Selasa, 22 Agustus 2017

Teori Kebenaran Pragmatis

Oleh : Isman Rahmani Yusron         
Teori kebenaran pragmatis merupakan derivasi dari aliran filsafat pragmatisme yang lahir pada penghujung abad ke 19 di Amerika. Pragmatisme pertama kali dicetuskan tiga filsuf kenamaan Amerika yakni Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Walaupun ditahun 1955, C.S Peirce menamakan versi pendekatannya sebagai Pragmaticism, karena tidak puas dengan pendekatan William James yang Individualistik (Biesta & Burbules, 2003), sehingga Peirce merasa perlu untuk membedakannya agar tidak identik dengan pendekatan James. Namun, ketiga tokoh ini disebut sebagai tokoh utama dalam membidani aliran pragmatisme.

            Pragmatisme, berakar dari aliran empirisme yang sebelumnya dipopulerkan oleh Immanuel Kant. Meski sering disebut sebagai filsafat Amerika, namun sedikit banyak pragmatisme dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat eropa. Hal ini karena baik Pierce, Dewey, maupun James banyak dipengaruhi oleh fikiran-fikiran Kant dan tokoh-tokohnya selain Pierce (Dewey, James, Mead) mendapatkan pendidikan di universitas eropa sebagaimana lazimnya pada saat itu (Biesta & Burbules, 2003). Pragmatisme dijelaskan sebagai sikap fikiran (attitude of mind), sebagai metode investigasi (method of investigation) dan sebagai teori kebenaran (theory of truth). Sebagai sikap,  (Geyer, 1914)

            Pragamatisme, secara terminologis berasal dari bahasa Yunani yakni pragma. Pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan atau tindakan (Bakhtiar, 2004). Sebagai salah satu aliran filsafat, -meski Pierce hanya menyebut sebagai teknik memecahkan masalah (Muhadjir, 2015), pragmatisme berupaya memfilosofikan sebuah makna dan teori sehingga dengan penemuan makna itu dievaluasi kegunaannya atau kemanfaatannya bagi kehidupan.
Metoda pragmatik menurut Pierce, bukan dimaksudkan untuk menetapkan makna dari semua ide, melainkan untuk konsep intelektual yang mempunyai struktur argumentatif atas fakta obyektif. Pragmatisme tidak hendak membuktikan tentang problem riil metafisik, melainkan hendak menunjukkan bahwa problem metafisik itu tak bermakna apapun (Muhadjir, 2015)

            Ide utama yang dilontarkan oleh Pierce terkait dengan pragmatisme ini ialah mempertimbangkan sebuah kebenaran berdasarkan efek dari kebenaran tersebut, serta bagaimana kebenaran tersebut masuk akal dalam hal-hal yang bersifat praktis. Hal ini tercermin pada pernyataan Pierce dalam esaaynya yang berjudul “How to make our ideas clear” pada tahun 1878 yang menyatkan  :
Consider what effect, that might conceivably have practical bearings, we conceive the object of our conception to have. Then, our conception of these effects is the whole of our conception of the object (Pierce dalam Biesta & Burbules, 2003).

Ide pragmatisme Peirce juga menekankan mengenai konsensus, dimana sebuah kebenaran dinyatakan benar jika secara universal disetujui sebagai suatu kebenaran. Hal ini mencerminkan bahwa sandaran kebenaran adalah keberfungsian bagi manusia secara umum. Kebenaran dinyatakan sebagai benar tidak semata-mata terbukti dalam penelitian eksperimen dengan metode yang benar, melainkan juga sejauh mana kebenaran itu dapat diterima secara universal. Sebagaimana pernyataan Kirkham (1992, p. 82) dalam menjelaskan ide Peirce ini:
Still, it is important to remember that a consensus conclusion is not true because it was arrived at by experience and scientific method. Rather, it is true because it is agreed to universally. In the final analysis, what makes experience and scientific method good ways to get at truth is not that they efectively reveal reality (although he thinks they do) but rather that they are effective at producing agreement.

Menurut Pierce panduan kebenaran pragmatis adalah value dalam action (Muhadjir, 2015), dimana suatu pernyataan dianggap benar jika memiliki nilai dalam kegunaaanya sehari-hari. Begitupun menurut James, bahwa kebenaran itu adalah fungsional, seberapa berfungsinya suatu kebenaran tersebut bagi kehidupan praktis. Pada tradisi Filsafat Pragmatisme, benar atau tidaknya suatu ucapan atau pernyataan, dalil, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat (Bakhtiar, 2004).

Tentunya produksi kebenaran tersebut tidak hanya semata-mata fungsional dan mendatangkan manfaat praktis, namun dalam kaidah ilmiah tetap mempertimbangkan metode dari prodak kebenaran tersebut. Kebenaran yang akan diuji, perlu juga berasal dari disiplin dan metode saintifik. Akan tetapi, sebagaimana ungkapan Kirkham, perlu digarisbawahi bahwa bukan karena metode saintifik yang bagus yang menjadikan kebenaran dinyatakan benarnya, melainkan karena efektifitas metode yang disiplin tersebut dalam melahirkan konsensus. Konsensus ini menandakan bahwa kebenaran tersebut fungsional bagi kehidupan.

Uraian yang telah disampaikan tadi, menetapkan satu hal, bahwa dalam pragmatisme ini batu ujian dari sebuah kebenaran adalah nilai kegunaan, asas manfaat dan fungsional bagi kehidupan. Sebuah pernyataan, yang jika diuji dalam paradigma pragmatisme tidak mengandung asas manfaat dan kegunaan atau bahkan bertentangan dengan hal itu, maka dalam kacamata kebenaran pragmatis tidak dapat disebut sebagai kebenaran. Meskipun, produk kebenaran tersebut bisa jadi melalui metode saintifik tertentu.

Lebih lanjut mengenai hal ini, James (Bakhtiar, 2004) menyatakan “ide-ide yang benar ialah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya, ide yang salah adalah ide yang tidak demikian.” Pernyataan ini mencerminkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang dapat diterima oleh keumuman, sebagai akibat dari keberfungsian dari kebenaran tersebut. Suatu kebenaran yang serasi dengan kebutuhan kehidupan, kemudian dapat dikuatkan dan dapat diperiksa kembali, menjadi sebuah kebenaran dalam kacamata pragmatis.

Setidaknya terdapat 3 batu ujian kebenaran yang diajukan oleh William James, pertama adalah adanya konsekuensi praktis, berguna & workable; Kedua, efektif dan efisien; Ketiga, invensi (Muhadjir, 2015). Makna workable yang pertama jelas, bahwa untuk menetapkan sebuah kebenaran maka perlu sebuah evaluasi apakah nilai atau makna kebenaran tersebut memiliki konsekuensi kegunaan praktisnya atau tidak dalam kehidupan. Selanjutnya, apakah sebuah pernyataan tersebut berfungsi efektif dan mengandung konsekuensi praktis yang memuaskan (satisfactory consequence), karena jika tidak mengandung efektifitas dan efisien maka tidak dapat dinyatakan benar dalam kacamata pragmatis.

Permasalahan yang muncul dari batu ujian kebenaran yang kedua adalah, apa yang dimaksudkan sebagai konsekuensi yang memuaskan (satisfactory consequence) itu? Bakhtiar (2004) menguraikan, setidaknya ada tiga hal yang mencerminkan satisfactory consequence: Pertama, sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia; Kedua, sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen; Ketiga, sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.

Terakhir, bahwa kebenaran itu adalah invensi atau penemuan kreatif, bukan suatu discovery (Muhadjir, 2015).  Makna yang terakhir ini perlu dibedakan antara invensi dan discovery, discoveri merujuk pada penemuan sesuatu yang telah ada sebelumnya, akan tetapi syarat yang diajukan James adalah Invensi dimana kebenaran yang diajukan adalah hasil dari temuan kreatif yang belum ada sebelumnya. Untuk membedakan hal ini Muhadjir (2015) mencontohkan:
Menemukan Amerika atau uang yang hilang itu discovery; menemukan cara memecahkan masalah, termasuk menemukan teknologi itu innovation; menemukan ilmu baru, menemukan teori baru itu invention.
          
  Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diuraikan diatas, menjadi jelas apa yang merupakan kriteria kebenaran menurut teori pragmatis. Sesuatu, pernyataan, maupun teori dimaknai sebagai suatu kebenaran jika memiliki unsur utility, workability, dan satisfactory consequence. Argumentasi yang memiliki ketiga hal ini menjadikan lebih mudah diterima oleh khalayak umum, sehingga menimbulkan konsensus. Konsensus dan universalitas dalam teori pragmatis memiliki kedudukan yang penting, karena prinsip dari kegunaan yang menjadi syarat suatu kebenaran dalam kacamata teori pragmatis. Tambahan lain ialah bahwa suatu kebenaran ini mesti distingtif, hasil dari kreatifitas dan merupakan hal baru.

            Dalam aplikasi keilmuan, teori kebenaran pragmatis ini sering menjadi pedoman dalam sebuah penelitian. Suatu penelitian yang bertujuan menghasilkan sebuah teori baru atau menambah khazanah keilmuan, ditimbang dari prinsip-prinsip pragmatis untuk dijadikan sebuah kebenaran. Hasil penelitian akan diterima sebagai sebuah kebenaran, jika hasilnya fungsional dan memiliki kegunaan dalam kehidupan praktis dan juga dapat dikerjakan. Selain itu, argumen penelitian akan diterima sebagai kebenaran jika menghasilkan kepuasan (satisfaction) bagi kehidupan.

Daftar Pustaka
Bakhtiar, A. (2004). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.
Biesta, G., & Burbules, N. C. (2003). Pragmatism and educational research. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Geyer, D. L. (1914). The pragmatic theory of truth as developed by Peirce, James, and Dewey. University of Illinois.
Kirkham, R. L. (1992). Theories of Truth: A Critical Introduction. Bradford Books. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=s3HDQgAACAAJ

Muhadjir, N. (2015). Filsafat Ilmu, Edisi V Pengembangan 2015. Yogyakarta: Rake Sarasin

1 komentar: