Sanjungan kepada sosok Guru
yang disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, sepertinya mengandung makna
yang bisa jadi terlalu berlebihan dan bisa jadi ada benarnya juga. Yang jelas,
doktrin absurd yang turun temurun ini perlu diuji kebenarannya dan dibenturkan
dengan kondisi riilnya. Harus dipertanyakan, betulkah sanjungan itu masih
relevan atau hanya sekadar sakralisasi yang bisa jadi hanya mitos belaka?
Pertanyaan ini tak hendak
merendahkan kehormatan profesi Guru. Namun, pertanyaan ini perlu juga
dipertimbangkan sebagai bahan introspeksi. Agar para Guru tidak terlena oleh
sanjungan-sanjungan agung, namun malah menjadi blunder yang membuat Guru malu sendiri karena dalam kenyataannya
tak terbukti. Sebuah wibawa dan pujian tak lahir dari sekedar keyakinan dan
doktrin turun temurun. Melainkan, hasil dan bukti nyata dari usaha yang
dilakukan.
Penulis jadi teringat
obrolan bersama kawan-kawan tentang apa yang melekat dalam ingatan jika
mendengar kata Guru. Kebanyakan, yang mereka ingat adalah memori-memori negatif
seperti, Gurunya yang galak, Gurunya yang mengancam tak beri nilai jika tak
beli LKS, bahkan hingga pengalaman pernah dilecehkan Guru didepan kelas. Bahkan,
kemarin pagi, salah seorang presenter televisi swasta berujar bahwa yang dia
ingat dari Guru adalah sosok yang selalu membawa tongkat kayu panjang untuk
memukul muridnya yang menurut sang Guru “nakal”.
Atas segala yang pernah
dialami kawan saya sewaktu di sekolah, mereka tak pernah sekali diberi
kesempatan untuk memberikan kritik atas perilaku negatif Gurunya. Atau
setidaknya konfirmasi atas sebab kenakalannya, tak pernah sekalipun diberi
kesempatan. Akhirnya murid dihukum tanpa konfirmasi. Takut untuk mengkritik,
bahkan segan untuk hanya sekadar bertanya kenapa. Guru bak dewa yang selalu
benar, dan murid diposisikan sebagai orang yang perlu diajari dan dibetulkan
sikapnya.
Menarik mencermati
pendapat Guru Besar Emeritus FPIPS UPI, Said Hamid Hasan yang ditulis di media
ini. Katanya, sikap mampu bertanya adalah inti dari pola critical thinking.
Lemahnya siswa dalam kemampuan berpikir kritis, katanya merupakan kunci
lemahnya pendidikan di Indonesia. Perilaku Guru yang arogan seperti yang
penulis contohkan tadi, serta perilaku Guru bak dewa yang menciptakan pola
hubungan feodalistis dengan siswa, menjadikan siswa tidak memiliki keberanian
untuk bertanya apalagi berfikir kritis.
Sehingga, jika memakai
logika itu, tidakkah berarti Guru-lah yang menjadi subjek kunci lemahnya
pendidikan di Indonesia? Atas kondisi nyata ini, masih relevankah atau
setidaknya apakah tidak terlalu berlebihan, memberi sanjungan Guru sebagai
pahlawan? Sekali lagi, tidak berarti melecehkan pengabdian Guru, namun hanya
sebagai bahan introspeksi agar para Guru tak terlena dan merasa terlegitimasi
menjadi sosok bak dewa di sekolah.
Lucunya, terkadang saat Guru
melakukan kesalahan, dengan naifnya sang Guru berkata bahwa, Guru juga manusia.
Sikap keras dengan dalih penegakan disiplin di sekolah yang kadang tanpa dasar
dan indikator yang jelas dalam menjudge murid, sehingga terkesan bahwa Guru lah
yang paling benar di sekolah, oleh dirinya sendiri di negasi bahwa dirinya juga
tak luput dari kesalahan. Sikap plintat-plintut ini, menurut penulis, bukanlah
karakter seorang pahlawan.
Tapi, terkadang melihat
kenyataan, miris juga melihat nasib Guru. Frasa “tanpa tanda jasa” yang melekat
pada Guru, bisa jadi ada benarnya. Dalam tajuk media ini, disebutkan bahwa gaji
para “Pahlawan” ini, tidak lebih besar dari UMK buruh pabrik. Sungguh malang
para pendidik negeri ini. Ini bukti bahwa ilmu pengetahuan tak ada harganya di
negeri yang katanya mendambakan kemajuan.
Seolah-olah, sanjungan “Pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi sebuah pembenaran, bahwa Guru tak perlu digaji berkecukupan. Seolah, Guru hanya perlu dipuji tanpa perlu dikasihani. Namun realitanya, pada akhirnya Guru tak bisa kenyang dihargai dengan pujian meski berlebihan. Guru perlu penghidupan. Karena, Guru juga manusia yang punya berbagai kebutuhan. Mana bisa Guru konsentrasi untuk mendidik putra putri negeri, jika pikirannya saja masih terbebani biaya hidup yang semakin meninggi.