Sekarang hangat dibicarakan mengenai sistem kebijakan
pemerintah mengenai pendidikan. Dari mulai pengimplementasian BHMN sampai
pembentukan payung hukum akan hal itu yaitu BHP yang baru – baru ini di
batalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Masyarakat sepakat khususnya mahasiswa serta aktivis
pendidikan mengeluhkan akan semakin mahalnya pendidikan di indonesia.
Mahalnya pendidikan untuk saat ini memang dirasakan secara
langsung oleh masyarakat khususnya di kalangan menengah kebawah yang memang
secara finansial kurang cukup mampu untuk menjangkau biaya pendidikan di Indonesia.
Jika di telisik lebih lanjut hal ini merupakan hal yang semakin kompleks dan
memang suhunya panas dibicarakan karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat
di bidang pendidikan formal.
Implementasi BHMN yang berdampak pada semakin mahalnya biaya
pendidikan, karena dalam sistem ini perguruan tinggi negeri mempunyai otonomi
di bidang pengelolaan keuangan, menjadi suatu hal yang sangat rumit untuk
diperdebatkan, disisi lain masyarakat mengeluhkan biaya pendidikan tinggi
negeri yang dirasa semakin tidak accesible untuk masyarakat indonesia yang
notabene berkemampuan finansial rendah, di lain pihak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang memerlukan dana lebih diliuar APBN untuk mendukung
infrastruktur Universitas karena kebijakan di bidang keuangannya
bersifat otonom yang mau tidak mau mencari pemasukan biaya operasional kepada
masyarakat. Tercatat ada 7 perguruan tinggi negeri yang menerapkan sistem ini
yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas
Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara
(USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Univeritas Airlangga (Unair)
Dalam hal ini secara umum yang dituntut oleh sebagian
masyarakat ialah pendidikan yang gratis atau setidaknya terjangkau oleh
masyarakat. Yang paling vokal menyuarakan hal ini terutama mahasiswa yang
memang merasakan dampak langsung dari sistem BHMN yang diterapkan di sebagian
universitas. Sering kita lihat mahasiswa melakukan demonstrasi atau aksi massa dalam skala
kecil maupun besar untuk menentang penerapan sistem BHMN di kampus mereka.
Mereka ramai menyuarakan bahwa BHMN ini secara eksplisit menindas rakyat miskin
yang semakin dipersempit kesempatannya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Forum
– forum diskusipun digelar untuk membahas hal tersebut dan merekapun sepakat
bahwa memang hal ini merupakan bentuk penindasan dan bentuk pelepasan tanggung
jawab pemerintah dalam menjamin rakyatnya mengenyam pendidikan sebagaimana yang
di amanatkan dalam UUD 1945.
Melihat fenomena tersebut secara umum memang itu merupakan
tindakan yang menggambarkan ketidak setujuan mahasiswa dan merupakan sikap dari
mahasiswa dalam melihat sistem tersebut. Namun jika dianalisis lebih lanjut,
mahasiswa terlalu berfkir parsial dalam menyikapi hal tersebut, dan tindakan
yang dilakukan dalam menyikapi hal tersebut terlihat didasari oleh tindakan
emosional dan kurang mengedepankan intelektual dalam menganalisis fenomena yang
terjadi. Memang tidak bisa di justifikasi bahwa semua mahasiswa seperti itu,
namun secara general tindakan emosional terlihat lebih dominan daripada dengan
tindakan kongkrit yang berlandaskan kemampuan intelektual yang seharusnya lebih dikedepankan oleh
mahasiswa.
Mahasiswa selalu mengutuk keras akan kebijakan pemerintah
mengenai Otonomi pendidikan dan semakin tak terjangkaunya pendidikan dari mulai
pendidikan dasar hingga tingkat universitas. Mereka berdemo dan menuduh
pemerintah sudah tidak lagi pro rakyat. Namun apakah terbersit dalam benak
mereka bahwa hal itu tak berpengaruh terlalu besar terhadap kebijakan yang
telah disahkan?
Mahasiswa sering terpancing emosinya dan tergerak untuk melakukan
aksi unjuk rasa namun hal itu sesudah disahkan. Itu kan hal yang percuma
dilakukan, meskipun merupakan bentuk sikap penolakan, tapi apa pengaruhnya jika
sudah di sahkan? Kita lihat, posisi mahasiswa ada pada posisi yang tidak
berdaya. Tapi setidaknya mahasiswapun harus berfikir untuk mengambil sedikit
legitimasi dan menunjukan eksistensinya dalam hal kebijakan itu. Contoh
kongkritnya seperti ini, apakah pernah terfikir oleh mahasiswa khususnya saya
tujukan kepada BEM Universitas yang merupakan lembaga tertinggi mahasiswa di
universitas untuk melakukan audiensi atau datang ke Komisi VII DPR untuk
melihat jalannya sidang maupun memberikan masukan dalam kebijakan yang
diputuskan? Berani tidak melakukan hal tersebut? Meskipun memang tak terlalu
berpengaruh, tapi setidaknya mengetahui secara langsung tahap pembentukan
kebijakan tersebut dan mengerti ke mana arah kebijakan tersebut.
Saya fikir jika hal tersebut berani dilakukan, setidaknya
legitimasi dan eksistensi mahasiswa itu ada. Daripada berunjuk rasa yang belum
tentu si tuan kaya pemegang kekuasaan mendengar, lebih baik melakukan tindakan
kongkrit dan bersifat preventif sebelum kebijakan itu diputuskan. Bukankah itu
lebih bijak dilakukan oleh intelektual muda seperti mahasiswa?
Jika melakukan demonstrasi terus – terusan dengan tindakan yang berlebihan seperti yang
sering kita saksikan, saya fikir ini akan menjadi bumerang bagi mahasiswa
khususnya citra mahasiswa di kalangan masyarakat. Masyarakat yang sebenarnya
mahasiswa bela malah menjadi sangat apatis bahkan membenci karena tindakan –
tindakan yang mereka fikir sudah biasa dan tak berpengaruh apa – apa malah
mengganggu ketertiban di masyarakat.
Hal ini jangan dibiarkan berlarut larut, mahasiswa yang
mempunyai jargon” Agent Of Change” jangan
sampai berubah menjadi “Agent Of Chaos”. Sungguh memilukan kondisi mahasiswa
saat ini, Idealisme semakin terkikis, daya Kritis dan daya Nalar semakin
dangkal, Apatis terhadap kondisi sosial, Pragmatis,berfikir parsial, terlalu
Study Oriented, kurang Kreatif, kurang membaca, apalagi menulis, dan banyak
lagi yang menjadikan mahasiswa ini kehilangan eksistensinya dalam memegang
amanat perubahan yang progresif. Memang tidak semua seperti itu, tapi jika
melihat realita, hal tersebutlah yang dominan disaksikan.
Saya fikir melakukan aksi massa harus menjadi jalan terakhir
bagi mahasiswa dalam menentang tirani, bukan menjadi tindakan arogan yang
seolah tersulut emosi. Karena jika aksi massa ini menjadi hal yang utama dan
seenaknya dilakukan, maka apa jalan terakhir jika suara mahasiswa sudah tidak
didengar? Jika Aksi massa dilakukan terlalu sering dan menjadikan masyarakat
sudah hilang simpatinya kepada mahasiswa karena tindakan yang arogan, lalu apa
yang akan mahasiswa andalkan atau kekuatan apa lagi yang menjadi andalan dalam
memperjuangkan rakyat? Jika rakyatnya saja sudah merasa terganggu dan hilang
perhatiannya? Ini sungguh memilukan, dan semakin kentaralah bahwa mahasiswa
sudah tidak mengedepankan nilai – nilai intelektual akan tetapi mengandalkan
emosi. Perlu digaris bawahi bahwa mahasiswa bukan hanya “Agent of Change” akan tetapi “The Power of
Society” yang menjadi garda depan dalam memperjuangkan rakyat dengan nilai –
nilai intelektual yang (seharusnya) dimiliki oleh mahasiswa.
***
Kembali pada isu yang hangat dibicarakan yaitu komersialisasi
pendidikan dengan melihat sistem
BHMN yang ada, kita tidak boleh melihat permasalahan ini secara parsial. Secara
umum saya pribadi memang tak setuju dengan sistem ini, dan memang saya bukan orang borju atau yang mempunyai
kemampuan financial yang tinggi, secara umum saya setuju bahwa semakin hari
biaya pendidikan semakin mencekik rakyat Indonesia.
Kini pendidikan menjadi komoditas yang diperjualbelikan,
pendidikan adalah barang jasa yang diperdagangkan saat ini, dan bukan menjadi
hak bagi segala bangsa sebagaimana diamanatkan undang – undang. Perguruan Tinggi
Negeri (khususnya PT BHMN) kini mematok biaya pendidikan yang sangat tinggi dan
tidak terjangkau oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. PT BHMN mempunyai
kebijakan untuk mencari dana sebesar besarnya yang dibebankan kepada
masyarakat. Secara sekilas jika dilihat ini sungguh sangat jauh dari nilai –
nilai pendidikan, ini seperti bisnis, memperjual belikan pendidikan,
komersialisasi pendidikan yang terang – terangan.
Kondisi seperti ini sungguh memilukan, hal ini berarti
pendidikan hanya milik orang yang berkemampuan financial tinggi, bangku sekolah atau kuliah hanya
milik orang berduit. Sedangkan kondisi masyarakat saat ini jauh dari mampu
untuk menjangkaunya. Sungguh sangat
kasian bangsa Indonesia, mereka di jegal haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Padahal pemerintah sering sekali menggembar gemborkan untuk mencerdaskan
bangsa. Bagaimana bangsa akan cerdas jika pendidikan saja menjadi barang mahal
di negeri ini? Bagaimana bangsa bisa memperbaiki kesejahteraannya jika hak untuk mengenyam pendidikan saja
sudah dipersulit? Itu sungguh cita – cita yang utopis! Bualan penguasa belaka!
Sungguh kini kita ada dijaman neo kolonialis, yang dijajah oleh bangsa sendiri!
MENYEDIHKAN
Jika
memandang dari segi kacamata pribadi yaitu saya yang hanya anak tukang jahit
dan tidak mempunyai uang banyak, hal ini merupakan suatu bentuk penindasan, ini
suatu penyelewengan amanat undang – undang dasar, ini suatu upaya untuk menutup
gerbang akses pendidikan bagi orang miskin seperti saya. Dan saya menginginkan
pendidikan itu gratis atau setidaknya terjangkau oleh masyarakat Indonesia
meskipun dalam kondisi ekonomi menengah kebawah.
Namun jika
dianalisa lebih dalam, ini bukan persoalan gratis atau mahal tidaknya
pendidikan, akan tetapi seberapa tinggi kualitas pendidikan yang harus dibayar
mahal itu? Apakah sepadan kualitas dengan biaya yang dibayar? Apakah mahalnya
biaya ini merupakan konsekuensi logis dari apa yang kita dapatkan? Ini
sebenarnya yang saya fikir menjadi hal yang lebih utama diberikan perhatian.
Jika diilustrasikan misalnya orang tak akan pernah rugi membayar dengan harga
tinggi makanan yang dimakan di restoran dengan tempat nyaman, layanan
menyenangkan, dan tentunya makanan yang sangat enak. Tapi kondisi sekarang
realitanya dengan apa yang dibayarkan tidak sepadan dengan kualitas yang
diberikan. Hal ini tercermin dengan banyaknya pengangguran terdidik yang bahkan
lulusan dari universitas yang terkenal bagus. Ini berarti bahwa memang apa yang
dibayarkan itu kurang sepadan dengan apa yang didapatkan.
Meski
pendidikan mahalpun, jika lulusannya berkualitas dan menjanjikan penyerapan
kerja yang signifikan, pasti masyarakat tidak akan terlalu dibebani atau
dirugikan karena kualitasnya menjamin masa depan. Jadi dengan hal ini,
seharusnya pendidikan itu yang diutamakan adalah kualitas mahasiswa/lulusan dan
setidaknya sepadan dengan apa yang dibayarkan. Sungguh memilukan jika keluar
kalimat seperti “Sekolah Mahal, Kuliah Susah, Lulusnya Nganggur..” kan ini
suatu hal yang ironis di indonesia, dan menggambarkan bahwa kualitas pendidikan
memang kurang layak untuk dibayar mahal oleh masyarakat.
Masyarakat
ataupun mahasiswa sering berunjuk rasa menginginkan bahwa pendidikan itu
gratis. Tapi coba kita analisis lebih dalam. Kita lihat jika pendidikan di
gratiskan, ini tentu akan berdampak luas. Yang pertama, kita tidak bisa
memungkiri bahwa untuk infrastruktur pendidikan membutuhkan cost yang tinggi.
Jika gratis, maka ongkos untuk menggaji guru atau dosen dari mana? Untuk
membeli peralatan praktek dari mana?
Jika dijawab ini merupakan tanggung jawab Negara, ya bisa jadi itu memang
tanggung jawab Negara. Tapi kita juga tidak boleh berhenti memikirkan hal
tersebut dan menganggap bahwa dengan itu tanggung jawab Negara itu merupakan
penyelesaian yang terbaik. Kita tidak boleh lupa bahwa jika pendidikan di
gratiskan berarti Negara bertanggung jawab dalam membiayai pendidikan di
Indonesia, dan berarti APBN mengeluarkan anggaran secara lebih dalam membiayai
pendidikan. Nah, jika anggaran pendidikan di APBN di naikkan, maka otomatis
anggaran untuk yang lain harus dikurangi, dan pasti juga akan berdampak kepada
yang lainnya. Jika anggaran yang lain berkurang, maka protespun akan tetap ada,
karena salah satu anggaran di bidang yang lain dikurangi. Dan salah satu dampak
untuk menyelesaikan hal itu, otomatis pajak yang dipungut Negara akan lebih
besar. Misalnya pajak dinaikan 50% dari masyarakat karena APBN banyak berasal
dari pajak. Apakah hal itu merupakan
solusi yang lebih baik? Apakah tidak memikirkan dampak yang sangat kompleks
tersebut?
Jika kita
bercermin ke Negara lain, contohnya di Jerman, di Negara ini biaya pendidikan
bagi mahasiswanya sangat murah, dan kualitasnyapun bagus. Bahkan biaya untuk
sekolah atau kuliah disini gratis, meskipun tidak sepenuhnya. Negara ini
mengalokasikan dana untuk pendidikan sangat tinggi dari Negara, namun di sisi
lain, pajak penghasilan di jerman hampir mencapai 50%, sehingga biaya untuk
pendidikan ditanggung dari Negara karena pemasukan pajaknya sangat tinggi. Jika
kita bandingkan ke Indonesia, kalau masyarakat di Indonesia ingin di gratiskan
pendidikannya lantas apakah rela jika masyarakat di berikan tarif pajak yang
tinggi? Apakah semua masyarakat Indonesia mampu menanggung pajak yang sangat
tinggi? belum tentu.
Dalam
permasalahan seperti ini sungguh sangat kompleks, kita tidak bisa berfikir
terlalu parsial, karena permasalahan di Indonesia ini sudah sangat kompleks dan
belum terselesaikan. Seringkali, mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi
menutup mata pada realita yang sangat kompleks ini, dan hanya terkurung pada
kepentingan dirinya sendiri. Tapi hal ini juga tentunya harus segera
diselesaikan oleh pemerintah, karena jika berlarut – larut, maka cita – cita
untuk mencerdaskan bangsa ini hanyalah omong kosong belaka dan mustahil akan
tercapai.
Kita semua
pasti berharap agar permasalahan yang seperti benang yang kusut ini dapat
terselesaikan secepatnya dan dapat memunculkan keputusan yang tidak merugikan
salah satu pihak. Dan semoga kita juga semakin tidak bodoh dan tidak dibodohi
oleh orang – orang yang memiliki kewenangan di pemerintahan. Merdekalah
bangsaku, Bangkitlah Indonesiaku, dan Jayalah Negeriku!!
*Hasil
Diskusi bersama di UNIT PERS MAHASISWA Universitas Pendidikan Indonesia
(UPM-UPI)