Senin, 09 April 2012

Introspeksi: Metode Sakral

Berbicara tentang kita, kawan! Satu pernyataan yang seolah hilang dalam pusaran buih ombak. Bersuara sekejap, lalu hilang tertelan kesunyian. Berbicara tentang kita berarti menggali lebih dalam tentang diri yang telah tenggelam di alam bawah sadar. Introspeksi, sebuah kata klise namun tahukah bahwa ini adalah cikal bakal dari lahirnya berjuta-juta teori psikologi.
Sebuah kata yang perlu kita munculkan di alam sadar kita dan digenggam dengan kuat : Introspeksi. Introspeksi adalah sebuah metode yang dipakai Wilhem Wundt, untuk membidani lahirnya psikologi eksperimental. Meskipun Wundt membantah metode ini dengan nama baru namun dengan substansi yang sama : Retrospeksi.
Introspeksi berasal dari dua suku kata : Intra yang berarti dalam dan Spectare yang berarti melihat. Lebih suka saya artikan sebagai “Mawas Diri”, meski secara istilah diartikan sebagai melihat kedalam diri. Kata ini telah dijadikan sebagai metode untuk melahirkan teori psikologi, meski kedudukannya hanya dijadikan penguat untuk mengevaluasi kebenaran yang muncul dalam teori-teori eksperimental.
Kedudukan introspeksi selalu di subordinatkan dan diragukan keabsahannya oleh berbagai ahli. Posisi penghayatan diri kepada pengalaman-pengalaman yang telah dilalui dikaburkan maknanya dengan sebuah keyakinan baru bahwa hal ini terlalu subjektif. Subjektifitas selalu dilabeli stigma bagi kalangan yang menuhankan metode objektif. Padahal, dirinya sendiri berarti mengingkari eksistensi dirinya sebagai makhluk berfikir.
Tak dapat dipungkiri, bahwa objektifitas adalah sebuah pengingkaran. Manusia tak bisa mengelak dari subjektifitas. Karena, subjek adalah induk dari lahirnya objektifitas-objektifitas yang munafik. Pun dengan introspeksi, sebuah metode ampuh yang menjadi induk berbagai pemikiran brilian ikut di justifikasi sebagai sebuah kesalahan dan jauh dari kevalidan.
Para gerombolan munafik yang menuhankan metode objektif adalah kaum behavioral. Mereka mengingkari introspeksi sebagai suatu cara untuk melahirkan sebuah ilmu. Mereka berkeyakinan bahwa permasalahan ilmiah dalam psikologi harus dilandasi oleh sesuatu yang dapat diukur dan harus objektif. Akhirnya, metode-metode mereka hanya berakhir di tong sampah ketika dibenturkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan.
Bahkan, keangkuhan mereka memposisikan manusia tak lebih sebagai tikus-tikus latih atau bahkan anjing-anjing liar yang perlu dikondisikan seperti apa yang mereka mau. Ketika menjawab akan pertanyaan siapakah manusia? Atau siapakah dirinya? Tak pernah dijawab tegas, hanya penjelasan-penjelasan yang jauh panggang dari api.
Introspeksi, patutnya segera disakralkan. Karena introspeksi merupakan kontemplasi diri yang merupakan proses menuju kebenaran yang hakiki.  Erwin Ariyanto mengungkapkan hal ini dengan ungkapan yang menyentuh: “Sebuah kapal yang akan berlayar pasti membutuhkan petunjuk arah. Namun tak kalah pentingnya adalah selalu mengetahui posisi yang benar ketika di lautan lepas. Karena sedikit kekeliruan membuat kapal tersesat dan kehilangan arah.”
Mengeliminasi Introspeksi dalam setiap diskursus keilmuan hanyalah menempatkan fenomena pada posisi yang bisa diukur dan terfokus pada perilaku semata. Artinya, ilmu tak lebih dari sebuah kuantitas namun tak lekat dengan situasi riil kehidupan. Ini berarti mengesampingkan kesadaran dan sensasi dari setiap ilmu. Mungkin inilah yang menjadikan ilmu sebegitu membosankannya karena terlalu jemu dengan kuantitas dan rumus-rumus baku.
Sejak zaman Sokrates, Introspeksi telah digunakan sebagai metode dari ilmu-ilmu yang dilahirkannya. Meskipun metode ini klasik, namun kemanjuran dari metode ini sungguh perlu dihidupkan kembali. Betapa tidak, kita telah lihat realitas keilmuan yang maha objektif, telah menjauhkan diri kita dari kemanusiaan. Ilmu kita telah menjauhkan diri kita dari realitas-realitas kemanusiaan disekitar.
Suatu bukti nyata, bahwa ilmu yang kita fahami hanya tersandar dilorong-lorong sepi yang jauh dari kenyataan. Ilmu yang didapat tak lebih dari sekadar pengetahuan-pengetahuan yang terjerembab dalam jurang kepicikan. Bahkan kita sering bertanya, ilmu mana yang kita ketahui dapat diaplikasikan di dunia nyata. Atau, bagaimana kita menerapkan apa yang kita tahu dalam praktik-praktik kehidupan.
Introspeksi, sebuah metode yang lahir di Leipzig, Jerman pada tahun 1897 tak boleh lekang ditelan zaman. Apa yang Wundt lahirkan, merupakan sebuah pencerahan bagi keilmuan yang sarat makna. Ini merupakan negasi dari teori-teori behavioris, namun tak juga merupakan penguat dari psikoanalisis. Karena seperti apa yang telah diucapkan Maslow, kita perlu merumuskan secara mandiri titik tengah dari setiap perdebatan keilmuan. Menurutnya, terlalu picik jika mengatakan psikoanalisa sebagai teori yang “sakit jiwa” dan juga terlalu picik mengatakan bahwa behavioral merupakan metode yang terlalu mekanis. Tapi perlu ada sebuah integrasi aplikasi yang tak menghilangkan sebuah metoda introspeksi.
Introspeksi perlu segera dijadikan sebuah pegangan dari setiap praktik-praktik keilmuan. Kita jangan naif meniru sebuah metode yang pada kenyataannya jauh dari realitas. Introspeksi perlu jadi salah satu jalan agar muncul dinamika keilmuan yang relevan sesuai keadaan. Jangan sampai kita menelan bulat-bulat ilmu tanpa kita mencampurkan subjektifitas diri yang berasal dari pengalaman-pengalaman kehidupan. Mengintegrasikan penghayatan kehidupan pada setiap aplikasi keilmuan adalah sebuah jalan menuju pencerahan.
Sebuah antitesa dari hal itu hanya menjadikan kita sebagai manusia-manusia kaku. Kemanusiaan tak diperhitungkan dalam setiap transformasi keilmuan. Lebih jauh, kita mesti rumuskan sendiri apa yang kita tahu, agar teori-teori tidak menjadi kepanjangan tangan dari penindasan kemanusiaan. Introspeksi, sebuah metode sakral yang perlu kembali diingatkan.
kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA
( itb bandung – 19 agustus 1978 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar