Sabtu, 26 Agustus 2017

Menumbuhkan Kasmaran pada Proses Pendidikan

Oleh : Isman Rahmani Yusron

Sudah sejak lama, dan hingga kini bercokol suatu keyakinan, bahwa mengajarkan anak kedisiplinan di sekolah, adalah dengan menjalankan mekanisme reward and punishment. Keyakinan kuno yang berakar pada tradisi behaviorisme ini, sangat diyakini sebagai metode yang efektif dalam membentuk karakter anak yang disiplin, patuh, penurut, dan taat pada aturan bersekolah. Anak didik, diperlakukan sebagai robot mekanis yang bisa disetel sesuai keinginan si pemegang aturan. Atau, diposisikan sebagai anjing peliharaan, yang bisa dilatih sesuai keinginan si pemilik, jika patuh beri dia hadiah, jika tak patuh: hukum dan paksa, jangan diberi pilihan untuk tidak patuh.

Pendidikan model seperti ini memang paling mudah, namun berakar pada keyakinan yang salah. Pendidikan, kata kuncinya adalah ‘mengembangkan’, dan bukan ‘membentuk’. Memang, tradisi behaviorisme meyakini bahwa manusia dapat dipandang sebagai tabula rasa, yang bisa dibentuk oleh lingkungan. Saya tak akan mementahkan seluruhnya sudut pandang ini apalagi berdebat, namun untuk konteks “Pendidikan”, kita mesti sangat skeptis dengan keyakinan seperti ini.

Setidaknya, sebelum memutuskan dengan gaya tersebut, kita perlu bertanya: apa iya, manusia semudah itu bisa dibentuk? Apa semua manusia bisa dibentuk? Bagaimana kita tau, bahwa landasan kita membentuk seorang manusia itu didasari pada alasan yang tepat? Bagaimana jika kita membentuk mereka menjadi “salah”? Kebenaran mana yang kita pegang? Apa kebenaran kita cocok dengan kebenaran anak yang kita bentuk?. Jika kita yakin ini paling tepat tanpa bertanya, kita telah melakukan simplifikasi yang sangat naif!

Sebagai contoh, praktik pendidikan di indonesia membentuk suatu iklim pembelajaran dimana siswa harus duduk tegap rapih, berjejer jejer, dengan guru di depan sebagai sumber utama belajar, dan siswa dibelakangnya sebagai obyek mengajar guru. Kadang mereka tak diperkenankan menyela guru, tak diperbolehkan mempertanyakan kebenaran yang disampaikan guru, bahkan tak diperbolehkan bersuara jika belum diijinkan guru. Guru sebagai otoritas mutlak saat di kelas.

Apa ini praktik yang tepat dalam konteks “pendidikan”? Tidakkah, itu hanya membentuk siswa sebagai makhluk pasif, tak berdaya, hanya disuapi, dan dipaksa menelan bulat semua ajaran guru tanpa mereka bisa membedakan apakah yang guru cekoki itu vitamin atau racun? Ini sangat mengerikan bagi anak yang sejatinya harus berkembang, meski sangat banal terjadi di Indonesia.

Begitupun dengan mekanisme hukuman. Siswa terlambat di hukum, tak mengerjakan tugas dihukum, dianggap tidak sopan dihukum, tak berseragam rapih dihukum, sepatu berbeda dihukum. Come on, ini lembaga pendidikan atau lembaga pemasyarakatan? Coba kita renungkan ulang, pernah tidak kita memikirkan apa yang terjadi dibalik perilaku yang menyebabkan siswa mendapat hukuman? Siswa terlambat misalnya, kita pernah merenungkan secara serius “apa yang menyebabkan siswa terlambat?”, bisa jadi karena rumah yang jauh, bisa jadi karena semalam membantu orang tua berdagang hingga bangun kesiangan, bisa jadi karena kesalahan teknis bajunya kena kotoran hingga mesti dicuci dahulu demi menyelematkan hargadirinya, bisa jadi karena kemacetan, bahkan bisa jadi karena memang sekolah sudah sebegitu memuakkan baginya!

Yang terakhir ini misalnya, apa salah siswa, jika ia malas ke sekolah karena memang sekolah sudah sedemikian membosankan dan tidak menarik baginya?? Atau ke sekolah bagai dipaksa masuk penjara, sehingga mengulur waktu adalah ide brilian bagi dia? Atau sekolah sudah sedemikian tidak ramahnya sehingga tak muncul simpati dan motivasi untuk memprioritaskan masuk sekolah tepat waktu?

Kontras, -dengan pengalaman saya- jika misalnya saya saksikan anak-anak yang antusias ingin pergi ke stadion untuk mendukung tim kesayangannya. Pertandingan pukul 18.00, dia sudah bersiap dari pukul 15.00. Mempersiapkan makanan bekal, memakai baju tim kesayangan yang sudah dipersiapkan sejak kemarin, merencanakan berangkat pukul berapa, sehingga dalam pikirannya mengantisipasi banyak hal seperti kemungkinan kemacetan, atau menghindari waktu berdesakan masuk stadion, membayangkan tempat parkir yang dipilih agar tidak dicuri, mudah akses, tidak terjebak kemacetan dan berbagai planning brilian lainnya.

Kemudian di stadion, dia segera dengan mudah berbaur dengan penonton lain, saling berbagi makanan dengan orang yang tak ia kenal. Mematuhi untuk tidak duduk di sandaran kursi stadion, menyaksikan pertandingan dengan penuh kognisi bercirikan mengomentari taktik, sensitif pada kesalahan dan keteledoran langkah pemain, dan berbagai penggunaan fungsi kognitif lainnya. Ia juga sedemikian emosionalnya terlibat dalam pertandingan sehingga 90 menit bukan waktu yang lama baginya.

Kenapa bisa seperti itu? Padahal tim kebanggaannya tak pernah menjanjikan reward sedikitpun bagi para pendukung, apalagi punishment misalnya jika telat mendukung? Kata kunci utamanya adalah Terlibat! (Engagement). Bagi saya, alih-alih kita membuang waktu memikirkan hukuman apa yang pantas untuk siswa yang terlambat, bagaimana hukuman yang tepat bagi anak yang tidak mengerjakan PR, lebih baik kita investasikan pikiran kita tentang bagaimana membuat siswa menjadi terlibat pada segala bentuk kegiatan pendidikan di sekolah. Bagaimana kita membuat kelas adalah rumah yang menyenangkan. Bagaimana belajar tidak lagi upaya formil yang rigid, kaku, dan tidak menyenangkan. Bagaimana membuat siswa menjadi rindu sekolah, sehingga terlambat adalah kerugian pribadi baginya karena ia dapat melewatkan momen menyenangkan.

Jika dalam situasi ini, masih perlukah ada hukuman? Atau bahkan reward? Saya yakin, jika siswa sudah terlibat dalam proses pendidikan yang sangat menyenangkan, reward berupa nilai dari guru atau kelulusan sudah tidak penting lagi baginya.

Filsuf pragmatisme, John Dewey pernah mengatakan, suatu pengalaman pendidikan yang dapat mereduksi tumbuhnya pengalaman-pengalaman selanjutnya, adalah salah didik! Ini bisa jadi sebuah indikator bagus atau tidaknya suatu lembaga pendidikan. Kita bisa evaluasi sendiri, apakah proses pendidikan kita menghambat keinginan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar selanjutnya? Jika iya, maka kita telah menjalankan praktik pendidikan yang salah. Karena sejatinya pendidikan, mesti membuat siswa begitu antusias untuk mendapatkan pengalaman belajar selanjutnya.

Jika siswa, dengan begitu mudahnya menyepelekan tugas-tugas sekolah, menyepelekan ketepatan waktu hadir, artinya pendidikan yang dijalankan telah merintangi tumbuhnya pengalaman siswa selanjutnya. Maka bisa dievaluasi juga, seberapa banyak siswa yang trauma pada pendidikan yang ia dapatkan? Sehingga menganggap sekolah adalah mimpi buruk di episode hidupnya.

Kemudian pertanyaannya, bagaimana kita menumbuhkan keterlibatan positif siswa pada pembelajaran? Bagaimana kita merancang sebuah proses pendidikan yang membuat siswa menjadi sangat engage dalam proses pembelajaran? Jawabannya adalah ubah paradigma kita bahwa pendidikan adalah kewajiban! Alih-alih sebagai kewajiban yang banyak menuntut, sekolah mesti ditempatkan sebagai hak.

Ketika kita menempatkan pendidikan sebagai hak, artinya kita harus membentuk proses pendidikan yang sesuai harapan si penuntut hak. Jika kostumer (siswa) kita adalah anak-anak, bentuklah proses pendidikan yang sesuai dengan karakter psikologis anak-anak. Anak-anak mesti bertumbuh, memerlukan sinar matahari, maka jangan dibuat sekolah sebegitu pagi dan gelap, sehingga mengurangi kesempatan secara fisik mendapat anugerah sinar matahari. Buat kegiatan di luar ruangan yang menyenangkan, seperti pembelajaran berbasis permainan dan berbagai kegiatan lainnya yang tidak mengurangi kesempatan mereka menghirup udara pagi dan sinar matahari.

Anak-anak juga mesti matang, maka buat sistem pembelajaran yang tidak membuatnya duduk berlama-lama, melainkan aktif bergerak melatih motorik kasar dan halusnya. Anak-anak mesti mengembangkan kognitifnya, maka berilah suatu stimulus yang membuatnya tengelam dalam menyelesaikan masalah, yang artinya hindari textbook dan LKS, tapi buatlah proyek belajar yang mengasah kemampuan kognitif sekaligus sosialnya. Anak perlu bersosialisasi, maka jangan batasi kerjasama dengan mengotak-ngotakkan tempat duduk. Anak perlu mengasah etika dan keindahan, maka berikan dia kesempatan mengeksplorasi jiwa seninya ketimbang diajarkan menggambar dua gunung satu matahari dengan sawah, jalan dan gubuknya.

Anak perlu berani mengungkapkan pendapat, maka berilah dia kesempatan untuk menceritakan pengalaman hidupnya. Anak perlu matang secara emosi, maka beri kesempatan untuk mengendalikan rasa marahnya. Anak perlu bertoleransi, maka beri kesempatan mereka untuk mengapresiasi hasil kerja temannya. Dan berbagai hal lainnya dengan sumber pengetahuan psikologis tentang anak yang tepat dan terbebas dari mitos-mitos populer.

Jika siswa kita adalah remaja, beri kesempatan luas dia untuk mengembangkan dirinya. Memperoleh jatidirinya, berhenti mendiktenya, perlakukan sebagai temannya, jauhkan dari prasangka kepadanya, jadilah pendengar setianya, fasilitasi keingintahuannya, apresiasi segala sikap kreatifnnya. Masa remaja adalah masa-masa kreatif, maka berikan kebebasan dia berfikir, jauhkan dari penghakiman, fasilitasi dirinya untuk mengungkap identitasnya, beri kesempatan untuk ia memperlihatkan kemampuannya.

Remaja adalah masa emosional dan sosial, maka beri fasilitas untuk mengungkapkan emosinya secara positif, jauhkan tekanan yang berlebihan, berikan kesempatan untuk bekerjasama secara tim. Tumbuhkan kebanggaan pada dirinya, berikan iklim kompetisi berkelompok, jangan sepelekan kerja kerasnya. Berbagai hal bisa dilakukan, dengan tujuan menumbuhkan attachment siswa pada sekolah baik secara fisik, psikologis maupun sosial.

Jika siswa sudah engage pada pendidikan, secara fisik, kognitif, emosional, sosial, saya yakin kita tidak lagi sulit memikirkan hukuman apa yang tepat bagi mereka yang terlambat, mengerjakan tugas, melanggar aturan, dan berbagai stigma dan asumsi negatif yang bahkan belum terbukti. Siswa akan dapat menghargai lembaga pendidikan, jika lembaga pendidikan menyediakan rumah yang penuh dengan pengalaman, daripada menyediakan seabreg tuntutan.

Siswa akan mendisiplinkan diri sendiri, karena ia sangat butuh untuk disiplin, bukan karena dituntut untuk disiplin. Berbagai penelitian membuktikan bahwa lokus kontrol internal, sangat efektif dibanding eksternal. Motif instrinsik lebih berkekuatan daripada motif ekstrinsik. Terakhir, jika sekolah telah menjadi kebutuhan yang menyenangkan, kenapa siswa harus menyepelekan? Think about it! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar