Selasa, 08 Mei 2012

Pers Mahasiswa dan Represifitas Terselubung

Pers merupakan satu dari empat pilar tumpuan berdirinya demokrasi. Artinya, hidupnya pers merupakan simbol tegaknya demokrasi. Dimana, pers yang berfungsi sebagai “anjing penjaga” yang mengawasi kinerja tiga pilar demokrasi lainnya yakni eksekutif, legislatif, serta yudikatif, berperan penting agar cita-cita demokrasi terwujud di setiap lembaga publik tak terkecuali di kehidupan kampus.
Universitas atau lembaga pendidikan tinggi lainnya juga merupakan miniatur lembaga negara. Seperti halnya Negara, dimana didalamnya memiliki elemen-elemen pilar demokrasi, peran pers mahasiswa, tidak hanya perlu, melainkan sebuah keharusan. Sehingga, pers mahasiswa tak bisa dibedakan fungsinya seperti halnya pers arus utama.
Kemunculan pers mahasiswa, identik dengan perjuangan mahasiswa menentang represifitas penguasa, hingga pemantik perubahan sosial politik yang bergerak dibalik layar. Mulai dari kemunculan Indonesia Merdeka yang menyuarakan kemerdekaan serta penentangan kolonialisme, Mahasiswa Indonesia yang menentang konsepsi demokrasi terpimpin, hingga di masa meledaknya peristiwa 15 Januari 1974 di masa fasisme Soeharto.
Pasca peristiwa Malari, represifitas terhadap gerakan mahasiswa, pun pers mahasiswa semakin menjadi-jadi. Pers mahasiswa yang kala itu dituduh sebagai pengganggu stabilitas keamanan, diberangus. Puncaknya pada 1978, rezim orde baru mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang menjadikan mahasiswa sebagai menara gading dan dibungkam habis-habisan. Mahasiswa “dikembalikan” ke habitat alaminya yakni perguruan tinggi. Kewajiban mahasiswa hanyalah belajar, berprestasi, atau mengharumkan nama bangsa. Mahasiswa dijauhkan dari fikiran macam-macam apalagi soal politik.
Namun, betapapun kerasnya tekanan kepada pers mahasiswa, tak menjadikan padamnya api semangat perjuangan merubah tatanan negara serta masyarakat yang lebih baik. Terbukti, pers mahasiswa yang menjadi media alternatif ikut menorehkan sebuah catatan perlawanan pada rezim fasis Soeharto di masa keruntuhannya.
Akan tetapi, apakah dengan runtuhnya rezim orde baru lantas represifitas terhadap pers mahasiswa juga hilang? Ternyata jawabannya tidak! Pers mahasiswa kini dihadapkan pada represifitas tersembunyi yang masih merupakan jejak-jejak orde baru. Disadari atau tidak, bekas-bekas NKK/BKK masih bercokol di kehidupan mahasiswa. Melalui NKK/BKK yang menjauhkan mahasiswa dari fikiran-fikiran kritis, serta penekanan mahasiswa agar study oriented, berprestasi, mengharumkan nama bangsa, menjadikan kondisi mahasiswa yang apolitis dan apatis terhadap kondisi sosial bangsa.
Betapa tidak, bisa dibuktikan kondisi mahasiswa kini semakin tak peduli terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan publik maupun mahasiswa sendiri. Kondisi mahasiswa yang semakin individualis, menjadikan kesadaran mahasiswa menjalankan tugasnya sebagai agent of change serta merta hilang.
Keadaan ini didukung pula oleh sistem akademik kampus yang merepresi dengan cara terselubung, melalui pemadatan masa kuliah dan pembatasan aktifitas mahasiswa diluar kegiatan akademik. Semakin terbataslah kekritisan mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan kampus yang tak jarang merugikan kepentingan mahasiswa.
Ditambah lagi, sistem feodalisme yang ditanam kuat oleh para birokrat kampus demi mengamankan kepentingan-kepentingan busuk mereka. Iklim feodalisme ini terasa dimana mahasiswa ditanami fikiran-fikiran agar tidak melawan kebijakan-kebijakan para “orang tua” yang duduk di kursi jabatan birokrasi kampus. Sehingga, meminjam istilah Paolo Freire, kondisi feodal ini melahirkan “kebudayaan bisu” di kalangan mahasiswa. Kebudayaan bisu yang dimaksud, merujuk pada kondisi mahasiswa yang semakin jauh dari kesadaran bahwa dirinya tengah tertindas, bahkan mahasiswa merasa takut untuk sadar bahwa mereka tengah tertindas.
Kondisi seperti iniliah yang secara signifikan melahirkan kebobrokan sistem di kampus. Maka dari itu, pers mahasiswa yang salah satunya berfungsi sebagai kontrol sosial dituntut perannya untuk melahirkan tatanan baru yang lebih baik. Berbeda perannya pada saat sebelum era reformasi, kini pers mahasiswa lebih concern pada stabilisator mutu mahasiswa yang bergelar agent of change. Mengutip Soe Hok Gie, bahwa satu-satunya kemewahan yang dimiliki mahasiswa adalah Idealisme. Akhirnya, tugas pers mahasiswa ialah menjaga agar mahasiswa tetap memiliki satu-satunya kemewahan itu. Selain itu, peran utama pers mahasiswa untuk menjaga kekritisan mahasiswa ditengah iklim apatis, juga merupakan salah satu bentuk perlawanan jejak sejarah kelam NKK/BKK yang masih terasa.
Akhirnya, sintesis dari hal itu, musuh utama pers mahasiswa bukan lagi hegemoni kekuasaan maupun represifitas pemerintah. Lebih jauh, perjuangan pers mahasiswa berada di posisi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswa yang diperkosa oleh birokrat kampus. Selain itu, perjuangan melawan jejak-jejak penumpulan pemikiran mahasiswa yang merupakan prodak NKK/BKK, menjadi salah satu perhatian utama pers mahasiswa.
Betapa kuatnya dampak NKK/BKK yang melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang apatis terhadap kepentingan publik, menjadi epidemi yang menjangkit kehidupan kampus. Tak terkecuali di Universitas Pendidikan Indonesia. Di kampus yang berjargon pendidikan ini, iklim penindasan terhadap mahasiswa sangat kuat. Tak hanya itu, birokrat kampus yang feodal menciptakan kebudayaan bisu di kehidupan mahasiswa. Ditambah, represi kampus dalam sistem akademik menjadikan mahasiswa terlalu disibukan oleh aktifitas-aktifitas kuliah dan apolitisasi terhadap kebijakan-kebijakan kampus.  Pada akhirnya, isu-isu terkait kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa, luput dari perhatian para agent of change.
Pada titik inilah pers mahasiswa bergerak melawan segala bentuk penindasan dan penumpulan daya kritis mahasiswa yang semakin menjadikan kampus pendidikan ini bobrok. Memiliki fungsi strategis sebagai pembentuk opini publik, pers mahasiswa berada di titik sentral untuk merubah perspektif mahasiswa terkait kebijakan kampus. Pola sistem kampus yang membentuk mahasiswa menjadi para bebek yang hanya ikut pada segala aturan yang dibuat oleh kampus, menjadikan mahasiswa hilang taringnya sebagai agen perubahan. Tak ada lagi posisi mahasiswa menyikapi kebijakan yang tak jarang merugikan, bahkan mereka tak lagi mau peduli terhadap kepentingan mahasiswa yang lebih luas.
Pers mahasiswa, dalam hal ini mendapatkan tantangan berat untuk mengembalikan daya kritis mahasiswa melalui penyebaran informasi. Penyadaran melalui informasi dan penyampaian aspirasi secara bebas dan terbuka, merupakan inti dari perjuangan pers mahasiswa mewujudkan cita-cita demokrasi. Sehingga, pada saat mahasiswa tersadar dari “tidur” panjangnya,  mahasiswa akan kembali menjalankan fungsinya sebagai agen perubahan.
Keberhasilan demokrasi ditandai oleh munculnya kesadaran masyarakat bahwa dirinya tengah dibodohi oleh rekayasa sistem para penguasa. Kebebasan berekspresi dan berbagai bentuk perlawanan terhadap segala penyalahgunaan kekuasaan, merupakan ciri dari terwujudnya demokrasi. Artinya, ketika masyarakat masih dikelabui oleh sistem yang merugikan, serta masih hanya “membebek” pada penguasa tanpa memahami arti sebuah kebenaran, maka demokrasi belum benar-benar tegak.
Kacamata tersebut dapat dipakai pula dalam melihat kehidupan di kampus. Kenyataan tersebut telah benar-benar jelas terlihat. Berbagai kebijakan kampus yang selalu mengarah pada pengekangan terhadap segala kegiatan kritis mahasiswa, ini merupakan bentuk dari pembungkaman kebebasan berekspresi secara tersembunyi. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang mengarah pada komersialisasi merupakan bentuk sistem yang merugikan mahasiswa. Dan parahnya lagi, mahasiswa hanya “membebek” saja pada sistem yang diterapkan oleh kampus.
Maka dalam posisi inilah pers mahasiswa berupaya mengontrol kehidupan sosial mahasiswa agar lebih menaruh perhatiannya pada sistem kampus yang sudah sedemikian rusak. Sehingga, di saat kesadaran mahasiswa terbangun, maka cita-cita demokrasi dapat terwujud secara progresif.
(Dari berbagai sumber)
*)Ketua Umum Unit Pers Mahasiswa UPI 2012-2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar