Oleh : Isman Rahmani Yusron
Awal tahun ajaran baru merupakan momentum penting bagi para guru,
setidaknya untuk melakukan 3 hal: Evaluasi, Formulasi, dan Menyusun Strategi.
Proses pembelajaran di sekolah, perlu dilakukan rekalibrasi, agar tetap
relevan dengan kondisi kekinian, namun tak mengikis prinsip utama pendidikan.
Di jaman kekinian, belajar mengajar di sekolah tak lagi sebatas pedagogy,
namun juga heutagogy, peeragogy, dan cybergogy.
Telah umum
kiranya, di sekolah-sekolah, proses pembelajaran menempatkan guru sebagai
sumber utama belajar. Guru menjadi titik sentral pembelajaran, dan siswa
menjadi audiens penyimak dan berlaku pasif dan jadi objek dalam belajar. Gaya
ini memang bertahan menjadi tradisi persekolahan, kendatipun telah banyak
gerakan-gerakan untuk mengubah pembelajaran yang asalnya teacher centered
menjadi student centered.
Para guru telah
semestinya menjadi garda depan pemecah tradisi kekunoan ini. Bisa kita saksikan
kini, sumber informasi, sumber pengetahuan, hingga sumber kepercayaan telah
berada di setiap genggaman siswa sendiri. Sehingga, praktik pembelajaran yang
bersifat pedagogis menghadapi keniscayaannya sendiri di jaman ini : tidak
relevan dan sangat banal.
Jika masih
bertahan dengan model yang satu ini, pembelajaran menjadi kian tidak menarik. Belajar
di sekolah malah menjadi kurungan, di saat pengetahuan yang lebih beragam
dengan mudahnya mereka dapat diluar kelas. Maka, guru perlu segera mengubah
siasat. Mengajar tak lagi berarti ‘mengajari’, akan tetapi ‘memfasilitasi’ dan
‘menanam budi’.
Jaman ini,
setidaknya ada tiga alternatif utama siasat dalam proses pendidikan di sekolah.
Pertama, Heutagogy. Heutagogy ini merupakan strategi mendidik
siswa yang mendorong mereka untuk memiliki keterampilan mengarahkan diri.
Pengembangan kemampuan self-directing ini begitu penting di jaman multitasking
ini. Tanpa kemampuan mengarahkan diri, siswa akan sangat mudah terganggu,
terpengaruh, dan teralihkan oleh berseliwerannya fitur-fitur digital.
Kita saksikan
bersama, berbagai fitur gadget dan berjuta aplikasi kini telah
membanjiri benak para siswa. Kemampuan berkonsentrasi pada satu hal secara
mendalam, kian tergerus dan mengganggu fokus. Jika siswa tidak dilatih
keterampilannya untuk mengarahkan diri, siswa akan selalu terbuai dengan
berbagai konten informasi dan aplikasi yang membuat konsentrasi belajarnya
terbagi. Hal ini dapat membuat para pelajar memiliki pengetahuan dangkal, dan
tak mampu memahami suatu permasalahan secara komprehensif.
Strategi
pendidikan kedua, yakni Peeragogy. Peeragogy ini adalah strategi
pendidikan yang membiasakan siswa untuk terlatih fokus pada belajar bekerjasama
dan mencipta bersama-sama. Tak dapat dinafikan, gadget yang kini
digandrungi para peserta didik kian menjauhkan mereka dari lingkungan sosial.
Siswa menjadi sangat individual dan tak terbiasa belajar dengan teman sebaya.
Padahal, keterampilan abad 21 mensyaratkan kompetensi siswa untuk mampu
berkolaborasi dengan individu lainnya. Kompetensi berkolaborasi ini perlu
ditanamkan melalui strategi peeragogy.
Strategi yang
ketiga, ialah Cybergogy. Cybergogy ini merupakan strategi
pendidikan yang mendorong para pembelajar untuk terlibat dalam lingkungan
belajar dalam jaringan. Lingkungan Online, serba terkoneksi, kini telah
menjadi keseharian dari kehidupan para siswa. Media komunikasi dan interaksi,
suka tidak suka kini telah beralih dari bentuk fisik ke bentuk maya.
Akan tetapi,
alih-alih jadi kekhawatiran, justru situasi ini menciptakan suatu peluang baru
dalam proses pendidikan maupun belajar mengajar. Guru dapat menciptakan
lingkungan dan iklim belajar yang lebih luas tanpa dibatasi oleh sekat-sekat
tradisional: ruang kelas, jadwal dan kurikulum. Proses pendidikan dapat
menjelajah kehidupan siswa secara lebih luas, dan membuat iklim eksplorasi
pengetahuan menjadi menarik dan relevan dengan kondisi kekinian.
Tiga alternatif
strategi ini dapat di integrasikan dan dikolaborasikan menjadi suatu strategi
dan formulasi baru dalam dunia pendidikan. Sehingga, sekolah semakin dekat
dengan para siswa, dan konten belajar menjadi lebih relevan bagi kehidupan para
siswa. Kita perlu menciptakan strategi-strategi baru, agar pendidikan tetap
tidak jauh dengan jaman dan tetap relevan dengan kehidupan.
*) Dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 28 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar