Selasa, 14 Februari 2017

Merasa Puas Menyebar Kebohongan

Mencermati perilaku masyarakat belakangan ini, terutama di sosial media dan internet secara umum, sangat menarik meski terkadang menggelikan atau bahkan membuat semakin sering mengelus dada. Terutama saat mendekati momen perebutan kekuasaan dan konstelasi politik, semakin banyak fenomena-fenomena gangguan perilaku yang negatif berskala besar. Pembuatan dan penyebaran informasi serta gambar-gambar hoax misalnya. Perilaku ini kian hari kian sering saja kita saksikan, terlepas dari motif kepentingan dibelakangnya, namun perilaku ini memberikan indikasi kekurang sehatan mental yang semakin massif.
Tidak perlu dibahas persoalan siapa mendukung siapa, atau menjadi tim sukses siapa, bahkan fanatis pada salah satu calon, dalam batas tertentu itu wajar saja. Setiap orang memiliki pilihan, memiliki jagoan yang ingin dimenangkan, sangat wajar sekali apalagi terkait dengan kepentingan politis. Tak ada yang salah, saat orang berhasrat memenangkan salah satu calon, dan berharap calon lainnya tidak menang. Namun, jika motif-motif politik tadi sudah sampai pada memberikan intensi seseorang untuk terilhami melakukan perilaku yang negatif bahkan antisosial secara sadar, ini yang jadi masalah.
Salahsatu perilaku negatif yang fenomenal saat ini adalah, semakin banyak orang yang memiliki intensi menyebarkan informasi palsu atau menyebarkan kebohongan (populernya menyebarkan hoax). Jika kita menyempatkan diri memahami gejala ini, kita akan dapatkan beberapa hal: pertama, informasi dan gambar-gambar hoax itu jelas ada yang membuat; Kedua, hampir tidak mungkin pembuat hoax itu tidak menyadari bahwa informasinya palsu atau bohong; Ketiga, membuat dan menyebarkannya memerlukan effort yang tidak mudah, Sehingga memang diniatkan dengan penuh kesadaran; Keempat, tidak bisa dinafikkan tentu si pembuat hoax tau akibat dari penyebaran informasi palsu yang dibuatnya; Terakhir, pembuat informasi hoax ini tentu sudah membuat pilihan yang bertentangan dengan nalarnya sendiri.
Dari hal-hal tersebut, tidak berlebihan kiranya saya bilang bahwa pembuat informasi hoax tidak sehat mentalnya. Kenapa? Karena dia berupaya secara penuh kesadaran menepikan suara hatinya sendiri untuk tetap membuat informasi yang jelas diketahui oleh dirinya sendiri bahwa itu bohong. Padahal, si pembuat berita hoax memiliki kuasa atas dirinya sendiri untuk memilih tidak berbohong. Artinya, ada semacam impuls negatif yang jauh lebih kuat mendorong daripada kuasa sadarnya sendiri. Dia tahu, faham, bahkan hatinya yakin yang dibuat oleh dirinya adalah kebohongan, tapi intensi untuk membuat kebohongan tetap dilakukan meski bertentangan dengan kesadarannya sendiri.
Dalam hal ini saya memiliki hipotesa, bahwa si pembuat berita hoax mendapatkan kepuasan dan kesenangan jika informasi bohongnya berhasil menjadi viral melalui berbagai talang media. Pasalnya, saya menemukan si pembuat informasi hoax tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Entahlah, apakah rasa bersalahnya sudah hilang tenggelam oleh kepuasan mendapati informasinya dibagikan oleh ribuan orang dengan respon like yang sangat banyak atau malah sejak awal tak merasa bersalah sama sekali. Namun yang jelas, logika awampun pasti dapat menyadari bahwa mendapatkan kepuasan dari berbohong bukan indikasi dari mental yang sehat.
Semakin massif dan viralnya informasi hoax, juga berimplikasi pada ketidaksehatan konsumen informasi tersebut. Konsumen informasi hoax, seolah mendapatkan fasilitasi pembenaran dari berbagai prasangka yang tidak nyata. Namun prasangka dan lamunan itu difasilitasi jadi keyakinan akibat munculnya informasi palsu yang sesuai prasangkanya. Satu fakta lagi muncul, pembuat berita hoax tau jelas selera masyarakat! Sekali lagi, high order thinking nya memang berfungsi, tapi tidak difungsikan dalam menghasilkan fakta yang mencerahkan melainkan menyesatkan.
Masyarakat yang kebingungan untuk mencari kepastian dari prasangka-prasangkanya, akhirnya mendapatkan kepuasan dari kemunculan informasi-informasi hoax tersebut. Gejala dari prasangka memang memiliki hasrat yang tinggi untuk mendapati fakta agar secara mantap meyakini sangkaannya. Karena berada dalam ketidak pastian tidak cukup nyaman bagi dirinya walau prasangka tersebut hasil dari buah pikirannya sendiri. Faktor inilah yang pada akhirnya informasi hoax begitu digemari. Meskipun, saya pribadi meyakini bahwa pengonsumsi informasi hoax itu tak sepenuhnya yakin bahwa fakta yang didapatkannya benar, atau bahkan tau betul bahwa itu bohong. Lagi-lagi pengetahuan tentang kebohongan itu tak merintangi diri untuk tetap ikut menyebarkan kebohongan.
Akhirnya, viralnya informasi hoax menjadi lingkaran yang menjerat masyarakat pada ketidaksehatan mental. Semakin banyak orang yang terpuaskan dari informasi yang bohong dan menyesatkan. Daya kritis menjadi lemah, karena memang informasi yang bohong itulah yang ingin seolah-oleh benar terjadi. Akhirnya, yang terjadi bukan siapa membohongi siapa, tapi bersama-sama menikmati bahwa kebohongan itu menyenangkan. Ini jelas tidak wajar, namun sangat banal terjadi di masyarakat akhir-akhir ini. Tak berlebihan, saya katakan kita mesti berhati-hati pada setiap informasi, karena hoax mengarah pada efek negatif bagi kesehatan mental.
Mendapati kenyataan tak sesuai dengan harapan memang berat diterima. Namun, hal itu jangan menjadikan kita mengakali dengan berbagai cara agar harapan harus selalu sesuai kenyataan, hingga mesti memproduksi dan mengonsumsi fakta palsu. Belajar menerima kenyataan tak sesuai harapan, adalah langkah awal terlepas dari belenggu candu hoax. Menyadari bahwa semua orang bisa membuat informasi apa saja, ngomong apa saja, menulis apa saja tanpa mengindahkan bahwa itu bohong atau tidak, sangat perlu. Sehingga, melalui kesadaran itulah kita terhindar dari candu hoax. Terakhir, kekritisan dan kedisiplinan berfikir jadi sangat penting di era informasi yang serba terbuka ini.
Tulisan ini saya tekankan tidak dalam rangka ikut berpolemik pada hiruk pikuk politik, selamat berperilaku sehat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar