Selasa, 22 Agustus 2017

Ilmu (Tidak) Bebas Kepentingan? Refleksi Kritis Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kemanusiaan.

Oleh: Isman Rahmani Yusron


“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” - Tan Malaka

A.    Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan arus utama, selalu pongah dengan klaim bahwa suatu kebenaran hanya dapat diterima jika telah diverifikasi secara empiris dengan bukti nyata menurut pengalaman. Objektivitas dalam kegiatan ilmiah, seolah menjadi legitimasi yang berlebihan untuk dijadikan sebagai kebenaran yang universal dan dapat digeneralisasi pada aspek yang lebih luas. Seolah-olah, subjektifitas dan rasionalitas subjektif tidak dapat diikutkan dan bermakna peyoratif dalam dunia ilmu pengetahuan. Paradigma ini, memicu sebuah klaim yang berlebihan mengenai ilmiah atau tidaknya suatu teori didasarkan semata-mata pada bukti empirik apa adanya. Bahkan, tradisi pembuktian menurut pengalaman empiris dan objektif ini menjadi pedoman ekslusif yang mendikhotomi realitas menjadi “yang ilmiah” dan “tidak ilmiah”. Sesuatu yang ilmiah dikesankan pada suatu bentuk rigid yang selaras dengan bukti yang ditemukan secara empirik. Hal-hal yang berkaitan dengan nilai dan kepentingan masyarakat, seolah dibebaskan bahkan dijauhkan. Akhirnya, jargon fakta ilmiah bebas nilai, seolah menjadi lazim dan tidak dapat digugat.
Pemisahan ilmu pengetahuan dengan kepentingan, menghasilkan masyarakat keilmuan yang lari dari tanggung jawab. Ilmu pengetahuan dijadikan sebuah domain yang tidak boleh tercampuri urusan politis kemanusiaan. Sekaligus, secara otomatis, ilmu pengetahuan tidak dibentuk untuk secara direktif menyelesaikan masalah nilai kemasyarakatan. Ilmu pengetahuan hanyalah untuk ilmu pengetahuan, demi perkembangan ilmu pengetahuan. Pola saintisme semacam ini, melahirkan sebuah kultur pemisahan ilmu pengetahuan dengan realitas hidup kemasyarakatan. Akibatnya, dunia keilmuan semakin berada di awang-awang, melesat meninggalkan realitas kehidupan yang –jika tak bisa dibilang lamban, memerlukan proses kompleks untuk mencapai titik kemajuan tertentu.
Meski demikian, ketimpangan jarak antara ilmu dan realitas masyarakat, pada akhirnya menggusur pihak yang lebih lamban untuk mengejar ketertinggalannya. Sehingga, dalam hal ini realitas kemasyarakatan yang wajarnya bergerak berproses, dipaksa untuk berubah pesat, serba cepat, mengejar keseimbangan dengan perubahan cepat ilmu pengetahuan. Kondisi ini menghasilkan sebuah tatanan masyarakat yang tak pernah selesai mencerna zaman. Kultur kehidupan berubah dari yang asalnya pendalaman makna alam semesta, menjadi masyarakat kompetitif yang penuh persaingan mewujudkan ambisi idealnya. Situasi yang serba berkompetisi dan bersaing ini, lama kelamaan mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Kehidupan semakin tidak manusiawi, bergerak seperti mesin dalam sebuah pabrik yang berlomba-lomba untuk terus berproduksi, serba transaksional dan saling tindas menindas.

 Ambisi sebagian orang yang ingin memisahkan ilmu pengetahuan dengan kepentingan masyarakat, tentunya tak sempat membayangkan implikasi dari hal itu sedemikian besar. Meskipun, fakta nyata tak terbantahkan dimana kian hari masyarakat semakin tidak manusiawi. Budaya kolektif masyarakat, digantikan oleh individulisme yang satu sama lain bersaing mewujudkan idealisme. Kompetisi menghasilkan kemajuan di satu sisi, dan manusia yang kalah dalam persaingan dan termarjinalkan di sisi lainnya. Dimana, masyarakat yang kalah dalam pesatnya perkembangan zaman, semakin sulit mengejar ketertinggalan. Pada akhirnya, terciptalah sebuah kondisi masyarakat yang serba tertekan dan depresif, yang pada ujungnya terlahir insane society yang kian lama kian memprihatinkan. Para praktisi pengembang ilmu pengetahuan semakin jauh pikirannya dari realitas kehidupan, dan hanya melamunkan suatu utopia kemajuan manusia yang tak pernah puas pada satu titik. Parahnya, masing-masing tidak peduli apakah ada masyarakat yang sudah mengejar atau yang jauh tertinggal. Mereka semakin tenggelam pada kekaguman temuan-temuan baru yang tak pernah bertahan lama.
Ilmu pengetahuan yang bergerak liar melesat jauh dari realitas kepentingan masyarakat, hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan semu yang semakin mekanistik. Pada titik ini, kemanusiaan semakin terdistorsi dan dikur oleh standar idealisme yang utopis. Kesenjangan masyarakat dalam aspek sosioekonomi, menjadi jurang dalam yang sulit dilalui oleh pihak yang kalah dalam persaingan. Pada akhirnya, kehidupan tak ubahnya seperti pertarungan dalam persaingan dimana yang terlahir dalam kekalahan akan selamanya kalah, yang miskin tak punya kesempatan untuk menghadapi kehidupan. Ilmu pengetahuan hanya dapat melanggengkan penindasan, dan tidak berpihak pada realitas masyarakat. Jikalah pemisahan ilmu pengetahuan dari kepentingan menciptakan situasi separah ini, maka apa jadinya masa depan bagi masyarakat yang terlahir dalam kekalahan?
B.     Ilmu dan Kepentingan Masyarakat
Pada prinsipnya, ilmu tak harus dipisahkan dari kemanusiaan. Ilmu pengetahuan harus senantiasa berpihak pada realitas masyarakat. Tak seharusnya ilmu dan kepentingan masyarakat berjalan sendiri-sendiri, keduanya harus saling melengkapi dan saling mewarnai. Ilmu pengetahuan tidak boleh terbebas dari warna kepentingan masyarakat. Keduanya mesti berjalan bersamaan saling menguntungkan, demi menghilangkan situasi penindasan. Jikalah pada akhirnya kemajuan ilmu pengetahuan hanya menghasilkan penindasan bagi masyarakat, sudah sepantasya di kritik dan diluruskan kembali demi kepentingan masyarakat. Pasalnya, jika ilmu pengetahuan hanya dapat menciptakan masyarakat tertindas, tak berpihak pada kepentingan kemasyarakatan, suatu hari kemajuan ilmu pengetahuan akan hanya tinggal retorika yang sulit diwujudkan.
Ilmu pengetahuan, mesti dibentuk dan berorientasi pada keberpihakan pada realitas kehidupan masyarakat. Dunia ide, tak boleh terlepas dari akarnya: kemanusiaan. Kenyaataan yang terjadi saat ini adalah ilmu pengetahuan selalu berhenti pada temuan dan kesimpulan. Sangat sedikit dari kesimpulan dan temuan-temuan tersebut mempertimbangkan implikasi praktis, etis, sosial kemasyarakatan. Bahkan dengan pongahnya kebanyakan temuan-temuan penelitian mendeklarasikan diri terlepas dari kepentingan-kepentingan. Padahal, semestinya bahwa temuan-temuan penelitian mesti berorientasi pada kepentingan kemasyarakatan. Titik tolak keberangkatan dari penelitian ilmiah sudah semestinya memang didasarkan pada pertimbangan mendalam pada kondisi kemasyarakatan dan berbagai kepentingannya. Ilmu tidak boleh sama sekali bebas dari nilai-nilai kehidupan, sebaliknya ilmu harus dilandasi dan melandasi nilai-nilai kehidupan. Produksi teori mesti berorientasi pada pandangan yang memihak pada kepentingan masyarakat. Melalui hal itu, perkembangan ilmu pengetahuan tidak jauh dan terasing dari realitas.
Kebutuhan manusia, dapat didefinisikan sebagai segala hal yang menyangkut kepentingan individu untuk bertahan hidup dan mencapai kesejahteraan dalam kehidupan baik fisik maupun psikis. Dalam arti ini, kehidupan manusia tidak melulu sebagai perjuangan untuk mempertahankan hidup semata, melainkan juga kesempatan untuk menghidupi kehidupan yang sejahtera. Termasuk didalamnya, adalah untuk hidup berdampingan dengan manusia lain secara selaras, sejajar tanpa adanya kondisi yang saling menindas. Definisi ini cukup untuk menjadi orientasi utama dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dimana, ilmu pengetahuan senantiasa diciptakan dan dikembangkan dengan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bukan sebaliknya, dimana manusia yang terus mengejar memenuhi kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan. Posisi manusia dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai subjek, bukan objek, aktif bukan pasif, dan menjadi tuan bukan jadi budak dari ilmu pengetahuan.
Akar dari tujuan dikembangkannya ilmu pengetahuan, haruslah berdasar pada asas manfaat kolektifitas manusia bukan berasal dari kepentingan segelintir orang, apalagi pemodal. Ilmu pengetahuan mesti dikembangkan dengan mendedikasikan diri pada kesejajaran masyarakat dalam kehidupan. Bolehlah kita terkagum pada pesatnya ilmu pengetahuan yang menciptakan berbagai kemudahan bagi masyarakat. Namun, apalah artinya kemajuan tersebut jika hanya menciptakan jurang kesenjangan yang dalam. Apalah arti kemajuan ilmu pengetahuan, jika tak semua manusia dapat dengan sejajar merasakan manfaatnya. Apalah arti kemajuan penggetahuan jika hanya melanggengkan penindasan. Kemajuan ilmu pengetahuan harus senantiasa memberikan perhatian yang besar pada kepentingan masyarakat luas demi terbebasnya masyarakat dari kondisi yang menindas.
Orientasi ilmu pengetahuan mestilah berfokus pada penyadaran manusia demi terciptanya masyarakat yang sadar. Masyarakat sadar yang dimaksud adalah masyarakat yang memiliki penguasaan pemahaman akan kondisi dirinya sendiri dan alam kehidupannya. Masyarakat yang sadar, akan lebih mementingkan masa depan dari kemanusiaan dibandingkan keuntungan pragmatis yang sesaat. Sebagai contoh, ketika ilmu pengetahuan tidak berorientasi pada penyadaran manusia dan melulu hanya memenuhi ambisi pribadi, pengguna ilmu pengetahuan akan semakin eksploitatif terhadap alam bahkan terhadap manusia lainnya. Ilmu pengetahuan pada saat itu, praktis menjadi alasan seseorang menjadi kanibal bagi manusia lainnya. Namun, jika ilmu pengetahuan berorientasi pada penyadaran manusia, ilmu akan menjadi sumber dari kearifan menjaga kelestarian alam dan kemanusiaan. Manusia sadar akan kemanusiaannya sendiri, tidak akan kehilangan dirinya dalam masyarakat apalagi menjadi kanibal yang eksploitatif bagi manusia lainnya. 
Pada titik dimana ilmu pengetahuan berhasil memfasilitasi kepentingan-kepentingan kemanusiaan, mendasarkan pada realitas kemasyarakatan, dan berorientasi pada penyadaran manusia, ilmu pengetahuan akan dengan sendirinya akan menghasilkan peradaban yang manusiawi. Semua bagian masyarakat dapat mencerna jaman dengan sudut pandang ilmu pengetahuan, menciptakan keseimbangan dan kesejajaran. Ilmu tidak lagi berada pada area eksklusif yang jauh dari jangkauan masyarakat. Setiap individu memiliki kesempatan menikmati dan berpartisipasi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Masyarakat tidak sulit memahami setiap kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan, karena perubahannya disampaikan dengan bahasa sederhana yang berasal dari keseharian hidup manusia. Metode-metode keilmuan membumi dan mudah dikuasai manusia karena berakar pada problematika nyata kehidupan. Hasil-hasilnya berimplikasi pada praxis, etis, sosal kemasyarakatan dan mendeklarasikan diri berpihak pada kepentingan kemanusiaan.
Masa depan peradaban manusia yang manusiawi dan memanusiakan, tidak lagi menjadi utopia jika ilmu pengetahuan memfasilitasinya. Dalam arti, perkembangan ilmu pengetahuan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan berdasar pada realitasnya, akan menghasilkan produk-produk pemikiran yang mementingkan kepentingan masyarakat dan kemanusiaan. Batu uji ilmiah suatu kebenaran adalah sejauh mana implikasi kebenaran tersebut berguna bagi penyadaran dan kegunaan praktis di masyarakat luas. Sebuah tatanan sistem keilmuan yang tidak lagi relevan bagi manfaat kemasyarakatan dan malah menciptakan sistem yang menindas, mesti direvisi dan disempurnakan ke arah emansipasi masyarakat dan menciptakan sistem yang egaliter. Ilmu pengetahuan berkembang pada koridor kepentingan kemasyarakatan tanpa memandang kelas. Ilmu pengetahuan dikembangkan untuk kepentingan pembebasan masyarakat, bukan untuk segelintir orang yang bertendensi mengehegemoni manusia lainnya.
C.    Penutup
Implikasi praktis dari cita-cita mengembalikan ilmu pengetahuan untuk tidak jauh dari kepentingan manusia dan masyarakat, pertama-tama adalah dengan menyandarkan penelitian ilmiah pada pendalaman yang komprehensif mengenai kebutuhan masyarakat dan kemanusiaan. Kepekaan seorang ilmuan pada kondisi sosial kemasyarakatan serta menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat dibanding sebagai pengamat, akan menciptakan sudut pandang orientasi keilmuan yang berpihak pada masyarakat. Ilmuwan mendedikasikan diri pada kepentingan masyarakat dan berbagai situasi yang dialaminya, sehingga menghasilkan temuan-temuan penting bagi kemajuan dan pembebasan masyarakat.
Selanjutnya, paradigma ilmu pengetahuan mesti sepakat menolak pengembangan ilmu pengetahuan yang bertendensi memicu kesenjangan dan penindasan diantara masyarakat. Ilmuwan mesti memiliki keberanian untuk memfalsifikasi suatu klaim kebenaran jika pada akhirnya menimbulkan ketertindasan pada masyarakat. Betapapun bergunanya sebuah temuan dan terbukti empirik, jika pada akhirnya hanya mempertahankan status quo di masyarakat dan melanggengkan ketidakadilan, maka mesti direvisi dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Ilmu pengetahuan mesti menjadi alat untuk pembebasan alih-alih dimanfaatkan sebagai alat penindasan. Kegunaan praktis juga mesti selaras dengan kepentingan yang lebih luas.
Ilmu pengetahuan mesti berorientasi juga pada penyadaran masyarakat. Dimana ilmu pengetahuan, dikembangkan dengan tujuan untuk masyarakat memahami kondisinya sendiri dan menyadari perubahan. Ilmu pengetahuan mesti berkembang dalam koridor memahamkan masyarakat pada realitas yang menindas, untuk menyadarkan masyarakat agar mendobrak sistem yang secara tidak disadari melanggengkan penindasan. Ilmu pengetahuan merangsang masyarakat untuk emansipatif berkontribusi memperbaiki tatanan sistem kemasyarakatan yang adil dan egaliter. Sehingga, seluruh masyarakat tanpa terkecuali menjadi subjek dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Penelitian-penelitian ilmiah mesti berlatar belakang pada realitas kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas. Peneliti bertugas menggali dan menerjemahkan dalam bahasa yang sederhana pada ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Melalui pijakan yang bersumber dari kepentingan masyarakat dan fenomena kemasyarakatan yang tidak adil, penelitian dikembangkan agar didapatkan solusi praktis menyelesaikannya. Penelitian ilmiah mesti dijauhkan dari sifat ahistoris yang tak berakar pada sejarah kemanusiaan, dan juga dijauhkan dari sifat asosial yang tidak menyandarkan diri pada kepentingan-kepentingan sosial.
Metode-metode ilmiah mestilah metode yang mudah dipraktikan oleh masyarakat awam, sehingga metode tidak hanya sebatas jalan melainkan juga temuan panduan praktis bagi masyarakat untuk mengujinya. Metode-metode diterjemahkan dalam prosedur yang ramah bagi masyarakat termasuk memudahkan dan sangat memungkinkan untuk dilakukan (feasible). Masyarakat mesti memahami kenapa metode yang sistematik mesti dilakukan, yang oleh karenanya mesti berbentuk sederhana dan mudah difahami.
Terakhir, yang terpenting adalah hasil dari penelitian ilmiah mesti mengandung implikasi-implikasi praktis, teoretis, etis, moral dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Hasil penelitian ilmiah menghasilkan nilai guna praktis untuk kemajuan hidup masyarakat tanpa terkecuali. Kebenaran ilmiah dari hasil penelitian disandarkan pada sejauh mana hasilnya memiliki kebermanfaatan bagi nilai kehidupan sosial. Sehingga akar dari segala ilmu adalah masyarakat, dimana perkembangannya berada tidak jauh dalam jangkauan masyarakat. Hasil penelitian tidak berhenti pada temuan dan kesimpulan, melainkan pada implikasi pada praxis dan kepentingan dalam kehidupan masyarakat.

Referensi:
Fox,D. & Prilletensky,I. (2005). Psikologi Kritis: Metaanalisis Psikologi Modern (terj). Jakarta: Teraju.

Hardiman, F.B. (2009). Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.


Smith, W.A. (2008). Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar