Minggu, 11 September 2016

√(-1) ♥ π = Aku Mencintaimu


Tidak mudah merumuskan sebuah perasaan dalam simbol Matematika. Karena tentu saja, perasaan bukanlah sebuah kalkulasi, atau sebuah proses transaksi. Perasaan, terkhusus rasa cinta, adalah sebuah konstruk imajiner yang sering kali tak masuk diakal. Karena memang bukan di lobus frontal ia berasal, rasa itu muncul di gerbang sebelum masuk pada bagian rasio. Cinta, yang merupakan bagian dari emosi, di proses di sebuah bagian tengah otak bernama amygdala. Ketika lobus temporal mengindra seseorang, melalui proses equipotesialitas, lalu didistribusikan ke bagian otak lainnya untuk disimpan dalam memori. Saat masuk memori, otak akan menentukan apakah akan masuk ke long-term memory, atau akan dibuang kemudian. Tapi, ada sebuah proses yang berbeda ketika kau lihat orang yang kau cintai, ia akan lama diproses di amygdala sebelum kemudian akan disimpan di memori jangka panjang.
            Rasa suka saat melihat seseorang, di proses melalui amygdala. Tapi, ketika otak menyadari bahwa seseorang yang kau indra, tidak cukup di proses dengan rasa suka, secara cepat dia akan segera di evaluasi dengan mendistribusikannya ke belahan otak lainnya untuk direpresi menjadi memori. Kemudian, semua bagian otak akan me-recall segala hal yang relevan dengannya. Saat, otak lalu menyadari bahwa dia relevan dengan segala yang kau fahami tentang sebuah relasi, lalu lobus frontalis akan memprosesnya secara rasional. Namun, ketika rasio tak mampu mendefinisikan segala kesamaan tentangnya, memori itu akan dikembalikan ke lobus temporalis, dikonfirmasi oleh amygdala didalamnya untuk diproses secara deklaratif: aku mencintaimu.
            Jadilah jelas, rasa cinta bukanlah proses yang mudah dalam otakku. Dirimu, diproses oleh semua bagian otak untuk didefinisikan secara rasional, namun akhirnya tak berhasil. Meski, tak berarti mencintaimu bukan berdasar pertimbangan rasional. Otak rasionalku jelas mendefinisikanmu, tapi kemudian tak jua menemukan jawabannya karena ada keganjilan yang tak bisa dikalkulasikan. Otak depanku, merepresentasikanmu seperti akar minus satu. Otak meng-encoding dirimu berupa bilangan yang tak ada hasil secara rasional. Jangankan kalkulator mendefinisikan akar minus satu, otak rasio saja tak mampu. Tapi kamu menjelma bilangan akar minus satu, karena kamu adalah konstruk imajiner yang tak perlu alasan, juga tak perlu dikalkulasikan. Tapi, dirimu mengandung filosofi: kamu adalah bilangan “i”, tak bisa didefinisikan namun relevan dengan segala yang aku miliki.
            Jika semua realitas yang ada didunia ini berada disumbu X dalam persepsiku, jelas aku adalah sumbu Y untuk mengukurnya. Semua yang ada disekitarku selalu bisa kudefinisikan dengan bilangan rasional: entah mereka bilangan positif, atau mereka berada di sisi negatif. Relatifitas kehidupan bergerak di sumbu X baik sisi negatif maupun positif. Semua bisa kudefinisikan, otakku berhasil meng-encode nya untuk dipilah dalam beberapa skema yang sudah terbentuk. Tapi saat aku menemuimu, kamu adalah akar minus satu, tak bisa otakku meng-encode nya dengan cara yang biasa. Kamu tak bisa dikalkulasikan dan lalu dimasukkan pada satu dari jutaan skema yang kumiliki. Kamu, hanya bisa membuatku membentuk skema baru. Skema yang tak relevan dengan segala relatifitas kehidupan. Kamu hanya bisa masuk pada satu skema: tentang diriku.
            Atas hal itulah, semua jadi jelas kenapa engkau adalah akar minus satu. Karena bilangan imajiner yang melekat padamu, tak diterima dalam sumbu horizontal. Kamu adalah yang membuat segala keganjilan perasaan, menjadi genap berada dalam sumbu yang hanya milikku: Y.
Otakku menyadari, akar minus satu hanya bisa kudefinisikan saat kamu berada di sumbuku. Sebagaimana filosofi akar minus satu, menjadi operator memindahkanmu kedalam sumbuku. Saat kau berada di sumbu Y milikku, semua tentangmu bisa kudefinisikan: semua tentangmu berbeda dengan semua tentang yang ada didunia ini. Kamu hanya bisa menjadi rasional, ketika kamu menjadi aku, berjalan bersama dalam sumbu yang sama.
            Lalu otakku kembali menemukan keganjilan saat secara deklaratif menyebut namamu. Kamu adalah keliling lingkaran tanpa ujung, yang tak pernah sampai pada kesimpulan di bilangan apa kau berakhir. Namamu, saat di encode dalam otakku, disimbolkan dengan angka ganjil yang tak habis dibagi. Engkau adalah keliling, dengan milyaran angka yang tak ada satupun orang dapat menentukan akhirnya. Engkau adalah “Pi”!  angka yang tak pernah ada ujungnya. Itulah kenapa kau tak masuk pada skema manapun tentang dunia. Itulah kenapa lobus temporalku mendeklarasikanmu sebagai Cinta: karena kamu, tak pernah berakhir. Saat aku menyadari kau adalah π, segera aku sadar kamu adalah sosok yang tak pernah berakhir dalam dunia imajiku. Kekagumanku saat mempersepsi dirimu, tak pernah berhasil aku temukan ujungnya. Sumbuku menjadi sangat panjang tak berakhir, saat aku berusaha mendefinisikanmu. “Pi”, kamu berhasil menggambarkan suatu bilangan imaji yang tak pernah berakhir: masa depan. Dan π selalu relevan denganmu dalam dunia imaji dan realitasku.
            Tak mudah mendefinisikan rasa yang kumiliki ini dalam simbol Matematika. Tapi, saat ada kamu didalamnya, aku bisa. Dengan sendirinya, saat aku membayangkanmu, otakku lalu membuat sebuah rangkaian rumus tentangmu :√(-1) ♥ π
Ya, aku mencintaimu  π . Bilangan yang tak bisa ku akhiri.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar