Kamis, 17 Mei 2012

Sebuah Hipotesa : Mengkonseling Diri Sendiri?

Selamat waktu anda membaca tulisan ini! Bertemu lagi dengan tulisan saya, sudah lama kiranya saya tak menulis. Kesibukan saya bersenang-senang sungguh menguras energi dan waktu, akhirnya saya jadi jarang menulis disini. Namun, sekarang saya menulis lagi, dikala bosan, saya jadi mendapatkan sebuah inspirasi, selamat membaca.. :D
Begini kawan,
Pernahkah kawan-kawan calon konselor bertanya kenapa kita tidak bisa mengkonseling diri sendiri? Kawan pernah berharap dan mencoba untuk dapat mengkonseling diri sendiri, atas permasalahan yang tengah menimpa? Dan itu selalu gagal? Kenapa?
Mari kita coba mengkaji persoalan ini, pasalnya ini hal yang mendasar yang perlu difahami secara komprehensif. Kita tahu bahwa tugas konselor adalah untuk membantu klien/konseli yang tengah mendapatkan permasalahan. Namun, suatu fenomena terjadi bahwa kita jarang berhasil untuk menerapkan ilmu konseling kepada diri kita sendiri.
Ini mungkin terdengar klasik, namun ini menjadi suatu kajian yang menarik jika didalami. Baiklah, kita mulai analisa mengenai persoalan kenapa masalah itu muncul. Dalam konsep Psikodinamika, suatu permasalahan muncul disaat terdapat konflik antara das Es, das Ich dan das Uber Ich. Sederhananya ialah, saat apa yang diharapkan (dinamika das Es) tidak sesuai dengan apa yang didapatkan. Tapi teori tentang masalah, tentunya banyak sekali apalagi dipandang dari berbagai perspektif. Namun, sederhananya, katakanlah seperti itu.
Dalam kacamata Psikodinamika, segala hal yang identik dengan aktifitas psyche, merupakan sebuah energi.  Lebih tegas, mbah Freud menekankan bahwa energi ini pada dasarnya berasal dari dinamika das Es tadi.  Artinya, segala kebutuhan yang sifatnya biologis atau kebutuhan dasar merupakan sumber energi. Selanjutnya, energi yang dihasilkan lalu didistribusikan kepada das Ich dan das Uber Ich, yang lebih lanjut proses ini disebut sebagai Identifikasi.
Konsep identifikasi ini, dicetuskan oleh Freud tentunya sebagai sang empu Psikodinamika. Meskipun awalnya Freud menyebut Identifikasi ini merujuk pada mekanisme distribusi energi das Es, das Ich dan das Uber Ich, namun selanjutnya Identifikasi ini tak hanya dibatasi oleh internal diri, namun juga dapat dilakukan untuk distribusi kepada jiwa yang lainnya (Semiun, 2006). Artinya, saluran energi yang dihasilkan das Es ini dapat disalurkan pula kepada pribadi yang lain.
Hal ini yang menjadi titik tolak hipotesa saya tentang kenapa kita tidak dapat mengkonseling diri sendiri. Dalam jiwa kita, dinamika kepribadian senantiasa beraktifitas dan didistribusikan secara seimbang. Itu memang idealnya, namun pada saat muncul apa yang disebut sebagai “masalah”, maka dapat diartikan bahwa masalah itu merupakan sebuah energi yang menumpuk dan tak dapat didistibusikan.
Timbunan energi jiwa kita akan terus menumpuk seiring dengan tidak adanya Identifikasi yang seimbang dalam dinamika struktur kepribadian. Maka dari itu, semakin kita memikirkan masalah itu bagaimana untuk dapat segera diatasi, maka sebenarnya das Es tengah mengeluarkan energi-energi yang baru. Karena, pada dasarnya das Es menginginkan diri untuk tidak mengalami masalah. Sebuah keinginan das Es inilah yang merupakan sebuah “masalah”.
Timbunan konflik dari das Es, das Ich dan das Uber Ich ini, di saat Identifikasi tidak berjalan dengan baik, atau dengan kata lain tidak disalurkan, maka semakin lama akan semakin membuat fikiran kita kacau. Sebuah analogi mengenai hal ini, kita ibaratkan sebagai segelas kopi panas. Air kopi yang suhunya panas, jika derajat suhunya terus naik, maka yang terjadi adalah gelas yang pecah akibat kapasitas gelas untuk menahan panas sudah terlalu overheat. Begitupun dengan jiwa kita, semakin masalah dalam diri kita terus dirangsang untuk menghasilkan energi yang baru, maka yang terjadi adalah pecahnya kepribadian kita.
Dalam situasi tersebut, maka jiwa akan mencari-cari medium untuk menyalurkan energi psikis yang tengah bergejolak. Atas hal itu, maka muncullah apa yang disebut sebagai mekanisme pertahanan ego. Dimana ketika energi psikis sudah overheat, maka jiwa ini akan mencari cara bagaimana melepaskan energi tersebut. Akhirnya, ketika salah dalam menyalurkannya, muncullah apa yang dinamakan sebagai maladjustment.
Jadi, apa hubungannya dengan hipotesis tentang kita tidak dapat mengkonseling diri kita sendiri? Begini kawan, seperti halnya tadi yang telah diuraikan, saat mendapatkan masalah das Es mengeluarkan energi instingtif dengan berbagai bentuk. Saat kita berusaha mengkonseling diri sendiri, atau dengan kata lain mencoba menyelesaikan masalah jiwa kita sendirian, artinya kita tengah menambah energi yang dikeluarkan oleh das Es. Yang terjadi, bukanlah masalah itu terselesaikan, melainkan hanya memperbanyak pengeluaran energi jiwa namun tak tersalurkan. Adapun saat kita merasa bahwa masalah kita teratasi sementara, maka perlu di introspeksi apakah diri kita tengah melakukan defence mechanism?
Jika ya, berarti itu bukan masalah yang selesai, namun permasalahan justru bertambah. Lalu apa solusinya? Akhirnya, seperti disinggung sebelumnya, kita perlu mendistribusikan energi jiwa kita kepada medium yang tepat. Analoginya, penyaluran energi ini seperti saat kopi panas tadi sudah sedemikian panas, maka berikanlah sendok. Maka, energi panas yang dihasilkan akan tersalurkan kepada sendok, dan suhu dari kopi panas tersebut akan semakin normal dan seimbang.
Begitupun, saat kita mengalami masalah, jangan kita memunculkan kehendak-kehendak baru bahwa masalah itu dapat segera diatasi. Namun, carilah medium yang lain yang dapat membuat kita menyalurkan energi tersebut, dan menjadikan “suhu” energi kita menjadi normal. Nah, disinilah konseling memiliki posisi, yakni memberikan bantuan sebagai medium untuk menyalurkan energi konseli. Makanya, muncul sebuah keyakinan bahwa saat konseli menceritakan permasalahannya kepada konselor, maka sebenarnya setengah dari masalahnya telah teratasi. Namun, secara teoritis hal ini merupakan bagian dari proses distribusi energi dalam konsep Psikodinamika.
Meski begitu, penting digarisbawahi bahwa penyaluran energi ini harus pada medium yang tepat. Karena, jika tidak tepat, maka akan muncul maladjustment yang berbahaya. Misalnya, ketika mendapat masalah, lalu kita menemukan medium Narkoba, akhirnya kita terjerat dalam Narkoba. Kita menemukan medium alat seksual, maka akan terjerumus pada free sex. Menemukan medium motor, maka akan ugal-ugalan dijalan atau ikut geng motor. Lantas ketika kita menemukan medium jiwa, namun jiwa tersebut sama “panasnya” (lingkungan sosial yang bermasalah) maka yang terjadi adalah kebakaran. Hehe.. Namun, saat kita menemukan medium Konselor, atau jiwa yang memahami bagaimana menyalurkan energi tersebut, maka niscaya kondisi jiwa kita akan senantiasa normal.
Sekian mungkin yang bisa saya sampaikan, semoga tidak muak dengan tulisan saya. Saya ucapkan terimakasih atas kesediaannya membaca tulisan saya.

*menulis dikala bosan dan di sela-sela kesibukan bersenang-senang, ditemani beberapa batang Rokok dan segelas Aqua.

Selasa, 08 Mei 2012

Pers Mahasiswa dan Represifitas Terselubung

Pers merupakan satu dari empat pilar tumpuan berdirinya demokrasi. Artinya, hidupnya pers merupakan simbol tegaknya demokrasi. Dimana, pers yang berfungsi sebagai “anjing penjaga” yang mengawasi kinerja tiga pilar demokrasi lainnya yakni eksekutif, legislatif, serta yudikatif, berperan penting agar cita-cita demokrasi terwujud di setiap lembaga publik tak terkecuali di kehidupan kampus.
Universitas atau lembaga pendidikan tinggi lainnya juga merupakan miniatur lembaga negara. Seperti halnya Negara, dimana didalamnya memiliki elemen-elemen pilar demokrasi, peran pers mahasiswa, tidak hanya perlu, melainkan sebuah keharusan. Sehingga, pers mahasiswa tak bisa dibedakan fungsinya seperti halnya pers arus utama.
Kemunculan pers mahasiswa, identik dengan perjuangan mahasiswa menentang represifitas penguasa, hingga pemantik perubahan sosial politik yang bergerak dibalik layar. Mulai dari kemunculan Indonesia Merdeka yang menyuarakan kemerdekaan serta penentangan kolonialisme, Mahasiswa Indonesia yang menentang konsepsi demokrasi terpimpin, hingga di masa meledaknya peristiwa 15 Januari 1974 di masa fasisme Soeharto.
Pasca peristiwa Malari, represifitas terhadap gerakan mahasiswa, pun pers mahasiswa semakin menjadi-jadi. Pers mahasiswa yang kala itu dituduh sebagai pengganggu stabilitas keamanan, diberangus. Puncaknya pada 1978, rezim orde baru mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang menjadikan mahasiswa sebagai menara gading dan dibungkam habis-habisan. Mahasiswa “dikembalikan” ke habitat alaminya yakni perguruan tinggi. Kewajiban mahasiswa hanyalah belajar, berprestasi, atau mengharumkan nama bangsa. Mahasiswa dijauhkan dari fikiran macam-macam apalagi soal politik.
Namun, betapapun kerasnya tekanan kepada pers mahasiswa, tak menjadikan padamnya api semangat perjuangan merubah tatanan negara serta masyarakat yang lebih baik. Terbukti, pers mahasiswa yang menjadi media alternatif ikut menorehkan sebuah catatan perlawanan pada rezim fasis Soeharto di masa keruntuhannya.
Akan tetapi, apakah dengan runtuhnya rezim orde baru lantas represifitas terhadap pers mahasiswa juga hilang? Ternyata jawabannya tidak! Pers mahasiswa kini dihadapkan pada represifitas tersembunyi yang masih merupakan jejak-jejak orde baru. Disadari atau tidak, bekas-bekas NKK/BKK masih bercokol di kehidupan mahasiswa. Melalui NKK/BKK yang menjauhkan mahasiswa dari fikiran-fikiran kritis, serta penekanan mahasiswa agar study oriented, berprestasi, mengharumkan nama bangsa, menjadikan kondisi mahasiswa yang apolitis dan apatis terhadap kondisi sosial bangsa.
Betapa tidak, bisa dibuktikan kondisi mahasiswa kini semakin tak peduli terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan publik maupun mahasiswa sendiri. Kondisi mahasiswa yang semakin individualis, menjadikan kesadaran mahasiswa menjalankan tugasnya sebagai agent of change serta merta hilang.
Keadaan ini didukung pula oleh sistem akademik kampus yang merepresi dengan cara terselubung, melalui pemadatan masa kuliah dan pembatasan aktifitas mahasiswa diluar kegiatan akademik. Semakin terbataslah kekritisan mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan kampus yang tak jarang merugikan kepentingan mahasiswa.
Ditambah lagi, sistem feodalisme yang ditanam kuat oleh para birokrat kampus demi mengamankan kepentingan-kepentingan busuk mereka. Iklim feodalisme ini terasa dimana mahasiswa ditanami fikiran-fikiran agar tidak melawan kebijakan-kebijakan para “orang tua” yang duduk di kursi jabatan birokrasi kampus. Sehingga, meminjam istilah Paolo Freire, kondisi feodal ini melahirkan “kebudayaan bisu” di kalangan mahasiswa. Kebudayaan bisu yang dimaksud, merujuk pada kondisi mahasiswa yang semakin jauh dari kesadaran bahwa dirinya tengah tertindas, bahkan mahasiswa merasa takut untuk sadar bahwa mereka tengah tertindas.
Kondisi seperti iniliah yang secara signifikan melahirkan kebobrokan sistem di kampus. Maka dari itu, pers mahasiswa yang salah satunya berfungsi sebagai kontrol sosial dituntut perannya untuk melahirkan tatanan baru yang lebih baik. Berbeda perannya pada saat sebelum era reformasi, kini pers mahasiswa lebih concern pada stabilisator mutu mahasiswa yang bergelar agent of change. Mengutip Soe Hok Gie, bahwa satu-satunya kemewahan yang dimiliki mahasiswa adalah Idealisme. Akhirnya, tugas pers mahasiswa ialah menjaga agar mahasiswa tetap memiliki satu-satunya kemewahan itu. Selain itu, peran utama pers mahasiswa untuk menjaga kekritisan mahasiswa ditengah iklim apatis, juga merupakan salah satu bentuk perlawanan jejak sejarah kelam NKK/BKK yang masih terasa.
Akhirnya, sintesis dari hal itu, musuh utama pers mahasiswa bukan lagi hegemoni kekuasaan maupun represifitas pemerintah. Lebih jauh, perjuangan pers mahasiswa berada di posisi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswa yang diperkosa oleh birokrat kampus. Selain itu, perjuangan melawan jejak-jejak penumpulan pemikiran mahasiswa yang merupakan prodak NKK/BKK, menjadi salah satu perhatian utama pers mahasiswa.
Betapa kuatnya dampak NKK/BKK yang melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang apatis terhadap kepentingan publik, menjadi epidemi yang menjangkit kehidupan kampus. Tak terkecuali di Universitas Pendidikan Indonesia. Di kampus yang berjargon pendidikan ini, iklim penindasan terhadap mahasiswa sangat kuat. Tak hanya itu, birokrat kampus yang feodal menciptakan kebudayaan bisu di kehidupan mahasiswa. Ditambah, represi kampus dalam sistem akademik menjadikan mahasiswa terlalu disibukan oleh aktifitas-aktifitas kuliah dan apolitisasi terhadap kebijakan-kebijakan kampus.  Pada akhirnya, isu-isu terkait kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa, luput dari perhatian para agent of change.
Pada titik inilah pers mahasiswa bergerak melawan segala bentuk penindasan dan penumpulan daya kritis mahasiswa yang semakin menjadikan kampus pendidikan ini bobrok. Memiliki fungsi strategis sebagai pembentuk opini publik, pers mahasiswa berada di titik sentral untuk merubah perspektif mahasiswa terkait kebijakan kampus. Pola sistem kampus yang membentuk mahasiswa menjadi para bebek yang hanya ikut pada segala aturan yang dibuat oleh kampus, menjadikan mahasiswa hilang taringnya sebagai agen perubahan. Tak ada lagi posisi mahasiswa menyikapi kebijakan yang tak jarang merugikan, bahkan mereka tak lagi mau peduli terhadap kepentingan mahasiswa yang lebih luas.
Pers mahasiswa, dalam hal ini mendapatkan tantangan berat untuk mengembalikan daya kritis mahasiswa melalui penyebaran informasi. Penyadaran melalui informasi dan penyampaian aspirasi secara bebas dan terbuka, merupakan inti dari perjuangan pers mahasiswa mewujudkan cita-cita demokrasi. Sehingga, pada saat mahasiswa tersadar dari “tidur” panjangnya,  mahasiswa akan kembali menjalankan fungsinya sebagai agen perubahan.
Keberhasilan demokrasi ditandai oleh munculnya kesadaran masyarakat bahwa dirinya tengah dibodohi oleh rekayasa sistem para penguasa. Kebebasan berekspresi dan berbagai bentuk perlawanan terhadap segala penyalahgunaan kekuasaan, merupakan ciri dari terwujudnya demokrasi. Artinya, ketika masyarakat masih dikelabui oleh sistem yang merugikan, serta masih hanya “membebek” pada penguasa tanpa memahami arti sebuah kebenaran, maka demokrasi belum benar-benar tegak.
Kacamata tersebut dapat dipakai pula dalam melihat kehidupan di kampus. Kenyataan tersebut telah benar-benar jelas terlihat. Berbagai kebijakan kampus yang selalu mengarah pada pengekangan terhadap segala kegiatan kritis mahasiswa, ini merupakan bentuk dari pembungkaman kebebasan berekspresi secara tersembunyi. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang mengarah pada komersialisasi merupakan bentuk sistem yang merugikan mahasiswa. Dan parahnya lagi, mahasiswa hanya “membebek” saja pada sistem yang diterapkan oleh kampus.
Maka dalam posisi inilah pers mahasiswa berupaya mengontrol kehidupan sosial mahasiswa agar lebih menaruh perhatiannya pada sistem kampus yang sudah sedemikian rusak. Sehingga, di saat kesadaran mahasiswa terbangun, maka cita-cita demokrasi dapat terwujud secara progresif.
(Dari berbagai sumber)
*)Ketua Umum Unit Pers Mahasiswa UPI 2012-2013.