Selasa, 26 November 2013

GURU DAN DOKTRIN KEPAHLAWANANNYA

Sanjungan kepada sosok Guru yang disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, sepertinya mengandung makna yang bisa jadi terlalu berlebihan dan bisa jadi ada benarnya juga. Yang jelas, doktrin absurd yang turun temurun ini perlu diuji kebenarannya dan dibenturkan dengan kondisi riilnya. Harus dipertanyakan, betulkah sanjungan itu masih relevan atau hanya sekadar sakralisasi yang bisa jadi hanya mitos belaka?

Pertanyaan ini tak hendak merendahkan kehormatan profesi Guru. Namun, pertanyaan ini perlu juga dipertimbangkan sebagai bahan introspeksi. Agar para Guru tidak terlena oleh sanjungan-sanjungan agung, namun malah menjadi blunder yang membuat Guru malu sendiri karena dalam kenyataannya tak terbukti. Sebuah wibawa dan pujian tak lahir dari sekedar keyakinan dan doktrin turun temurun. Melainkan, hasil dan bukti nyata dari usaha yang dilakukan.

Penulis jadi teringat obrolan bersama kawan-kawan tentang apa yang melekat dalam ingatan jika mendengar kata Guru. Kebanyakan, yang mereka ingat adalah memori-memori negatif seperti, Gurunya yang galak, Gurunya yang mengancam tak beri nilai jika tak beli LKS, bahkan hingga pengalaman pernah dilecehkan Guru didepan kelas. Bahkan, kemarin pagi, salah seorang presenter televisi swasta berujar bahwa yang dia ingat dari Guru adalah sosok yang selalu membawa tongkat kayu panjang untuk memukul muridnya yang menurut sang Guru “nakal”.

Atas segala yang pernah dialami kawan saya sewaktu di sekolah, mereka tak pernah sekali diberi kesempatan untuk memberikan kritik atas perilaku negatif Gurunya. Atau setidaknya konfirmasi atas sebab kenakalannya, tak pernah sekalipun diberi kesempatan. Akhirnya murid dihukum tanpa konfirmasi. Takut untuk mengkritik, bahkan segan untuk hanya sekadar bertanya kenapa. Guru bak dewa yang selalu benar, dan murid diposisikan sebagai orang yang perlu diajari dan dibetulkan sikapnya.

Menarik mencermati pendapat Guru Besar Emeritus FPIPS UPI, Said Hamid Hasan yang ditulis di media ini. Katanya, sikap mampu bertanya adalah inti dari pola critical thinking. Lemahnya siswa dalam kemampuan berpikir kritis, katanya merupakan kunci lemahnya pendidikan di Indonesia. Perilaku Guru yang arogan seperti yang penulis contohkan tadi, serta perilaku Guru bak dewa yang menciptakan pola hubungan feodalistis dengan siswa, menjadikan siswa tidak memiliki keberanian untuk bertanya apalagi berfikir kritis.

Sehingga, jika memakai logika itu, tidakkah berarti Guru-lah yang menjadi subjek kunci lemahnya pendidikan di Indonesia? Atas kondisi nyata ini, masih relevankah atau setidaknya apakah tidak terlalu berlebihan, memberi sanjungan Guru sebagai pahlawan? Sekali lagi, tidak berarti melecehkan pengabdian Guru, namun hanya sebagai bahan introspeksi agar para Guru tak terlena dan merasa terlegitimasi menjadi sosok bak dewa di sekolah.

Lucunya, terkadang saat Guru melakukan kesalahan, dengan naifnya sang Guru berkata bahwa, Guru juga manusia. Sikap keras dengan dalih penegakan disiplin di sekolah yang kadang tanpa dasar dan indikator yang jelas dalam menjudge murid, sehingga terkesan bahwa Guru lah yang paling benar di sekolah, oleh dirinya sendiri di negasi bahwa dirinya juga tak luput dari kesalahan. Sikap plintat-plintut ini, menurut penulis, bukanlah karakter seorang pahlawan.

Tapi, terkadang melihat kenyataan, miris juga melihat nasib Guru. Frasa “tanpa tanda jasa” yang melekat pada Guru, bisa jadi ada benarnya. Dalam tajuk media ini, disebutkan bahwa gaji para “Pahlawan” ini, tidak lebih besar dari UMK buruh pabrik. Sungguh malang para pendidik negeri ini. Ini bukti bahwa ilmu pengetahuan tak ada harganya di negeri yang katanya mendambakan kemajuan.

Seolah-olah, sanjungan “Pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi sebuah pembenaran, bahwa Guru tak perlu digaji berkecukupan. Seolah, Guru hanya perlu dipuji tanpa perlu dikasihani. Namun realitanya, pada akhirnya Guru tak bisa kenyang dihargai dengan pujian meski berlebihan. Guru perlu penghidupan. Karena, Guru juga manusia yang punya berbagai kebutuhan. Mana bisa Guru konsentrasi untuk mendidik putra putri negeri, jika pikirannya saja masih terbebani biaya hidup yang semakin meninggi.