Kamis, 16 Oktober 2014

PENDIDIKAN SEKS! BUKAN PACARAN SEHAT.

Akhir-akhir ini, media sosial dihebohkan oleh buku Kurikulum 2013 terbitan Kemendikbud. Bukan karena keterlambatan pengiriman seperti biasanya, tapi justeru karena konten didalamnya. Masyarakat dihebohkan oleh munculnya materi gaya pacaran sehat yang tercantum dalam buku Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan kelas XI. Konten dari buku Kurikulum 2013 ini, sontak menimbulkan pro kontra dan polemik. Pasalnya, tak semua setuju bahwa pacaran merupakan sesuatu yang dibolehkan.

Ada yang menyatakan, bahwa dalam agama Islam, pacaran tidak dikenal. Sehingga, tidak dibenarkan bahwa siswa melakukan pacaran. Ada juga yang menyatakan, salah satunya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M.Nuh, bahwa pacaran tidak bisa dilarang karena merupakan realita sosial. Sepertinya yang paling mengecam munculnya materi ini adalah – meminjam  istilah M.Nuh – kelompok Islam Terpadu. Ini wajar saja, pasalnya gambar yang mengiringi materi Pacaran Sehat tersebut adalah sepasang laki-laki dan perempuan berjilbab dan berpeci yang kental dengan ciri khas Islami. Seolah, ingin menggambarkan adanya sebuah kesan pacaran dengan gaya yang islami.

Terlepas dari pro kontra dan polemik tersebut, yang menarik adalah diamininya oleh Mendikbud adanya Pacaran Sehat. Seolah, bahwa pacaran itu sesuatu yang dibolehkan bagi remaja, asal tidak melakukan hal-hal yang diluar batas. Logika ini sepertinya terlalu naif dan dangkal. Seperti halnya, membolehkan seorang anak masuk ke dalam kandang singa, asal tidak mengganggu tidurnya. Sekilas memang terdengar suatu hal yang benar, tapi menafikan kenyataan bahwa pada suatu waktu sang singa akan terbangun dan menerkam.

Hal-hal diluar batas, seperti melakukan ciuman, petting bahkan hingga berhubugan seksual yang dipagari oleh Kemendikbud melalui materi tersebut, sangatlah tidak masuk akal. Coba kita fikirkan, apakah akan terjadi seorang anak melakukan kegiatan-kegiatan seksual tanpa sebelumnya memiliki hubungan? Sebaliknya, justeru pemicu utama anak melakukan kegiatan seksual adalah karena adanya pemicu seperti kedekatan dan hubungan berpacaran. Aktifitas seksual, hanya akan terjadi jika antara kedua belah pihak memiliki perasaan emosional, kepercayaan, kepasrahan dan alasan kenapa kegiatan itu boleh dilakukan. Pacaran, bisa jadi merupakan pintu masuk dari semua itu.

L.C Jensen (Sarwono:2010), pernah melakukan penelitian mengenai hal ini. Jensen menemukan, bahwa para remaja perempuan yang hamil diluar nikah, mereka melakukan hubungan intim diakibatkan oleh fantasi-fantasi tentang kemesraan dan cinta. Fantasi-fantasi itu, diproyeksikan kepada seseorang yang dekat dengannya, yang jika ia berpacaran yaitu kepada pacarnya. Yang menarik, dari remaja-remaja yang hamil tersebut, hampir justeru merasa tabu, tidak tertarik bahkan jijik membicarakan atau mendengarkan lelucon yang berbau seksual.

Temuan jensen tersebut memperlihatkan bahwa, pertama, bahwa hubungan intim sangat berpeluang terjadi dan dipicu oleh pacaran itu sendiri. Meskipun hal itu pacaran sehat – yang  sebetulnya apakah ada yang namanya pacaran sehat? – apakah bisa menjamin, remaja tidak berfantasi tentang cinta dan kemesraan (bukan fantasi cabul) ketika ‘pacaran sehat’. Kedua, yang diperlukan remaja bukan bolehnya pacaran dengan rambu-rambu Kemendikbud, tetapi justeru yang diperlukan adalah pendidikan seks! Sehingga, jika Mendikbud menyatakan bahwa “pacaran saja dimarahi, apalagi sex education”, sungguh menggelikan.

Kurangnya informasi dan pendidikan tentang seks, dari berbagai penelitian memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku seks bebas. Informasi mengenai Seks melalui pendidikan seksual, jauh lebih diperlukan ketimbang kebolehan tentang pacaran dengan rambu Kemendikbud. Melalui pendidikan seksual, siswa mengetahui berbagai macam fungsi dan bahaya hubungan seksual. Pendidikan seks, dapat menjadi menjadi upaya preventif agar aktifitas seksual tidak dilakukan, yang salah satunya dimulai dengan pacaran.

Maka dari itu, seperti temuan Jensen tadi, bahwa kurangnya informasi tentang perilaku seksual, justeru berkorelasi dengan tingginya kehamilan diluar nikah. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah pendidikan seks. Seks tidak boleh dianggap tabu untuk dibicarakan remaja. Remaja perlu pengetahuan yang lurus tentang seks. Sebaliknya, langkah Kemendikbud menerbitkan materi berpacaran seakan membenarkan dan membolehkan pacaran dilakukan remaja. Sehingga, langkah ini hanya membuka pintu untuk remaja tersesat, bukan menunjukkan jalan yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar