Sabtu, 08 April 2017

Efek Stres Kronis pada Struktur dan Fungsi Prefrontal Cortex Remaja (Review)


Review Artikel Neuropsikologi:

Effect of chronic stress during adolescence in prefrontal cortex structure and function.

Otávio Augusto de Araújo Costa Folha, Carlomagno Pacheco Bahia, Gisele Priscila Soares de Aguiar, Anderson Manoel Herculano, Nicole Leite Galvão Coelho, Maria Bernardete Cordeiro de Sousa, Victor Kenji Medeiros Shiramizu, Ana Cecília de Menezes Galvão, Walther Augusto de Carvalho, Antonio Pereira. 
Behavioural Brain Research 326 (2017) 44–51

Reviewer : Isman Rahmani Yusron (407565)

A. Pendahuluan

          Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dari stress kronis pada usia remaja pada struktur dan fungsi prefrontal korteks. Prefrontal korteks merupakan area otak yang berada pada lobus frontalis, yang berhubungan dengan fungsi eksekutif seperti mengorganisasikan, mengontrol, serta mengatur perilaku, dan membuat keputusan yang besar terutama perilaku yang berhubungan dengan sosial, memutuskan untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu (Zillmer, Spiers, & Culbertson, 2008). Prefrontal korteks ini berperan penting untuk regulasi diri serta hal yang berhubungan dengan fleksibilitas kognitif. Berbagai gangguan kognitif seperti ADHD, autisme, gangguan bipolar, depresi, skizofrenia berhubungan dengan ketidakberfungsian dari prefrontal korteks.

          Dalam pendahuluan artikel ini, Folha dan timnya (2017, p. 45) menyitir penelitian dari Hanson, et.al, 2012; Mizoguchi, et.al, 2000; Rolls 2004, yang menyebutkan bahwa cedera di area prefrontal korteks, terutama di area Medial Prefrontal cortex (MPC) dan Orbitofrontal Cortex (OFC), erat berhubungan dengan gangguan working memory, serta buruknya penilaian dan maladaptasi pengambilan keputusan yang menjadikan individu tidak memiliki kemampuan untuk mengantisipasi konsekuensi dari tindakannya. Dalam konteks penelitian ini, rusaknya area prefrontal korteks dihubungan dengan hasil dari stress kronis pada individu. Dengan kata lain, yang menjadi latar belakang dari penelitian ini ialah dimana stress kronis yang rentan dialami individu akan sangat berisiko pada perkembangan dan cederanya prefrontal korteks yang akan menyebabkan berbagai macam gangguan kognitif.

          Kondisi stress kronis atau pengalaman yang menyebabkan stress pada individu, akan secara langsung meningkatkan kadar kortisol yang dapat merusak perkembangan dari prefrontal korteks (Lupien et.al, 2009 dalam Folha et al., 2017). Pengalaman stress akan memicu kelenjar pituitary pada hipotalamus anterior untuk melepaskan glucocortisoid yang membuat kelenjar adrenal memproduksi kortisol yang banyak. Sehingga, banyaknya kadar kortisol ini berpengaruh pada beberapa organ yang berhubungan dengan respon stress terutama dalam penelitian ini pada rusaknya prefrontal korteks.

Kerentanan pengalaman stress kronis, pada penelitian ini, terutama adalah pada tingkat perkembangan remaja. Menyandarkan pada penelitian Niwa, et.al (2013) & Sinclair, et.al (2014), pada usia remaja, individu berada pada periode yang disebut Critical Periods of Cortical Development dimana seseorang rentan terpengaruhi oleh pengalaman stress kronis. Kemudian dalam abstrak penelitian ini, periode individu berada pada interval perkembangan dimana sirkuit neuronal mudah terpengaruhi oleh liingkungan disebut sebagai Critical Periods of Plasticity (CPPs). Peneilitian ini berfokus pada usia remaja karena pada usia ini banyak terpapar situasi stress dan banyaknya kondisi neuropsikiatrik yang terdiagnosa pada usia remaja (Christie et.al, 1988; Costello et.al, 2008; Mels et.al,2010; Kieling et.al; 2011 dalam Folha et al., 2017). Sehingga, peneliti dalam penelitian ini berasumsi bahwa tingkat resiko yang tinggi akibat stress kronis adalah pada saat periode kritis dari plastisitas (CPPs), yang dimana periode ini terjadi pada usia perkembangan remaja.

B. Metode dan Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan Folha serta timnya ini mempelajari bagaimana efek dari stress kronis pada struktur dan fungsi Prefrontal Corteks pada tikus pada saat perode kritis plastisitas (CPPs). Secara spesifik, penelitian ini melihat efek dari stress kronis pada distribusi spatial-temporal dari perineuronal net (PNN+) neuron dalam prefrontal korteks dan pada tes fungsi eksekutif pada tingkat perkembangan remaja. Penelitian ini menggunakan 48 tikus Wistar (Rattus novergicus) jantan berusia 28 hari sejak dilahirkan. Tikus-tikus secara random dibagi pada kelompok eksperimen (n=24) dan kelompok kontrol (n=24). Masing-masing kelompok dibagi pada tiga subgrup yang pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan lingkungan stress selama 7 hari (n=8), 15 hari (n=8) dan 35 hari (n=8) pada masing-masing subgrup.

Kelompok tikus eksperimen diberikan lingkungan stress kronis dengan diberikan kondisi dikurung dalam tabung plastik selama 2 jam tanpa makanan atau air; dimandikan dalam tank silinder (tinggi 60cm x diameter 30cm) selama 30 menit dalam air panas 32 derajar C; dipasangkan dengan tikus stress lainnya dalam serbuk gergaji basah selama 18 jam; ditempatkan pada kondisi cahaya gelap dan terang bergantian; ditempatkan pada ruangan sesak yakni 8 tikus pada kandang berukuran 4x3x2cm selama 24 jam; dijepit ekor selama 10 menit; diberikan udara panas (mendekati 38 derajat C) dengan hairdryer selama 10 menit. Berbagai kondisi stress ini diberikan kepada tikus secara random bergantian selama 7 hari pada subgrup pertama, 15 hari pada subgrup kedua, dan 35 hari pada subgrup ketiga. Paradigma eksperimen ini disandarkan pada penelitian Duccotet dan timnya (2003).  


Setelah pemberian eksperimen, perilaku tikus dievaluasi dengan dua tes yakni Spontaneous Arm Alternation Test (SAAT) dan Thigmotaxis. Thigmotaxis digunakan untuk mengukur kecemasan tikus pada saat tikus ditempatkan pada suatu ruangan terbuka, dan diukur berapa kali tikus menjauh dari dinding sejauh 5cm selama 5 menit pada ruangan kayu 60x60x30cm. SAAT digunakan untuk mengukur spatial working memory, dimana tikus ditempatkan ditengah maze berbentuk silang, mengukur seberapa kali tikus secara berurutan memasuki lorong maze yang berbeda tanpa mengulang memasuki lorong yang sama secara berurutan yang diobservasi selama 10 menit. Setelah diukur perilakunya, tikus diberikan campuran xylazine dan ketamin chloride, serta satu mili darahnya diambil untuk dilihat kadar kortisol dalam darah tikus. Setelah pengambilan darah, tikus disembelih dan diambil otaknya untuk dianalisis melalui histologi. Irisan prefrontal korteks otak tikus direkam dengan Microphotographs, dan dianalisis dengan menggunakan mikroskop untuk melihat bentuk sel neuron area prefrontal korteks terutama pada area prefrontal medial cortex (cingulate anterior cortex dan pre-limbic cortex) dan prefrontal ventral cortex (orbito-ventral cortex).

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan beberapa hal sebagai berikut; pertama, dari level kortisol yang pada tikus disebut sebagai corticosteron yang dianalisis dari darah tikus, secara signifikan (p<0.05) memiliki perbedaan kadar kortisol antara tikus kelompok eksperimen dengan tikus kelompok kontrol. Rerata varian tingkat corticosteron pada tikus kelompok eksperimen antara kondisi 7, 15 dan 35 hari secara berurutan yakni 85.00 SD=57.47, 43.25 SD=11.87, dan 62.00 SD=64,29. Berbeda signifikan dengan rerata kelompok kontrol dengan varian yang tinggi. Hal ini menunjukkan efek dari stress kronis yang sama dalam level corticosteron pada plasma darah tikus dan menurunkan variabilitas hormon pada kematangan. Hasil ini menunjukkan efek negatif dari stress kronis yang menyebabkan terpacunya secara masif hormon stress. Terutama yang paling signifikan bedanya adalah pada subgrup eksperimen 15 hari pemberian kondisi stress.

Kedua, untuk melihat efek dari stress kronis pada prefrontal korteks, melalui analisa histologi terhadap Perineuronal net (PNN+) pada Medial Prefrontal cortex ditemukan bahwa terdapat interaksi signifikan (p<0.0001) antara lingkungan dengan perlakuan. Pada kelompok kontrol, PNN+ neuron pada subgrup 35 hari lebih tinggi jumlahnya (74.00, SD=2.65) daripada subgrup 15 hari (33.33 SD=1.45) yang signifikan (p<0.001), yang juga lebih tingg daripada subgrup 7 hari (22.00 SD=1.53). Pada kelompok eksperimen, penelitian ini menemukan jumlah PNN+ neuron menurun seiring dengan pengondisian stress kronis yang diberikan. Terlihat pada subgrup eksperimen 35 hari perlakuan stress, memperilhatkan jumlah PNN+ neuron lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan jumlah hari yang sama (34.22 SD=1.33 versus 74.00, SD=2.65) dengan signifikansi yang tinggi (p<0.001).

Namun yang menarik, subgrup kelompok perlakuan stress 7 hari, menunjukkan jumlah PNN+ neuron lebih tinggi daripada kelompok kontrolnya (45.33 SD=2.67 versus 22.00 SD=1.53). Hal ini menunjukkan bahwa stress dalam jangka waktu tertentu atau dalam taraf yang cukup, meningkatkan jumlah PNN+ neuron pada prefrontal korteks. Meskipun dalam penelitian ini, Folha mengakui bahwa terdapat perbedaan dinamika kematangan dalam kelompok eksperimen (2017, p. 46). Pada analisis area Orbitofrontal Cortex (OFC), juga memperlihatkan pola serupa yang menunjukkan kondisi stress kronis menghambat tumbuhnya jumlah PNN+ neuron dibandingkan dengan kelompok kontrol. Akan tetapi pada area OFC, tidak menunjukkan jumlah yang lebih besar pada 7 hari perlakuan di kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol seperti pada MFC.

Temuan penelitian ini dalam konteks perilaku, melalui analisis SAAT, menunjukkan hasil yang menarik terutama pada kelompok subgrup eksperimen 7 hari. Pada kelompok ini, performa alternasi tikus reratanya lebih tinggi dan lebih baik daripada pembandingnya dalam kelompok kontrol. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, anlisis SAAT ini digunakan untuk melihat performa fungsi eksekutif dalam kaitanya dengan spatial working memory. Tikus yang diberi perlakuan stress selama tujuh hari, memperlihatkan performa yang lebih tinggi dengan signifikan. Temuan ini paralel dengan temuan sebelumnya pada jumlah PNN+ neuron di area Medial Prefrontal cortex. Korelasi ini menguatkan temuan sebelumnya yang dapat ditarik kesimpulan mengenai pengaruh positif stress pada tingkat tertentu. Sekaligus dikuatkan dengan temuan dimana pada perlakuan 15 dan 35 hari, menunjukkan performa yang lebih rendah daripada pembandingnya di kelompok kontrol. Temuan ini cukup untuk mengarahkan pada kesimpulan mengenai stress diperlukan pada dosis tertentu, namun akan berefek negatif jika paparannya lebih lama .

Analisa Thigmotaxis yang mengukur tingkat kecemasan dan evaluasi resiko, menunjukkan hasil bahwa berkembangnya kecemasan dipengaruhi oleh perkembangan pada masa remaja. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kematangan hubungan neuron antara amygdala dan prefrontal cortex (2017, p. 48). Performa pada subgrup 35 hari, lebih tinggi dari subgrup 15 hari pada kelompok kontrol, meskipun terdapat penurunan pada rerata subgrup 7 hari dibanding subgrup 15 hari pada kelompok yang sama. Pada kelompok tikus eksperimen, hasil analisa Thigmotaxis menunjukkan penurunan rerata performa pada subgrup 15 hari dibanding subgrup 7 hari, dan kemudian hasilnya cenderung stabil pada subgrup 35 hari pada kelompok perlakuan.

C. Komentar dan Analisis

Dari berbagai hasil temuan pada penelitian yang dilakukan oleh Folha beserta timnya ini, memberikan wawasan mengenai dinamika stress yang berpengaruh pada individu terutama pada tingkat perkembangan remaja. Analisa neurologis dan psikologis dari penelitian ini cukup memberikan sudut pandang untuk memahami stress pada periode kritis perkembangan otak. Meskipun penelitian ini hanya mengungkap khusus mengenai efek stress pada usia remaja dan tidak mengungkap pada tingkat perkembangan selanjutnya. Berdasar pada temuan ini, kita memahami bahwa stress yang kronis berefek negatif pada perkembangan otak area prefrontal korteks, area yang begitu penting dalam proses kognitif individu. Hal ini dibuktikan tidak hanya pada timbulnya kerusakan atau hambatan perkembangan neuronal, namun juga didukung dengan bukti perilaku yang terobservasi. Fungsi eksekutif individu yang bersemayam pada area otak ini, dengan sendirinya terganggu akibat dari paparan stress kronis yang dialami individu.

Usia remaja, dalam perkembangan individual merupakan periode yang sangat penting untuk mendukung perkembangan pada tahap selanjutnya. Meski penulis meyakini bahwa perkembangan otak manusia akan senantiasa dinamis, plastis dan berkembang seiring pengalaman selama perkembangan, kerusakan neuron pada periode kritis perkembangan otak akibat paparan stress yang kronis akan menghambat individu mencerna dan mengembangkan pengalaman yang bisa jadi sangat penting pada tingkat perkembangan selanjutnya. Penelitian ini menyajikan bukti empirik mengenai efek negatif dari stress pada area prefrontal korteks yang sangat vital dalam pemrosesan informasi dan fungsi-fungsi kognitif lainnya. Terkhusus penulis menyoroti pada implikasinya dalam belajar. Individu yang pada usia remaja mengalami paparan stress yang massif dalam kehidupannya, bertendensi mengalami disfungsi kognitif dalam proses belajar pada usianya. Hal ini jelas berpengaruh sangat buruk pada perkembangan selanjutnya karena yang seharusnya individu mencerna nilai-nilai pengalaman usia remajanya, terhalang oleh disfungsi dan kerusakan pada area prefrontal korteksnya.

Periode kritis perkembangan otak yang dialami pada usia remaja, melalui temuan penelitian Folha dan timnya ini, perlu mendapat perhatian yang cukup agar lingkungan tidak memberi umpan balik negatif melalui tekanan yang tinggi. Kembali penulis mengaitkan periode ini merupakan periode belajar dan periode pendidikan pada individual, lingkungan perlu berhati-hati dalam menyajikan proses pendidikan bagi remaja agar tidak menimbulkan stress. Dalam konteks Indonesia misalnya, waktu pada usia remaja dominan dihabiskan di persekolahan atau lembaga pendidikan lainnya. Artinya, lingkungan pendidikan dimana remaja menghabiskan waktunya, perlu sadar dan hati-hati agar dalam penyelenggaraanya tidak menimbulkan efek stress yang negatif. Asumsi ini bersandar pada penelitian Hiew & Glendon (Spielberger & Sarason, 1996)  yang menyebutkan bahwa stress di kalangan remaja, juga disebabkan oleh sekolah yang mengurangi kesempatan siswa untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih sehat, optimal, dan menempuh kedewasaan yang matang. Selaras dengan hal ini penelitian Aypay & Eryılmaz (2011) juga menyebutkan bahwa dalam proses pembelajaran, stress muncul dari pelajaran di kelas, tugas mata pelajaran, atau tekanan psikologis lainnya yang dapat menghantarkan pada kelelahan emosional.

Stress dalam kadar tertentu diperlukan, namun pada konteks pendidikan pengalaman stress bisa jadi terjadi dalam waktu yang panjang yang sangat memungkinkan sekali untuk menjadi tekanan yang kronis. Selaras dengan temuan penelitian Folha dan timnya ini, tekanan kronis akan memicu massifnya kadar kortisol yang menimbulkan mekanisme timbal balik negatif dari akis Hippotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA Axis) yang menyebabkan rusaknya area prefrontal korteks. Penelitian ini menyebutkan bahwa stress kronis akan mengganggu fungsi sistem saraf simpatetik dan HPA Axis (Folha et al., 2017, p. 48). Meskipun, temuan pada penelitian ini juga memperlihatkan, pada kelompok eksperimen dengan paparan stress subgrup 7 hari, memperlihatkan performa lebih baik daripada kontrolnya yang tidak diberi perlakuan. Ini menandakan bahwa stress ini juga merupakan bagian dari stimulan untuk meningkatkan performa, dengan catatan tidak sampai pada kondisi yang kronis atau stress berkepanjangan.

Temuan lain yang penting dan implikatif dalam penelitian ini juga adalah mengenai pengaruh dari stress kronis terhadap performa executive function. Pada penelitian ini terungkap, bahwa terdapat efek negatif dari paparan stress yang kronis dimana ada hubungan antara durasi paparan stress dengan performa fungsi eksekutif. Hasil analisa peneliti, ditemukan bahwa paparan stress kronis yang menimbulkan cedera dan kerusakan prefrontal korteks paralel dengan menurunnya performa dari tes perilaku dalam kaitannya dengan fungsi eksekutif. Jika kembali dikaitkan dengan implikasi pendidikan, Meltzer, Pollcia & Barzillai (Meltzer, 2007)  menyatakan bahwa kesuksesan akademik siswa tergantung pada kemampuannya untuk merencanakan waktunya, mengorganisasi dan memprioritaskan informasi, mengambil ide utama dari sebuah detail, memonitor kemajuan, dan merefleksi hasil pekerjaannya; dan hal-hal ini adalah proses inti dari executive function. Berdasarkan hal ini, menjadi jelas bahwa stress kronis akan sangat berpengaruh negatif pada kemajuan dan kesuksesan akademik siswa, karena terkait dengan gangguan fungsi eksekutifnya yang terbukti secara empirik pada penelitian Folha ini.

Meski memberikan banyak implikasi baik praktis dan teoritis, bagaimanapun penelitian ini dilakukan terhadap binatang dalam hal ini kepada tikus. Efek generalisasi dari hasil penelitian ini pada manusia tidak bisa sepenuhnya diterima karena memiliki perbedaan secara biopsikologis. Bisa jadi, dari segi proses timbulnya kerusakan atas prefrontal korteks dan mekanisme HPA Axis, secara umum sama dengan manusia, akan tetapi ada hal-hal yang dimungkinkan dilakukan manusia yang tak mungkin dilakukan oleh tikus. Sebagai salah satu contoh, manusia memiliki kemampuan adaptatif dan plastisitas serta pengalaman belajar yang jauh lebih banyak daripada binatang pengerat. Tidak bisa dinafikkan, bahwa hal ini juga akan mempengaruhi pada hambatan terjadinya efek negatif pada stress. Pengalaman belajar lingkungan pada manusia, kepribadian, bahkan hingga unsur spiritual, juga akan menjadi penghalang timbulnya kerusakan pada prefrontal korteks yang disebabkan oleh pengalaman stress.

Keberdayaan manusia, jauh lebih tinggi daripada tikus dalam merespon stress, sehingga hal ini setidaknya menjadi preferensi manusia dalam beradaptasi menghadapi stress agar terhindar dari efek yang lebih negatif. Selain itu, perlakuan stress kronis yang diberikan pada eksperimen ini juga tidak dapat dikatakan setara dengan pengalaman stress yang dialami manusia. Paradigma stress kronis yang digunakan dan diberikan secara spontan dan bergantian, lebih mengarah pada penyiksaan dan beban fisik ketimbang beban psikologis. Sedangkan pada manusia, kecenderungan terbesar adalah berasal dari beban psikologis yang besar ketimbang beban fisik. Olehkarena itu, sudut pandang skeptis juga perlu diberikan pada hasil penelitian ini, terkait apakah yang menimbulkan kerusakan pada prefrontal korteks ini adalah akibat dari tekanan fisik, atau akibat dari tekanan psikologis yang notabene dialami manusia. Namun, bukti empiris yang didapat pada penelitian ini tidak harus ditolak, karena secara pragmatis juga mengandung kebenaran dan makna yang dapat diambil manfaatnya terhadap manusia.

D. Referensi

Aypay, A., & Eryılmaz, A. (2011). Relationships of high school sdutent’subjective well-being and school burnout. International Online Journal of Educational Sciences, 3(1), 181–199.
Folha, O. A. de A. C., Bahia, C. P., Aguiar, G. P. S. de, Herculano, A. M., Coelho, N. L. G., Sousa, M. B. C. de, … Pereira, A. (2017). Effect of chronic stress during adolescence in prefrontal cortex structure and function. Behavioural Brain Research, 326, 44 – 51. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.bbr.2017.02.033
Meltzer, L. (2007). Executive function in education: from theory to practice. New York: Guilford Press.
Spielberger, C. D., & Sarason, I. G. (1996). Stress and Emotion: Anxiety, Anger, and Curiosity. Taylor & Francis.

Zillmer, E., Spiers, M., & Culbertson, W. (2008). Principles of neuropsychology. Belmont, Calif: Thomson Higher Education.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar