi dan ekspektasi peserta didiknya sebagai jalan tol mendapatkan syarat untuk memperoleh pekerjaan. Ijazah dan besaran nilai menjadi orientasi utama ketimbang kualitas pemahaman dan produktifitas pemikiran. Sehigga, pengangguran terdidik tak dapat dielakkan. Sarjana-sarjana, tak mampu memecahkan persoalan kehidupan, karena kadung terbiasa menghapal teori dan mengisi soal ujian.

Kekeliruan ketiga, proses pendidikan menjadi proses transformasi yang feodalistik. Proses pendidikan khususnya mengenai relasi antara guru dan peserta didik, tidak dapat berlangsung secara egaliter. Guru ditempatkan sebagai dewa pengetahuan yang berhak melakukan doktrinasi-doktrinasi pemikiran terhadap peserta didiknya. Sumber pengetahuan bukan lagi berasal dari buku atau literatur, melainkan dari sosok guru yang terkadang kemampuannya terbatas. Buruknya, sumber kebenaran akhirnya dimonopoli. Sehingga, proses pendidikan tak lebih dari bentuk imperialisme pemikiran.

Pola pembelajaran yang berpusat pada guru ini, memicu kekerdilan pemikiran dan hambatan kecerdasan. Betapa tidak, setiap siswa yang memiliki corak berfikir yang berbeda dengan gurunya, dipaksa harus meyakini bahwa pikirannya keliru. Padahal belum tentu, bisa jadi pemikiran baru peserta didik yang tak dapat difahami gurunya tersebut adalah cikal bakal inovasi dan temuan yang besar.

Proses pembelajaran seperti ini akhirnya menjadikan peserta didik tak lebih dari konsumen pengetahuan. Mereka dibiasakan menelan bulat pengetahuan yang diberikan gurunya. Padahal, seharusnya pendidikan menghasilkan peserta didik yang dapat menjadi produsen ilmu pengetahuan, bukan konsumen pengetahuan. Maka, jika banyak disebut bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat konsumtif di segala bidang, kita tau siapa yang membentuknya.

Berdasarkan identifikasi kekeliruan dalam praktik pendidikan diatas, seyogianya pendidikan harus merubah arah paradigma yang asalnya pragmatik materialistik, menjadi paradigma futuristik. Pendidikan harus berorientasi pada masa depan, dimana peserta didik menemukan kehidupan yang sebenarnya. Sehingga, pendidikan menghasilkan output yang siap menghadapi tantangan masa depan, terbiasa memecahkan persoalan kehidupan, dan menjadi produsen ilmu pengetahuan.

Pendidikan yang siap dimasa depan, diejawantahkan dengan bentuk proses belajar mengajar yang menekankan pada keterampilan yang dibutuhkan di masa depan. Griffin (2011) mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan masyarakat pada abad ke 21 yakni salah satunya adalah keterampilan cara bagaimana berfikir yang menekankan pada kreatifitas dan inovasi, berfikir kritis, problem solving, belajar bagaimana belajar dan metakognisi. Selanjutnya, cara bekerja yang menekankan pada keterampilan berkomunikasi dan berkolaborasi.

Bersumber pada definisi ini, proses pendidikan yang berbentuk proses belajar mengajar dikelas tidak lagi dipaksa untuk menghafal, menulis dan mendengarkan materi dan ceramah guru. Proses pembelajaran semestinya memfasilitasi peserta didik kreatif, inovatif, berfikir kritis serta memecahkan persoalan dalam setiap materi pembelajaran. Sebagai contoh, ketika siswa belajar fisika, maka yang diperlukan adalah memfasilitasi kebutuhan dan diarahkan untuk menciptakan temuan-temuan baru yang berasal dari konsep fisika. Peserta didik dilatih mengkritisi teori yang ada, bukan dipaksa menerima. Mereka digiring memecahkan persoalan nyata dalam kehidupan di lingkungannya.

Fungsi guru dalam proses belajar tak boleh menjadi subjek yang menghegemoni pengetahuan. Guru harus berada sebagai fasilitator, dan memiliki posisi yang sejajar dengan peserta didik. Sehingga, tercipta iklim egalitarian dan memudahkan peserta didik untuk berkomunikasi dan berkolaborasi dengan gurunya. Jika iklim kesejajaran ini tercipta, maka peserta didik akan lebih mudah pula berkolaborasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya. Hal inilah yang menjadi cikal bakal keterampilan bekerja yang dibutuhkan dimasa depan. Selain itu, dengan konsep pembelajaran seperti ini, mendorong peserta didik lebih toleran dan menghargai keragaman potensi individu.

Pola seperti ini merubah paradigma pembelajaran yang asalnya teacher centered, menjadi student centered.  Dengan langkah ini, proses pendidikan menjadi proses yang begitu bermakna dan menjadi cikal bakal produktifitas bangsa. Tentunya, Indonesia membutuhkan agen masyarakat yang dapat memberikan solusi, bukan malah menjadi bagian dari masalah. Prodak peserta didik dalam pola ini, mereka terbiasa berfikir mendalam dan memecahkan persoalan nyata. Sudah barang tentu, begitu menghadapi kehidupan nyata dia tak akan kesulitan sehingga tak jadi bagian dari permasalahan. []