Senin, 09 Oktober 2017

Ironi Sarkastik, Katalisator Kreatifitas dan Kompleksitas Kognitif

Oleh : Isman Rahmani Yusron


1.      Kata dan Pemrosesan Informasi

Pada percakapan sehari-hari, gaya berbahasa seseorang dalam berkomunikasi begitu unik dan khas. Terutama terkait dengan budaya di Indonesia yang beragam, berbagai bentuk pengungkapan berbahasa yang sangat bervariasi. Saat berkomunikasi, tergantung pada konteks tertentu seseorang dapat menggunakan bahasa sopan, bahasa pergaulan, bahasa slang, bahkan hingga menggunakan bahasa sarkasme. Secara umum, masing-masing individu saat mengungkapkan maksud pembicaraannya, ada yang diungkapkan secara langsung dan jelas agar yang diajak bicara mudah menangkap maknanya, ada juga yang melalui ungkapan-ungkapan tidak langsung atau melalui berbagai perumpamaan agar yang diajak bicara dapat menafsirkan sendiri maknanya dan memahaminya.

Pada akhirnya, berkomunikasi tidaklah terbatas pada proses mentransfer bunyi suara dari kata-kata, lebih jauh dari itu terdapat transformasi makna pada suatu bentuk pengertian tertentu. Bahkan secara ekstrem, ada ungkapan words don’t mean, people mean, yang menunjukkan bahwa kata-kata hanyalah simbolisasi maksud akan tetapi melalui simbol itulah individu membangun makna dan pengertian. Proses ini, bukan lagi persoalan linguistik semata, lebih jauh merupakan kajian menarik dalam ilmu psikologi. Stimulus kata-kata yang diucapkan lawan bicara, diproses secara mental dan otak mencernanya dengan menyatukan berbagai informasi hingga terbangun makna pemahaman tertentu sebagai bahan untuk merespons stimulus tersebut. Misalnya, saat lawan bicara mengatakan “mobil”, otak merespon dengan mencari asosiasi kata tersebut dalam memori tentang sebuah benda dengan bentuk tertentu dan memiliki ciri tertentu. Sehingga, melalui proses itu tergambar maksud pembicaraan lawan bicara dan terbangun pemahaman secara keseluruhan tentang isi pembicaraan.

Kata atau kalimat yang memiliki makna yang jelas dan lugas, akan secara langsung direspon otak sesuai dengan makna ucapannya. Otak tidak menerjemahkan kembali maksud diluar dari makna ucapan karena secara jelas merujuk pada informasi tertentu. Bagian otak yang memproses kata-kata, mengolah lebih mudah makna yang terkandung dalam kata yang diungkapkan dan secara langsung terbangun pengertian dari keseluruhan kalimat. Secara konseptual, proses bagaimana otak mencerna kata-kata dan konsepnya disebut sebagai mental lexicon, proses mental mengenai penyimpanan informasi mengenai kata-kata yang mencakup informasi semantik (makna kata), informasi sintaktik (bagaimana kata dikombinasikan menjadi bentuk kalimat), dan bentuk detail dari kata (pengucapan dan pola suaranya) (Gazzaniga, Ivry, & Mangun, 2015).

Sekilas, atau secara mudah disimpulkan bahwa ketika kalimat yang diucapkan lawan bicara menyebutkan kata-kata langsung –tanpa makna luas dibaliknya, proses mental yang terjadi di dalam otak berlangsung tidak terlalu kompleks. Otak hanya mencatut kembali informasi-informasi sebelumnya mengenai kata-kata tersebut dan menyusunnya jadi suatu pengertian tertentu. Akan tetapi beda halnya jika, kalimat yang diucapkan lawan bicara tidak sesuai dengan makna sebenarnya atau bahkan kebalikan dari makna yang sebenarnya. Tentunya pada pemrosesan kata-kata jenis tersebut, ada proses membangun makna yang melibatkan pemahaman konseptual terkait konteks tertentu. Misalnya ketika seseorang memakai baju warna hitam, lalu lawan bicara berkomentar dengan kalimat “wah, sepertinya kamu sedang berkabung ya?”. Padahal dalam konteks saat itu, ia tak mengalami pengalaman menyedihkan atau berkabung, akan tetapi yang diajak bicara akan dapat memahami bahwa komentar lawan bicara bukan mengenai konteks pengalaman, melainkan komentar tentang warna baju yang digunakan. Bagaimana kata-kata yang tidak bermakna sebenarnya dapat diproses menjadi pemahaman tertentu dan langsung mengaitkannya dengan warna baju yang sama sekali tidak berhubungan secara arti kata? Tentunya otak lebih kompleks mencernanya dibandingkan dengan mendengar kata-kata “kok memakai baju warna hitam?”.

Bentuk ungkapan komunikasi secara tidak langsung ini, membutuhkan pemrosesan yang kompleks dan penuh kesadaran. Komunikan setelah menangkap pesan, harus menafsirkan lebih dari sebatas makna aslinya bahkan melibatkan proses kognitif yang kompleks. Pada saat seseorang bertanya, “Siapa namamu?”, respon individu bahkan tidak memerlukan kesadaran yang penuh, dapat menjawabnya. Namun berbeda ketika hal itu diungkapkan dengan “Kamu sudah terkenal?” dalam konteks baru bertemu orang yang baru, maka yang diajak bicara akan melibatkan kesadaran penuh untuk memaknai pertanyaan tersebut dan sampai pada pemahaman bahwa dirinya belum mengenalkan diri atau menyebutkan nama. Seperti contoh sebelumnya, ketika mendengar “sepertinya kamu sedang berkabung?”, otak akan memproses secara sadar dan melibatkan kompleksitas kognitif pada pencarian informasi yang terkait dengan makna “berkabung”. Makna kata tersebut dekat dengan kesedihan, dan dalam konteks budaya tertentu (bahkan universal?), kesedihan atau berkabung identik dengan simbol “hitam”,  dan lalu otak secara sadar menginspeksi informasi dalam memori terkait dengan simbol tersebut. Kemudian, antara makna “berkabung”, dikaitkan dengan ingatan tentang pakaian yang digunakan yaitu pakaian serba warna hitam yang juga terkait dengan informasi pakaian yang biasanya digunakan saat berkabung.


Kompleks dan tidaknya suatu pesan komunikasi di proses dalam otak, menimbulkan pertanyaan menarik: apakah ketika yang seseorang mengungkapkan dan menerima pesan yang diungkapkan secara tidak langsung (perumpamaan, sindiran, ironi, sarkasme) yang berefek pada pemrosesan kognitif yang lebih kompleks, akan menimbulkan efek terhadap performa kognitifnya? kemampuan analitis atau bahkan kreatifitas misalnya? Ungkapan yang sering dilontarkan seseorang yang membutuhkan pelibatan kompleksitas kognitif pada pemrosesannya adalah ketika seseorang mengungkapkan kalimat sarkasme. Sarkasme, seringnya menggunakan kalimat yang bermakna tidak sebenarnya, bahkan kebalikan dari makna sebenarnya, yang berarti dalam menyusun kalimat dan juga menafsirkan kalimat sarkasme ini membutuhkan pemrosesan kognitif tingkat tinggi.

Sarkasme, menurut KBBI (“Hasil Pencarian - KBBI Daring,” n.d.) diartikan sebagai penggunaan kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar. Menurut Kamus Oxford (“sarcasm | Definition of sarcasm in English by Oxford Dictionaries,” n.d.), sarkasme merupakan penggunaan ironi untuk mengejek atau mengolok-olok atau menyampaikan pesan ketidaksukaan. Antara sakasme yang berada dalam tata bahasa Indonesia, lebih pada ungkapan kasar dan kata kata pedas, berbeda dengan pengertian dalam menurut kamus Oxford yang menekankan penggunaan Ironi. Sarkasme yang dibahas dalam konteks tulisan ini, terkait dengan tata bahasa majas Ironi, namun untuk menyejajarkan dan memudahkan maksud dalam pembahasan, kata Sarkasme yang digunakan adalah mengenai penggunaan majas Ironi. KBBI mengartikan Ironi sebagai “majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan makna sesungguhnya, misalnya dengan mengemukakan makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya dan ketidaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya”. Pengertian Ironi ini setara dengan pengertian kata sarcasm dalam konteks bahasa Inggris.

2.      Sarkasme dan Fungsi Kognitif

Beberapa penelitian menyebutkan, bahwa sarkasme, atau penggunaan kalimat ironi dalam percakapan, mencerminkan fungsi kognitif yang baik. Sarkasme, disamping sisi buruknya dapat menimbulkan konflik karena mengandung kata yang menyakiti secara makna, juga memiliki pengaruh yang positif terhadap fungsi kognitif seseorang. Sebagaimana karakteristik dari sarkasme, adalah penggunaan majas kompleks yang mencari bentuk kata lawan dari situasi yang sebenarnya, bermakna luas dan mengandung emotional trigger. Sarkasme memang seringnya digunakan untuk mencari kata yang terlampau halus, namun bermakna kasar, yang didalamnya terkandung sindiran dan serangan langsung pada lawan bicara. Membangun kalimat sarkas yang tepat dan mengandung serangan yang tepat sasaran bukanlah perkara pemrosesan bahasa yang mudah. Pembentukannya melibatkan kompleksitas kognitif dan kreatifitas yang “cerdas”.

Membentuk kalimat sarkas dalam pikiran, tidak sesederhana ketika mengucapkan kalimat biasa, lebih dari itu pelibatan konteks situasi, pencernaan emosi, penyederhanaan bentuk cacian dalam bentuk lain yang lebih padat, namun didalamnya terdapat makna yang lebih luas daripada sebatas kata-kata. Maka tidak heran kiranya, studi yang dilakukan oleh Huang, Gino, & Galinsky (2015) menyebutkan bahwa sarkasme seperti dua mata pedang: disamping berperan memicu konflik, sarkasme juga dapat menjadi katalis dari kreatifitas. Pada kalimat pertama penelitian ini, peneliti menyitir ucapan dari Oscar Wilde, “Sarkasme merupakan bentuk terendah dari kejenakaan, namun bentuk tertinggi dari kecerdasan”. Apa yang ingin dikatakan peneliti adalah, bahwa memang penggunaan sarkasme adalah hal yang riskan dan memicu konflik, tapi melontarkan sarkasme merupakan cara cerdas untuk membalut cacian agar lebih tepat sasaran. Sarkasme sendiri, bagi penerima pesan, membutuhkan proses pencernaan yang tidak sederhana, melainkan membutuhkan kesadaran tinggi untuk memahami sehingga ketika sampai pada pengertian maknanya akan langsung berbentuk makna yang menyakiti hati.

Pada penelitian ini, Huang, Gino, & Galinsky berhipotesis bahwa antara mengekspresikan dan menerima kalimat sarkasme, terlepas dari kontennya, dapat memfasilitasi kreatifitas melalui peningkatan pemikiran abstrak (Huang et al., 2015). Hipotesis peneliti mengenai hubungan antara sarkasme dan kreatifitas, bersandar pada penelitian Miron-Spektor, Efrat-Treister, Rafaeli, & Schwarz-Cohen (2011), yang menginvestigasi pengaruh mengobservasi sarkasme pada kreatifitas dan berpikir kompleks. Menurut Smith & White (Miron-Spektor et al., 2011) memahami ekspresi sarkastik membutuhkan upaya kognitif yang lebih dan berpikir lebih kompleks daripada memahami kemarahan secara langsung. Terbukti dalam hasil penelitian ini, mengobservasi sarkasme meningkatkan penyelesaian masalah kreatif, bahkan terbukti bahwa performa dalam penyelesaian masalah analitik lebih baik secara signifikan (p<.01) (Miron-Spektor et al., 2011). Penelitian ini yang menjadi sandaran penelitian Huang, Gino, & Galinsky, dimana sarkastik yang mengungkapkan “kalimat positif secara literal untuk mengomunikasikan pesan negatif”, dapat meningkatkan kreatifitas baik itu penerima maupun yang mengekspresikannya. Secara spesifik, peneliti mengajukan bahwa sarkasme dapat menstimulasi kreatifitas, membangkitkan ide, wawasan (insight), atau solusi masalah yang baru dan berguna, baik itu yang mengekspresikan sarkasme maupun yang menerimanya (Huang et al., 2015).

Terdapat lima hipotesis yang hendak dibuktikan dalam penelitian ini, pertama, mengekspresikan atau menerima pesan sarkastik (vs ramah atau netral) meningkatkan konflik (sense of conflict); kedua, mengekspresikan atau menerima pesan sarkastik (vs ramah atau netral) meningkatkan kreatifitas; ketiga, mengekspresikan atau menerima pesan sarkastik (vs ramah atau netral) meningkatkan pemikiran abstrak (abstract thinking); keempat, efek positif dari mengekspresikan dan menerima pesan sarkastik (vs ramah atau netral) pada kreatifitas dimediasi melalui meningkatnya pemikiran abstrak; dan kelima, efek positif dari mengekspresikan dan menerima pesan sarkastik (vs ramah atau netral) pada persepsi konflik akan tereduksi ketika individu mengekspresikan dan menerima pesannya dari seseorang yang mereka percaya.

Pada studi ini, 112 orang Amerika dilibatkan (66 laki-laki, 46 perempuan; usia 21-62, M=34.21, SD=10.39), dengan bayaran 2 dollar secara acak berperan sebagai yang mengekspresikan sarkasme, menerima pesan sarkasme, penerima keramahan, dan kondisi kontrol. Pada eksperimen pertama, partisipan diberikan simulasi percakapan untuk memanipulasi pengalaman mengekspresikan dan menerima sarkasme atau keramahan, dimana partisipan merespon dengan komentar yang tersedia dengan yang paling pertama muncul dalam pikiran. Setelah simulasi, partisipan melengkapi tugas kreatifitas, menggunakan Remote Association Task (RAT) untuk mengukur kreatifitas. Skala konflik, mood, juga diukur setelah simulasi. Selanjutnya, partisipan sendiri mengecek manipulasi yang diberikan, dengan melaporkan tingkatan sarkasme dan ironi dalam setiap percakapan simulasi, dan karena sarkasme juga mengandung humor dan kelucuan, mereka juga memberikan rating pada aspek ini.

Hasil pada eksperimen pertama ini menunjukkan, partisipan yang mengekspresikan sarkasme secara signifikan lebih banyak menyelesaikan dengan benar pada tes kreatifitas (RAT) dibandingkan dengan yang mengekspresikan keramahan (t(39)=2.99, p=.005, d=.93). Partisipan juga, secara signifikan menyelesaikan RAT lebih banyak dengan benar pada mereka yang menerima pesan sarkasme daripada yang mengekspresikan dan menerima pesan keramahan (t(47)=2.35, p=.023, d=.68). Pada eksperimen pertama ini, peneliti berhasil membuktikan hipotesisnya yang pertama dimana, menerima dan mengekspresikan pesan sarkasme, dapat meningkatkan kreatifitas. Selain mendukung hipotesis penelitian, data ini mengonfirmasi penelitian sebelumnya mengenai keterkaitan antara pengekspresian dan menerima pesan sarkasme memiliki hubungan dengan performa kognitif seseorang yang dalam konteks ini adalah kreatifitas. Secara spesifik, temuan penelitian ini memberikan data ilmiah, dimana mengekspresikan atau menerima pesan sarkasme, menggiring seseorang untuk mengalami perasaan konflik lebih besar namun juga meningkatkan kreatifitas dibandingkan mengekspresikan atau menerima pesan keramahan ataupun percakapan netral (Huang et al., 2015). Lebih jelas, hasil eskperimen ini disajikan dalam tabel berikut:



            Untuk mendapatkan hasil yang lebih meyakinkan, peneliti mendesain eksperimen kedua yang memiliki bentuk sama namun melalui manipulasi dan pengetesan kreatifitas yang berbeda. Pada eksperimen 2 ini, partisipan diminta mengingat dan mereka ulang pengalaman sarkasme yang pernah dilakukan. Kelompok partisipan yang mengekspresikan sarkasme dan menerima sarkasme diminta untuk mereka ulang, menjelaskan kembali, menceritakan secara detail apa yang terjadi, hingga apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Begitupun dengan kelompok pengekspresi dan penerima keramahan, namun kelompok kontrol hanya ditanya mengenai percakapan terakhir mereka, dengan siapa dan apa yang diceritakan. Untuk mengukur kreatifitas, partisipan menyelesaikan Duncker Candle Problem (Duncker, 1945), tugas penyelesaian masalah yang memerlukan langkah kreatif, dan mereka diminta menjelaskan penyelesaiannya dengan kata-kata. Aspek lain seperti mood implisit, konflik, dan mood eksplisit juga diukur melalui skala.

Hasil eskperimen kedua, menunjukkan bahwa partisipan yang mengekspresikan sarkasme, secara signifikan lebih banyak menyelesaikan permasalahan pada tes kreatifitas (64%) daripada partisipan yang mengekspresikan keramahan (26%). Pada eksperimen ini juga, ditemukan hasil dimana partisipan yang menerima pesan sarkasme secara signifikan lebih banyak menyelesaikan permasalahan pada tes kreatifitas (75%) daripada yang menerima keramahan. Hasil ini mendukung hipotesis 2, sekaligus mengonfirmasi eksperimen yang pertama. Berdasarkan dua eksperimen tadi, sedikit banyak menjelaskan mengenai keterkaitan dan pengaruh secara langsung dari mengekspresikan pesan-pesan sarkasme dan menerimanya, meningkatkan performa kognitif individu yang dalam konteks ini adalah kreatifitas. Lebih jelas, data hasil penelitian Huang, Gino, & Galinsky (2015) pada eksperimen kedua, digambarkan dalam grafik berikut:


Data lain dalam penelitian ini muncul yakni, partisipan yang berada pada kondisi mengekspresikan sarkasme terkait secara signifikan memiliki pemikiran abstrak lebih dibandingkan dengan penerima keramahan (t(42)=2.38, p=.02, d=.72). Partisipan juga terkait signifikan memiliki pemikiran abstrak yang lebih pada mereka yang dalam kondisi menerima sarkasme daripada mereka yang menerima keramahan (t(48)=2.93, p=.005, d=.83). Berdasarkan data ini, Hipotesis ke-3 didukung, dan membuktikan kembali fungsi dari sarkasme baik itu mengekspresikan maupun menerima, mempengaruhi performa kognitif individu.

3.      Kajian Neurologis Ungkapan Sarkasme

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, data penelitian menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara pengekspresian ungkapan sarkasme dengan performa kognitif yang kompleks pada individu. Meski tergambarkan dalam penelitian melalui data-data yang mendukung hipotesis penelitian serta metode yang sistematis, namun perlu juga digali lebih lanjut mengenai bagaimana mekanisme ekspresi ungkapan sarkasme berkaitan dengan fungsi kognitif di otak. Perlu digali lebih lanjut, fakta penelitian yang empirik mengenai keterkaitan dua hal tersebut, dengan penggambaran dari sisi neurologis di otak. Mengenai hal ini, Uchiyama et al., (2012) melakukan studi mengenai gambaran melalui Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) pada saat seseorang mengungkapkan metafora dan sarkasme.

Pada studi ini, peneliti mempertimbangkan bahwa untuk memahami ungkapan figuratif seperti metafora dan sarkasme, pendengar mesti melakukan antara menilai makna literal dari suatu pernyataan sekaligus menyimpulkan maksud makna dari pembicara (Uchiyama et al., 2012). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mengekspresikan kalimat sarkasme dan juga menafsirkan ungkapan tersebut, tidak sebatas memahami dan menyebutkan kata secara semantik atau sintaktik, melainkan perlu penafsiran makna yang lebih kompleks. Pemahaman dari suatu ungkapan, juga memerlukan pengertian dari intensi pembicara dalam lingkup konteks sosial (pragmatik), dan ironi merupakan bentuk pragmatik yang digunakan dalam menyampaikan perasaan dengan cara tidak langsung (Uchiyama et al., 2012).

Penelitian ini mencoba untuk menelisik area mana dalam otak yang terkait pemrosesan ungkapan metafora dan sarkasme. Melalui gambaran fMRI ketika seseorang dimanipulasi untuk memproses ungkapan figuratif ini, maka akan terlihat area yang terlibat dalam pemrosesan ungkapan metafora dan sarkasme. Penelitian ini menyandarkan pada penelitian sebelumnya, yakni penelitian yang dilakukan oleh Shamay et al tahun 2002, yang menyebutkan bahwa kerusakan di area prefrontal berasosiasi dengan gangguan kemampuan empatik dan ketidakmampuan interpretasi ungkapan ironik. Selain itu Uchiyama pada tahun 2006, melakukan studi melalui fMRI, ketika diberikan tugas mendeteksi sarkasme dalam vignettes tertulis, ua menemukan aktivasi dari jaringan mentalizing.  Jaringan ini mencakup medial frontal cortex (MFC), lateral orbitofrontal cortex kiri, temporal korteks, dan superior temporal sulcus (STS). Berdasarkan studi ini saja, dapat tergambar apa saja yang terlibat secara langsung ketika seseorang mendeteksi sarkasme: MFC yang terkait dengan monitoring-conflict sekaligus penyesuaian kontrol kognitif, outcome evaluation, prediksi eror atau penghindaran eror, analisisis resiko dan keuntungan, dan regulative control atau pemilihan tindakan (Ridderinkhof, Nieuwenhuis, & Braver, 2007). Begitupun lateral orbitofrontal yang menurut studi dari Shimamura (Hooker & Knight, 2006) terbukti berpartisipasi dalam kontrol eksekutif dari pemrosesan informasi dan ekspresi perilaku dengan menginhibisi aktivitas neural yang berasosiasi dengan informasi, sensasi atau aksi yang tidak relevan, tidak diinginkan, atau tidak nyaman.

Meski telah dapat tergambar asosiasi neurologis pada saat terjadi pemrosesan sarkasme, penelitian Uchiyama et al. (2012) ini mencoba melihat perbedaan pada saat memproses ungkapan metaforik dan ungkapan sarkasme. Eksperimen dilakukan kepada 20 partisipan (10 laki-laki dan 10 Perempuan), yang diberikan cerita yang menyampaikan informasi pragmatik, yakni metafora yang secara literal koheren makanya, metafora yang tidak koheren, sarkasme yang koheren, dan sarkasme yang tidak koheren maknanya dengan literal. Pada studi ini, peneliti berasumsi bahwa pemahaman dari bahasa pragmatik seperti metafor dan sarkasme mencakup penilaian dari koherensi literal dalam hal proses pragmatik yang spesifik (Uchiyama et al., 2012). Ketika diberikan eksperimen, data gambaran magnetis direkam untuk dianalisis datanya disesuaikan dengan data pendukung lainnya.

Hasil studi ini menunjukkan, efek metafor ditemukan dalam medial prefrontal korteks, caudate nucleus, anterior cingulate cortex, thalamus, piriform cortex, dan ventral tegmenal area. Efek sarkasme menunjukkan di dua kluster yang berlokasi di medial prefrontal cortex (mPFC) dan amygdala kiri, memanjang ke kutub temporal dan putamen (Uchiyama et al., 2012). Dalam sebuah studi lain yakni Euston, Gruber, & McNaughton (2012), medial prefrontal cortex selain berkaitan erat dengan fungsi pengambilan keputusan, monitoring konflik, deteksi eror, kontrol eksekutif; mPFC juga berkaitan dengan belajar asosiasi diantara konteks, lokasi, peristiwa, dan korespondensi respon adaptif dan respon emosional tertentu, juga memori (Euston et al., 2012). Data ini menggambarkan bahwa pada saat pemrosesan informasi sarkastik, fungsi kognitif yang berkaitan dengan pemilihan tindakan yang mempertimbangkan banyak hal seperti penghindaran konflik, lalu deteksi kesalahan, juga berkaitan dengan konteks, akan aktif dan hal ini menjadi modal untuk individu menghasilkan tindakan yang genuine, baru dan kreatif.

Lebih spesifik, temuan Uchiyama beserta koleganya berdasarkan analisa konjungsi, munculnya metafora dan sarkasme secara umum mengaktifkan anterior rostral medial frontal cortex (arMFC). Hal ini menurut Uchiyama et al, bagian neural dari pemahaman pragmatik menunjukkan lebih luas dan lebih jauh daripada area klasik bahasa. arMFC secara umum berkaitan dengan pemikiran tentang atribusi sosial, terlepas dari ketika mereka menyinggung dirinya atau orang lain, membantuk representasi metakognitif (Uchiyama et al., 2012). Temuan ini juga memperlihatkan pelibatan amygdala kiri ketika pemrosesan informasi sarkasme. Tentunya hal ini terkait dengan pelibatan emosi yang terkandung dalam makna pragmatik dari ungkapan sarkasme, serta amygdala ini merupakan komponen penting dalam perilaku sosial. []

4.       Referensi

Euston, D. R., Gruber, A. J., & McNaughton, B. L. (2012). The Role of Medial Prefrontal Cortex in Memory and Decision Making. Neuron, 76(6), 1057–1070. https://doi.org/10.1016/j.neuron.2012.12.002

Gazzaniga, M. S., Ivry, R. B., & Mangun, G. R. (2015). Cognitive neuroscience: The biology of the mind (4th ed.). New York: W. W. Norton & Company, Inc.

Hasil Pencarian - KBBI Daring. (n.d.). Retrieved October 1, 2017, from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sarkasme

Hooker, C. I., & Knight, R. T. (2006). in the inhibitory control of emotion. The Orbitofrontal Cortex, 307.

Huang, L., Gino, F., & Galinsky, A. D. (2015). The highest form of intelligence: Sarcasm increases creativity for both expressers and recipients. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 131, 162–177. https://doi.org/10.1016/j.obhdp.2015.07.001

Miron-Spektor, E., Efrat-Treister, D., Rafaeli, A., & Schwarz-Cohen, O. (2011). Others’ anger makes people work harder not smarter: The effect of observing anger and sarcasm on creative and analytic thinking. Journal of Applied Psychology, 96(5), 1065–1075. https://doi.org/10.1037/a0023593

Ridderinkhof, K. R., Nieuwenhuis, S., & Braver, T. S. (2007). Medial frontal cortex function: An introduction and overview. Cognitive, Affective, & Behavioral Neuroscience, 7(4), 261–265.

sarcasm | Definition of sarcasm in English by Oxford Dictionaries. (n.d.). Retrieved October 1, 2017, from https://en.oxforddictionaries.com/definition/sarcasm

Uchiyama, H. T., Saito, D. N., Tanabe, H. C., Harada, T., Seki, A., Ohno, K., … Sadato, N. (2012). Distinction between the literal and intended meanings of sentences: A functional magnetic resonance imaging study of metaphor and sarcasm. Cortex, 48(5), 563–583. https://doi.org/10.1016/j.cortex.2011.01.004



Tidak ada komentar:

Posting Komentar