Rabu, 05 Desember 2012

Filsafat Ilmu dan dalam Al-Qur'an

Beberapa waktu lalu, saya kurang mengingat waktu tepatnya, kawan saya –yang juga merupakan kakak tingkat saya, bertanya mengenai referensi Filsafat Ilmu. Waktu itu ia sedang memiliki tugas kuliah di studi S2 nya yang meminta untuk mengkaji Filsafat Ilmu dari berbagai referensi. Kebetulan waktu itu perbendaharaan buku yang menjelaskan mengenai Filsafat imu masih sedikit dan itupun sedang dipinjam oleh kawan saya yang lain –yang juga kakak tingkat saya meskipun tak sejurusan.
Waktu itu saya ingin sekali berdiskusi mengenai hakikat Filsafat Ilmu dengan kawan saya itu. Tapi sepertinya karena limit waktu yang dimilikinya untuk mengumpulkan tugas, maka diskusi tak bisa dilakukan. Tapi sampai saat ini seolah argumen-argumen mengenai diskusi Filsafat Ilmu meluap-luap difikiran saya. Saya ingin berdiskusi, dan mengeluarkan segala isi otak saya. Tapi hingga saat ini saya belum menemukan orang yang tepat berdiskusi mengenai hal ini.
Memang, berbicara mengenai Filsafat Ilmu merupakan field of knowledge yang cukup rumit. Biasanya kita hanya menerima Ilmu secara instan dan tak pernah terfikir untuk menelusuri asal-usul Ilmu sampai pada akar yang sangat mendasar. Dan berdiskusi mengenai hakikat Ilmu pasti membutuhkan waktu berjam-jam, tak cukup hanya dengan diskusi sampai subuh hari. Saking rumit dan sungguh kompleksnya pembahasan. Butuh juga beratus-ratus lembar untuk menuliskan segala problematika dan diskursusnya.
Sekilas saya coba bahas mengenai hal ini, tapi saya tak akan mungkin membicarakan hal itu semua. Saya akan coba menakarnya dan menuliskannya secara mudah saja. Sekaligus saya ingin mengawinkan dengan tradisi keilmuan Islam –yang bersumber dari Al-Qur’an tentunya, yang saya rasa jauh lebih kaya dibanding tradisi keilmuan barat.
Filsafat Ilmu, adalah bagian dari Epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat Ilmu. Epistemologi merupakan bagian dari cabang Filsafat yang berarti knowledge yakni sebuah bagian kontemplasi yang mengkaji mengenai asal-usul, metodologi serta hakikat sebuah pengetahuan. Berbicara mengenai Filsafat Ilmu berarti sebuah Ilmu yang mempelajari mengenai Ilmu secara komprehensif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Filsafat Ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.
Sering kita membicarakan persoalan mengenai asal usul Ilmu. Salah satu yang paling populer adalah mempertanyakan kevalidan Ilmu untuk dijadikan bahan argumentasi. Semisal, teori yang ada, lalu dijadikan sebuah asumsi dalam sebuah penelitian. Kadang kita mempertanyakan apakah teori tersebut dapat kita jadikan sebagai bahan argumentasi? Sederhananya misalkan kita katakan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa berkembang. Hal itu dapat kita pertanyakan: apa yang mendasarinya? Jika pertanyaan itu terlontar, maka satu jawaban yang muncul : hal itu hasil dari penelitian “si anu” dengan metodologi “anu” metode “anu” dan lain-lain. Sehingga kita dapat mempercayai bahwa Ilmu itu memang dapat kita jadikan argumentasi karena sudah dibuktikan dengan sebuah penelitian.
Nah, dalam sudut pandang Filsafat Ilmu, metodologi atau metode yang disiplin dalam memperoleh satu Ilmu adalah penguat yang menjadikan absahnya sebuah Ilmu atau teori. Pusing kawan? Mari kita sederhanakan. Kita tahu tentunya bahwa sebuah hasil penelitian yang dapat kita akui sebagai sebuah Ilmu pengetahuan adalah sebuah hasil dari pengolahan berbagai teori dan asumsi yang dibuktikan kembali dengan sistematika penelitian. Seperti misalnya, dengan pendekatan kuantitatif, dengan metode eksperimen, lalu desain penelitian “pretest and posttest control group” dan dengan analisis data tertentu.
Setelah dilakukan dengan metode yang telah direncanakan dan dari hasil analisis data maka munculah sebuah hasil yang menunjukkan hal tertentu. Lalu semua itu dituliskan dalam karya ilmiah dengan sistematika yang tepat dan standar. Hasil dari tulisan itu bisa kita ketahui sebagai skripsi, tesis atau disertasi. Itulah yang dinamakan sebagai pencarian kebenaran Ilmu. Hasilnya bisa dikatakan sebagai sebuah Ilmu.
Lalu dimana letak Filsafat Ilmu bermukim? Filsafat Ilmu tempatnya ialah yang menciptakan sebuah metode dan berbagai sistematika didalamnya. Cukup rumit bukan? Tapi coba kita sederhanakan. Hasil dari Filsafat Ilmu ialah sebuah rambu-rambu yang sadar, aktif dan sistematis yang digunakan sebagai cara untuk memperoleh sebuah Ilmu tertentu. Jadi, adanya sebuah metode penelitian, desain penelitian dan berbagai sistematikanya ialah hasil dari Filsafat Ilmu. Jadi, jangan heran adanya metode penelitian atau metode riset tidak disebut sebuah Ilmu. Karena yang merupakan akar Ilmu ialah Filsafat Ilmu.
Pernahkah kawan mempertanyakan kenapa “metode penelitian” itu bukan sebagai Ilmu seperti halnya Ilmu Konseling atau Ilmu Psikologi? Ya, jawabannya adalah karena metode penelitian adalah rambu-rambu atau cara yang dilahirkan untuk menemukan sebuah kebenaran ilmiah dan itu merupakan hasil dari Filsafat Ilmu. Sedikit tips saja buat kawan-kawan yang sedang sibuk membuat skripsi atau proposal penelitian, jika ingin dengan mudah memahami metode penelitian, pelajari dahulu Filsafat Ilmu. Sehingga kita faham kenapa kita melakukan metode-metode tertentu dalam penelitian.
Filsafat Ilmu sebenarnya lahir dari filsuf seperti Aristoteles, dia yang dinyatakan sebagai peletak dasar prinsip mencari kebenaran ilmiah yang dituangkannya dalam buku Organon Oa Laterpretation dan Prior Asilyteis. Buku itu mengupas mengenai metodologi dan logika keilmuan. Tapi, as we know bahwa Aristoteles adalah filsuf yunani yang bukan dari Islam. Kenapa saya menghubungkan hal ini? Ini atas dasar skeptisisme saya mengenai Aristoteles. Saya rasa, argumentasi-argumentasinya tak pantas kita akui sebagai kebenaran hakiki. Kenapa? Karena dia hanya bersumber dari kontemplasi-kontemplasi yang arbitrer.
Meskipun Ilmunya banyak diadopsi dan diakui, tapi siapa yang dapat membuktikan bahwa dia itu sempurna kebenarannya? Ini juga merupakan telaahan Filsafat Ilmu. Ciri khas orang berilmu adalah “tidak mudah percaya”. Jadi saya fikir, saya –sebagai seorang Islam, mempunyai referensi yang lebih otentik dan tak perlu diragukan lagi kebenarannya: Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab yang bersumber dari firman sang Maha pemilik Ilmu: Allah S.W.T. Jadi saya tidak perlu ragu lagi akan kebenarannya, karena wong Dia yang punya Ilmu.
Kita coba telaah hakikat keilmuan dari sudut pandang Al-Qur’an. Al-Qur’an dan agama Islam, adalah satu-satunya kitab dan agama yang mewajibkan untuk mencari Ilmu secara kritis dan anti taklid (mengikuti tanpa skeptis akan kebenarannya). Jika kita bandingkan dengan kitab dan agama lain, tidak ada kiranya yang mewajibkan umatnya untuk mencari Ilmu. Misalkan Kristiani, pada zaman pra-Renaissans, gereja malah mengharamkan umatnya untuk mempelajari Ilmu secara kritis dan radikal. Bahkan pada masa itu, sebuah kajian keilmuan yang tak sepaham dengan gereja akan kena sanksi yakni dibunuh. Umat hanya boleh mengikuti pendapat gereja tanpa diperbolehkan untuk mempertanyakannya secara kritis.
Lain halnya dengan Islam, Islam malah mengharamkan umatnya untuk melakukan taqlid, atau hanya mengikuti pendapat tanpa berusaha mempertanyakan keabsahannya. Dalam Al-Qur’an setidaknya mengisyaratkan  4 langkah tuntunan dalam berfikir:
Pertama, Al-Taharrur min quyud al-Urf wa al-Takhalush ‘an Aghlal al-Taqalid. Al-Qur’an meminta kita untuk berupaya membebaska pemikiran dari belenggu taklid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan. Langkah tersebut merupakan metode ilmiah praktis (Minhaz ‘Ilmu amali).
Kedua, Al-Ta’ammul wa al-Musyahadah. Yakni langkah meditasi pencarian bukti atau data ilmiah empirik. Kita kenal langkah ini sebagai studi literatur.
Ketiga, Al-Bahts wa al-Muwajanah wa al-Istiqra’. Yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan berpedoman pada prinsip-prinsip penalaran untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data-data empirik yang ditemukan. Kita kenal langkah ini sebagai “analisis data”.
Keempat, Al-Hukm Mabni ‘ala al-Dalil wa al-Burhan. Yaitu langkah keputusan ilmiah yang didasarkan atas argumen dan bukti ilmiah. Tahap ini kita biasa tempatkan pada Bab Kesimpulan.
Dari empat metodologi diatas kita dapat aplikasikan bagaimana pencarian sebuah kebenaran dalam tradisi keilmuan Islam. Kadang kita ragu memilih pendekatan metode ilmiah yang bersumber dari Ilmu Islam. Bagi yang berfikir sempit, mungkin merasa phobia mengenai kata “Islami” dalam konteks keilmuan. Mungkin mereka ini berfikir bahwa Islam dan Al-Qur’an hanya mengurusi Ibadah, Surga dan Neraka. Padahal, metodologi keilmuan atau bahkan yang dikatakan sebagai Filsafat Ilmu sudah tertuang dalam Al-Qur’an. Bedanya, jika Filsafat yunani berasal dari kontemplasi pemikiran dan menemukan dengan asas “sakapanggihna” (seketemunya), tapi kalau Al-Qur’an berasal dari si empunya Ilmu: Allah SWT.
Jadi kita percaya yang mana? Yang “nonsense” atau yang bersumber dari Allah SWT yang Maha mengetahui?
Namun terkadang diskusi-diskusi Filsafat Ilmu tidak sampai pada wilayah ini. Yang dikutip pendapatnya adalah pendapat manusia saja (tokoh-tokoh) dan bahkan menjadi sebuah paradoks! Betapa tidak, dalam pencarian kebenaran ilmiah, kita tidak diperbolehkan untuk menerima begitu saja Ilmu, harus skeptis, dan dibuktikan dengan metode ilmiah. Haram sekali dalam karya ilmiah, kita dengan mudah mempercayai sebuah teori. Harus dipertanyakan kebenarannya. Tapi, seringnya kita malah mengadopsi berbagai asumsi dari tokoh-tokoh dan dijadikan sebagai landasan kuat dalam penelitian Ilmiah. Bukankah itu kita sedang melakukan taklid? Menerima begitu saja berbagai teori dan asumsi?
Dalam tradisi keilmuan Islam, metode-metode pencarian kebenaran Ilmiah dijauhkan dari segala taklid. Tidak diperbolehkan menerima begitu saja teori-teori keilmuan meskipun dari tokoh Ilmu. Bahkan dalam tradisi keilmuan Islam, Ilmu Allah (Al-Qur’an) pun harus ditafsirkan secara skeptis dan kritis. Islam tak pernah menginstruksikan untuk mengikuti (taklid) terhadap sesuatu tanpa Ilmu. Semua harus difikirkan dengan keilmuan. Namun tentunya jangan berlebihan atau melampaui batas (Adam tajawuz al-Had). Misalkan mempertanyakan perihal yang gaib atau ketuhanan (tauhid). Hal ini Allah hanya meminta kita untuk percaya, karena sebetapapun kita berusaha tidak mungkin kita dapat menyibaknya. Seperti  dalam Surat Al-An’aam ayat 59, dan Surat Luqman ayat 34. Perihal yang sifatnya ketauhidan, itu merupakan ayat yang jelas dogmatis. Tak perlu lagi meragukan, karena bagaimanapun kita tak bisa membuktikannya dalam akal.
Tapi, untuk hal yang sifatnya Ilmu-Ilmu duniawi, Allah meminta kita untuk tetap skeptis dan kritis. Saya jadi berfikir, bahwa ternyata budaya kritis itu justru bersumber dari tradisi keilmuan Islam. Hal ini bisa dibaca dalam Surat AL-Hujuraat ayat 6. Lantas, larangan taklid yakni diisyaratkan dalam Surat Al-Qiyamah ayat 16. Silahkan cek masing-masing dalam Al-Qur’an. Allah SWT menempatkan manusia bukan sebagai Insan al-Nathiq (manusia berfikir) saja, seperti dalam keyakinan Ilmu psikologi. Tapi Allah menempatkan kita sebagai Ulul Albab (manusia yang menggunakan akal fikiran dan ketundukan hatinya) atau ashabul ukul (pemilik akal).
Artinya, manusia ditempatkan bukan sebagai orang yang dapat menerima–atau memikirkan begitu saja Ilmu yang ada. Melainkan, Allah dalam Al-Qur’an menempatkan kita sebagai orang yang berakal yang harus mengkritisi dan mencari kebenaran hakiki sebuah Ilmu. Bukan sebagai makhluk taqlid, tapi makhluk yang dapat menggerakan akalnya. Dan saya katakan inilah esensi yang hakiki mengenai Filsafat Ilmu. Karena kita berikhtiar untuk terus menelusuri segala hakikat Ilmu. Sedangkan Ilmu yang ada saat ini hanya kita terima saja tanpa kita diperbolehkan berasumsi secara kritis dan mandiri. Dan saya katakan tradisi keilmuan ini bukan dari Filsafat Ilmu yang hakiki. Tak pantas disebut Ilmuan, tapi hanya orang yang taklid saja.
Jadi, benarkah tokoh-tokoh, profesor, doktor, magister dan yang lainnya itu adalah Ilmuan? Atau hanya tukang gado-gado yang mencampur segala Ilmu saja? Saya katakan bahwa yang disebut Ilmuan adalah orang yang tak mudah percaya mengenai Ilmu yang ada, Ilmuan adalah orang yang dapat secara hakiki mengamalkan prinsip-prinsip al-Qur’an. Semoga kita jadi Ilmuan, bukan seorang yang Taqlid!
Disarikan dari buku yang saya baca pagi ini : Mantiq, Kaidah Berfikir Islami karya Syukriadi Sambas dan Panorama Filsafat Modern karya K.Bertens. Ditulis sambil menghisap rokok, segelas kopi yang telah dingin, perut yang lapar dan sejumput kemauan untuk menulis. Rabu memang hari yang jarang saya gunakan untuk liburan, meskipun libur. 

1 komentar:

  1. Terima kasih atas ilmunya, tulisannya mudah dipahami untuk orang seperti saya yang masih awam ttg kefilsafatan :)

    BalasHapus