Rabu, 25 Januari 2017

Sistem Penilaian Kumulatif*

Oleh : Isman Rahmani Yusron


Setiap tahun penyelenggaraan Ujian Nasional, setiap tahun juga kebijakan itu mengundang masalah. Masalah tidak hanya terkait dengan urusan teknis, namun pula bersebrangannya semangat UN dengan konsep pedagogis dan filosofis pendidikan. Riak-riak protes tahunan mengenai penyelenggaraan UN, seolah menjadi banal dan lazim. Pemerintah, terutama Kemendikbud, seolah sudah kebal pada aspirasi penghapusan sistem UN ini. Alasannya, tak ada solusi lain sebagus penyelenggaraan UN untuk memetakan kualitas Pendidikan di Indonesia.
            Beberapa tahun belakangan, terutama setelah pemerintahan berganti, ada sedikit tambalan-tambalan mengenai penyelenggaraan evaluasi nasional ini. Sempat hampir dihapus, namun ujungnya berakhir sama: UN tetap terselenggara. Proses standarisasi pendidikan melalui UN ini seolah memiliki dasar konseptual dan filosofis kuat, meski pada faktanya bau-bau bisnis dan berbagai kepentingan, ikut tercium di setiap dipertahankannya kebijakan ini. Meski akhirnya, legitimasi kelulusan dikembalikan ke sekolah, namun penyelenggaraannya seolah tak boleh hilang.
            Penghilangan legitimasi UN sebagai penentu kelulusan, seolah menjadi win-win solution menghadapi riak penolakan UN. Bagi penyelenggara, dalam hal ini pemerintah, mungkin kebijakan ini menjadi angin segar bagi para siswa. Namun bagi siswa, suasana psikologis UN sebagai momok di setiap momen akhir pembelajaran akan tetap menjadi tekanan. Padahal persoalan utamanya justeru hal ini : UN menjadi sumber stress negatif dan mengacau sistem pendidikan. Betapa tidak, banalitas belajar untuk ujian menjadi proses yang lazim setiap tahunnya. Padahal pendidikan, tidaklah dibentuk untuk kepentingan pragmatis seperti ujian, tapi untuk membangun karakter dan kasmaran akan belajar.
            Oleh karena itu, sudah sepatutnya sistem ini dicabut dan dicari solusinya. Secara filosofis, proses belajar di sekolah tidaklah hanya untuk mengejar kelulusan beberapa mata pelajaran Ujian Nasional saja. Lebih jauh, proses belajar seharusnya memacu target hasil belajarnya sendiri setiap saat. Targetnya, tidak hanya yang penting lulus UN, namun memiliki target prestasi di setiap semester. Proses pembelajaran di sekolah, harus melahirkan need of achievement yang tertumpu tidak hanya untuk lulus ujian. Para siswa harus terbiasa mengejar target keberhasilan bahkan sejak semester pertama di sekolah.
            Maka dari itu, kebijakan evaluasi tidak harus hanya tertumpu pada akhir kelulusan. Kebijakan evaluasi pendidikan, perlu menghargai proses pembelajaran sejak awal pembelajaran dimulai. Sehingga, mesti dimunculkan sebuah sistem evaluasi kumulatif yang memacu siswa untuk mengejar target hasil pembelajaran di setiap semesternya. Sistem ini sepenuhnya menjadi target-target pribadi siswa dalam proses belajar di sekolah. Melalui sistem ini, siswa diharapkan mampu terpacu memenuhi target ketercapaian belajar untuk kepentingan kelulusan sejak semester pertama.
            Sebagai contoh, misal pemerintah yang terkoordinasi antara kemendikbud dan kemenristekdikti, menetapkan sebuah ambang minimum keberhasilan siswa berdasarkan akumulasi nilai setiap semesternya dari seluruh mata pelajaran. Hasil nilai kumulatif ini dapat juga digunakan sebagai bahan seleksi masuk perguruan tinggi untuk tingkat SMA. Katakanlah ambang batasnya adalah 80, namun nilai ini merupakan nilai kumulatif dari semester pertama hingga semester terakhir. Sehingga, jika pada saat semester pertama akumulasi nilainya belum sampai pada target nilai 80, maka siswa akan terdorong untuk memperbaiki nilai di semester berikutnya.
            Melalui sistem ini, siswa akan termotivasi memperbaiki hasil nilai belajarnya sendiri di setiap semester. Akan tetapi, siswa juga memiliki kesempatan sepanjang semester untuk termotivasi mengejar target pribadinya sampai ambang batas minimum tercapai bahkan lebih. Apalagi ketika siswa juga memiliki visi untuk lolos di jurusan tertentu di Universitas. Sehingga, siswa terdorong memacu dirinya selama proses pembelajaran dengan sedikit-sedikit mengoleksi nilai agar secara akumulatif memenuhi target nilai minimum diterima di salah satu universitas impiannya.

            Melalui sistem ini, need of achievement siswa tidak hanya ketika mau ujian akhir, namun terus dipelihara sepanjang semester. Sistem ini juga memberikan kesempatan luas untuk siswa fokus pada matapelajaran kesukaannya dan kemampuannya sendiri. Sehingga jika nilai lain tidak terlalu menonjol, dapat diperbaiki oleh peningkatan nilai pelajaran yang disukainya. Melalui hal ini, keragaman kemampuan belajar siswa tetap terakomodasi, namun motivasi siswa mencapai target belajar tetap terpelihara. Urusan hasil akhir, tak ada kata tidak lulus. Hasil usaha sepanjang semesterlah yang menjadi bukti kualitas belajarnya sendiri. 
 *) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 25 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar