Ungkapan diatas merupakan salah satu paribasa (peribahasa) Sunda, yang mengandung filosofi yang dalam dan selalu relevan tak dibatas zaman. Makna tersuratnya adalah bahwa hidup ini harus bodoh tapi mau bertanya, jangan bodoh tapi tidak mau bertanya. Namun dibalik itu, makna tersiratnya mencerminkan berbagai dimensi baik kepribadian, perilaku, sosial bahkan tentang bagaimana menjalani hidup dan menghadapi kehidupan. Makna paribasa Sunda ini menyiratkan bahwa dalam hidup ini kita mesti senantiasa memahami keterbatasan kita sendiri, namun tidak pasrah atau bahkan nyaman dengan keterbatasan.
Dalam dimensi kepribadian, paribasa ini meminta kita agar selalu menjadi pribadi yang mawas diri dan termotivasi mengembangkan diri. Menjadi pribadi yang bodo alewoh adalah pribadi yang senantiasa memahami keterbatasan diri, tidak congkak dan merasa paling benar. Paribasa ini mengajarkan kita agar senantiasa rendah hati dan menempatkan diri sebagai gelas kosong yang siap untuk menerima segala masukan, kritikan hingga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Menjadi bodoh dijadikan sebagai jalan untuk mendapat lebih banyak pengetahuan, yang dengannya kita mendapatkan kebijaksanaan.
Menjadi pribadi yang bodo katotoloyoh adalah, menempatkan diri sebagai pribadi yang resisten dan apatis pada pengetahuan. Merasa paling tau dan paling benar, sehingga malas menambah pengetahuan, resisten pada kritik akan kesalahan adalah cermin dari bodo katotoloyoh. Dengan menempatkan diri sebagai pribadi yang bodo katotoloyoh, seseorang tidak akan bisa berkembang karena selalu merasa cukup pada keyakinan subjektif dan tak mau menerima masukan. Malas mencari tahu, merasa paling benar sendiri, resisten pada kritik dan masukan adalah jalan menuju jurang kejumudan.
Pada dimensi sosial, menjadi bodo alewoh adalah luwes dan toleran pada perbedaan. Sudah menjadi tabiat manusia, dimana seseorang senantiasa ingin mentransfer nilai-nilai dan sudut pandang pribadinya pada orang lain di lingkungan sosial. Menjadi bodo alewoh, adalah dengan keterbukaan hati senantiasa menggali keunikan manusia yang berbeda-beda isi kepalanya. Memaknai manusia yang unik di lingkungan sosial bagi pribadi yang bodo alewoh adalah preferensi diri untuk senantiasa belajar bijaksana dalam bersikap. Menerima perbedaan sudut pandang dan menggali serta memahami latar belakang segala nilai yang dimiliki manusia lain, adalah cermin bodo alewoh pada lingkungan sosial.
Sebaliknya, menjadi bodo katotoloyoh dalam lingkungan sosial adalah menjadi seorang yang hanya ingin didengar namun tak mau mendengar. Bodo katotoloyoh, menjadikan seseorang susah menerima perbedaan dalam kehidupan sosial karena selalu bersikap rigid dan sulit beradaptasi. Bodo katotoloyoh juga bermakna keras kepala, dan sudah menjadi aturan yang universal kiranya, bahwa lingkungan sosial akan sangat resisten bagi pribadi yang tak mau menyesuaikan diri.
Kehidupan sosial sejatinya memang sangat dinamis, transformasi nilai antar personal menjadi keniscayaan, sehingga jenis manusia yang bodo katotoloyoh akan sulit berasimilasi pada kehidupan sosial. Kehidupan sosial tak mensyaratkan harus menerima segala bentuk transfer nilai, namun menempatkan diri sebagai pribadi yang sulit menoleransi keunikan individu, menjadi jalan menuju isolasi sosial. Bodo katotoloyoh dalam konteks sosial, berbentuk pribadi maupun kelompok merupakan jenis kekakuan yang resisten pada sumber-sumber wawasan sosial yang sejatinya beragam.
Dalam konteks kehidupan, menjadi bodo alewoh adalah menjadi bagian dari warna kehidupan yang selaras dan harmoni dengan warna kehidupan lainnya. Bodo alewoh sudah sepatutnya menjadi jatidiri kultur masyarakat. Karena masyarakat yang bodo alewoh adalah masyarakat yang mau berkembang karena senantiasa beradaptasi pada kehidupan dinamis yang niscaya. Perkembangan kehidupan global dengan kedinamisan yang ekstrim, meniadakan manusia “pintar” yang mudah merasa cukup. Karena itu, bodo alewoh adalah cerminan kultur yang adaptif dan senantiasa responsif pada perubahan kehidupan.
Terus bertanya dan mempertanyakan (bodo alewoh), sejak jaman kuno, adalah jalan menuju aktualisasi manusia dalam meraih kemajuan peradaban. Maka, menciptakan kultur bodo alewoh adalah kunci dalam meraih kemajuan peradaban manusia. Namun, jika mengembangkan kultur yang bodo katotoloyoh, membudayakan resisten pada pengetahuan, sudut pandang baru, kemajuan zaman, bahkan hingga intoleran pada perbedaan individu maupun masyarakat, maka siap-siaplah menjadi bongkahan batu raksasa di hulu sungai jernih nan deras yang takkan pernah bergerak menuju lautan kehidupan. Kita akan selalu tertinggal, stagnan tak bergerak, karena tak memiliki budaya curiousity, dan sulit beradaptasi dengan keberagaman ditengah kehidupan yang semakin global. [IRY]
*) Tulisan ini saya dedikasikan untuk almarhum paman saya, yang juga budayawan Sunda Drs.Cece Hidayat, M.Pd, yang selalu mengajari saya tentang filosofi kesundaan sejak saya kecil. Semoga Mang Ace mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya