Rabu, 29 Oktober 2014

Pengantar Logika

Dalam kehidupan demokrasi, Pers yang sering disebut sebagai pilar keempat, sama dengan tiga pilar lainnya berupaya menegakan kebenaran. Pilar pertama, eksekutif atau pemerintahan harus menyelenggarakan pemerintahan yang benar dan masuk akal sehingga tidak merugikan masyarakat yang diperintah. Pilar kedua, legislatif berupaya menghasilkan produk-produk legislasi yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang benar dan juga tidak merugikan masyarakat. Pilar ketiga, yudikatif juga menyelenggarakan penegakan hukum yang menganut pada kebenaran agar berlaku adil dan tidak merugikan. Begitupun Pers, sebagai bagian dari pilar tegaknya kehidupan bermasyarakat, harus berupaya menganut kaidah-kaidah kebenaran agar juga tidak merugikan masyarakat.

Pertanyaan yang mucul dari pernyataan diatas adalah, bagaimana kita bisa mendapatkan kebenaran tadi? Kebenaran apa yang dianut agar tidak merugikan? Apakah selamanya, yang menguntungkan masyarakat adalah sebuah kebenaran? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin agak sulit dijawab karena akan memunculkan berbagai kemungkinan. Relativitas kebenaran, menjadi batu sandungan ketika menentukan bahwa sesuatu itu benar atau tidak. Lalu, pertanyaan selanjutnya pun muncul: dengan menggunakan apa kita menemukan sebuah kebenaran? Jawabannya adalah : Logika. Logika adalah sebuah alat untuk mendapatkan sebuah kebenaran.

Secara etimologis, logika berasal dari kata benda Logos. Logos berarti sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal. Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:9) logika adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Ada yang menyebut logika ini sebuah ilmu, tapi ada juga yang menyatakan bahwa logika ini merupakan sebuah seni (art) keterampilan untuk berpikir secara lurus, tepat dan teratur. Sebagai teknik dan metode, logika juga disebut sebagai cara untuk meneliti ketepatan berpikir. Logika merupakan cabang filsafat yang mempelajari, menyusun, mengembangkan dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal, prosedur-prosedur, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional (Rapar, 1996).

Buat apa mempelajari logika? Setidaknya ada empat kegunaan logika, pertama, membantu setiap orang untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tepat, tertib, metodis dan koheren; kedua, meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif; ketiga, menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri; keempat, meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kekeliruan serta kesesatan berfikir.

Hukum dasar Logika
    
      Ada empat hukum dasar logika yang merupakan dasar kebenaran umum yang berlaku. Keempat hukum tersebut ialah principium identitatis, principium contradictionis, principium exclusii tertii dan principium rationis sufficientis.
1.    Principium indetitatis (law of identity)
Artinya hukum kesamaan. Merupakan kaidah pemikiran yang menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan “sesuatu itu sendiri”. Jika sesuatu itu p maka p identik dengan p, atau p adalah p.  Dapat pula dikatakan: jika p maka p dan akan tetap p. Misalnya, Kucing, haruslah kucing yang itu yang memiliki kaki empat, berbulu, mengeong. Selamanya, kucing akan tetap itu. Karena identitasnya.
         
2.    Principium Contradictionis (Law of Contradiction)
Hukum kontradiksi adalah kaidah pemikiran yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu pada waktu yang sama adalah "sesuatu itu dan bukan sesuatu itu."  Yang dimaksudkan ialah mustahil ada sesuatu hal yang pada waktu bersamaan saling bertentangan.  Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tidak mungkin p pada waktu yang adalah p dan bukan p.
Sir William Hamilton (1788-1856) menyebut hukum ini sebagai hukum tanpa pertentangan (Law of No Contradiction) karena kaidah itu menegaskan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang pada waktu yang sama saling bertentangan. Misalnya, manusia bukan jin. Tidak bisa, seorang manusia juga seorang jin.
3.    Principium Exclusi Tertii (Law of Excluded Middle)
Hukum penyisihan jalan tengah adalah kaidah yang menjelaskan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain.  Jadi p = q atau p / q.  Dengan kata lain, misalnya sebuah batu haruslah keras atau tidak keras; diam atau tidak diam.
4.    Principium Rationis Sufficientis (Law of Sufficient Reason)
Bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang cukup. Itu berarti tidak ada perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.  Hukum ini merupakan pelengkap hukum identitas.
     Itulah empat hukum kebenaran yang universal dan tidak terbantahkan. Jikalah ada yang tidak sesuai, artinya ada sebuah kesalahan dalam bernalar. Karena, tidak masuk pada akal dan logika. Kesalahan-kesalahan dalam berfikir, sangat dimungkinkan dalam bernalar. Bisa jadi seseorang mengalami kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Berikut adalah beberapa kesalahan umum dalam berfikir yang sering ditemukan.
1.    Argumentum ad Hominem
  Argumentum ad Hominem adalah bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang disampaikan oleh orang lain tetapi justru menuju pada pribadi si pemberi argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat-pikir ketika ia ditujukan menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan. Kalimat populernya adalah: shoot the messenger, not the message. Ada banyak bentuk ad hominem, namun yang paling umum dan dijadikan contoh di sini adalah ad hominem cercaan. Ad hominem termasuk dalah satu sesat-pikir yang paling sering dijumpai dalam debat dan diskusi politik, yang biasanya akan membawa topik ke dalam debat kusir yang tak ada ujung pangkal. Ad hominem tidak sama dengan penghinaan, celaan, atau cercaan. Sejatinya, ad hominem ada dalam premis dan pengambilan kesimpulan berupa logika yang langsung mengarahkan argumennya pada seseorang dibalik suatu argumen. Dan tendensinya bisa saja bukan merupakan penghinaan, namun hanya mengkaitkan dua hal yang tidak berhubungan sama sekali. Sederhananya, bisa dikatakan ad hominem jika itu berupa premis dan kesimpulan, untuk menjatuhkan argumen lawan.

Contoh : “Sarah berkata bahwa Zaki harus jadi presiden BEM universitas X. Bob menjawab dengan apakah kita harus percaya dengan perkataan wanita yang sering gonta-gant pacar, memiliki gaya rambut aneh, dan sering bangun kesiangan.”

2.    Red Herring
  Red Herring adalah argumen yang tak ada sangkut-pautnya dengan argumen lawan, yang digunakan untuk mendistraksi atau mengalihkan perhatian orang dari perkara yang sedang dibahas, serta menggiring menuju kesimpulan yang berbeda. Sesat-pikir ini biasanya akan keluar jika seseorang tengah terdesak. Ia akan langsung melemparkan umpannya ke topik lain, di mana topik lain ini sukar dihindari untuk tidak dibahas. Itu karena biasanya pemilihan topik lain itu ‘baunya’ cukup kuat seperti perumpamaan ikan merah (red herring) atau terasi bagi orang Indonesia (meminjam istilah Herman Saksono), antara lain topik yang aktual atau isu yang cukup dengan lawan debat atau audiens.
Contoh:
Andi: Polisi harusnya menindak tegas para aktivis lingkungan yang berdemo hingga menyebabkan macet di beberapa ruas jalan.
Badu: Anda merasa makin panas dan gerah saat macet kan? Kita harus peduli dengan isu global warming itu, bagaimana opini Anda?
(ketika Andi mengemukakan opininya tentang global warming, maka jatuhlah ia ke dalam topik baru)
3.    Straw Man
  Straw Man yaitu argumen yang membuat sebuah skenario yang dengan suatu imej yang menyesatkan, kemudian menyerangnya. Untuk membuat ‘manusia jerami’ (straw man) adalah dengan membuat ilusi telah menyangkal suatu proposisi dengan mensubstitusinya dengan sesuatu yang mirip namun dangkal dan mudah diserang, tanpa pernah benar-benar menyangkal argumen lawan yang sebenarnya. Seperti namanya, manusia jerami adalah sasaran yang empuk dan mudah untuk diserang. Menyerang manusia jerami yang diciptakan dari manipulasi argumen lawan akan membuat argumen diri sendiri terlihat kuat dan bagus. Pada umumnya, selain terdapat dalam kampanye, manusia jerami ini akan dikeluarkan setelah lawan selesai bicara mengenai perkara yang dibahas.

Contoh : 
A: Seharusnya anak-anak tidak sering makan permen dan es krim, karena tidak baik untuk gigi.
B: Tidak memberi mereka es krim dan permen? Kamu mau merusak masa bahagia mereka sebagai anak-anak?
(Padahal A tidak bilang, anak-anak seharusnya tidak diberi es krim dan permen. A berpendapat „tidak sering makan“, tapi dibesar-besarkan oleh B)

4.    Guilt by Association
  Guilt by Association berciri-ciri tipe generalisasi umum–yang terlalu cepat mengambil kesimpulan–yang meyakini bahwa sifat-sifat suatu hal berasal dari sifat-sifat suatu hal lain. Sesat-pikir ini bisa berupa ad hominem, biasanya dengan menghubungkan argumen dengan sesuatu hal diluar argumen itu, kemudian menyerang si pembuat argumen. Ini adalah bentuk ekstrim dari majas Totum pro parte yang mana berupa seolah-olah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. Intinya adalah mencari kesalahan seseorang dari apa saja yang berkaitan dengannya, lalu jadikan hal tersebut argumen untuk menjatuhkannya.


Contoh: Gusdur banyak bergaul dengan golongan sekuler. Golongan sekuler itu kebanyakan berasal dari Amerika. Pasti Gusdur adalah seorang liberal dan antek-antek Amerika.
(lihat bagaimana dengan mudah menggeneralisasikan seseorang berdasarkan hubungannya dengan hal lain)
5.    Perfect Solution Fallacy
  Perfect Solution Fallacy adalah sesat-pikir yang terjadi ketika suatu argumen berasumsi bahwa sebuah solusi sempurna itu ada, dan sebuah solusi harus ditolak karena sebagian dari masalah yang ditangani akan tetap ada setelah solusi tersebut diterapkan. Asumsinya, jika tidak ada solusi sempurna, tidak akan ada solusi yang bertahan lama secara politik setelah diimplementasi. Tetap saja, banyak orang tergiur oleh ide solusi sempurna, mungkin karena itu sangat mudah untuk dibayangkan.
Contoh:
Penerapan UU Pornografi ini tidak akan berjalan dengan baik. Pemerkosaan akan tetap terjadi.
(argumen yang tidak memperhatikan penurunan tingkat kriminalitas asusila)
6.    Argumentum ad Verecundiam
Argumentum ad Verecundiam terjadi ketika mengacu pada seseorang yang dianggap positif sebagai pakar atau ahli sehingga apa yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. Otoritas kepakaran seseorang yang mengucapkan suatu hal tersebut kemudian otomatis diakui sebagai sesuatu yang pasti benar, meskipun otoritas itu tidak relevan
Contoh:
Andi mengatakan Zina itu boleh karena Ustadznya mengajarkan demikian, Budi mengatakan sebaliknya dengan Argumen yang diberikan berdasarkan apa yang diajarkan Al-Qur’an.
dalam hal ini Andi melakukan kesesatan berpikir Argumentum  Ad Verecundiam, karena Andi menggunakan Otoritas yang salah.
7.    Poisoning the Well
Poisoning the Well adalah sesat-pikir yang mencegah argumen atau balasan dari lawan dengan cara membuat lawan dianggap tercela dengan berbagai tuduhan bahkan sebelum lawan sempat bicara. Teknik meracuni sumur ini lebih licik dari sekadar mencela lawan karena akan membuatnya menghina diri sendiri karena menyambut argumen yang telah diracuni tersebut.
Contoh:
Kami menduga Metro TV akan melakukan negative campaign untuk menjatuhkan Prabowo.
(dan apa yang Metro TV beritakan tentang Prabowo dalam akan dianggap sebagai upaya menjatuhkan Prabowo/Gerindra)
8.    Argumentum ad Temperantiam
Argumentum ad Temperantiam adalah kesesatan yang menyatakan bahwa pandangan pertengahan adalah sesuatu yang benar tanpa peduli nilai-nilai lainnya. Serta juga menganggap jalan tengah sebagai pertanda kekuatan suatu posisi. Meskipun dapat menjadi nasihat yang bagus, namun kesesatannya disebabkan karena ia tak punya dasar yang kuat dalam argumen karena selalu berpatokan bahwa jalan tengah adalah yang benar. Penggunaannya kadang dengan membuat-buat posisi lain sebagai posisi yang ekstrim.
Contoh:
Daripada mendukung komunisme atau mendukung kapitalisme, lebih baik ideologi Pancasila yang merupakan jalan tengah keduanya.
(sedikitpun tidak menjabarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem)
9.    Ipse-dixitism
Ipse-dixitism adalah argumen dengan dasar keyakinan yang dogmatis. Seseorang yang menggunakan Ipse-dixitism mengasumsikan secara sepihak premisnya sebagai sesuatu yang disepakati, padahal tidak demikian. Premis yang diajukan dalam argumen seolah-olah merupakan fakta mutlak dan telah disepakati bersama kebenarannya, padahal itu hanya dipegang oleh pemberi argumen, tidak bagi lawannya. Sesat-pikir ini akan berujung pada debat kusir.
Contoh:
Ideologi liberalis dan kapitalis telah terbukti gagal dan hanya menyengsarakan rakyat, karena itu harus diganti dengan sistem spiritual.
(ideologi yang gagal itu belum disepakati lawan bicaranya, jadi bagaimana langsung dapat menggulirkan solusi?)
10. Proof by Assertion
Proof by Assertion adalah kesesatan dimana suatu argumen terus-menerus diulang tanpa mengacuhkan kontradiksi terhadapnya. Kadang ini diulang hingga diskusi pun jenuh, dan pada titik ini akan dianggap sebagai fakta karena belum dikontradiksi. Sesat-pikir ini sering digunakan sebagai retorika oleh politikus, atau dalam debat sebagai usaha menggagalkan penetapan suatu undang-undang dengan pidato yang amat panjang dan tak habis-habis. Dalam bentuk yang lebih ekstrim lagi, juga bisa menjadi salah satu bentuk pencucian otak. Penggunaannya dapat diamati dari penggunaan slogan politik yang terus-menerus diulang.
Contoh:
Ambil uangnya, jangan pilih orangnya! Karena, kita tidak boleh membiarkan korupsi disekitar kita. Maka apabila ada politikus, menyogok, maka ambil saja uangnya tapi jangan pilih orangnya. Benar kan? Kalau kita memilih orangnya, maka dia akan korupsi. Maka dari itu, ambil saja uangnya tapi orangnya jangan dipilih
 [dan seterusnya, berbelit-belit] (selama dua bulan cuek terhadap argumen balasan dan terus mengulang perkara yang sama)
11. Two Wrongs Make a Right
Two Wrongs Make a Right adalah kesesatan yang terjadi ketika diasumsi bahwa jika dilakukan suatu hal yang salah, tindakan salah yang lain akan menyeimbanginya. Sesat-pikir ini biasa digunakan untuk menggagalkan tuduhan dengan menyerang tuduhan lain yang juga dianggap salah.
Contoh:
Dedi: Soeharto merebut kekuasaan dari Bung Karno dan akhirnya ia berkuasa dengan tangan besi.
Amir: Tapi Soekarno juga mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup!
(ya, tapi itu bukan berarti apa yang dilakukan Soeharto itu benar)
12. Argumentum ad Novitam
Argumentum ad Novitam muncul ketika sesuatu hal yang baru dapat dikatakan benar dan lebih baik, dengan mengasumsikan penggunaan hal yang baru berbanding lurus dengan kemajuan zaman dan sama dengan kemajuan baru yang lebih baik. Sesat-pikir ini selalu menjual kata ‘baru’, dengan menyerang suatu hal yang lama sebagai hal yang gagal dan harus diganti dengan yang lebih baru.
Contoh:
Mengganti golongan tua dengan golongan muda serta wajah baru di parlemen akan membuat negara ini lebih baik.
(tapi masalah seperti korupsi bukan perkara tua atau muda)
13. Argumentum ad Antiquitam
Kebalikan dari Argumentum ad Novitatem, ketika sesuatu benar dan lebih baik karena merupakan sesuatu yang sudah dipercaya dan digunakan sejak lama. Argumen ini adalah favorit bagi golongan konservatif. Nilai-nilai lama pasti benar. Patriotisme, kejayaan negara, dan harga diri sejak puluhan tahun silam. Sederhananya, sesat-pikir ini adalah kebiasaan malas berpikir. Dengan selalu berpatokan bahwa cara lama telah dijalankan bertahun-tahun, maka itu dianggap sesuatu yang pasti benar.
Contoh:
PDI-Perjuangan telah memperjuangkan nasib wong cilik sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, maka pilihlah moncong putih.
(berpuluh-puluh tahun berjuang, lalu apa hasilnya?)

14. False Dichotomy 
False Dichotomy atau False Dilemma terjadi apabila argumen hanya melibatkan dua opsi, yang seringkali berupa dua titik ekstrim dari beberapa kemungkinan, di mana masih ada cara lain namun tidak disertakan ke dalam argumen. Biasanya sesat-pikir ini menyempitkan opsi menjadi dua saja, walaupun masih ada opsi lain. Bahkan kadang-kadang menyempitkan opsi menjadi satu, sehingga seolah-olah mau tidak mau harus menyetujuinya.
Contoh:
Sistem pendidikan yang fraksi kami ajukan harus segera disahkan dan dilaksanakan, jika tidak, kemerosotan moral pasti akan menghinggapi generasi muda kita.

(opsi lainnya tidak disertakan sehingga membuat argumennya mau tidak mau harus disetujui)

Kamis, 16 Oktober 2014

PENDIDIKAN SEKS! BUKAN PACARAN SEHAT.

Akhir-akhir ini, media sosial dihebohkan oleh buku Kurikulum 2013 terbitan Kemendikbud. Bukan karena keterlambatan pengiriman seperti biasanya, tapi justeru karena konten didalamnya. Masyarakat dihebohkan oleh munculnya materi gaya pacaran sehat yang tercantum dalam buku Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan kelas XI. Konten dari buku Kurikulum 2013 ini, sontak menimbulkan pro kontra dan polemik. Pasalnya, tak semua setuju bahwa pacaran merupakan sesuatu yang dibolehkan.

Ada yang menyatakan, bahwa dalam agama Islam, pacaran tidak dikenal. Sehingga, tidak dibenarkan bahwa siswa melakukan pacaran. Ada juga yang menyatakan, salah satunya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M.Nuh, bahwa pacaran tidak bisa dilarang karena merupakan realita sosial. Sepertinya yang paling mengecam munculnya materi ini adalah – meminjam  istilah M.Nuh – kelompok Islam Terpadu. Ini wajar saja, pasalnya gambar yang mengiringi materi Pacaran Sehat tersebut adalah sepasang laki-laki dan perempuan berjilbab dan berpeci yang kental dengan ciri khas Islami. Seolah, ingin menggambarkan adanya sebuah kesan pacaran dengan gaya yang islami.

Terlepas dari pro kontra dan polemik tersebut, yang menarik adalah diamininya oleh Mendikbud adanya Pacaran Sehat. Seolah, bahwa pacaran itu sesuatu yang dibolehkan bagi remaja, asal tidak melakukan hal-hal yang diluar batas. Logika ini sepertinya terlalu naif dan dangkal. Seperti halnya, membolehkan seorang anak masuk ke dalam kandang singa, asal tidak mengganggu tidurnya. Sekilas memang terdengar suatu hal yang benar, tapi menafikan kenyataan bahwa pada suatu waktu sang singa akan terbangun dan menerkam.

Hal-hal diluar batas, seperti melakukan ciuman, petting bahkan hingga berhubugan seksual yang dipagari oleh Kemendikbud melalui materi tersebut, sangatlah tidak masuk akal. Coba kita fikirkan, apakah akan terjadi seorang anak melakukan kegiatan-kegiatan seksual tanpa sebelumnya memiliki hubungan? Sebaliknya, justeru pemicu utama anak melakukan kegiatan seksual adalah karena adanya pemicu seperti kedekatan dan hubungan berpacaran. Aktifitas seksual, hanya akan terjadi jika antara kedua belah pihak memiliki perasaan emosional, kepercayaan, kepasrahan dan alasan kenapa kegiatan itu boleh dilakukan. Pacaran, bisa jadi merupakan pintu masuk dari semua itu.

L.C Jensen (Sarwono:2010), pernah melakukan penelitian mengenai hal ini. Jensen menemukan, bahwa para remaja perempuan yang hamil diluar nikah, mereka melakukan hubungan intim diakibatkan oleh fantasi-fantasi tentang kemesraan dan cinta. Fantasi-fantasi itu, diproyeksikan kepada seseorang yang dekat dengannya, yang jika ia berpacaran yaitu kepada pacarnya. Yang menarik, dari remaja-remaja yang hamil tersebut, hampir justeru merasa tabu, tidak tertarik bahkan jijik membicarakan atau mendengarkan lelucon yang berbau seksual.

Temuan jensen tersebut memperlihatkan bahwa, pertama, bahwa hubungan intim sangat berpeluang terjadi dan dipicu oleh pacaran itu sendiri. Meskipun hal itu pacaran sehat – yang  sebetulnya apakah ada yang namanya pacaran sehat? – apakah bisa menjamin, remaja tidak berfantasi tentang cinta dan kemesraan (bukan fantasi cabul) ketika ‘pacaran sehat’. Kedua, yang diperlukan remaja bukan bolehnya pacaran dengan rambu-rambu Kemendikbud, tetapi justeru yang diperlukan adalah pendidikan seks! Sehingga, jika Mendikbud menyatakan bahwa “pacaran saja dimarahi, apalagi sex education”, sungguh menggelikan.

Kurangnya informasi dan pendidikan tentang seks, dari berbagai penelitian memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku seks bebas. Informasi mengenai Seks melalui pendidikan seksual, jauh lebih diperlukan ketimbang kebolehan tentang pacaran dengan rambu Kemendikbud. Melalui pendidikan seksual, siswa mengetahui berbagai macam fungsi dan bahaya hubungan seksual. Pendidikan seks, dapat menjadi menjadi upaya preventif agar aktifitas seksual tidak dilakukan, yang salah satunya dimulai dengan pacaran.

Maka dari itu, seperti temuan Jensen tadi, bahwa kurangnya informasi tentang perilaku seksual, justeru berkorelasi dengan tingginya kehamilan diluar nikah. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah pendidikan seks. Seks tidak boleh dianggap tabu untuk dibicarakan remaja. Remaja perlu pengetahuan yang lurus tentang seks. Sebaliknya, langkah Kemendikbud menerbitkan materi berpacaran seakan membenarkan dan membolehkan pacaran dilakukan remaja. Sehingga, langkah ini hanya membuka pintu untuk remaja tersesat, bukan menunjukkan jalan yang benar.