Kamis, 26 September 2013

BAHAYA PSIKOLOGIS UJIAN NASIONAL

Keengganan pemerintah untuk segera meniadakan penyelenggaraan UN perlu dipertanyakan dasarnya. Jika dianalisa secara psikologis, penyelenggaraan UN seperti ini sangat berbahaya bagi siswa. Salah satu gejala yang akan muncul salah satunya adalah Academic Burnout.

Academic Burnout secara teoritis merupakan kondisi dimana siswa telah mengalami kelelahan yang hebat dalam belajar. Schaufeli et al (2002) menjelaskan bahwa academic burnout merujuk pada situasi perasaan keletihan dikarenakan tuntutan belajar, memperlihatkan sikap sinis dan menghindari dari pembelajaran, merasa tidak kompeten atau merasa tak mampu sebagai pelajar.

Pada awalnya, Burnout identik dengan kondisi pekerja yang mengalami stress diiringi kelelahan fisik dan emosional. Freudeunberger (1974) menganalogikan kondisi ini seperti gedung yang terbakar habis (burnout) dimana secara fisik masih utuh namun isinya (jiwanya) terbakar habis. Penelitian terbaru memaparkan, kondisi ini tidak hanya terjadi di kalangan pekerja, melainkan siswa pun sangat rentan mengalami burnout. Artinya, sekolah telah tak jauh beda seperti bekerja.

Penyelenggaraan UN yang pada faktanya hanya menuntut pemenuhan standar kuantitatif dari hasil pembelajaran menjadikan sekolah tak ubahnya seperti bekerja. Kartadinata (2010) menyatakan, ekspektasi standar serta ukuran kuantitatif dalam proses pembelajaran pada akhirnya memicu terjadinya simplifikasi proses pendidikan yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan dan kerapuhan kehidupan bangsa.

Simplifikasi yang dimaksud adalah berupa pemusatan tujuan pada tujuan individual yang bersifat intelektual yang diukur melalui ujian, sehingga siswa dipaksa untuk memenuhi harapan standar tersebut yang menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik. Kondisi ini menjadi sebuah pemicu siswa mengalami burnout dalam pembelajaran.

Burnout dalam setting belajar diakibatkan oleh tingginya tuntutan sekolah dan belajar kepada siswa. Penyelenggaraan UN di sekolah bagi siswa merupakan satu sumber tekanan psikologis tersendiri. Tuntutan pemenuhan nilai yang bersifat kuantitatif yang terkesan dipaksakan, belum lagi tuntutan citra sekolah menjadikan kondisi stress dan burnout tak terelakkan lagi. Hal ini sudah menjadi alasan kuat bahwa ujian nasional harus segera dihentikan.

Academic Burnout menghantarkan siswa mengalami kejenuhan emosional, kecenderungan berkurangnya keaktifan fisik dan emosional, serta rendahnya keinginan untuk sukses. Dampak yang muncul pada saat siswa mengalami kondisi ini ialah memicu keengganan hadir dalam kelas, rendahnya motivasi belajar, hingga tingginya angka drop out (Aypay, 2011).

Bahkan penelitian terakhir menyebutkan, academic burnout akan memicu gejala lain yang lebih parah. Salah satunya adalah hasil penelitian dari Salmela –Aro (2008) yang menyatakan bahwa kondisi burnout di sekolah bagi siswa harus segera mendapat perhatian serius, karena akan menggiring siswa mengalami gejala-gejala depresi.


Dari berbagai fakta diatas, maka tak ada alasan lagi UN harus dipertahankan. Pemerintah terutama Kemendikbud jangan bertindak egois dengan tetap mempertahankan UN sebagai alat untuk mengukur mutu pendidikan. Alasan tersebut adalah alasan yang sangat irrasional. Jika melihat dampak buruknya, ujian nasional tidak meningkatkan mutu pendidikan,  melainkan -meminjam istilah Sunaryo Kartadinata- akan hanya menghasilkan masyarakat yang sakit (sane society).

Kamis, 19 September 2013

MEMBEBASKAN PENDIDIK DARI TRADISI FEODALISME

Peran sentral pendidik sebagai agen yang mempersiapkan generasi baru, dituntut untuk lebih adaptif dalam menghadapi pesatnya era global. Dalam proses belajar mengajar, pendidik harus mempersiapkan langkah yang revolusioner. Mereka dituntut membebaskan fikirannya dari konservatisme.

Para pendidik harus pandai menuntut diri untuk membebaskan fikirannya dari belenggu paradigma pedagogis yang telah usang. Karena, jika sikap para pendidik masih cenderung konservatif dalam melaksanakan proses pendidikan, maka hasilnya hanya melahirkan generasi yang tak mampu beradaptasi dalam perkembangan zaman.

Setidaknya penulis mengidentifikasi beberapa paradigma usang yang perlu untuk segera dirubah demi melahirkan generasi era baru. Salah satunya, pola interaksi antara guru dan murid yang feodalistis. Banyak yang menilai, pola hubungan pedagogis memang berimplikasi pada sistem yang cenderung feodal. Posisi pendidik harus lebih tinggi dan “terhormat” daripada murid karena terkait pola transformasi ilmu yang berasal dari guru dan dikonsumsi oleh para peserta didik.

Paradigma ini sungguh telah usang dan sungguh kolot. Faktanya, budaya feodal hanyalah menghasilkan generasi yang tak percaya diri dan cenderung koruptif. Dampak dari lestarinya sistem ini, menjadikan terpatri dalam fikiran bahwa yang berhak dilayani adalah masyarakat dari kalangan terhormat atau yang memiliki kekayaan. Sehingga, tindakan korupsi tak lagi terelakkan, misalnya karena tak bisa menolak permintaan atasan atau demi menghormati atasan,  sogokan dan gratifikasi berubah makna menjadi “menghargai” atau “menghormati”.

Selain itu, pola interaksi antara guru dan murid yang feodal, hanya melahirkan generasi yang konsumtif. Jika dalam proses belajar mengajar, guru menanamkan bahwa sumber ilmu adalah dirinya, maka murid diposisikan sebagai konsumen. Padahal, masa depan menuntut generasi yang produktif yang dapat senantiasa melahirkan ilmu. Kebanyakan para murid hari ini, dibentuk sebagai konsumen ilmu. Akhirnya, konstruk fikirannya dalam sikap belajar adalah senantiasa mengonsumsi bukan memproduksi.

Untuk hal yang satu ini, perlu sekali menjadi tekanan penting. Masa depan menuntut orang untuk merubah caranya dalam mendapatkan ilmu. Dalam hal ini seorang filsuf pendidikan, Paolo Freire berkomentar, “cara memperoleh pengetahuanlah yang menjadi salah satu masalah dalam lapangan pendidikan yang perlu dipecahkan oleh sebuah masyarakat yang revolusioner. Sebuah masyarakat yang revolusioner seharusnya melihat bahwa usaha memperoleh pengetahuan itu menuntut diri mereka berperan sebagai subjek – pencipta (creator), pencipta kembali (recreator), dan penemu ulang (reinvetor),” (Freire, 2000:12).

Dalam tuntutan kekinian, yang harus dikembangkan dalam sistem interaksi antara guru dan murid adalah sistem yang egalitarian. Guru harus berbesar hati untuk berada sejajar dengan murid. Fungsi dari guru tak lagi bak dewa yang selalu benar, tapi merupakan bagian dari proses belajar. Proses transformasi pengetahuan dalam kegiatan belajar mengajar menjadi multi arah. Peserta didik diperlakukan sebagai subjek belajar, bukan menjadi objek mengajar.

Freire sempat memberikan wejangan dalam hal ini, “jika dikotomi antara mengajar dan belajar sampai menyebabkan pihak yang mengajar tidak mau belajar dari peserta didik yang diajarnya, berarti sebuah ideologi dominasi mulai tumbuh (Freire, 2000:8). Statement tersebut bermakna bahwa baik guru maupun murid merupakan subjek yang sama-sama saling belajar.

Sekolah hari ini, harus di isi oleh para pendidik yang revolusioner. Para pendidik harus berani memecah rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang telah usang. Perlu para pendidik sadari bahwa pola feodalistis di sekolah merupakan warisan era kolonialis yang tak perlu dipertahankan. Para pendidik era baru harus menyadari bahwa dirinya sedang berada di peran sentral dalam mempersiapkan generasi baru untuk lebih siap dalam mengisi dan turut menjadi bagian dari masyarakat dunia (world citizen) yang mesti siap mengikuti arus perkembangan.